almanak

Satuan dan Ukuran Pada Masa Kerajaan Indonesia

Menurut jenisnya, sistem satuan ukuran pada masa Kerajaan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni satuan ukuran yang terkait dengan pengukuran lahan pertanian yang di dalamnya termasuk satuan hitung (perdagangan), pajak, dan persembahan; dan satuan ukuran yang terkait dengan sistem moneter.

PublishedFebruary 6, 2009

byDgraft Outline

Table of contents

Open Table of contents

I. Satuan Ukuran Pengukur Lahan

Terdapat dua jenis satuan ukuran yang berkaitan dengan lahan pertanian, yakni satuan ukuran jarak (panjang dan lebar) dan satuan ukuran luas.

Data mengenai satuan ukuran ini biasanya berkaitan dengan penetapan tanah sima yang akan digunakan untuk membiayai bangunan suci dan besarnya pajak yang harus dibayar untuk tanah dengan luas tertentu.

A. Satuan Ukuran Jarak (Panjang dan Lebar)

Termasuk dalam kategori ini adalah istilah-istilah dpa, dpa sihwa, dan hasta. Ukuran satu dpa adalah panjang dari rentang kedua tangan atau sekitar 1,6 s/d 2 meter.

Ukuran ini dikenal sejak abad ke-9. Di samping itu dikenal juga istilah dpa sihwa yang mulai diperkenalkan pada abad ke-10, yakni pada masa pemerintahan Balitung. Satuan ukuran ini menjadi ukuran baku sehingga tanah-tanah diukur ulang dengan dpa sihwa ini.

Menurut Damosoetopo, ukuran dpa sihwa sama dengan istilah dpa agung di Bali. Dpa agung adalah jarak antara telapak kaki sampai ke ujung jari tangan yang direntangkan ke atas. Dengan demikian dpa sihwa diperkirakan sama dengan 1,5 dpa. Perubahan ukuran ini menjadikan beban pajak hasil bumi yang ditanggung rakyat menjadi lebih ringan.

Hasta juga merupakan satuan ukuran jarak (panjang/lebar) yang biasanya digunakan untuk mengukur luas tanah/lahan (pemukiman, kebun, tegal, tanah sima, atau tanah yang tidak digarap).

Ukuran hasta adalah jarak antara siku dengan ujung jari (kurang lebih 40-50 cm). Konsep ukuran ini telah dikenal sejak abad ke-9 (Prasasti Taragal).

B. Satuan Ukuran Luas

Termasuk dalam kategorinya adalah istilah-istilah barih, latir, tu, tampah, tampah haji, suku, hamat, blah, jong, kikil, lirih, kunci, dan pecal. Istilah barih dan latir hanya dijumpai dalam prasasti awal abad ke-9 yang ditemukan di daerah Temanggung (Sang Hyang Wintang, 803 M). Sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam prasasti, maka kedua istilah tersebut mungkin merupakan kata yang berasal dari bahasa Melayu Kuno.

Perlu dikemukakan lebih dulu bahwa pada masa ini ukuran luas tanah biasanya dihitung berdasarkan jumlah benih yang dapat ditanam dilahan tertentu. Oleh karena itu, satuan ukuran luas selalu didahului dengan “banyaknya benih” ( kwaih winihnya ). Berdasarkan rincian jumlah benihnya maka dapat dihitung bahwa satu barih= enam latir.

Satuan ukuran yang paling umum dijumpai dalam prasasti-prasasti masa Jawa Tengah hingga abad ke-10 adalah lamwit dan tampah. Kedua istilah tersebut biasanya disebut secara berurutan yang mengindikasikan bahwa yang disebut pertama memilki ukuran lebih besar. Prasati Taragal, misalnya, menyebutkan luas tanah yang diterapkan sebagai sima adalah satu lamwit dua tampah.

Sementara itu, untuk keperluan membayar pajak disebutkan adanya sawah di Palepengan yang luasnya satu lamwit tujuh tampah, dan satu belah dengan keterangan tambahan bahwa jumlah pajak yang harus dibayar untuk setiap tampah adalah enam dharana perak.

Menurut perhitungan, luas satu lamwit=20 tampah, dan luas satu tampah =dua blah (satu blah=0,5 tampah ). Pajak dihitung menurut satuan tampah luasnya sekitar 6.750 m² s/d 7.680 m².

Luas satuan blah atau wlah adalah setengah tampah, karena kata wlah berarti “setengah”. Di samping istilah tampah, sebagai satuan ukuran dasar dijumpai juga istilah tampah haji.

Satuan ukuran ini nampaknya digunakan pada masa Balitung, ukuran yang lebih besar dari pada tampah yang biasanya digunakan oleh para penarik pajak yang curang sehingga sering menimbulkan kerugian bagi pembayar pajak (Boechari, 1981: 77-78). Menurut perhitungan dari istilah Prasasti Palepangan, luas satuan tampah haji sekitar 9.818 s/d 11.170 m².

Untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas tentang nilai tanah pada periode abad ke-9 sampai ke-10, dapat diambil contoh dari dua prasti, yaitu Sumpit (tahun 878) dan Hering (934 M).

Prasasti yang pertama menyebutkan pristiwa jual beli tanah sawah seluas 3 tampah dengan harga emas senilai satu kati (mas ka satu) atau sekitar 750 gram (hitungan terendah).

Jika luas satu tampah ditetapkan sekitar 6.750 m² (dihitung terendah), maka tiga tampah sama dengan 20.250 m². Dengan demikian, satu tampah tanah harganya 250 gram emas.

Prasasti kedua menyebutkan seorang samget bernama Marganung yang membeli tanah penduduk desa seluas enam tampah satu suku (satu suku =seperempat tampah ) seharga lima kali sembilan emas ( ma lima ka sembilan su ) atau sekitar 3.773,36 gram.

Jika dihitung dalam satuan sekarang, maka luas seluruh sawah tersebut 42.187,5 m². Dengan demikian, harga jual tanah bagi setiap tampah -nya adalah 603,75 gram emas.

Di samping istilah-istilah di atas, terdapat dua istilah lain, yaitu tu dan hamat (ha). Penyebutan istilah tu diduga merupakan kata-kata singkatan yang biasa digunakan dalam prasasti-prasasti, tetapi tidak diketahui secara jelas istilah lengkapnya. Prasasti Mantyasih menyebutkan tanah dengan luas tu 18 hamat.

Penyebutan tu mendahului hamat menunjukan bahwa satuan itu lebih besar daripada hamat.Boechari menduga satu tu sekurang-kurangnya 20 hamat. Sedangkan satu hamat menurut Darmosoetopo sama dengan 10 kati (satu kati =0,617 kg).

Perlu dikemukakan bahwa istilah tu dan hamat tergolong unik karena hanya dijumpai pada prasasti yang ditemukan di daerah Kedu (Kayumwangun, 824; Trui Tpusan, 842; dan Mantyasih I, 907).

Masih terdapat istilah lain yang berhubungan dengan satuan ukuran luas, yakni suku. Istilah ini dijumpai pada Prasasti Landa (tak bertarikh). Menurut perhitungan, satu suku =1,5 hamat.

Sejak abad ke-11 dikenal istilah jong untuk menggantikan istilah tampah yang kemudian tidak digunakan lagi. Istilah jong ini terus digunakan pada masa Jawa Timur hingga abad ke-14. Satuan dasar lain yang dikenal pada abad ke 14 adalah kikil (setengah jong ).

Sistem satuan-satuan lain juga dijumpai pada abad ke-14, khususnya pada masa Hayam Wuruk, yakni lirih dan kunci. Memasuki abad ke-15 muncul lagi satuan ukuran yang dikenal dengan sebutan pecal.

II. Satuan Ukuran Perdagangan, Pajak, dan Persembahan

Terdapat sejumlah istilah satuan ukuran yang terkait dengan masalah perdagangan dan pajak. Ukuran tersebut mencakup dua jenis. Jenis pertama adalah volume dan berat; sedangkan yang kedua adalah satuan hitung barang.

A. Volume dan Berat

Satuan-satuan yang berkait dengan volume adalah: catu, sukat/kulak, barang, nalih, pikul, bantal, dan kati. Satuan catu diukur dari batok kelapa yang dipotong bagian atasnya. Batok kelapa ini dapat digunakan untuk mengukur beras, remapah-rempah, garam, minyyak, dan bahan pewarna.

Ukuran 1 catu berkisar 300-450 ml. Satuan ukuran ini digunakan pada abad ke-10. Satuan sukat baru digunakan pada abad ke-15. Ukuran 1 sukat (kemudian kulak ) sama dengan 4 catu atau sekitar 1.200-1.800 ml. Istilah batang sebagai satuan ukuran mungkin diambil dari batang bambu dan dapat digunakan untuk menakar benda-benda cair.

Pada awal abad ke-15 dikenal satuan nalih yang banyknya sama dengan 8 kulak setiap nalih. Satuan ini rupanya tidak dikenal dalam sumber-sumber tertulis pada masa sebelumnya. Satuan ukuran ini agaknya digunakan dalam perdagangan internasional. Berita Cina dari awal abad ke-15 menyebutkan ukuran satuan in ( nai-li ) sebagai salah satu sistem pengukuran yang digunakan di Jawa. Mills menghitung satu nalih sama dengan 15,46 liter.

Kati adalah satuan berat yang digunakan untuk mengukur berbagai barang, termasuk untuk menghitung uang dalam sistem moneter. Ukuran berat untuk untuk satu kati sekitar 750 gram. Sebagai satuan hitung dasar, kati digunakan tidak hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga di Malaysia hingga abad ini.

Satuan lainnya adalah tahil yang juga digunakanuntuk menghitung nilai uang dalam dalam sistem moneter. Berat satu tahil diperkirakan 38 gram, atau kira-kira sama dengan seperduapuluh kati, jadi satu kati sama dengan 20 tahil. Sama seperti kati, tahil tidak hanya digunakan dalam sistem perhitungan mata uang (emas mau pun perak), tetapi juga yang lain.

Satuan yang lebih besar dan biasanya digunakan untuk mengukur barang-barang yang dibebankan di atas pundak adalah bantal. Berat satu bantal sama dengan 20 kati. Satuan yang lebih berat lagi adalah pikul. Menurut perhitungan satu pikul sama dengan lima kali bantal, jasi sama dengan 100 kati, atau sekitar 75 kg.

B. Satuan Hitung Barang

Satuan-satuan hitung barang yang dikenal dalam sumber-sumber tertulis adalah blah/wlah, yuga, kujur, prana, wantayan, jamwangan, wakul, gagalah, tenah, kadut, agem, rakut, ubban, gusali, parean, dan tarub. Satuan hitung blah atau wlah digunakan untuk menyatakan banyaknya satuan pakaian perempuan yang disebut kain.

Untuk pakaian laki-laki disebut wdihan, dinyatakan dengan satuan yuga atau yugala (pakaian yang terbuat dari dua potong kain) dan hlai (pakaian yang terbuat dari satu potong kain, hingga kini masih dipakai “helai”).

Penggunaan istilah Sansekerta yuga ini diduga merupakan pengaruh India sebagai akibat dari perdagangan pakaian. Kujur mungkin digunakan untuk menyebut satuan jajanan (semacam kue) yang berbentuk batangan.

Hewan berkaki empat (kerbau, sapi, kambing) dihitung dengan satuan prana, sedangkan hewan berkaki dua, misalnya ayam atau itik, disebut dalam satuan wantayan (keranjang?). Untuk tujuan pajak atau persembahan tenaga kerja, prana juga digunakan untuk menyebut jumlah orang.

Sejumlah ikan tidak dihitung satu per satu, tetapi dalam satuan jamwangan (misalnya: iwak jamwangan dua) dan bunga dihitung dalam satuan wakul (baku?). Gagalah mungkin digunakan untuk menyatakan barang tombak atau sejenisnya. Padi dihitung dalam satuan ikatan yang disebut dengan istilah tenah, sedangkan beras dihitung dalam satuan kadut (karung?).

Barang lain yang dapat digenggam dinyatakan dalam satuan agem atau rakut. Satuan hitung lainnya yang menggambarkan adanya usaha kerajinan atau perdagangan dinyatakan dalam istilah-istilah tertentu yang tampaknya didasarkan atas pertimbangan keperakitan.

Satuan tarub untuk menyatakan satuan usaha pandai logam, yakni pandai emas, besi, dan tembaga ( higana kwaihahanya pandai mas wsi tamwaga gangsa tlung ububan ).Satuan lain yang juga digunakan kepada pra pandai logam adalah gusali, parean, dan tarub.

III. Satuan Ukuran Sistem Moneter

Satuan yang terkait dengan sistem moneter adalah kati, rahil, tahil, suwarna, dharana, masa, atak, kupang, saga, dan pisis. Di dalam prasasti, beberapa satuan hanya ditulis singkatannnya, misalnya kati dengan ka, tahil dengan ta, suwarna dengan su, dharana dengan dha, kupang dengan ku, dan saga dengan sa.

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa kati dan tahil, di samping untuk mengukur barang-barang secara umum, juga untuk mengukur nilai (intrinsik) mata uang, baik yang terbuat dari logam emas mau pun perak. Berat satuan kati sekitar 750-768 gram, dan berat satuan tahil sekitar 38 gram, jadi kira-kira seperduapuluh kati.

Terdapat juga satuan lain yang memiliki berat sama dengan tahil (38 gram), yakni suwarna dan dharana. Satuan suwarna, sesuai denga arti katanya, digunakan untuk mengukur emas, sedangkan dharana untuk mengukur perak.

Masing-masing memiliki satuan lain yang diambil dari bahasa Sansekerta, yakni masa. Satuan ini berlaku untuk ukuran emas dan perak dengan bobot 2,4 gram, jadi hanya seperenambelas tahil/suwarna/dharana. Satuan lain yang lebih kecil dari bahasa Jawa Kuno adalah atak (1,2 gram, jadi setengah masa ), kupang (0,6 gram, jadi seperempat masa ), dan saga (0,1 jadi seperempat kupang ).

Gambaran mengenai nilai tukar terhadap barang dari mata uang Jawa Kuno diperoleh dari keterangan prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-10. Menurut Darmosetopo, seekor kerbau yang akan digunakan untuk pesta dalam penetapan sima diberi harga antara 22,257 gram hingga 39,569 gram.

Prasasti yang lebih muda cenderung menyebut harga yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan dua kemungkinan, yakni harga kerbau meningkat atau nilai emas yang turun. Kemungkinan lain adalah bahwa kerbau yang dijual memiliki ukuran yang berbeda-beda.

Satuan ukuran lain yang hanya dikenal pada masa Jawa Timur, khususnya pada masa Majapahit, yakni picis. Satuan ini khususnya digunakan untuk menyebut mata uang tembaga yang berasal dari atau mendapat pengaruh mata uang Cina. Satuan ini merupakan ukuran terendah dibandingkan dengan ukuran-ukuran satuan yang dikenal sebelumnya dan biasanya digunakan untuk pembayaran pajak dan denda-denda.

Menurut keterangan tertulis dari periode ini, 100 picis sama dengan satu kupang (sakupang ), 200 picis sama dengan satu atak (seatak), 400 picis sama dengan masa (samas ), dan 800 picis sama dengan 2 masa (domas), 1.000 picis sama dengan satu tali, 10.000 picis sama dengan satu laksa ( salaksa ), dan 100.000 picis sama dengan satu keti (saketi).