almanak

Kerajaan Sunda; Kisah dan Perkembangannya

Setelah melepaskan diri dari bayang-bayang Tarumanagara, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda, yang beribukota di Pakuan ( Pakwan ) konon terletak di antara Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. Sementara itu, istananya dilewati oleh Sungai Cipakancilan.

PublishedJanuary 20, 2009

byDgraft Outline

Sunda dalam konsep geopolitis pada masa lalu merupakan entitas sebuah kerajaan yang berdiri pada abad ke-8. Kerajaan Sunda selama berabad-abad berkuasa di wilayah Jawa Bagian Barat, di tempat yang sama di mana Gunung Purba orang Sunda pada masa lalu kokoh berdiri.

Kerajaan Sunda adalah kelanjutan Kerajaan Tarumanagara. Dalam Carita Parahyangan (ditulis pada abad ke-16 M, dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno), Tarusbawa hanya disebut gelarnya, yakni Tohaan ri Sunda (Raja di Sunda). Dalam Kropak 406 (fragmen Carita Parahyangan ), Maharaja Tarusbawa mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati di Pakuan. Tarusbawa yang asalnya dari Kerajaan Sunda Sembawa ini memerintah hingga 723 M.

Karena putra sulung Tarusbawa yang bernama Rakeyan (Rakryan) Sunda Sembawa wafat mendahului ayahnya, maka putri dari almarhum Sunda Sembawa yang bernama Tejakancana diangkat sebagai ahli waris Kerajaan.

Tejakancana lalu menikah dengan Rakeyan Jambri, cicit Wretikandayun. Rakeyan Jambri-lah yang pada 723 M menggantikan Tarusbawa menjadi raja kedua Sunda. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda, ia bergelar Prabu Harisdharma Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajita Sastrayudha Purnajaya.

Table of contents

Open Table of contents

Sanjaya: Ahli Waris Tiga Kerajaan

Dalam Carita Parahyangan, tokoh Rakeyan Jambri ini disebut Sanjaya, sedangkan dalam Kropak 406 disebut sebagai Harisdharma.

Setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan nama Sanjaya. Sejak masa Sanjaya, keberadaan Kerajaan Sunda selalu tumpang-tindih dengan Kerajaan Galuh. Hal ini diakibatkan raja yang memerintah di Kerajaan Sunda juga memegang tampuk kekuasaan di Galuh.

Sebenarnya Sanjaya merupakan ahli waris tiga kerajaan. Dari pihak ayah, ia mewarisi Galuh; dari pihak ibu ia mewarisi Medang i Bhumi Mataram (Kalingga); dari pihak istri ia mewarisi Kerajaan Sunda. Setelah Kerajaan Sunda-Galuh ia serahkan kepada putranya, Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban yang memiliki nama nobat Raden Barmawijaya.

Sanjaya kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara (kemudian disebut Kerajaan Bhumi Mataram) pada 732 M. Tamperan adalah anak Sanjaya dari Tejakancana, yang memerintah Galuh dan Sunda antara tahun 732-739.

Perlu diketahui bahwa setelah pemerintahan Ratu Sima berakhir tahun 695, Kerajaan Kalingga (Keling) dibagi dua. Bagian barat-utara, yakni Bhumi Mataram, dikuasai Dewi Parwati, istri Mandiminyak Raja Galuh; sedangkan bagian timur-selatan, Bhumi Sambhara, dikuasai oleh Rakeyan Narayana, adik Dewi Parwati.

Putra Narayana, yakni Dewasinga yang berkuasa di Bhumi Sambhara selama 18 tahun (742-760) kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke sebelah timur lagi, yakni di Warugasik, pada tahun 754.

Dewasinga ini memiliki dua orang anak: yang lelaki bernama Limwana atau Prabu Gajayanalingga dan yang perempuan bernama Dewi Sudhimara. Gajayanalingga menggantikan Dewasinga sebagai raja selama 29 tahun (760-789). Sementara itu, Dewi Sudhimara menikah dengan Sanjaya yang menghasilkan seorang putra bernama Rakai Panangkaran.

Kerajaan Terbagi Dua

Tamperan yang memerintah di “negara-kembar” Galuh-Sunda selama tahun 732-739 M, terpaksa membagi kerajaan kembar itu kepada dua orang anaknya, yaitu Sang Manarah dan Sang Banga. Manarah yang bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Sakalabhuwana menjadi raja di Galuh selama 44 tahun (739-783).

Sedangkan Banga atau Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya memerintah Kerajaan Sunda selama 27 tahun (739-766). Sebelum memerintah Sunda, Banga menjadi raja daerah antara tahun 739-759; baru setelah itu menjadi raja Sunda hingga tahun 766. Oleh Kropak 632 disebutkan bahwa Rahyang Banga membangun parit di sekitar istana Pakuan ( nu nyusuk na Pakwan ).

Ada yang menarik mengenai tokoh Banga dan Manarah ini. Carita Parahyangan memulai sejarah Sunda-Pakuan dari tokoh Rahyang Banga ini, bukan dari ayahnya, Tamperan. Bahkan, Kropak 406 tidak menyebut-nyebut tokoh Manarah. Banga sendiri menikah dengan Dewi Kancanasari, turunan Demunawan dari Saunggalah.

Mereka memiliki putra bernama Rakeyan Medang (Prabu Hulukujang) yang menggantikan Banga menjadi raja selama 17 tahun (766-783). Ada kemungkinan, Hulukujang ini dulunya tinggal di keraton Medang di Bhumi Mataram, keraton yang didiami oleh ayah-kakeknya, Sanjaya; makanya oleh Carita Parahyangan disebut Rakeyanta ri Medang.

Setelah wafat, Hulukujang digantikan oleh menantunya, Rakeyan Hujung Kulon (Hujung Kulwan), yang berkuasa atas Kerajaan Sunda selama 12 tahun dan bergelar Prabu Gilingwesi. Sementara itu, adik Hujung Kulon yang bernama Sang Tariwulan (Prabu Kertayasa Dewakusaleswara) merupakan pengganti ayahnya, Sang Mansiri (Prabu Dharmasakti Wijaleswara), memerintah di Galuh selama 7 tahun (799-806).

Hujung Kulon yang memerintah tahun 783-795 hanya memiliki seorang anak perempuan, sehingga ia digantikan oleh menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucukbhumi Dharmeswara. Rakeyan Diwus memerintah di Kerajaan Sunda selama 24 tahun (795-819). Ia memunyai dua orang anak, yakni Rakeyan Wuwus yang kemudian menggantikannya sebagai raja, dan seorang anak perempuan yang diperistri oleh Arya Kedaton (Kedatwan), cucu Tariwulan dari istri yang kedua.

Rakeyan Wuwus menikah dengan anak perempuan Sang Welengan (Prabu Brajanagara Jayabhuwana), Raja Galuh yang bertakhta tahun 806-813. Yang menggantikan Jayabhuwana menjadi penguasa Galuh adalah Prabu Linggabhumi, anak pertamanya, yang memegang tampuk pemerintahan tahun 813-842.

Sayang, Linggabhumi tak memiliki keturunan, sehingga adik iparnya, yakni Wuwus, menggantikannya memegang roda pemerintahan Galuh setelah Linggabhuwana meninggal tahun 842. Dengan demikian, di bawah kekuasaan Wuwus yang bergelar Prabu Gajah Kulon (Gajah Kulwan), Galuh-Sunda menjadi “negara kembar” kembali. Ia memegang pemerintahan di Sunda dan Galuh hingga tahun 891.

Setelah meninggal tahun 891, Wuwus digantikan oleh iparnya yang berasal dari Galuh, yakni Arya Kedaton yang berkuasa hanya empat tahun (891-895). Karena kehadirannya tak disenangi oleh sejumlah pejabat Sunda, Arya Kedaton yang bergelar Prabu Darmaraksa Buana dibunuh oleh seorang menteri Kerajaan Sunda pada tahun 895.

Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana yang memerintah hingga tahun 913. Rakeyan Windusakti memiliki dua orang anak, yaitu Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri.

Kamuning Gading kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar Prabu Pucukwesi. Setelah meninggal, Kamuning Gading bergelar Sang Mokteng Hujungcariang (Yang Dikebumikan di Hujungcariang). Ia menjadi raja hanya tiga tahun, yakni pada 916, karena terjadi perebutan takhta yang dilakukan oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri.

Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa atas Kerajaan Sunda selama 28 tahun (916-942). Yang kemudian duduk di singgasana adalah menantunya, yakni Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadharma Hariwangsa, yang berkuasa selama 12 tahun (942-954 M).

Pada masa pemerintahan Watwagong meletus perebutan kekuasaan lagi. Kali ini dilancarkan oleh anak Kamuning Gading bernama Sang Limburkancana, yang tak lain sepupu sang Raja. Limburkancana pun naik takhta pada tahun 954. Setelah wafat tahun 964, ia digelari Sang Mokteng Galuh Pakwan.

Dari istrinya yang merupakan keturunan Manarah dari Galuh, Limburkancana memiliki dua orang putra, yakni Rakeyan Sunda Sembawa yang sulung dan yang kedua adalah seorang gadis yang menikah dengan Rakeyan Jayagiri (berbeda dengan Jayagiri adik Kamuning Gading).

Sunda Sembawa sendiri menjadi raja Kerajaan Sunda menggantikan ayahnya, dengan gelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru yang berkuasa selama 9 tahun (964-973). Karena tak memiliki anak, takhta diserahkan kepada iparnya, Rakeyan Jayagiri, yang memerintah selama 16 tahun (973-989). Jayagiri memiliki gelar nobat Prabu Wulung Gadung, yang setelah wafat bergelar Sang Mokteng Jayagiri.

Posisi Jayagiri ditempati oleh Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa, anaknya. Jayawisesa yang memegang tampuk pemerintahan selama 23 tahun (989-1012) kemudian digantikan oleh Prabu Dewa Sanghyang yang memerintah hingga 1019. Karena dikebumikan di Patapan ia bergelar Sang Mokteng Patapan.

Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti

Yang muncul sebagai pengganti Prabu Dewa Sanghyang adalah anaknya yang memiliki gelar yang sangat panjang: Prabu Satya Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Bhuwanamandala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa.

Raja yang lebih dikenal dengan nama Jayabhupati ini memerintah tahun 952-964 Saka (1030-1042 M). Ibu Sri Jayabhupati adalah seorang putri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri di Jawa Timur.

Permaisuri Sri Jayabupati adalah putri dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur. Dengan demikian, Jayabhupati merupakan saudara ipar Raja Airlangga dari Kadiri karena anak gadis Dharmawangsa yang lain bernama Dewi Laksmi merupakan istri Airlangga.

Dari pernikahannya dengan putri Jawa Timur tersebut, Jayabupati memiliki anak lelaki bernama Dharmaraja. Karena pernikahan tersebut, Jayabhupati mendapat gelar dari Dharmawangsa, mertuanya. Gelar itulah yang tertulis pada Prasasti Sanghyang Tapak di Citatih, Cibadak, Sukabumi (Prasasti Cibadak).

Prasasti Sanghyang Tapak yang berhuruf Jawa Kawi dan bertahun 952 Saka (1030 M) ini menyebutkan bahwa raja yang memerintah di Kerajaan Sunda ketika itu adalah Jayabhupati. Raja ini memiliki nama gelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya.

Disebutkan pada prasasti itu, Jayabhupati berkuasa di kawasan “Praharyan Sunda” dan beragama Waisnawa (Hindu-Wisnu). Pembuatan prasasti ini bertepatan dengan 11 Oktober 1030 M; jadi bertepatan dengan awal pemerintahan Jayabhupati. Kehadiran Prasasti Jayabhupati di Cibadak sempat menimbulkan dugaan bahwa ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu.

Namun, dugaan tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Dari prasasti inilah, istilah “Sunda” sebagai nama administratif (negara) ditulis untuk kedua kalinya (setelah Prasasti Pasir Muara zaman Tarumanagara pada abad ke-5).

Dalam langgam bahasa dan tulisan, Prasasti Sanghyang Tapak menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya itu, gelar raja pun mirip dengan gelar raja-raja Dinasti Dharmawangsa Teguh, Raja Medang Kamulan yang terakhir. Tak perlu bingung, karena Jayabhupati adalah menantu Prabu Dharmawangsa. Sri Jayabhupati dalam Carita Parahyangan disebut Prabu Detya Maharaja.

Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat buah batu untuk menuliskannya (yang ditandai dengan D73, D96, D97, dan D98). Keempat batu-bertulis itu ditemukan di tepi Sungai Cicatih, daerah Cibadak. Tiga batu ditemukan di dekat Bantar Muncang, Kampung Pangcalikan, yang sebuah lagi (D73) ditemukan di Kampung Leuwi kalabang. Bunyi terjemahan tiga prasasti yang ditemukan di Kampung Bantar Muncang adalah:

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Radite, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandala Leswaranindita Harogowardhana Wikramat-tunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda.

Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan sumpah.

Sumpah Sri Jayabhupati tersebut selengkapnya tertera pada prasasti yang ditemukan di Pangcalikan. Prasasti ini terdiri dari 20 baris. Isinya menyeru, agar semua kekuatan gaib di dunia dan di surga ikut melindungi keputusan raja.

Orang yang menyalahi ketentuan tersebut penghukumannya harus diserahkan kepada semua kekuatan gaib agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya. Sumpah-hukuman itu ditutup dengan kalimat: “ I wruhhanta kamung hyang kabeh ” (Ketahuilah olehmu para hyang semua).

Memang, Prasasti Sanghyang Tapak ini penuh manggala (doa) dan supata (kutukan). Dari 20 baris dari prasasti no. D98 berisikan: 7 baris berisi seruan, 5 baris berisi kutukan, dan 8 baris berisi keputusan raja.

Cara-cara ini bukanlah tradisi raja-raja Sunda yang sebagai masyarakat bertradisi berladang, cenderung “mahal” dengan kata-kata. Ada pun sumpah kutukan merupakan kebiasaan penganut Tantrayana, kepercayaan yang banyak dianut raja-raja Jawa Timur.

Juga, dalam keempat prasasti ini tertulis jelas istilah “raja Sunda” sebanyak 6 kali: 3 kali dalam kata “Prahajyan Sunda” dan 3 kali dalam kata “Paduka Haji i Sunda”. Penulisan “raja Sunda” sebanyak itu bukanlah kelaziman raja Sunda; hanya orang luarlah (Majapahit dan Portugis, misalnya) yang memakai istilah tersebut.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut sempat menimbulkan dugaan bahwa Jayabhupati adalah orang “asing” (Jawa Timur) yang lari ke Galuh akibat serangan Airlangga dan kemudian menjadi raja di Sunda, atau raja Sunda taklukan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Akan tetapi, naskah Wangsakerta memberikan keterangan yang memungkinkan bahwa antara Jayabhupati dan Airlangga ada ikatan kekeluargaan melalui ikatan perkawinan.

Sebagai putra mahkota Sunda, Jayabhupati melihat pertikaian antara keluarganya. Sebagai keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, Jayabhupati harus menyaksikan permusuhan yang makin meruncing antara Sriwijaya dengan Dharmawangsa. Namun, ia tak bisa berbuat banyak dan hanya menjadi penonton.

Kekecewaannya begitu mendalam begitu mengetahui bahwa Darmawangsa diserang dan dihabisi oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Jayabhupati diberi tahu perihal serbuan ini oleh pihak Sriwijaya, namun ia dan Dewa Sanghyang, ayahnya, diminta bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang tersurat pada Prasasti Calcuta, India (kini disimpan di sana) disebut Pralaya Medang (Hancurnya Medang), pada 1019 M.

Kedudukan Jayabhupati kemudian digantikan oleh Dharmaraja, anaknya. Dharmaraja menjadi raja Kerajaan Sunda Sunda selama 22 tahun (1042-1064). Karena tak memiliki anak lelaki, Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana digantikan oleh menantunya yang bernama Prabu Langlangbhumi yang memegang pucuk pemerintahan selama 90 tahun (1064-1154).

Setelah meninggal, Langlangbhumi digelari Sang Mokteng Kreta, dan digantikan oleh anaknya, Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah. Menakluhur hanya berkuasa dua tahun sampai tahun 1156, yang kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dharmakusumah. Dharmakusumah meninggal tahun 1175 di Winduraja, dekat Kawali; karena itu bergelar Sang Mokteng Winduraja.

Nasihat Guru Dharmasiksa kepada Sang Cucu, Raden Wijaya

Yang kemudian menjadi raja di Kerajaan Sunda adalah anak Dharmakusumah, bernama Prabu Guru Dharmasiksa yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa atau Prabu Sanghyang Wisnu. Raja ini memerintah dalam kurun waktu yang sangat panjang sekali dan hampir mustahil, yakni selama 122 tahun, dari 1175 hingga 1297.

Guru Dharmasiksa memindahkan ibukota Kerajaan ke Saunggalah. Selama 12 tahun (1175-1187), ia memerintah di wilayah timur ini. Baru pada tahun 1187, ibukota dialihkan kembali ke Pakuan dan ia tinggal di istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Alasan kepindahannya ke Pakuan adalah karena untuk menumpas bajak laut yang sering merompak di kawasan pantai-laut utara. Maka itu, ia memilih Pakuan yang dekat ke pantai, yang dengan begitu ia pun bisa membangun armada lautnya lebih kuat. Selama 110 tahun Dharmasiksa memerintah di Pakuan.

Ada sejumlah sejarawan yang berdasarkan Kropak 406 menganggap bahwa tokoh Dharmasiksa ini identik dengan Sri Jayabhupati. Mereka pun, oleh sebagian sejarawan, dianggap berasal dari “luar Sunda” yang menjadi raja Sunda. Namun, naskah Wangsakerta menunjukkan bahwa kedua merupakan tokoh berbeda; ada empat raja yang menyelangi masa pemerintahan Jayabhupati (1019-1042) dengan Dharmasiksa (1175-1297).

Prabu Dharmasiksa (oleh Carita Parahyangan disebut Pangupatiyan atau penjelmaan Wisnu) memiliki permaisuri yang berasal dari Suwarnabhumi keturunan Raja Sanggrama Wijayatunggawarman.

Perlu diketahui, bahwa cerita dalam Kropak 406 ditutup atau diakhiri pada tokoh Dharmasiksa ini (abad ke-12). Ini berarti, naskah ini merupakan peninggalan masa Dharmasiksa, atau setidaknya merupakan salinan darinya. Maka dari itu, usia kropak ini jauh lebih tua dari Carita Parahyangan yang baru ditulis tahun 1580.

Perkawinan Dharmasiksa dengan putri Suwarnabhumi tersebut membuahkan beberapa orang putra, di antaranya Rakeyan Jayagiri (Rakeyan Jayadharma) dan Rakeyan Saunggalah.

Jayagiri atau Jayadharma menikah dengan keponakan Raja Singasari Prabu Wisnuwardhana yang bernama Dewi Singamurti atau dikenal dengan nama Dyah Lembu Tal (dyah adalah nama untuk perempuan, sedangkan mahisa untuk lelaki).

Dewi Singamurti adalah anak dari Narasingamurti (Mahisa Campaka), cucu Ken Arok-Ken Dedes; sedangkan Wisnuwardhana (Ranggawuni) sendiri adalah cucu Tunggul Ametung-Ken Dedes. Adapun, perkawinan Jayagiri-Singamurti menghasilkan seorang anak lelaki bernama Raden Wijaya yang kelak menjadi pendiri Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Karena Jayagiri meninggal dalam usia muda ketika ayahnya masih berkuasa, maka Rakeyan Saunggalah yang menggantikan ayahnya menjadi raja Sunda. Setelah menjadi raja, Rakeyan Saunggalah bernama Prabu Ragasuci yang berkuasa selama 6 tahun (1297-1303). Ia memindahkan ibukota dari Pakuan ke Saunggalah di sekitar Kuningan.

Raja ini memiliki permaisuri bernama Dara Puspa anak Raja Trailokyaraja Maulibhusanawarmadea dari Kerajaan Malayu. Sementara itu, kakak Dara Puspa yang bernama Dara Kancana diperistri oleh Prabu Kartanegara (anak Wisnuwardhana), raja Singasari terakhir. Sedangkan, kakak Dara Kancana dan Dara Puspa yang sulung, yaitu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa menjadi raja Melayu menggantikan ayahnya.

Setelah wafat, Prabu Ragasuci dipusarakan di Taman, karena itu bergelar Sang Mokteng Taman. Salah seorang anaknyalah yang kemudian menggantikannya menjadi penguasa Sunda, yaitu Sang Prabu Citragandha Bhuwaraja yang menjalankan roda pemerintahan selama 8 tahun (1303-1311). Oleh Citragandha, dari Saunggalah ibukota kembali ke Pakuan lagi.

Ada pun setelah Jayagiri wafat, Raden Wijaya dibawa oleh ibunya, Dewi Singamurti, pulang ke Singasari. Di negeri asal ibunya ini, Wijaya belajar berbagai ilmu pemerintahan dan peperangan. Dan sebagai kepercayaan Kertanegara, yang juga masih pamannya, Wijaya kemudian diangkat menjadi panglima angkatan perang Singasari.

Setelah menjadi raja Majapahit, Raden Wijaya yang bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana, sempat diberikan nasihat oleh kakeknya, Prabu Dharmasiksa. Nasihat seorang kakek kepada cucunya yang menjadi pendiri Majapahit, berkisar kepada hal-hal yang bersifat harapan dan juga larangan yang harus diperhatikan.

Dharmasiksa besar menaruh harapan kepada cucunya agar menjaga hubungan yang harmonis antara Kerajaan Sunda-Pajajaran dengan Majapahit. Karena bagaimana pun, Wijaya adalah trah atau teureuh Sunda juga; bahkan bila ayahnya tak mati muda, Wijaya-lah yang akan menduduki singgasana Sunda, dan mungkin Majapahit takkan pernah ada dalam sejarah Nusantara.

Wijaya diwanti-wanti agar dirinya jangan memiliki sifat agresif yang ingin selalu menyerang terhadap kerajaan-kerajaan lain, apalagi sampai terjadi peperangan antara Sunda-Majapahit. Bahkan, yang harus dilakukan adalah sebaliknya: saling membantu bila ada yang membutuhkan, saling tolong-menolong antarkedua negara tersebut.

Nasihat sang Kakek rupanya begitu diajarkan oleh Wijaya Sehingga pada masa pemerintahannya hingga masa Tribhuwana Tunggadewi (cucu Wijaya), tak pernah ada cerita kesalahpahaman antara Sunda-Majapahit.

Ada pun, perselisihan antarkedua kerajaan yang terjadi pada masa Prabu Hayam Wuruk (cicit Wijaya), timbul akibat ulah Mahapatih Gajah Mada yang begitu berambisi menguasai wilayah Nusantara.

Nampaknya, Gajah Mada bukanlah seorang kerabat istana melainkan seorang warga biasa atau sipil yang memiliki bakat militer khusus sehingga mampu menjadi petinggi Majapahit. Dengan demikian, ia tak terikat secara emosional dengan “pepatah” Dharmasiksa kepada Wijaya.

Wejangan Dharmasiksa terhadap anak-cucunya juga terdapat dalam Kropak 632 (dikenal juga dengan Naskah Ciburuy atau Naskah MSA ). Diceritakan, Dharmasiksa memberikan petuah kepada anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama sebagai pegangan hidup.

Ia pun memperingatkan agar kabuyutan di Galunggung dijaga dan dipertahankan, jangan sampai jatuh ke tangan orang Jawa, Baluk, Cina, Lampung, dan lain-lainnya. Menurutnya, barang siapa yang memperoleh kabuyutan di Galunggung, ia akan memeroleh kesaktian bertapa, akan unggul dalam peperangan, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia dan makmur.

Dari keterangan tersebut, dapatlah dipahami bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dan keramat lebih penting dibandingkan dengan, misalnya, upacara penobatan raja. Kabuyutan ini berfungsi sebagai tempat orang-orang terpelajar menulis naskah-naskah kuno, tempat berdoa dan menuntut ilmu agama.

Kawali sebagai Ibu Kota Baru

Dharmasiksa kemudian digantikan oleh Prabu Ragasuci yang memindahkan ibukota ke Saunggalah (sekitar Kuningan); karena itu ia dikenal juga sebagai Rakeyan Saunggalah. Ragasuci memerintah dari 1297-1303.

Selanjutnya, ia digantikan oleh Citragandha yang lagi-lagi olehnya ibukota berpindah kembali ke Pakuan. Citragandha memerintah selama 8 tahun (1303-1311), dan setelah wafat bergelar anumerta Sang Mokteng Tanjung (Yang Dikebumikan di Tanjung).

Yang lalu naik takhta adalah anak Citragandha bernama Prabu Linggadewata. Oleh Linggadewata, pusat pemerintahan dipindahkan, untuk pertama kalinya, ke Kawali (bukan Pakuan, bukan Saunggalah), di mana ia berkuasa selama 22 tahun (1311-1333). Ia dipusarakan di Kikis, dan karena itu digelari Sang Mokteng Kikis. Karena tak memiliki anak lelaki, Linggadewata digantikan oleh menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa.

Raja yang menikah dengan anak perempuan Linggadewata yang bernama Rimalestari (disebut juga Uma Lestari atau Ratu Santika) ini, memerintah di Kawali juga, dari tahun 1333 hingga 1340. Setelah meninggal ia bergelar Sang Mokteng Kiding.

Anaknya, Sang Prabu Ragamulya Luhurprabhawa, kemudian memegang tampuk pemerintahan selama 10 tahun (1340-1350) di Kawali. Raja ini yang dikenal juga sebagai Sang Aki Kolot ini, setelah wafat digantikan oleh anaknya, Lingga Bhuwana Wisesa yang memerintah di Kawali juga.

Susuktunggal, Uwak dan Mertua Sri Baduga

Selama ibukota berada di Kawali (juga Saunggalah), di Pakuan tentunya terdapat beberapa pejabat sebagai wakil raja. Selama seabad lebih, sejak Linggadewata tahun 1311 hingga Niskala Wastukancana tahun 1475, pusat pemerintahan Kerajaan Sunda dan Galuh berada di Kawali (kini termasuk wilayah Ciamis).

Oleh Niskala Wastukancana, Kerajaan lalu dibagi menjadi dua wilayah. Sebelah barat, yakni Pakuan, untuk Susuktunggal; dan sebelah timur, Galuh-Kawali, untuk Dewa Niskala. Dengan demikian, terdapat dua negara yang sederajat di kawasan Parahyangan.

Prabu Susuktunggal (Sang Haliwungan) merupakan anak pertama Wastukancana dari permaisuri pertama, Nay Ratna Lara Sarkati, anak dari Resi Susuklampung. Sementara itu, Dewa Niskala (Ningratkancana) lahir dari istrinya yang kedua, yakni Nay Ratna Mayangsari, putri sulung Bunisora.

Susuktunggal memerintah di Sunda-Pakuan selama 100 tahun (1382-1482). Dengan begitu, ia telah memerintah ketika ayahnya, Wastukancana, belum lama memerintah Sunda; bahkan meninggalnya pun cuma berselang 7 tahun dengan sang ayah.

Menurut Carita Parahyangan, selama menjadi raja di Pakuan, Susuktunggal pernah mengurug ( nyaeur ) Rancamaya karena merupakan tempat tinggal Sang Udugbasu, tokoh mitos yang suka mengganggu tanaman padi menurut cerita Sulanjana.

Di Bali nama Udugbasu ini selalu disebut mantram atau doa yang dipersembahkan kepada Dewi Sri, sang pelindung padi). Rancamaya sendiri terletak di sebelah selatan-barat Pakuan.

Sementara itu, saudara Susuktunggal, yaitu Ningratkancana memerintah di Galuh selama 7 tahun (1475-1482) dengan gelar Prabu Dewa Niskala. Pemerintahan “dwitungggal” Susuktunggal-Ningratkancana ini diperkokoh oleh perkawinan kedua anak mereka.

Susuktunggal memunyai anak gadis bernama Kentring Manik Mayangsunda yang dinikahi oleh sepupunya sendiri, yakni anak Ningratkancana bernama Jayadewata alias Sri Baduga.

Namun, hubungan Susuktunggal dengan Dewa Niskala sempat memanas ketika Dewa Niskala menikahi “perempuan larangan”, yang berasal dari Jawa dan telah bertunangan pula.

Susuktunggal pun mengancam akan memutuskan hubungan Pakuan dengan Galuh karena menilai saudaranya itu telah membuat cela keluarga. Tetapi, ketegangan tersebut dapat diatasi dengan keputusan yang cukup bijak: kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri sebagai raja.

Prabu Susuktunggal menyerahkan takhta Kerajaan Sunda kepada Jayadewata, menantu sekaligus keponakannya, setelah memerintah selama seratus tahun, tahun 1382-1482 M (menurut Carita Parahyangan ). Dewa Niskala pun menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada puteranya, Jayadewata atau Sri Baduga.

Dengan begitu, kerajaan kembar warisan Niskala Wastukencana kembali berada dalam satu tangan, yang tak lain adalah cucunya sendiri, Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan sejak tahun 1482. Di bawah kekuasaan Sri Baduga ini, Kerajaan Sunda mengalami kejayaannya dengan “nama ibu kota baru”, Pajajaran.

Daftar Raja-raja Kerajaan Sunda-Pakuan (dan Galuh)

  1. Maharaja Tarusbawa, Tohaan ri Sunda (669-723 M), Pakuan.
  2. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri, cucu Tarusbawa (723-732 M), Pakuan-Galuh.
  3. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban atau Raden Barmawijaya (732-739 M), Pakuan-Galuh.
  4. Rakeyan Banga atau Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya (739-766 M).
  5. Rakeyan Medang atau Prabu Hulukujang (766-783 M).
  6. Rakeyan Hujung Kulon atau Prabu Gilingwesi, menantu Hulukujang (783-795 M).
  7. Rakeyan Diwus atau Prabu Pucukbhumi Dharmeswara, menantu Gilingwesi (795-819 M).
  8. 8Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (di Pakuan dari 819-891 M dan di Galuh dari 842-891).
  9. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana, adik-ipar Rakeyan Wuwus (891-895 M).
  10. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana (895-913 M).
  11. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujungcariang (913-916 M).
  12. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
  13. Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
  14. Limburkancana atau Sang Mokteng Galuh Pakwan, putra Pucukwesi (954-964 M).
  15. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru (964-973 M).
  16. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
  17. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
  18. Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan (1012-1019M), Galuh.
  19. 1Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa (1019-1042).
  20. Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana (1042-1064).
  21. Prabu Langlangbhumi atau Sang Mokteng Kreta (1064-1154).
  22. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah (1154-1156).
  23. Prabu Dharmakusumah atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175).
  24. Prabu Guru Dharmasiksa atau Paramartha Mahapurusa atau Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
  25. Rakeyan Saunggalah atau Prabu Ragasuci atau Sang Mokteng Taman (1297-1303).
  26. Prabu Citragandha atau Sang Mokteng Tanjung (1303-1311).
  27. Prabu Linggadewata atau Sang Mokteng Kikis (1311-1333), Kawali.
  28. Prabu Ajiguna Linggawisesa atau Sang Mokteng Kiding (1333-1340), Kawali.
  29. Prabu Ragamulya Luhurprabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
  30. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat (1350-1357 M), Galuh.
  31. Patih Mangkubhumi Suradipati atau Prabu Bunisora atau Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora atau Sang Mokteng Geger Omas (1357-1371), Galuh.
  32. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang (1371-1475), Kawali.
  33. Sang Haliwungan atau Prabu Susuktunggal (1382-1482 M), Pakuan.

Kehidupan Masayarakat Sunda Pada Masa Kerajaan

A. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda

Penemuan-penemuan sejumlah bangunan Megalit mengindikasikan bahwa rakyat Sunda kuno cukup religius. Sebelum pengaruh Hindu dan Buddha tiba di Pulau Jawa, masyarakat Sunda telah mengenal sejumlah kepercayaan, seperti terhadap leluhur, benda-benda angkasa dan alam seperti matahari, bulan, pepohonan, sungai, dan lain-lain.

Pengenalan terhadap teknik bercocok tanam (ladang) dan beternak, membuat masyarakat percaya terhadap kekuatan alam. Untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas karunia yang diberikan oleh alam, mereka lalu melakukan upacara ritual yang dipersembahkan bagi alam. Karena itu, mereka percaya bahwa alam beserta isinya memiliki kekuatan yang tak bisa dijangkau oleh akal dan pikiran mereka.

Dalam melaksanakan ritual atau upacara keagamaan, masyarakat prasejarah itu berkumpul di komplek batu-batu besar (megalit) seperti punden-berundak (bangunan bertingkat-tingkat untuk pemujaan), menhir (tugu batu sebagai tempat pemujaan), sarkofagus (bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati), dolmen (meja batu untuk menaruh sesaji), atau kuburan batu (lempeng batu yang disusun untuk mengubur mayat)

Bangunan-bangunan dari batu ini banyak ditemukan di sepanjang wilayah Jawa bagian barat. Dibandingkan dengan wilayah Jawa Tengah dan Timur, Jawa Barat paling banyak meninggalkan bangunan-bangunan megalitik tersebut.

Kehidupan yang serba tergantung kepada alam membuat pola hidup yang bergotong-royong. Dalam melakukan persembahan/penyembahan terhadap roh leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat prasejarah ini melakukannya secara bersama-sama. Yang memimpin upacara itu adalah mereka yang berusia paling tua atau dituakan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Pemimpin inilah yang berhak menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius lainnya dilakukan. Dialah juga yang dipercayai masyarakat dalam hal mengusir roh jahat, mengobati orang sakit, dan menghukum warganya yang melanggar nilai atau hukum yang diberlakukan.

B. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Sunda Masa Hindu-Buddha

Setelah kedatangan orang-orang India, masyarakat Sunda kuno mulai terpengaruh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha. Penemuan sejumlah arca-batu bercorak Hindu dan Buddha (meski dibuat sangat sederhana) menandakan bahwa mereka—terutama kaum bangsawan—memercayai dan mempraktikkan ajaran-ajaran Hindu-Buddha.

Meski jarang sekali ditemukan candi yang bercorak Hindu-Buddha, tak dipungkiri bahwa masyarakat Sunda Kuno—terutama keluarga raja—menganut agama-agama dari India itu, yang kemudian dipadukan dengan kepercayaan nenek-moyang mereka, yaitu Sunda Wiwitan.

Sejak masa Salakanagara dan Tarumanagara, raja-raja di Sunda memiliki gelar yang sangat kental warna Hindu maupun Buddha. Gelar “dewawarman” yang berarti “baju perisai dewa”, tentu mengacu kepada kepercayaan Hindu, selain karena pendiri Salakanagara berasal dari negeri India. Mereka begitu memuja dewa-dewa Hindu seperti Surya, Wisnu, dan Siwa.

Kehidupan agama masyarakat Sunda kuno dapat dilihat dari, misalnya, naskah Sanghyang Sisksakandang Karesian (disebut pula Kropak 603) yang ditulis pada 1518 atau Carita Parahyangan yang ditulis pada 1580 M. Berdasarkan naskah tersebut, terang sekali bahwa agama orang Sunda terdiri atas tiga kepercayaan utama, yaitu tradisi Sunda Wiwitan (Sunda asli) yang begitu memuja leluhur (hyang), Buddhisme, dan Hindu.

Oleh masyarakat Sunda, kepercayaan Buddha dan Hindu tersebut dipadukan yang cenderung lebih mengarah kepada Buddhaisme. Perpaduan kedua agama ini dapat dilihat dari doa (semacam “syahadat”) mereka yang diucapkan ketika upacara keagamaan berlangsung.

Doa tersebut berbunyi: “Hong kara nomo Sewaya, sembah ing hulun di Sanghyang Panca Tatagata”, yang artinya: “Ya Tuhan, segala perbuatan demi nama Siwa, sembahku kepada Sanghyang Buddha yang lima.”

Jelas sekali corak sikretisme dalam doa tersebut. Sanghyang Buddha yang 5 atau Dyani Buddha adalah posisi Buddha dalam bersemadi yang mengacu kepada arah mata angin, yakni :

  1. amogasiddha (utara);
  2. akshobya (timur);
  3. ratnasambhawa (selatan);
  4. amithabba (barat);
  5. wairocana (pusat/zenit).

Sementara itu, dalam Hindu pun terdapat lima dewa, disebut Batara Jagat atau Lokapala. Akan tetapi, para dewa tersebut tidak dianggap tuhan melainkan tunduk kepada Hyang (dewata bakti di Hyang). Maka dari itu dikatakan, “Sing para dewata kabeh pada bakti ke Batara Seda Niskala” (Semua dewa tunduk kepada Batara Seda Niskala). Adapun kelima dewa tersebut adalah :

  1. Wisnu (utara);
  2. Isora/Iswara (timur);
  3. Mahadewa (selatan);
  4. Bratha (barat);
  5. Siwa (tengah).

Agama Buddha yang berkembang di Jawa Barat (dan juga di kerajaan-kerajaan kuno lainnya di Nusantara) adalah Buddha Mahayana. Pada abad ke-7, Sriwijaya bahkan merupakan pusat studi Buddha Mahayana di sekitar Asia Timur-Tenggara.

Mahzab Mahayana ini menitikberatkan kepada usaha saling membantu antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa (nirvana), berbeda dengan Buddha Hinayana yang lebih bersifat individualistis dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan Thailand; namun kemudian tak berkembang dan lebih dulu menghilang.

Sebaliknya, aliran Mahayana ini kemudian terpengaruh oleh Hinduisme, yang mengakibatkan makin menjauhnya ajarannya dari ajaran Siddharta Gautama sendiri.

Dalam Buddha Mahayana akhirnya mengenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa, surga dalam artian tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang patut disembah.

Penyelewangan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme dari semangat Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha aslinya tak mengenal adanya tuhan, tak mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa layaknya dalam Hindu. Maka dari itu, di India sendiri ajaran Buddha menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara

Ada pun, ajaran Hindu yang dianut oleh masyarakat, atau lebih tepatnya para raja-raja, Pasundan adalah aliran Waisnawa (Wisnu) dan Bairawa (Siwa). Penemuan patung-patung Wisnu dan Siwa di beberapa tempat di Jawa Barat membuktikan hal ini. Belum lagi bila kita melihat gelar raja-raja Sunda, Galuh, atau Pajajaran yang berbau Wisnu.

Sanjaya Sang Harisdarma, Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa, Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti, Guru Dharmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, merupakan raja-raja yang memakai gelar kewisnuan (Harisdarma, Hariwangsa, Wisnumurti). Dewa atau Batara Wisnu sendiri adalah dewa yang memelihara perdamaian di bumi dari kehancuran yang disebabkan oleh Dewa Siwa.

Dalam melaksanakan upacara/ritual keagamaan, masyarakat Kerajaan Sunda mempergunakan bangunan atau tempat yang telah ada, seperti punden berundak-undak atau babalayan, menhir, atau bangunan peninggalan budaya prasejarah Megalitikum yang memang banyak tersebar di Tatar Sunda.

Maka dari itu, di Jawa Barat jarang sekali ditemukan bangunan tempat ibadah atau pun tempat penyimpanan abu raja seperti candi yang banyak ditemukan di Jawa Tengah dan Timur.

Hal ini terjadi karena masyarakat Sunda adalah masyarakat peladang yang hidupnya cenderung nomaden, berpindah-pindah tempat. Sebagai komunitas nomaden, mereka merasa tak perlu membangun tempat-tempat suci (candi atau wihara) karena akan memakan waktu yang lama.

Lagi pula, mereka akan selalu berpindah tempat lagi untuk menemukan lahan baru guna dijadikan tempat berladang mereka yang baru. Bagi masyarakat Sunda kuno, bangunan megalitik itulah “candi” mereka. Maka dari itu, gaya hidup orang Sunda yang hidup di dataran tinggi dan bertradisi ladang, berbeda dengan orang Jawa yang memiliki tradisi sawah yang gaya hidupnya cenderung menetap.

Perpaduan unsur Buddha dengan Hindu rupanya menghasilkan “agama” baru, yakni Tantrayana, yang juga dianut oleh sebagian masyarakat Sunda, terutama kalangan atas yang status sosialnya tinggi.

Mahzab Tantrayana (pengikutnya disebut Tantris) terdapat dalam Buddhisme maupun Hinduisme. Sekte ini lahir di India pada tahun 600 Saka, dan lima puluh tahun kemudian menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatra). Tantra sendiri artinya adalah intisari, esensi, atau asal.

Dalam kepercayaan Tantrayana ini mengenal adanya laku meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah variasi lain yang bercorak Buddha dari apa yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni berupa lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari

Alat tersebut—bisa dibuat dari tanah, kain, pada dinding, logam, atau batu—harus digunakan oleh mereka yang mencari pelepasan dari rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali.

Penggunaan mandala/yantra ini biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (seperti tasbih atau rosario) oleh tangan kanan untuk menghitung mantra yang diucapkan. Di Jawa Barat, para penganut Tantra ini menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan megalitik.

Di Sriwijaya, aliran ini lebih dulu berkembang pada abad ke-7, ditandai adanya Prasasti Talang Tuo dan Kota Kapur yang berisi kutukan dan sumpah. Di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara.

Dewi Tara ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (syakti) pada Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai syahwat merupakan musuh terbesar manusia. Sementara itu, pada masa Raja Sindhok di Jawa Timur abad ke-10 telah disusun sebuah kitab yang menguraikan paham Tantra, yakni Sanghyang Kamahayanikan.

Di Sunda sendiri, diketahui sejumlah raja penganut Tantra di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana, raja terakhir Pajajaran). Prasasti Sanghyang Tapak (Cibadak) menyebutkan sejumlah sumpah dan kutukan “mengerikan” yang menyerukan supaya orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut diserahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya.

Selain kutukan-sumpah, Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra, dan samadi. Dalam Tantrayana Hindu, kesaktian Siwa dinilai bersifat wanita dan akhirnya dianggap sebagai istri Siwa sendiri. Munculnya unsur wanita ini mengakibatkan lahirnya kegiatan “hubungan intim” yang dianggap “suci” dan membawa manusia kepada “kebebasan jiwa” dalam upacara Tantrayana

Begitu pula dalam Tantrayana Buddha (Wajrayana), yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan Dyani Buddha. Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya.

Upacara Tantrayana ini semakin menyimpang dengan adanya penggunaan minuman keras oleh para pengikutnya. Minuman keras ini dimaksudkan untuk mempercepat “peleburan” diri kepada Unsur Asal. Mereka pun selalu mengutamakan makanan-makanan lezat dan mewah, yang jelas bertentangan dengan ajaran Buddha murni yang mengharamkan minuman keras dan hidup berfoya-foya.

Kemerosotan akhlak dan moral di kalangan istana dengan adanya praktik Tantrayana ini kelak mempercepat penyebaran Islam di dalam masyarakat Sunda. Belum lagi faktor bahwa dalam Buddha sendiri tak dikenal pengkastaan.

C. Kepercayaan terhadap Ajaran Leluhur

Seperti telah dikupas sedikit, bahwa pada masa nirleka (prasejarah) masyarakat Sunda begitu menjunjung tinggi (roh) para leluhur dan ajaran-ajarannya. Kepercayaan terhadap nenek moyang ini senantiasa dipelihara oleh mereka hingga berabad-abad kemudian setelah agama Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah mereka.

Jadi, walaupun pengaruh agama lain kuat terhadap kehidupan, masyarakat Sunda kuno tetap memegang teguh kepercayaan terhadap (ajaran) nenek-moyang. Naskah-naskah kuno begitu sering menyebutkan adanya kabuyutan, yakni tempat sakral yang diperuntukkan bagi kaum brahmana atau resi atau bagawat yang bertugas memelihara ajaran agama dan tempat suci itu sendiri.

Kabuyutan juga merupakan tempat di mana para pujangga (kauam intelektual) menulis kitab-kitab tentang agama. Prasasti Gegerhanjuang (1111 M) di Singaparna (Tasikmalaya), misalnya, menyebutkan adanya panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembangunan Kabuyutan Linggawangi di tempat bersangkutan.

Upaya raja-raja Sunda dalam membuat kabuyutan juga banyak diabadikan dalam naskah-naskah, salah satunya Amanat Galunggung (dikenal juga sebagai Kropak 632 atau Naskah Ciburuy). Di dalamnya diberitakan bahwa Prabu Dharmasiksa berpesan terhadap anak-cucunya agar memegang teguh ajaran agama dan menjaga Kabuyutan Galunggung.

Diperingatkannya bahwa kabuyutan tersebut jangan jatuh ke tangan orang non-Sunda, dan orang yang memelihara kabuyutan tersebut akan memeroleh kesaktian, unggul dalam perang, hidup akan lama, keturunannya akan bahagia.

Jelas, bahwa bagi raja-raja Sunda, fungsi kabuyutan sebagai kekuatan magis dinilai sangat penting, lebih penting dari, misalnya, lamanya sang raja memerintah. Dalam pandangan orang Sunda Kuno, kedudukan kabuyutan sejajar dengan nilai kemenangan dalam perang. Pada masa Sri Baduga, pemeliharaan terhadap kabuyutan ini tetap dilaksanakan.

Ia menyatakan, kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya dijadikan sebagai “desa perdikan”, yaitu desa yang dibebaskan dari pajak. Kabuyutan ini dibebaspajakkan karena jasa-jasanya terhadap negara dalam memelihari ajaran leluhur dan juga perintah raja.

Naskah Amanat Galunggung juga memuat ajaran agar senantiasa melaksanakan perintah nenek moyang (juga orangtua) serta menjaga apa-apa yang telah diperbuat oleh leluhur yang telah almarhum (suwargi).

“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan ajaran yang membuat parit di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para almarhum.”

Carita Parahyangan pun membeberkan, bahwa bila seseorang meninggalkan ajaran leluhur niscaya akan dihinggapi kesusahan dan penyakit batin. Sebaliknya, orang yang memelihara ajaran nenek moyang pasti akan senang lahir-batin

Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang-sejahtera di utara, barat, dan timur. Mungkin, faktor “menghormati leluhur” inilah yang menyebabkan ajaran Islam dapat diserap oleh mayoritas masyarakat Sunda.

Islam pun mengajarkan bahwa menghormati orang tua merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan; dan barang siapa yang selalu mendoakan arwah orangtua akan diberi pahala melimpah.

D. Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Sunda

Budaya bersawah memang kemudian dikenal pada masa Pajajaran. Namun, area persawahan pada masa itu pun hanya berada di wilayah yang berdekatan dengan kota Pakuan. Sedangkan masyarakat Sunda pada umumnya, di luar Pakuan, tetap bekerja sebagai peladang.

Pola hidup masyarakat Sunda Kuno adalah berladang. Komunitas peladang ini hidupnya cenderung berpindah-pindah atau nomaden.

Masa tinggal mereka di suatu tempat disesuaikan dengan masa berladang yang relatif singkat, yang tak memerlukan teknik irigasi.

Maka itu, mereka tak merasa perlu untuk membangun tempat tinggal untuk didiami selama-lamanya. Karenanya, hingga kini jarang sekali ditemukan bangunan-bangunan kuno peninggalan masa Sunda-Galuh (apalagi masa Salakanagara dan Tarumanagara) seperti biara atau candi.

Jangan heran pula, kenapa istana di Pakuan, yang dalam cerita-cerita pantun dan babad dilukiskan begitu megah, tak meninggalkan jejak-jejaknya.

Tak seperti candi-candi di Sumatra dan Jawa yang terbuat dari batu bata dan batu-batu kali yang diukir dengan ornamen-ornamen yang sangat detail, istana Pakuan ini hanya terbuat dari tanah liat dan batu-batu yang dijejerkan. Tak ada relief-relief yang rumit di dalam istana maupun sekitar gerbang Pakuan.

Para petani menggarap sawah mereka untuk keperluan orang-orang di kota Pakuan semacam bangsawan, kawula istana, dan keluarga raja. Hasil sawah dan juga ladang lalu diperjualbelikan di pasar yang terletak di alun-alun depan gerbang Pakuan.

Sistem persawahan baru dikenal luas oleh masyarakat Sunda ketika Singaperbangsa (keturunan Adipati Kertabumi yang diangkat Sultan Agung menjadi wedana) bersama Ki Wirasaba dari Banyumas menjaga perbatasan wilayah kekuasaan Mataram di sebelah barat Priangan.

Singaperbangsa juga Ki Wirasaba ditempatkan di Waringin Pitu dan Tanjungpura, Karawang, dan diberi tugas mengawasi 2.000 orang Jawa yang dibawa ke Karawang untuk mengolah sawah. Singaperbangsa diharuskan mengurus pengangkutan hasil panen sawah. Dengan demikian, orang Mataram-lah yang memperkenalkan tradisi sawah di Tatar Sunda.

Pada Prasasti Kabantenan kita mengetahui bahwa Sri Baduga membebaskan penduduk Jayagiri dan Sunda Sembawa dari empat macam pajak (dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dondang). Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebelum Sri Baduga berkuasa, masyarakat Sunda telah lama dikenai kewajiban membayar pajak terhadap negara.

Tak ada keterangan pasti, sejak kapan keharusan “membayar” pajak ini diberlakukan terhadap masyarakat Sunda. Yang jelas, dalam Pustaka Jawadwipa, pada masa Tarumanagara pada abad ke-5 rakyat sudah melakukan aktivitas karyabhakti, semacam gotong royong.

Sangat memungkinkan bila karyabhakti ini merupakan bentuk pengabdian rakyat terhadap raja-raja Tarumanagara. Rakyat melakukannya untuk kepentingan umum atas perintah penguasa. Dengan begitu, bisa jadi “gotong royong” ini sebenarnya pajak juga meski diwujudkan dalam bentuk tenaga, bukan berupa barang/komoditas pertanian. Bentuk kerja bakti ini kemudian berlanjut pada masa Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran, yang ditambah dengan pajak komoditas.

Naskah-naskah seperti Kropak 630 dan Kropak 406 sangat jelas menyebutkan adanya pajak tersebut. Kropak 630 menyebutkan pajak tersebut adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma. Kropak 406 memberitakan bahwa penduduk Kandang Wesi harus membawa “kapas sapuluh carangka” sebagai upeti ke Pakuan per tahunnya. Kapas, sebagai salah satu komoditas pertanian terpenting Sunda, ini dibebankan kepada penguasa setempat, tidak kepada tiap-tiap orang.

Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian dapat diperoleh informasi bahwa raja-raja Sunda memiliki wewenang untuk menyuruh rakyatnya “gotong royong” guna kepentingan kerajaan. Ini tak lain adalah bentuk pajak tenaga juga, yakni dalam bentuk dasa dan calagra.

Rakyat diwajibkan untuk bekerja di ladang, sawah, serang besar (ladang milik kerajaan yang hasilnya dipersembahkan untuk upacara-upacara resmi), mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan (ngikis), menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring, serta kewajiban lainnya untuk kepentingan negara.

Dan ketika mengerjakan perintah dari negara ini, rakyat “diharapkan” jangan marah-marah, jangan pura-pura mau, jangan resah, jangan uring-uringan; sebaliknya harus dikerjakan dengan senang hati, tanpa pamrih. Kropak 630 menyebutkan bahwa para petani yang melaksanakan pajak harus tunduk kepada wado atau wadwa (prajurit negara yang memimpin pelaksanaan calagara). Pajak dasa dan calagra ini di Majapahit dikenal sebagai walaghara, berarti “pasukan kerja bakti”.

Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut hingga zaman kolonial. Belanda, yang di negaranya tidak mengenal sistem ini, memanfaatkannya untuk kerja rodi. Oleh pemerintah Hindia Belanda, dasa disulap menjadi Heerendiensten (bekerja di tanah milik penguasa/pembesar).

Calagara diubah menjadi Algemeenediensten (Dinas Umum) atau Campongdiesnten (Dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, dan keamanan. Jenis Heerendiensten dilakukan tanpa imbalan, sedangkan jenis Algemeenediensten dan Campongdiesnten dilakukan dengan imbalan dan makan. Preangerstelsel dan Cultuurstelsel sebagai sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga yang sudah berlaku sejak zaman Pajajaran.

Pada akhir abad ke-19 pajak tenaga berubah bentuk menjadi lakon gawe dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang mengabaikannya.

Dari sinilah orang Sunda memiliki peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekadar untuk menghindari dendaan/hukuman). Bentuk dasa sebetulnya tetap berlangsung hingga kini dalam bentuk lain.

Di desa ada kewajiban gebagan, yaitu bekerja di sawah bengkok, dan di tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.