almanak

Punden Berundak dan Tradisi Megalith di Indonesia

Punden berundak adalah salah satu struktur tertua buatan manusia, beberapa dari struktur tersebut merupakan bagian dari tradisi megalit (batu besar) yang berkembang pada zaman neolitik.

PublishedJuly 22, 2009

byDgraft Outline

Di Indonesia, punden berundak ini bahkan menjadi ciri dari bangunan-bangunan pada periode klasik. Teras berundak  pada masa awal perkembangannya diduga bukan merupakan struktur bangunan utuh yang dibentuk, tetapi lebih pada penyesuaian undakan bentang lahan; penambahan tangga dan batu-batu penyangga raksasa.

Bahan utamanya adalah batu yang dibuat melapisi jalan-jalan tanah dan dinding-dinding sebuah bukit.

Punden berundak pun dapat dimaknai sebagai struktur bangunan yang terdiri dari beberapa teras berganda yang dikelilingi oleh tembok sebagai pembatasnnya. Bertingkat dan mengarah pada satu titik dengan tiap teras lebih tinggi posisinya.

Punden adalah kosakata yang terdapat dalam bahasa Jawa, secara harfiah punden mempunyai makna terhormat atau suci. Istilah punden biasanya digunakan untuk menamai tempat khusus yang berada di sekitar wilayah tempat tinggal.

Tempat yang dimaksud terkadang ada di atas bukit dan sering dikaitkan dengan keberadaan roh-roh para leluhur. Pada perkembangannya juga ada bangunan kubur yang bergaya islam kemudian ditempatkan di atasnya. Berundak kurang lebih sama artinya dengan bertingkat.

Punden Berundak Kebudayaan Megalitik

Para pengkaji prasejarah Indonesia yang mendapat pengaruh R. von Heine-Geldern, berpendapat bahwa kebudayaan megalitik di Indonesia berkaitan dengan perpindahan penduduk di wilayah Asia.

Anggapan ini sesuai dengan pendapat kelompok difusionis (penyebaran) yang juga berlandas pada dugaan bahwa budaya orang-orang Asia Tenggara mengalami pengaruh dari luar, dan tidak giat menuntut pembaharuan budayanya.

Punden berundak dan menhir dipercaya mendapat pengaruh dari luar Indonesia yang hadir pada masa awal zaman Neolitik.

Penafsiran prasejarah Indonesia sebagai kreasi penduduknya telah diabaikan secara besar-besaran, sebagian karena tanggapan mengenai minimnya peran orang Indonesia pada masa lalu dalam membangun kebudayaan tersebut.

Selain itu juga ada bukti dari banyak situs berundak yang diperkirakan merupakan kebudayaan zaman prasejarah tetapi telah memberi bukti digunakan di waktu lebih kini.

Di sisi lain kemudian muncul ahli-ahli yang berasal dari Indonesia yang justru memperlihatkan perhatian besar kepada studi-studi prasejarah di negaranya, terutama setelah peralihan masa kemerdekaan.

Hal ini didorong untuk mencari akar sejarah bangsanya yang lebih jauh dari pengaruh India. Akan tetapi, hingga saat ini masih sangat sulit untuk membuat kesimpulan mengenai penanggalan umur sebuah situs yang terus mengalami perubahan dan pemanfaatan sejak pertama kali dibangun.

Batu berundak nyatanya memang telah dimanfaatkan secara berkesinambungan dan mempunyai lapisan-lapisan budaya yang berbeda. Di beberapa tempat apa yang disebut kebudayaan megalit juga berkembang hingga masa sejarah.

Situs Punden Berundak di Indonesia

Punden berundak telah ada dan dikenal di Indonesia sejak zaman prasejarah. Struktur serupa juga di ketemukan di Polynesia yang disebut dengan Marae oleh orang-orang yang berada di kepulauan Pasifik barat.

Baik Indonesia dan Polynesia, kedua wilayah kepulauan ini memiliki rumpun bahasa yang sama; Austronesia. Orang-orang Austornesia itu diperkirakan telah mendiami Indonesia dan pulau-pulau lainnya di wilayah Pasifik sejak 5.000-7.000 tahun yang lalu.

Contoh peninggalan teras berundak yang cukup luas ditemukan di wilayah Jawa barat yaitu situs megalit Gunung Padang. Situs ini mulai mendapat perhatiannya pada tahun 1979 dan “kembali” menjadi perhatian pada tahun 2012.

Situs Gunung pada berada di puncak sebuah bukit yang memiliki ketinggian mencapai 885 meter, situs ini terdiri dari lima undakan. Salah satu undakan yang terluas berukuran 28 x 40 meter.

Gunung Padang cukup istimewa, selain karena luasnya, situs ini juga menggunakan ribuan balok batu alami yang disusun secara sengaja.

Penggalian di situs Gunung Padang yang dimulai pada tahun 1982 diketemukan alat pecah belahdari tanah liat yang masih sederhana. Situs ini diperkirakan merupakan pusat pemujaan pada masanya yang erat kaitannya sebagai tempat atau rumah para leluhur.

Gunung Padang hingga memasuki awal abad ke 20 secara disengaja atau tidak, nyatanya “terbebas dari gangguan” masyarakat sekitarnya, tidak seperti situs lainnya yang berada di Pulau Jawa yang masih digunakan sebagai tempat melakukan ritual atau upacara yang berhubungan dengan keagamaan.

Namun berkat banyak kejadia menarik selama permulaan abad ini, kini Gunung Padang mulai “terjamah” publik.

Situs teras berundak lainnya yang ada di Pulau Jawa adalah situs Arca Domas yang terdiri dari sembilan undakan. Situs batu berundak ini terletak di daerah Kanekes (Banten) tempat orang Baduy bermukim.

Situs Arca domas bahkan dipercaya masih diperlakukan sama sebagaimana awalnya dibuat. Situs lainnya adalah punden berundak di Lemah Duhur (Jawa Tenah) yang memiliki lima undakan.

Situs batu berundak Lemah Duwur berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Di situs ini juga terdapat bangunan kuburan yang sepertinya dibangun pada masa yang lebih baru.

Situs punden berundak juga diketemukan di wilayah Bali, Jawa Timur, Nias, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan. Di Sumatra Selatan, batu berundak diketemukan di daerah Pasemah.

Di wilayah ini juga mengenal tradisi kubur berundak yang menggabungkan struktur teras berundak dengan tradisi kubur pra-Islam. Di Pulau Nias, struktur bangunan berundak dan tradisi megalit terutama menhir mendapat tempatnya dalam kebudayaan yang mereka kembangkan sekarang.

Punden Berundak dari Periode Klasik Akhir

Situs punden berundak pada zaman Klasik Akhir diketemukan telah berkembang di beberapa wilayah pegunungan di Jawa, seperti di wilayah gunung Lawu, gunung Muria, Penanggungan, gunung Arjuna, Welirang, dan gunung Argapura.

Rata-rata bangunan punden berundak yang diketemuan di wilayah-wilayah itu dibuat pada abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi.

Selain berhubungan dengan tradisi punden berundak pada masa prasejarah, kemungkinan bangunan-bangunan candi tersebut juga berhubungan dengan kepercayaan dan anggapan gunung sebagai tempat suci atau keramat bagi para dewa. Kepercayaan ini nyatanya juga berkembang pada masa klasik di Nusantara.

Situs punden berundak yang terdapat di pulau Bali diantaranya terdapat di Kintamani, Panebel, Sambiran, delulung dan Tenganan. Miniatur dari punden berundak juga dapat ditemukan di wilayah ini.

Di pura Dalem di wilayah Sanur, bangun yang dimaksudkan masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga saat ini. Selain itu, Pura Besakih mungkin tempat yang paling penting untuk melihat perkembangan struktur punden berundak.

Masalah utama hingga saat ini bagi kebanyakan situs punden berundak di Indonesia adalah belum ada kesepakatan pertangalan yang pasti yang sebetulnya hal yang umum terjadi pada benda dan peninggalan arkeologi yang kurang masif.

Tidak adanya kepastian ini sering sekali mengakibatkan bias pada perlambang punden berundak beserta pengaruhnya terhadap sejarah arsitektur di Nusantara.