almanak

Pakuan Pajajaran; Struktur dan Birokrasi Kerajaan Sunda

Pajajaran sebagai nama kerajaan, memang belum pernah ditemukan dalam sumber-sumber prasasti. Hampir semua bukti yang ada memberikan gambaran bahwa Pajajaran hanya sebagai pusat kerajaan (ibukota); lengkapnya Pakwan Pajajaran (Prasasti Kebantenan dan Batutulis).

PublishedFebruary 28, 2009

byDgraft Outline

Pajajaran sebagai nama kerajaan, ditemukan terutama di dalam naskah-naskah yang lebih bernilai sastra, termasuk carita pantun yang berupa peninggalan sastra yang bersifat oral history (sumber lisan).

Di dalam carita pantun, disebutkan hampir sedikitnya tiga buah daerah yang disebut Pakuan Pajajaran, masing-masing: Pajajaran Timur, Pajajaran Tengah, dan Pajajaran Barat.

Pajajaran Timur menurut carita pantun, terletak di daerah Banyumas sekarang, sementara Pajajaran Barat terletak di daerah Banten. Dengan demikian, daerah yang terbentang antara Banten dengan Banyumas, termasuk wilayah Pajajaran Tengah (Marwati dan Noegroho, 1993:376).

Sumber-sumber asing dari masa yang sezaman, juga tidak pernah menyebutkan tentang ada kerajaan yang bernama Pajajaran. Tome Pires dalam perjalanannya menyebutkan adanya sebuah Negara Cunda (Sunda) dengan ibukotanya yang bernama Dayo (Dayeuh).

Sebuah berita Portugis lainnya menyebutkan bahwa pada tahun 1512, Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis dari Malaka ke Sunda, yang beribukota Dayo juga. Dari sumber Portugis ini sedikitnya masih ada tiga berita lain yang menyebutkan Sunda.

Dalam bukunya Da Asia sejarawan Portugis, Barros, menyebutkan bahwa daerah Sunda terbentang antara ujung Jawa Barat di pantai barat sampai Sungai Cimanuk.

Menurut Barbosa, Qumda (Sunda) adalah suatu tempat yang kecil saja di mana terdapat banyak lada. Dari masa yang sama, muncul sebuah sajak yang ditulis oleh Luis de Camoes, seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaen.

Di dalam sajaknya “Os Lusiada” (Canto X), Camoes antara lain menulis: ”… Ke sana Kerajaan Sunda menjangkaukan lengan kuasa …” Sementara itu, Illha do Jaoa, sebuah peta yang dibuat oleh Pero de Lavanha (1524) malah dengan tegas memisahkan daerah yang disebut “Sunda” atau “Zunda” dari “Jaoa”.

Hal yang sama juga ditemukan di dalam berita Cina. Berita dari Cheng-ho menyebutkan bahwa ia beberapa kali diutus oleh kaisar Cina ke negara-negara yang terletak di sebelah selatan Cina. Salah satu negara yang pernah dikunjunginya bernama Sun-la, yang kemungkinan besar merupakan lafal Cina dari Sunda.

Bahan yang berasal dari dalam negeri, juga sesuai dengan sumber yang bersal dari luar. Cerita Parahyangan sudah menyebutkan adanya seorang Tohaan di Sunda (Yang Dipertuan di Sunda) sebagai mertua Rahyang Sanjaya.

Daerah yang disebut Sunda itu terletak di sebelah barat (Ci)tarum. Dalam naskah itu nama Sunda itu beberapa kali muncul, baik sebagai nama daerah, bangsa, maupun, adat-kebiasaaan.

Sunda muncul lagi dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Bubat (1357). Sebagai nama daerah selain dalam Cerita Parahyangan, Sunda juga disebut dalam beberapa naskah lain.

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesiang menyebutkan: “… urang lömpang ka Jawa, hamo urung carekna, döngön carana, mangu rasa urang, anggös ma urang pulang döi ka Sunda….” (Kita pergi ke Jawa tidak mengikuti bahasa mereka, demikian juga adatnya, canggunglah perasaan kita, setelah kita kembali ke Sunda).

Pararaton juga menyebutkan Sunda sebagai daerah: “Tumuli Pasunda bubat, Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda, ahidep wong Sunda yan wawarangana” (Lalu terjadilah peristiwa Sunda-Bubat.

Bhre Prabu menginginkan putri dari Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang orang Sunda, (karena) baiklah seandainya orang Sunda dijadikan besan. Sementara itu sebuah naskah lain dengan jelas sekali mempergunakan Sunda sebagai namanya, yaitu Kidung Sundayana.

Dalam hubungannya dengan dat kebiasaan, nama Sunda kita dapati dalam Cerita Parahyangan XXI, bagian yang mengisahkan Prabu Ratudewata: disunat ka tukangna, jati Sunda tea (disunat kepada ahlinya, itulah adat Sunda asli).

Bukti lain yang memperkuat tentang adanya Kerajan Sunda adalah prasasti yang menyebutkan tentang adanya sebuah negara yang bernama Prahajya Sunda, sedangkan rajanya yang bernama Sri Jayabhupati menyebut dirinya sebagai haji ri Sunda (raja di sunda).

Sumber lain dalah prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, yaitu Prasasti Horren bertuliskan: “ ring kahadradara, nguniweh an dadyan tumangga-tangga datang nikanang satru Sunda, mangkana rasa ning panembah ni ”(pada saaat kekacauan, apalagi apabila kemudian terjadi tetangga [lalu] datanglah musuh [dari] Sunda. Demikian rasanya yang memohon kepada).

Tome Pires menyebutkan bahwa raja Sunda bertakhta di ibukota Dayo, yang letaknya agak di pedalaman. Ibu kota itu dapat dicapai dalam dua hari perjalanan dari (Sunda) Kalapa, kota pelabuhan Kerajaan Sunda yang terbesar dan terpenting.

Mengenai sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Sunda, Tome Pires menyebutkan, Kerajaan Sunda diperintah oleh seorang raja. Disamping raja pusat, di daerah-daerah tertentu, terdapat raja-raja yang berkuasa di daerah mereka masing-masing.

Hak waris takhta diturunkan kepada anaknya, tetapi jika raja tidak punya anak, maka yang menggantikan dipilih di antara raja-raja daerah yang tebesar. Kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting, yang masing-masing dikepalai oleh seorang syahbandar (nakhoda).

Mereka bertanggungjawab kepada raja, dan bertindak sebagai wakil raja di bandar-bandar yang mereka kusai. Keenam bandar tersebut ialah Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk.

Sebuah naskah yang berasal dari tahun 1518, Sanghyang Siksakanda ng Karesian, memberikan keterangan yang dapat dipergunakan untuk mengisi kekosongan dalam masalah struktur kerajaan ini.

Di dalam naskah itu antara lain disebutkan:

nihan sinangguh dasa prebakt nagaranya: anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaaan. Sisya bakti di guru, wong tani bakti di wado.

wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nuangganan bakti di amngkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang

(inilah peringatan yang disebut sepuluh kebaktian: anak bakti kepada bapak, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada majikan ( pacandaan =tempat bersandar), murid bakti kepada guru, petani bakti kepada wado (penjabat rendahan).

Wado bakti kepada mantri (pegawai), mantra bakti kepada nu nangganan, nu nangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti kepada raja/ratu, raja/ratu bakti kepada dewata, dewata bakhti kepada Hyang)

Dari kutipan di atas jelas bahwa penjabat yang paling dekat hubungannya di bawah raja ialah mangkubumi. Ia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi atu dilakukan oleh bawahannya, yaitu nu nangganan.

Lalu berturut-turut ke bawah kita jumpai penjabat-penjabat yang disebut mantri dan wado. Berdasarkan bahan-bahan yang ada tersebut barangkali dapatlah disusun struktur Kerajaan Sunda pada masa itu sebagai berikut:

1. Di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawahi beberapa orang nu nanganan.

2. Terdapat pula putra mahkota, yang akan menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri.

3. Untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah. Raja-raja daerah itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari, bertindak sebagai raja yang merdeka (mempunyai hak otonomi yang luas), tetapi mereka tetap mengakui Raja Sunda yang bertahta di Pakuan Pajajaran atau Dayo sebagai junjungan mereka.

Jika raja tidak meninggalkan pewaris takhta, maka salah seorang raja dari daerah-daerah itu dapat dipilih dapat dipilih untuk mengantikkan kedudukan raja sebagai raja terbesar yang bertakhta di Pakuan Pajajaran.

4. Sementara itu, untuk mengurus masalah yang langsung berhubungan dengan perniagaan, di keenam buah bandarnya, raja diwakili oleh para syahbandar. Ia bertindak untuk dan atas nama Raja Sunda di daerah yang mereka kuasai masing-masing.

Struktur kerajaan seperti itu rupanya yang paling sesuai dengan kondrat kerajaan Sunda. Carita-carita pantun juga umumnya mengisahkan adanya seorang putra raja Pajajaran yang mengembara, dan dalam pengembaraan-nya itu ia menaklukkan raja-raja kecil yang ditemuinya.

Setelah raja-raja kecil itu takluk, mereka kemudian diangkat lagi menjadi penguasa di daerahnya masing-masing dengan syarat bahwa mereka harus mengakui kekuasaan tertinggi yang ada di Pakuan Pajajaran.