almanak

Damar Wulan dalam Sandhyakala ning Majapahit

Di dalam cerita-cerita rakyat, peperangan antara Suhita dengan Wikramawardhana melawan Bhre Wirabhumi lebih dikenal dengan cerita Damarwulan-Minak Jinggo.

PublishedMarch 7, 2009

byDgraft Outline

Konon disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Ratu ayu Kenca Wungu (Suhita?) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Minak Jinggo (Bhre Wirabhumi?). Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Minak Jinggi ingin memperistrikan Ratu Ayu Kenacanwungu tetapi ditolaj karena wajah Minak Jinggo seperti raksasa.

Hampir saja Minak Jinggo memeperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gada wesi kuning (Gada besi Kuning). Akhirnya Ratu Kenacawungu membuka sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan MInak Jinggo akan memperoleh hadiah yang luar biasa.

Tersebutlah seorang ksatria putera seorang pendeta bernama Raden Damarwulan yang memasuki sayembara. Dalam Peperangan dengan Minak Jinggo hamper saja Damarwulan dapat tersinkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Minak Jinggo yang bernama Dewi Waita dan Deiw Puyengan akhirnya Minak Jinggo dapat dikalahkan.

Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi isteri Damarwulan. Sebagai imbalan atas keneangan itu makan Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Kenacanwungu dan bersama-sama memerintah di Majapahit.

Cerita Damarwulan-Minak Jinggo ini rupa-rupanya sangat popular di Jawa Tengah, terlebih di Jawa TImur. Hingga sekarang kita masih dapat melihat baik peninggalan maupun kisahnya yang diangkat daam bentuk seni pertunjukan.

Bahkan di desa Troloyi, Trowulan, Mojhojkerto terdapat makam kuno yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai makam Ratu Kencana Wungu. Dewi Waita dan Puyengan serta beberapa orang pengikutnya.

Akan tetapi, Makam tersebut menurut peneli para ahli sebenarnya adalah makam-makam penduduk yang telah islam di awal penyebaran islam di Wilayah Majapahit. Dari anggka tahunnya yang tertulis pada nisan-nisannya menunjukan angka 1295 MAsehi sampai dengan 1457 Masehi.

Tidak jauh dari Troloo, masih di desa Trowulan juga kita jumpai sebuah candi yang oleh penduduk setempat dnamakan candi Minak jingo. Melihat berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi Minak Jinggo ini memang berasal dari zaman Majapahit.

Pada tahun 1447 MAsehi, Suhita wafat dan digantikan oleh adiknya yang bergelar Bhre Tumapel, Kertawijaya. Raja ini hanya memerintah selama 4 tahun kemduian digantikan oleh Sri Rajasawardhana atau dikenal juga bernama Sang Sinagara, Bhre Pamotan. Raja ini juga hanya 2 tahun memerintah dan rupa-rupanya pemerintahannya masa itu telah dipindahkan ke Keling-kahuripan.

Sebab-sebab perpindahan pusat pemerintahan tersebut belum diketahui dengan pasti, atau ini mungkin disebabkan kekacauan akibat pertentangan keluarga yang makin meruncing (atau ini perpincahan biasa dimana raja yang berkuasa berhak menetukan pusar pemeintahannya sendiri).

Sejak saat tahun 1453 Masehi terjadi kekosongan (Fakum of fower) dalam pemerintahan Majapahit dan baru pada tahun 1456 Bhre wengker atau Bhra Hyang Purwawisesa putera Kertawijaya naik tahta.

Beliau memerintah hingga tahun 1466 MAsehi kemduian digantikan oleh Bhre Pandan Salas, berherla Dyah Suraprabhawa, berkedudukan di Tumapel. Tampaknya pemerintahannya ini mendapat rintangan dari Bhre Kertabhumi sehingga terpaksa dipindahkan ke Daha hingga wafatnya pada tahun 1477 Masehi.

Pada masa pemerintahan Syah Surapgwa ini hidup seorang Pujangga besar bernama Mpu Tanakung yang mengarang kitab SIwaratrikalpa, yang artinya pemujaan pada siwa pada malam Siwararti.

Pengganti Bhre Pandan Salas adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Pada masa pemerintahanny ada usaha untuk menyatukan kembali kekuasaan Majapahit yang sudah terpecah-pecah itu, antara lain dengan penggulingan kekuasaan Bhre Kertabhumi yang berkedudukan di Majapahi.

Dengan terbunuhnya Bhre Kertabhumi, pemerintahan Ranawijya yang berpusat di Keling dipindahkan kembali ke Majapahit. Pada masa pemerintahannya ini juga telah diadakan upacara sraddha (penghormatan yang diselenggarakan 12 tahun seletah raja manggakt ) Bagi ayahnya.

Menurut sumber-sumber sejarah diperkirakan bahwa Raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini dalah raja Majapahit terakhir sebelum majapahit dikalahkan oleh Demak.

Dalam kitab Carita Purawa Caruban Nagari sikisahkan bahwa Raden Patah penguasa kerajaan Demak yang pertama itu adalah putera Prabhu Brawijaya Kertabhumi yang meninggal karena serangan dari Raja Girindeawarddhana Dyah Ranawijaya.

Oleh Sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa perpindahan Pemerintah dari Ranawijaya ke Raden Patah ini adalah perpindahan kekuasaan yang hampir sama dengan peristiwa sebelumnya yaitu perpindahan kekuasaan dari dalam suatu lingkungan sendiri.

Yang membedakannya mungkin perpindahan ibu kota di Demak, dan justru demak yang terkenal sebagai nama bagi kerajaan yang dipimpin oleh Raden Patah itu. Di samping itu, perbedaan lainnya adalah nuansa keagamaan yang diusung saat raden Patah berkuasa, yaitu Islam sebagai Agama resmi kerajaannya).

Damar Wulan dalam Sandhyakala ning Majapahit

Sandhyakala ning Majapahit (selanjutnya disebut SNM ) merupakan sebuah drama yang ditulis berdasarkan cerita karya sejarah (Kerajaan Majapahit) oleh Sanoesi Pane. Hal itu diungkapkan dengan jelas pada bagian awal, yaitu bagian “Kata Bermula” dalam naskah tersebut. Di situ diungkapkan bahwa cerita tersebut ditulis berdasarkan berita dalam Serat Kanda, Damar Wulan, Pararaton, dan Nagarakretagama.

Naskah ini pertama kali dimuat dalam majalah Timboel tahun VII, nomor 1/4, 3/4 dan 5/6, tahun 1932. Kemudian, naskah itu diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Pustaka Jaya, Yayasan Jaya Raya, tahun 1971. Pada Januari 1975, naskah itu dicetak untuk kedua kalinya, dan naskah yang dipakai ini merupakan cetakan ketiga, Agustus 1975.

Cerita drama SNM ini terdiri atas pengantar cerita (Kata Bermula) dan lima bagian (babak). Kata Bermula berisi tentang doa kepada Syiwabudha, agar lakon yang dipersembahkan itu berjalan dengan selamat. Selain itu, diceritakan pula asal (sumber) cerita, siapa tokoh Damar Wulan itu, dan harapan pujangga kepada generasi berikutnya untuk membuat naskah drama yang lebih baik.

Drama ini berkisah tentang tokoh Damar Wulan yang bergelar Raden Gajah, seorang pahlawan di Kerajaan Majapahit, yang kemudian dihukum mati karena dituduh ingin menguasai kerajaan. Ia adalah putra dari Patih Udara dan Nawangsasi, dan keponakan dari Patih Majapahit.

Di dalam diri Damar Wulan mengalir dua bakat, yaitu bakat seorang pandita dan bakat seorang ksatria. Kedua bakat itulah yang membuat tokoh utama dalam SNM ini menjadi seakan berputus asa, seakan menjadi seorang yang bimbang.

Kedua bakat itu, akhirnya, membawa Damar Wulan pada situasi yang sulit dan membingungkan, ketika Majapahit membutuhkan tenaganya untuk menghadapi Adipati Wirabumi, Menak Jingga, yang berkhianat kepada kerajaan. Dilema antara kewajiban menjadi seorang ksatria dan keinginan untuk menjadi seorang pandita. Kedua pilihan tersebut sama-sama sulit atau tidak menguntungkan untuk saat itu di Majapahit.

Namun kemudian, dengan berbagai pertimbangan dan pemikiran yang sulit serta berkat dorongan kekasihnya, Anjasmara, dia memutuskan untuk berangkat ke Wirabumi sebagai ksatria, guna menjatuhkan Menak Jingga.

Mengapa tokoh Damar Wulan menghadapi dilema semacam itu? Pertanyaan itu sengaja diajukan untuk menghindari salah interpretasi terhadap pribadi tokoh utama ini. Jawaban dari pertanyaan itu akan sangat membantu pemahaman terhadap tokoh Damar Wulan, sebagai bagian yang penting dalam pemaknaan keseluruhan cerita SNM.

Sebagai keturunan ksatria, sejak kecil Damar Wulan telah dipersiapkan untuk menjadi seorang ksatria. Ke-ksatria-an ini telah dibuktikannya dengan ikut membantu Adipati Tuban berperang melawan Menak Jingga di Wirabumi.

Dalam perang itu, Damar Wulan memperlihatkan kehandalannya sebagai prajurit perang. Oleh karena itu pula, dia direkomendasi oleh Adipati Tuban untuk mengantikannya sebagai pemimpin pasukan perang ke Wirabumi.

Hanya saja, setelah kembali ke Paluh Amba, setelah ikut berperang membantu Adipati Amba, dia menjadi bimbang. Dia menyadari, bahwa “ketika perang masih berlaku hanya kuingat maju ke muka, memusnahkan segala yang menghambat daku” (hal. 24)

. Akan tetapi, setelah itu, dia senantiasa teringat orang yang telah dibunuhnya. Dia tidak sampai hati melihat anak dan ibunya menunggu bapak dan suaminya di pintu gerbang. Tangisan anak dan ibu tadi sangat memilukan hatinya dan membuat jiwanya menderita, dan perasaan berdosa selalu membebani nya.

Sementara itu, Damar Wulan juga melihat dan berpikir bahwa Majapahit tidak perlu ditolong lagi. Sebenarnya, tanpa serangan Menak Jingga pun, Majapahit telah runtuh. Hal itu disebabkan oleh bobroknya moral para pandita dan para bangsawan.

Agama tidak lagi diperlukan untuk meninggikan budi, tetapi diperlukan untuk memperkukuh kekuasaan. Pandita hanya berguna untuk menambah kebodohan, karena agama dijadikan takhayul dan arca disembah seperti dewa. Para ksatria sudah berlaku sebagai perampok, sementara rakyat semakin kurus dan sengsara.

Kedua kondisi di atas mendorong Damar Wulan untuk berpikir memilih menjadi seorang pandita. Oleh karena itu pula, dia cukup lama berdiam diri dan tidak menghiraukan Majapahit yang nyaris dikuasai oleh Menak Jingga. Barangkali, hal itu dilakukan oleh Damar Wulan adalah untuk menebus perasaan berdosanya tadi.

Dengan demikian, dia juga berharap akan dapat menyadarkan para pandita dan para bangsawan mengembalikan agama kepada fungsi dan posisinya yang semula. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, Damar Wulan merasakan panggilan yang sangat kuat untuk menjadi seorang ksatria.

Di samping itu, dia sadar betul bahwa Majapahit berada dalam kondisi yang sangat mencemaskan. Tentu saja, keinginannya itu menjadi tidak tepat untuk kondisi negara yang seperti itu.

Dalam keadaan negara yang kacau, dia tidak akan dapat melakukan perbaikan di bidang agama dan moral tadi. Itulah dilema yang dihadapi oleh Damar Wulan. Namun, akhirnya, dia memutuskan untuk pergi berperang melawan Menak Jingga ke Wirabumi.

Pilihan akhir dari Damar Wulan membuat keinginannya menjadi kenyataan. Dia menang melawan Menak Jingga dan diangkat menjadi Ratu Angabaya. Dia berhasil mengembalikan moral dan agama pada posisinya semula di kalangan rakyat, tetapi dia dimusuhi oleh para pendita dan para bangsawan, yang takut kekuasaannya akan hilang.

Akhirnya, Damar Wulan dihukum mati, karena dituduh akan merebut kekuasaan Majapahit oleh kedua kaum tadi. Meskipun, Damar Wulan mati, namun dia telah berhasil menyadarkan rakyatnya. Hal itu dibuktikan oleh kemarahan rakyat mendengar Damar Wulan dihukum mati. Mereka menyerang Majapahit dan untuk kemudian Majapahit runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Islam.