almanak

Kapal Jung dan Pelaut-Pelaut dari Jawa

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa.

PublishedFebruary 26, 2009

byDgraft Outline

Kapal Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Kapal Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau.

Kapal Jung (kadang disebut jong ) adalah salah satu jenis kapal atau perahu yang pernah berjaya di lautan Nusantara, Asia Tenggara, bahkan Samudra Hindia hingga Madagaskar dan Afrika.

Perahu jong diproduksi oleh orang Jawa, dan selalu memenuhi pelabuhan-pelabuhan besar yang tersebar di Nusantara, bareng kora-kora buatan orang Banda, lancang ( lanchara dalam tulisan Portugis) buatan orang Melayu, dan pinisi buatan orang Bugis, dan padekawang buatan orang Makassar. Jong, dan semua jenis kapal ini, berfungsi ganda: perahu perang dan perahu dagang.

Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar. Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia.

Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.

Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Lebih celaka lagi, raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan. Apa boleh buat, kejayaan jung Jawa hanya tinggal kenangan.

Table of contents

Open Table of contents

Kapal Jung dan Perjalanan Bujangga Manik

Selama ini, kita mengetahui keberadaan perahu jong dari kesaksian dan kronik-kronik Cina, Portugis, dan Belanda. Pada abad ke-15 dan ke-16, orang Eropa menulisnya junco. Namun, ternyata bangsa kita pun pernah menulis perihal jong ini—malah lebih rinci.

Salah seorang saksi yang menulis bentuk fisik jong adalah tokoh utama dalam naskah Bujangga Manik yang ditulis setelah tahun 1475 dan sebelum 1511 M (berdasarkan keterangan implisit si tokoh bahwa Kerajaan Demak telah ada dan Kerajaan Malaka belum didatangi Portugis). Kesaksian tokoh Bujangga Manik bisa melengkapi pengetahuan kita tentang “perahu bercadik” pada relief Candi Borobudur.

Tokoh utama, sebut saja Bujangga Manik, adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda dari Pakuan (sekitar Bogor, Jawa Barat) yang aslinya bernama Pangeran Jaya Pakuan dan berniat menjadi pertapa dan berkelana ke perbagai tempat suci di Jawa dan Bali. Pada perjalanan pertamanya, setelah tiba di Pamalang (Pemalang, Jawa Tengah), bangsawan ini menaiki perahu jong ke Kalapa (Sunda Kelapa di Jakarta) karena rindu pada sang ibu.

Saat perjalanan kedua, setelah menempuh pelbagai gunung, sungai, dan sejumlah wilayah administratif melalui jalur utara Jawa (semacam jalur Pantura kini), ia tiba di Balungbangan (Blambangan, Jawa Timur) dan naik perahu jenis yang sama menyeberang ke Bali.

Dari Bali ia naik kapal kembali lalu mendarat di Balungbangan kembali dan melanjutkan perjalanan melalui jalur selatan Pulau Jawa dan akhirnya menetap di Gunung Patuha (di Jawa Barat) hingga akhir hayatnya menjadi pertapa.

Nah, sekarang mari kita ikuti perjalanan Rakeyan Ameng Layaran (nama samaran Bujangga Manik saat berlayar) yang saleh ini saat menyeberangi Selat Bali menuju Pulau Dewata, dengan naik jong. Sebagai seorang pertapa ( ameng ) sekaligus ahli falak ( bujangga ), ia disambut oleh ki puhawang alias kapten kapal bernama Selabatang dengan ramah.

Maka, naiklah Bujangga Manik melalui pintu palka lalu duduk di dalam kabin. Dari kabin, pertapa ini langsung tertarik kepada penampilan perahu jong yang berbahan kayu jati berukir, hulunya berhiasan kepala naga dan melengkung hingga buritan (seperti layaknya jenis-jenis perahu lain di Nusantara).

Kayu penyangga dari bambu gombong (sejenis bambu dengan batang besar) dan tiangnya dari kayu juwana. Perlu disebutkan, bahwa pada saat itu Juwana merupakan satu dari banyak wilayah di pesisir utara Jawa, terutama Jawa Tengah, yang menghasil kayu jati yang memang digunakan sebagai bahan dasar kapal.

Sang Bujangga asyik menerangkan bahwa penggulung layar perahu terbuat dari aur kuning (sejenis bambu yang sangat kuat), lantainya dari kayu enau tua dan beralaskan aur seah (sejenis bambu juga). Kemudinya kemudi Keling (mungkin diadopsi dari Keling/India).

Tiang layar dari kayu laka dan bercat merah, dihiasi ikatan-pembuka dari rotan hitam yang bercampur rotan kuning. Tali penyangga layar dari kenur Cina. Dayungnya gemerlap mengkilap-kilap bagai cermin. Pendayungnya berjumlah duapuluh lima di setiap sisi perahu. Jika begitu, jumlah keseluruhan para pendayung adalah 50 orang.

Beres menjelaskan fisik jong, Bujangga Manik melirik kepada awak kapal. Ia mencatat bahwa para pendayung adalah orang Marus (Baros di Sumatra Utara?), para pengayuh orang Angke (di Jakarta?), penanggung jawab layar orang Bangka, kepala kelasi orang Lampung, juru kemudi orang Jambi, juru panah orang Cina, juru sumpit orang Melayu, juru tarung orang Salembu (belum teridentifikasi), juru perang orang Makassar, juru sergap orang Pasai.

Rupanya kapal yang ditumpangi Bujangga Manik ini adalah jong dagang yang wajib dikawal oleh “seksi keamanan” yang siap dengan panah, sumpit, dan senjata tajam lainnya juga oleh mereka yang siap menyergap dan bertarung bila kelak dihadang para perompak di tengah samudra yang terkenal ganas itu.

Ameng Layaran dengan jeli memerhatikan mereka yang bertugas menimba air agar beban perahu stabil yang di antaranya adalah wanita, dengan alat timba dari gayung perak. Ia mencatat bahwa dinding kabin terbuat dari daun nipah, dengan tiang pembalut dinding kabin tegak lurus.

Dan saat layar jong dikembangkan, ia menrdengar letusan bedil sebanyak tujuh kali, yang diikuti oleh alunan sarunay (seruling), gong, gamelan, gong kuning, dan gendang yang diiringi nanyian para awak kapal dengan sangat meriah.

Setelah seharian penuh membelah Selat Bali, sampailah Bujangga Manik di “Nusa Bali” dan menyerahkan bingkisan berupa kain kepada nakkoda Selabatang (rupanya sang nakhoda menggratiskan Bujangga Manik atas biaya pelayaran, karena memandang bahwa pertapa haruslah dihormati). Jika kita perhatikan, Bujangga Manik ini layaknya wisatawan domestik kini yang sedang berlibur bertamasya ke Pulau Dewata.

Sayang, Bujangga Manik tak menceritakan panjang dan lebar perahu. Namun, saat naik jong dari Bali ke Balungbungan, ia menerangkan bahwa kapal yang ia tumpangi dan hendak ke Pariaman (di Sumatra Barat), berukuran tak terlalu besar, dengan lebar delapan depa (sekitar 13 m) dan panjang duapuluh lima depa (sekitar 40 m).

Dengan begitu kita bisa menganggap bahwa jong yang ia naiki sebelumnya lebih besar dari jong saat ia kembali ke Balungbangan. Dan karena, Bujangga ini tidak menyebutkan kata “cadik” maka kita bisa menganggap bahwa jong yang ia tumpangi tidak bercadik.

Itulah gambaran yang diberikan Bujangga Manik atas jong yang ia tumpangi. Jelas, uraiannya sejalan dengan kesaksian pelaut Cina dan Eropa, yang menurut mereka jong ini pada abad ke-16 memegang peranan penting dan menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka, dan Makassar.

Tatkala mencapai perairan Asia Tenggara awal abad itu, pelaut Portugis menemukan kawasan tersebut didominasi jong-jong yang menguasai jalur perdagangan rempah- rempah antara Maluku, Jawa, dan Malaka.

Pada abad ke-16, Malaka yang dikuasai Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque dikepung oleh ratusan kapal junco yang diawaki pasukan gabungan Demak-Aceh-Palembang. Portugis menembaki jong-jong itu, namun meriam terbesar Portugis pun hanya mampu menembus dua lapis dinding junco.

Saat mendekati junco, mereka bahkan tidak mampu mencapai jembatannya karena kapal junco sangat tinggi. Jelas, besar jong melebihi kapal Portugis. Sumber Cina dari periode abad ke-5 hingga ke-7 menyebutkan bahwa kapal-kapal kayu yang dibuat di Nusantara panjangnya sekitar 162 kaki (43 m).

Sementara, hasil rekontruksi terhadap penemuan puing-puing kapal di Palembang menunjukkan bahwa kapal itu memiliki panjang sekitar 65 hingga 70 kaki (20-21 m) dan bahwa itu merupakan bangkai perahu tanpa cadik, yang dianggap cikal bakal perahu jong. Hal ini berkesesuaian dengan model perahu Nusantara yang terpahat pada relief Candi Borobudur, yang dianggap sebagai nenek moyang dari jong.

Jong Jawa berbeda dengan jung Cina, karena jong Jawa disatukan dengan pasak kayu, sedangkan jung Cina disatukan dengan paku besi dan pengapit. Dua penziarah Cina yang sempat menaiki jong dari Sumatra menuju India menceritakan, panjang kapal 160 kaki (sekitar 49 m) dan memiliki beban sekitar 600 ton.

Kapal itu dibuat dengan beberapa lapis papan, tidak menggunakan besi sebagai penguat, papan itu diikat dengan menggunakan serat pohon aren (enau), dan dipasangi tiang-tiang dan layar.

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa.

Orang Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi. Mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Tionghoa lebih berhak atas penghargaan tersebut, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa.

Demikian tulis Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645. Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar.

Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. “Mereka mengaku keturunan Jawa,” kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.

Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut. Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada.

Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain.

Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain.

Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin dengan Chemano hingga seluruh Jawa.

Dalam perkembangannya hingga sekarang, pelabuhan-pelabuhan tersebut ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut bahkan sudah tidak dapat dikenali lagi secara pasti.

Menurut John Joseph Stockdale dalam bukunya Island of Java, keadaan di Jawa Barat pada tahun 1775 – 1778, hanya ada tiga pelabuhan yaitu Banten, Batavia, dan Cheribon. Keadaan ini sangat berbeda dengan pemberitaan Tomé Pires.

Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik – belakangan disebut sebagai “Kapal Borobudur”.

Etimologi

Banyak pendapat menyebutkan, Istilah jung berasal dari kata chuan dari bahasa Mandarin yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan pengucapan dari chuan menjadi jung nampaknya terlalu jauh. Yang lebih mendekati adalah “jong’ dalam bahasa Jawa yang artinya kapal.

Kata jung dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke 9. Undang-undang laut Melayu yang disusun pada abad ke-15 juga menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang. Yang jelas berasal dari sebuah bahasa di Tiongkok adalah kata wangkang yang artinya kurang lebih sama dengan jung.

Konstruksi kapal jung

Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip.

Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.

Gambaran tentang jung Nusantara secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Nusantara sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.

Pelaut Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515) mengatakan bahwa “Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Nusantara.”

Disebutkan, jung Nusantara memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis.

Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Nusantara untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisak dikatakan, kapal jung Nusantara ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.

Perahul Borobudur

Purahu Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus ratus tahun sebelum abad ke-13. Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung.

Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14 mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara.

Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.

Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.

Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis.

Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisak dikatakan, kapal jung jawa ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.

“Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa.” tulis pelaut Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515).

Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dedengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.

Jung: Raksasa Penguasa Laut

Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi.

Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.

Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara mendominasi pelayaran dagang di Asia.

Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.

Kapal Borobudur telah memainkan peran utama dalam segala hal dalam bahasa Jawa pelayaran, selama ratusan ratus tahun sebelum abad ke-13. Memasuki abad ke-8 awal, kapal Borobudur digeser oleh Jung besar Jawa, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis disebut juncos, pelaut Italia disebut zonchi.

Kata “Jung” digunakan pertama kali dalam perjalanan biksu Odrico jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14, mereka memuji kehebatan kapal Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dari karya kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.

Banyak pendapat menyebutkan, Istilah jung berasal dari kata chuan dari bahasa Mandarin yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan pengucapan dari chuan menjadi jung nampaknya terlalu jauh.

Yang lebih mendekati adalah “jong’ dalam bahasa Jawa dan beberapa berpendapat dari kata jungkung. Kata jong dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke 9.

Undang-undang laut Melayu yang disusun pada abad ke-15 juga menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang sedangkan Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai atau pantai ada dugaan teknologi kapal jung dipelajari bangsa China dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya.

Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang dikatakan fenomenal, para penjelajah laut Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia.

Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.

Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 M) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645. Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan bahwa: “Orang Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi.

Mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Tionghoa lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa.”

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Nusantara. Kapal dagang milik orang Nusantara ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Nusantara.

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cortesao, 1967: 170-173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa.

Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar.

Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus.

Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain.

Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin dengan Chemano hingga seluruh Nusantara.

Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jung yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu dari Nusantara yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu.

Bukti kepiawaian orang Nusantara dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik – belakangan disebut sebagai “Kapal Borobudur”.

Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan para pelaut Nusantara. Para pelaut Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.

Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal.

Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.

Para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Nusantara hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Lebih celaka lagi, raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan. Apa boleh buat, kejayaan jung Nusantara hanya tinggal kenangan.

Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.

Cerita Jong (Jung) dan Relief Kapal di Candi Borobudur

Pahatan relief kapal yang terdapat di candi Borobudur merupakan saksi bisu rancangan kapal Indonesia yang terkenal. Seperti dalam kasus sejarah lainnya perbedaan adalah sesuatu hal yang wajar selama berdasarkan pada fakta sejarah, bahkan tidak semua orang sepakat akan maksud dalam relief candi Borobudur.

Mookerji berpandangan bahwa relief kapal pada candi Borobudur merupakan relief kapal India, namun sekarang ini pendapat tersebut sudah terbantahkan. Addrian Horridge berpendapat bahwa kapal-kapal yang terpahat pada relief candi Borobudur adalah cikal bakal dari kora-kora. James Hornell berpendapat bahwa kemungkinan merupakan kerabat dekal kapal bercadik bertiang dua dari Jawa yang pahatannya ada di Borobudur.

Anthony Christie menganggap bahwa kapal yang diceritakan oleh Gaspar Correia merupakan kapal-kapal yang terpahat di Candi Borobudur dan merupakan nenek moyang dari jong yang berlayar perlahan dan bertahan dari tembakan meriam.

Arkeolog sampai saat ini masih tetap berusaha untuk menggali sisa-sisa peninggalan masa lampau yang berupa puing-puing kapal peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia. Peninggalan tertua dari hasil penggalian yang ditemukan adalah sisa-sisa perahu papan yang ditemukan di Pontianak di ujung barat daya Semenanjung Malaya, yang setelah dilakukan pengukuran dengan menggunakan metode karbon diperkirakan berasal dari abad ke- 3 M sampai ke- 5 M.

Bagian-bagian perahu sejenis telah ditemukan di Thailand Selatan, dan berdasarkan bukti-bukti yang ada keduanya menunjukan berasal dari waktu yang sama. Temuan lain mengenai perahu yang ada di nusantara ada di Palembang, berdasarkan bukti hasil temuan diperkirakan berasal dari abad ke 5 – 7 M, atau diperkirakan dari masa kerajaan Sriwijaya.

Sumber dari dinasti Cina menyebutkan tentang adanya kapal-kapal yang digunakan dalam pelayaran di kepulauan nusantara panjangnya setara dengan 162 kaki; tetapi sampai saat ini belum ditemukan bukti arkeologi yang dapat memperkuat keterangan dari dinasti Cina.

Berdasarkan hasil temuan arkeologi ada hal yang menarik dalam pembuatan kapal-kapal zaman Indonesia kuno, hasil peneman menunjukan bahwa bentuk-bentuk papan bersilang, diikat dengan plat sambung, dan teknik pasak digunakan dalam kontruksi di Indonesia.

Hasil temuan lain di Palembang dan Sambirejo, Sumatra Selatan, berupa kemudi setengah lingkaran sepanjang 27 kaki dan masing-masing berukuran panjang 20 kaki hampir sama dengan kemudi perahu yang dipergunakan pada masa sekarang.

Rekonstruksi hasil temuan beberapa serpih di Sambirejo menghasilkan sepanjang 47 kaki, dari kapal yang diperkirakan memiliki bentuk sampit dan panjang 65 hingga 70 meter. Perahu yang ditemukan diperkirakan berupa perahu tanpa cadik, dan hasil temuan tersebut sangat berarti bagi sejarah pelayaran bangsa Indonesia, karena pada masa tersebut tidak ditemukan sisa-sisa kapal kuno di India Selatan.

Sisa-sisa penemuan kapal yang ditemukan di Sambirejo berbentuk ramping dan kemungkinan serupa dengan perahu bercadik yang mampu melaju kencang yang disebut kora-kora, dapat digunakan sebagai kapal perang. Pada abad ke 16 M di Filipina dan Maluku setiap pemimpin memiliki armada kapal tersendiri, setatus pemimpin tergantung kepada banyaknya budak yang dimiliki.

Setiap kapal didayung oleh sekitar 300 orang yang duduk berurutan pada setiap samping kapal. Kapal-kapal didukung oleh prajurit bersenjata tombak, sampit, panah dan pedang yang ditempatkan di lantai yang lebih tinggi.

Perahu dikendalikan oleh juru kemudi dengan dibantu oleh layar miring berbentuk segi empat yang dinaikkan dengan tiang berkaki tiga sehingga kapal dapat melaju dengan kencang di permukaan air. Batang tinggi pada buritan dibuat melengkung ke atas dan pada setiap ujung dihiasi pita-pita, yang menarik dari kapal adalah dihiasi oleh kapal-kapal musuh yang berhasil ditaklukkan.

Sisa-sisa peninggalan kapal yang berhasil ditemukan di Palembang diperkirakan berasal dari kapal tanpa cadik, yang kemungkinan cikal bakal kapal jong Indonesia yang terkenal, dan dipergunakan sebagai kapal barang sampai abad ke 16. Meskipun nama kapal tersebut seperti nama kapal Cina “jung”, namun jong merupakan kapal yang dirancang oleh bangsa Nusantara, dan jika cikal bakal kapal pelayaran antara samudera berjalan, mungkin jong Indonesia lebih tua dari jung Cina.

Kapal-kapal tersebut memiliki perbedaan dalam beberapa hal, misalnya papan-papan jong disatukan dengan menggunakan pasak dari kayu, sedangkan jung disatukan dengan menggunakan paku-paku besi dan pengapit.

Jong memiliki kemudi quarter – merupakan ciri khas yang menonjol pada perahu yang ada di Nusantara sedangkan “jung” dikendalikan dengan menggunakan kemudi yang ditempatkan di buritan, dan dianggap sebagai pengembangan kemudi kapal yang dilakukan oleh bangsa Cina.

Terdapat teknik yang luar biasa dalam pembuatan kapal yang digunakan oleh orang-orang Indonesia maupun Cina. Jong, seperti halnya kapal Cina, memiliki badan kapal dengan ketebalan empat bahkan mungkin enam lapis kayu, selubung pelapis luar baru diletakkan di atas kayu-kayu tersebut ketika mulai lapuk. Badan kapal setebal 6 – 8 inci, membuat jung maupun jong benar-benar sempurna dalam pelayaran.

Tenik pembuatan kapal jung dipastikan dipelajari oleh bangsa Cina dari bangsa Indonesia, mengingat Cina belum mempunyai kapal yang bisa mengarungi samudera sebelum abad ke 8 sampai 9 M, yaitu ketika Sung berkuasa Cina baru membangun angkatan laut yang kuat.

Berdasarkan sumber dari peziarah Budha dari Cina yang menaiki kapal Indonesia di Sumatra untuk menuju India, peziarah tersebut meninggalkan catatan-catatan meskipun berjarak antara abad ke 3 dan ke 8 M, penjelasan keduanya saling melengkapi satu sama lain.

Kapal-kapal itu panjangnya 160 kaki, dan memiliki beban 600 ton; dibuat dengan menggunakan beberapa jenis papan, tidak menggunakan besi sebagai penguat, papan-papan diikat satu sama lain dengan menggunakan serat pohon aren, dan dipasangi tiang dan layar-layar.

Karena belum ditemukannya sumber yang menyebutkan kapal-kapal tersebut menggunakan cadik, maka diasumsikan bahwa kapal tersebut tidak cadik, oleh karena itu maka diperkirakan kapal tersebut merupakan cikal bakal dari jong, dan bukan kapal seperti kora-kora.

Kesan yang menarik tentang berita keberadaan jong dikutip dari seorang penulis sejarah Portugis, Gaspar Correia, yang menggambarkan kunjungan pertama Gubernur Alfonso Albuquerque ke Selat Malaka pada abad ke 16, berikut gambarannya:

karena junco itu memulai serangan, sang Gubernur mendekatinya bersama seluruh armadanya. Kapal-kapal Portugis mulai menembaki junco, tetapi tak ada pengaruhnya sama sekali, lalu junco berlayar pergi….

Kapal-kapal Portugis lalu menembaki tiang-tiang junco …….

dan layar-layarnya berjatuhan. Karena sangat tinggi, orang-orang kami tidak berani menaikinya, dan tembakan kami tidak merusaknya sedikit pun karena junco memiliki empat lapis papan. Meriam terbesar kami hanya mampu menembus tak lebih dua lapis…….

Melihat hal ini, sang Gubernur memerintahkan nau-nya untuk datang ke samping junco. (Kapal Portugis) adalah Flor de la Mar, kapal Portugis yang tertinggi. Dan ketika berusaha untuk menaiki junco, bagian belakang kapal hampir tak dapat mencapai jembatannya……

Awak junco mempertahankan diri dengan baik sehingga kapal Portugis terpaksa berlayar menjauhi kapal itu lagi. (Setelah pertempuran selama dua hari dua malam) sang Gubernur memutuskan untuk mematahkan dua buah dayung yang ada di luar kapal. Setelah itu, barulah junco menyerah.

Konstruksi yang dibangun pada kapal tersebut sangat lah kukuh, sehingga memungkinkan dapat berlayar dengan jarak yang sangat jauh dan mampu bertahan di tengah samudera.

Fakta sejarah berbicara bahwa hanya kapal jenis tersebut yang tergambar dalam relief candi Borobudur, memunculkan anggapan bahwa kapal-kapal tersebut setara dengan kapal induk yang dimiliki Amerika, sehingga pengaruh Indonesia tersebar jauh. Untuk membuktikan kekuatan kapal nusantara pada zaman kuno maka dibuat sebuah replica kapal berdasarkan pada relief candi Borobudur.

Berdasarkan pembuktian bahwa kapal tersebut mampu berlayar dari Indonesia sampai ke Ghana pada Februari 2004 setelah berlayar 11.000 mil dari Indonesia.