almanak

Kerajaan Samudra Pasai; Sejarah dan Peranannya

Pada abad ke-13 Masehi, Samudra Pasai yang terletak di pantai utara Sumatra itu, di sepanjang Selat Malaka, telah menjadi bandar perdagangan internasional pertama untuk mengekspor lada dan sutra.

PublishedFebruary 25, 2010

byDgraft Outline

Sebagian besar pantai-pantai utara Sumatra seperti Barus di pantai barat dan Ramni di sebelah utara, bahkan menjadi wilayah kekuasaan perniagaan Pasai.

Walaupun dikenal sebagai Pasai dalam naskah Melayu dan Laporan portugis, kota bandar ini disebut Samudra oleh pedagang India, dan akhirnya nama ini dipakai untuk seluruh Pulau Sumatra.

Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar 1270-an dengan rajanya yang pertama bergelar Islam; Malikh as Shaleh. Kemunculan kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 Masehi sejalan dengan memudarnya pengaruh kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra dan sekitarnya.

Kejayaan Samudra Pasai diperkirakan berada di kawasan daerah Aceh Utara, di hulu sungai Peusangan sekarang, di pedalaman daerah Gayo. Sehubungan dengan letak geografis yang sangat strategis dalam kegiatan jalur perdagangan, wilayah ini kemudian menjadi jalur dagang yang ramai.

Sejak abad ke-13, utusan Samudra Pasai telah berkunjung ke Cina. Sumber Sejarah Samudra Pasai dapat merujuk kepada kronik Dinasti Yuan (1280-1367 Masehi).

Diketahui bahwa mereka telah kedatangan utusan dari Sawen-Ta-La (Samudra) tahun 1288 Masehi. Samudra Pasai juga pada tahun 1282 juga mengirim utusan ke Quilon, India Barat, sepuluh tahun sebelum Marco Polo mendaratkan perahunya di Perlak.

Catatan Marco Polo (1292 Masehi) menuturkan bahwa di kawasan Sumatra diantaranya yaitu Perlak, Basma, Dagrian, Lamuri, dan Fansur. Marco Pola samasekali tidak menyinggung Samudra Pasai tetapi Basma yang letaknya berdekatan dengan Pasai justru tercatat.

Apakah Marco Polo ini mendapat informasi yang keliru? Tapi dari Maco Polo ini kemudian kita mengetahui bahwa Islam telah berkembang di Perlak dan telah ada perkampungan Islam di wilayah tersebut.

Sumber sejarah Samudra Pasai lainnya adalah catatan Ibn Batutah, pengembara Islam dari Marokko. Dalam catatannya ia menyebut Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malikh Al Zahir, putra Sultan Malikh as Saleh.

Islam sudah ada hampir satu abad lamanya didakwahkan di tempat itu. Beliau juga meriwayatkan kerendahan hati, kesalehan, dan semangat keagamaan raja Pasai itu yang menurutnya mengikuti mahzab Syafi’i.

Dalam catatannya juga disebutkan Samudra Pasai telah menjadi pusat studi Islam dan tempat para ulama dari berbagai negeri Islam berkumpul dan berdiskusi.

Kaisar Cina juga tercatat mengirimkan beberapa kali utusannya ke Samudra Pasai pada tahun 1403, 1414, dan 1430. Pada tahun 1405, Utusan Cinta yang bernama Zheng He bertemu dengan Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, barangkali yang dimaksud adalah Sultan Samudra Pasai Zain al-Abidin Malik al Zahir yang memerintah di Aceh dari tahun 1383 hingga 1405 Masehi.

Table of contents

Open Table of contents

Pasai Sebagai Pusat Islam

Islam hadir secara nyata di Sumatra paling utara pada akhir abad ke-13. Dari Pasai, Sumatra Utara, Islam menyebar ke bandar lain di Indonesia, Semenanjung Malaya, dan Filipina selatan. Pada akhir abad ke-14 Islam mengubah kepercayaan hingga jauh ke Trowulan, Jawa Timur.

Antara tahun 1290 sampai dengan 1520, Samudra Pasai bukan hanya menjadi kota dagang terpenting di Selat Malaka, tetapi juga menjadi pusat perkembangan Islam dan kesusasteraan melayu. Selain berdagang, para pedagang Arab, Gujarat, dan Persia itu menyebarkan agama Islam.

Pengaruh Pasai sebagai pusat Islam menyebar ke seluruh bagian utara Sumata, dan tidak hanya merambah Aceh, tapi juga ke Semenanjung Malaka dan Jawa. Seorang Sheikh dari Pasai dicatat dalam sejarah sebagai penasihat keagamaan. Makam-makam di Malaka dan Pahang sering menyalin tulisan dari makam-makam Pasai.

Eratnya hubungan Samudra Pasai -Jawa juga dapat ditelusuri dari latar belakang para Wali Songo. Konon Sunan Kalijaga memperistri putri Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah pendiri kerajaan Islam di Cirebon, Banten, dan Jakarta ini pun lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.

Raja-Raja Pasai

Sebagaimana disebutkan dalam beberapa tradisi lisan dan Hikayat Raja-Raja Pasai, Raja Pasai pertama adalah Meurah Silu. “Meurah” bukan lah nama tetapi gelar bagi raja-raja di wilayah utara Sumatra sebelum datangnya agama Islam.

Dalam bahasa Gayo Meurah kadang disebut Merah. Sultan Iskandar Muda konon digelari dengan Meurah Pupok. Bangsawan Minangkabau juga ada yang menggunakan “Marah” sebagai gelar.

Meurah Silu atau Merah Silu setelah memeluk islam kemudian memperoleh gelar Islam Malikh as Shaleh (Malikussaleh) beliau meninggal pada tahun 1297 Masehi. Satu Syair dalam bahasa Arab diukir pada batu nisannya. Terjemahan bebas syair tersebut sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa dunia mudah hancur. Dunia tidak abadi. Ketahuilah bahwa dunia seperti sarang laba-laba, Dianyam oleh laba-laba. Ketahuilah bahwa apa yang kau capai di dunia akan mencukupi kebutuhan. Manusia yang mencari kekuatan Hidup di dunia tidak lama Semua makhluk akhirnya mati

Melalui pengaruh Pasai, syair yang sama diukir pada nisan Sultan Mansyur Syah dari Malaka, yang meninggal tahun 1477 Masehi, dan juga terukir pada nisan Sultan Abdul Jamil dari Pahang, yang meninggal tahun 1511 atau 1512 Masehi.

Meski pun secara umum peninggalan-peninggalan peradaban Samudra Pasai tidak dapat dilacak lagi dengan mudah, namun tulisan-tulisan kaligrafi di artefak-artefak nisan-nisan kuburan peninggalan para raja-raja, pemuka agama, pemuka-pemuka kerajaan, dan orang-orang penting kerajaan menjadi bukti yang nyata sebagai sumber informasi akurat tentang peradaban Samudra Pasai pada masanya.

Raja-raja Samudra Pasai yang termuat pada makam Nahrisyah adalah sebagai berikut:

1. Meurah Silu, Malikh as Shaleh, Malikussaleh (1275-1297 Masehi) 2. Sultan Muhammad Malikh al Dhahir (1297-1326 Masehi) 3. Sulatn Ahmad Malikh ad Dhahir (1326 -1371 Masehi) 4. Sultan Zainal Abidin Malikh ad Dhahir (1371-1405 Masehi) 5. Sultan Hidayah Malikh al Adil (1405-) 6. Sultanah Nahrisyah memerintah tahun (-1428)

Dari sumber lain dapat diketahui urutan penguasa Pasai sebagai berikut:

Sultan Malikh as-Saleh, – 1297 Masehi Muhammad Malikh Al-Zahir 1297-1326 Masehi Mahmud Malikh Al-Zahir 1326-1345 Masehi Manshur Malikh Al-Zahir 1345-1346 Masehi Ahmad Malikh Al-Zahir 1346-1383 Masehi Zain Al-Abidin Malikh AL-Zahir 1383-1405 Masehi Abu Zaid Malikh Al-Zahir -1455 Masehi Mahmud Malikh Al-Zahir 1455-1477 Masehi Zain Al-Abidin 1477-1500 Masehi Abdullah Malikh Al-Zahir 1501-1513 Masehi Zain Al-Abidin 1513-1524 Masehi

Jalur Perdagangan

Selama abad ke-13 sampai awal abad ke-16 Masehi, Samudra Pasai menjadi bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Pedagang India dari Gujarat, Bengal, dan India Selatan serta para pedagang dari Pegu, Siam, dan Birma berbaur di bandar Selat Malaka dengan para pedagang Cina, Arab, Persia, dan Jawa.

Pasai merupakan bandar yang berkuasa abad ke-14 Masehi, meski memperoleh tantangan serius dari Pidie, sedang Malaka baru berkuasa pada abad ke-15 Masehi.

Hubungan dagang Pasai dan Jawa berkembang dengan pesat. Para pedagang Jawa itu membawa beras ke Samudra Pasai, dan sebaliknya dari kota pelabuhan tersebut mereka mengangkut lada ke Jawa. Konon pedagang dari Jawa bahkan mendapat hak istimewa dengan dibebaskan dari besa dan cukai.

Bahar: Satuan ukuran panjang yang diukur dari bagian ujung kaki ke bagian ujung tangan yang diluruskan ke atas.

Perwakilan Portugis, Tome Pires, menyebutkan bahwa Pasai mengekspor lebih kurang 8.000 sampai 10.000 bahar lada per tahun dan bisa mencapai 15.000 bahar bila terjadi panen besar.

Selain lada, Pasai juga mengekspor Sutera, Kamper, dan emas dari pedalaman. Cara pembuatan sutera kemungkinan diajarkan oleh orang Cina kepada penduduk setempat.

Batu Nisan Islam di Pasai

Sejarah Pasai yang yang panjang masih bisa ditelusuri melalui sejumlah situs berupa makam para pendiri kerajaan beserta keturunannya, para pemuka agama, dan juga tokoh-tokoh penyiar Islam di beberapa wilayah di ujung utara Pulau Sumatra. Makam Sultan Malikh as Saleh dan Makan Ratu Nahrisyah, merupakan dua kompleks situs yang masih terawat dengan baik.

Makam terindah di Samudra Pasai, dibuat dari pualam, yakni makan Ratu Nahraisyah yang meninggal tahun 1428, mirip makam umar ibn Ahmad al-Kazaruni di Cambay, Gujarat–meninggal tahun 1333, juga mirip dengan makan Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim, Jawa Timur.

Ada dua makam Pasai yang tak kalah indahnya, dipenuhi dengan ukirak kaligrafi dan hiasan indahnya, dipenuhi dengan ukiran kaligrafi dan hiasan indah; pertama makam Paengeran Abdullah dari dinasti Abbasiyah, Baghdad, yang meninggal di Pasai tahun 1407, dan makam kedua milik seorang keturunan Iran, Na’ina Husan al-Din, yang meninggal tahun 1420.

Makam Na’ina Husam al-Din mengandung sebuah syair yang ditulis penyair kenamaan Persia, Syaikh Muslih al-din Sa’di (1193-1292), penulis Gullistan dan Bustan.

Ditulis dalam bahasa Parsi dengan tulisan Arab, merupakan satu-satunya syair berbahasa Parsi yang ditemukan di Asia Tenggara. Selain ukiran sebuah pohon indah, ada kutipan Al-Quran II: 256, Ayat Kursi, seperti yang ditemukan pad makan Ratu Nahrasiyah.

Syair Sa’di pada nisan Na’ini Hustam al-Din mengabaikan tiga bait-yaitu bait keenam, ketujuh, dan kesembilan–yang merupakan bait terakhir.

Terjemahan teks syair Muslih al-Din Sa’di sebagai berikut:

Tahun-tahun tak terhingga telah melewati bumi, sedang air musim semi pun mengalir dan angin bertiup sepoi-sepoi.

Hidup ini adalah sekelebat dari hari-hari yang dilalui manusia, mengapa banyak orang melewati bumi dengan pongah?

Oh kawan! Bila engkau melewati pemakaman musuhmu, janganlah bersorak kegirangan, karena peristiwa ini juga akan ka alami!

Debu akan menusuk tulang-tulangmu, dengan mata yang kurang peka, seperti kotak surma (kecantikan) yang dapat ditusuk oleh tutinya (Balsem ) Barang siapa melewati bumi kini dengan sombong seraya mengangkat sarung, keesokan hari tubuhnya akan hilang bagai debu

Dunia merupakan lawan kejam dan kekasih tak setia; saat duni berlalu, meski apa pun yang terjadi, biarkan saja ia berlalu tanpa diganggu. Ini keadaan tubuhmu di bawah tanah; siapa saja yang datang pada kehidupan yang begitu berarti, kemanakah ia akan menuju?

Tiada percaya diri di bawah naungan naungan amal, Sa’di hanya di bawah bayang kebaikan tuhan.

Ya Tuhan! Jangan menghukum manusia tanpa daya, karena hanya dari Engkaulah bertumbuh kemurahan hati, dan dari manusia hanya kesalahan.

Situs makam keluarga istana Kerajaan Samudra Pasai dipercayai hanya terletak di kompleks tersebut, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudra Geudong, sekitar 20 km dari Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara.

Beberapa kuburan raja-raja dan ratu terletak di sana, tetapi kompleks makam Blangmeh masih banyak yang perlu diteliti dan diungkapkan untuk menelusuri raja-raja Samudra Pasai, terutama sehubungan dengan masa akhir keberadaan pemerintahan Kerajaan Samudra Pasai.

Uang Logam Emas, Mata Uang Kerajaan Samudera Pasai

Pada abad ke 14 wilayah Kesultanan Samudera Pasai menuai masa kejayaan. Kejayaan itu di buktikan dengan kemampuan kesultanan Samudera Pasai membuat mata uang emas pada masa Sultan Malik Al Dhahir (1297-1326) pada abad ke-13.

Wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai terletak pada daerah yang diapit dua sungai besar di pantai utara Aceh yaitu sungai Peusangan dan sungai Pasai. Sementara itu ada pula yang berpendapat wilayah kesultanan Samudera Pasai lebih luas lagi ke selatan yaitu sampai dengan muara sungai Jambu Anyer.

Bisa disimpulkan yang jelas bahwa letak Kesultanan Samudera Pasai adalah daerah aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman dataran Tinggi Gayo (Aceh Tengah).

Bisa disebutkan mata uang kerajaan Samudera Pasai adalah mata uang emas pertama yang dikeluarkan nusantara oleh kerajaan islam dengan oranamen islam (tulisan arab) yang tertulis dalam sisi atas dan sisi bawah, karena pada masa-masa sebelumnya kerajaan nusantara lain juga sudah mengeluarkan mata uang dari emas.

Ada yang menyebutkan bahwa mata uang kerajaan Samudera Pasai ini sangat halus pengerjaanya dibandingkan mata uang logam perak di Jawa.

Deurham, deureuham, derham, dirham, dramas atau ada yang menyebutkan dinar emas adalah nama penyebutan mata uang kerajaan Samudera Pasai, mata uang logam yang dikeluarkan oleh Sultan Malik Al Dhahir.

Mata uang logam emas yang terbuat dari serbukan emas dan perak dengan sisi atas tertulis Muhamad Malik Al-dhahir pada sisi bawahnya tertulis Al-Sultan Al-Adil mempunyai garis tengah 10 mm berat 0,6 gram dengan mutu 18-20 karat.

Sumber lain menyebutkan diameter deurham 1 cm dengan berat 0,57 gram dan mempunyai mutu atau kandungan emas 17-19 karat. Ada pula yang menyebutkan deurham mempunyai kandungan emas yang sepadan dengan 40 grains atau 26 gram.

Adapun pengeluaran uang Kesultanan Samudera Pasai harus memenuhi peraturan bahwa seluruh Sultan Samudera Pasai perlu menuliskan frasa Al-Sultan al-Adil pada durham yang dikeluarkan para Sultan Samudera Pasai. ‘ Adil berarti keadilan, yang selalu diharapkan manusia zaman dahulu atau pun zaman sekarang.

Deurham bukanlah salah satunya mata uang keluaran Kesultanan samudra pasai karena menurut pendapat yang bersumber pada buku Ying Yai Sheng Lan karya Ma Huan, di tulis dan diterjemahkan oleh Laksamana Muslim Cheng Ho dari Cina saat berlayar ke Sumatra Utara (1405 – 1433.

Disebutkan bahwa mata uang Kesultanan Samudra Pasai selain dinar emas atau deurham, Kesultanan SamudraPasai juga menggunakan mata uang yang terbuat dari timah yang disebut keueh. Sumber lain menyebutnya tanil dan juga ceitis. Kueh atau ceitis digunakan untuk nilai alat tukar langsung di pasar, yang mempunyai nilai 1.600 kueh =1 deurham.

Sedangkan nilai deurham pernah dibandingkan dengan mata uang Portugis crusade yaitu 9 deurham sama dengan 1 crusade yang juga sama dengan 500 cash.

Pada tahun 1524 M setelah Kerajaan Aceh Menakhlukan Kesultanan Samudera Pasai tradisi mencetak deurham menyebar keseluruh wilayah Sumatra, bahkan semenanjung Malaka dengan Aceh sebagai corongnya. Derham tetap berlaku sampai bala tentara Nippon mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942.

Pada masa sekarang deurham bisa kita temukan di museum Aceh atau para kolektor seperti seorang pribumi bernama Ibrahim Alfian (1973) seorang pakar Aceh yang juga mengemukakan hasil analisanya tentang deurham yang menjadi koleksi pribadinya atau yang berada di musem Aceh yang bisa dikenali diantaranya :

Deurham menjadi sumber penting sebagai bukti bahwa pada abad ke-13 masyarakat nusantara telah mampu menciptakan mata uang logam emas sendiri sebagai alat tukar.

Deurham juga saksi bahwa kemajuan Kesultanan Samudera Pasai pernah menjadi pelabuhan perdagangan terpenting yang maju dan menjadi penghubung antara pedagang- pedagang nusantara dan luar nusantara.

Akhir Samudra Pasai

Diberitakan telah terjadi beberapa pertikaian di Samudra Pasai yang salah satunya merupakan mengakibatkan terjadinya perang saudara. Naskah Sulalatus Salatin menceritakan bahwa Sultan Pasai kemudian meminta bantuan kepada Penguasa Malaka untuk meredam pemberontakan tersebut.

Pasai kehilangan kekuasaan perdagangan atas Selat Malaka pada pertengahah abad ke-15 Masehi, dan dikacauakan Portugis pada tahun 1511-1520 Masehi. Akhirnya kerajaan ini dihisap kesultanan Aceh pada tahun 1520an. Warisan peradaban Islam Samudra Pasai kemudian diteruskan dan dikembangakan di Aceh.

Tinjauan Sumber Sejarah Kerajaan Samudra Pasai

Sejarah Samudra Pasai dapat disimpulkan dari telaah perpustakaan dan penelitian – penelitian sebelumnya. Sumber-sumber sejarah peradaban Kerajaan Samudra Pasai terbatas pada buku Hikayat Raja Pasee, cerita Marcopolo, cerita Ibnu Batutah, serta cerita-cerita rakyat.

Hikayat Raja-raja Pasai adalah sebuah manuskrip yang disalin dari manuskrip Kiai Suradimanggala, Bupati Sepuh di Demak pada tahun Saka 1742 bertepatan dengan 1814 Masehi.

Informasi tentang kerajaan Samudra Pasai dalam Hikayat Raja-raja Pasai ( Kronika Pasai ), seperti penamaan Pasee dari kata “anjing”, perlu untuk dicermati kembali.

Sebab andai pun itu nama kerajaan sebelum Meurah Silu memeluk Islam, sungguh Meurah Silu—yang kemudian bertukar nama menjadi Makussaleh (Al-Malik Ash-Shalih) dan bermazhab Syafi’i serta tahu betul hukum mengenai anjing dalam mazhab Syafi’i—akan menukar nama Pasai itu menjadi yang lain, daripada mempertahankan nama anjingnya menjadi nama sebuah kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara.

Begitu pula halnya dengan nama Samudra. Di sini nampak kembali ketidakbenaran apa yang disebutkan dalam HRP bahwa Samudra berarti “semut besar”. Dalam kisahnya diriwayatkan bahwa Meurah Silu atau Malikussaleh memakan semut besar sementara ia sudah memeluk Islam, dan diketahui bahwa dalam syariat Islam, terutama dalam mazhab Asy-Syafi’i semut haram dimakan.

Penamaan daerah atau kerajaan dengan sesuatu yang berkaitan dengan perilaku buruk rajanya adalah suatu yang ganjil dan nyata sekali mengada-ada untuk suatu maksud terpendam. Bahkan penamaan Pasee dari “anjing” dan Samudra dari semut adalah sesuatu yang kontradiksi dengan lakab beliua sebagai raja yang saleh, ”Malikussaleh”.

Demikian juga, masuk Islam ke Samudra Pasai dalam gambaran Hikayat Raja-raja Pasai sama dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, bahwa Islam datang secara seketika setelah berabad-abad berkembang di Arab, dan dibawa masuk dari India.

Versi Snouck yang sama digambarkan dalam Hikayat Raja-raja Pasai meragukan anggapan dasar penulis Hikayat Raja-raja Pasai tentang Islam itu sendiri, sehingga gambaran yang diberikan lebih negatif, kontradiktif, dan selalu tidak konsisten sehingga dengan sangat mudah menangkap anggapan dasar negatif terhadap Islam itu sendiri.

Menurut penilaian kami manuskrip ini tidak bisa dijadikan sumber dalam penulisan sejarah Kerajaan Islam Samudra Pasai dikarenakan beberapa alasan, yaitu:

  1. Manuskrip ini hanyalah cerita dongeng (fiksional) yang mengambil latar belakang (tokoh dan tempat) yang benar-benar ada. Di satu sisi ia tidak lebih dari sebuah karya semacam Alfu Lailah Wa Lailah ( Cerita Seribu Satu Malam yang mengambil latar belakang Baghdad dan tokoh-tokohnya). Sisi yang berbeda hanya HRP menampakkan secara menonjol suatu niat busuk yang terpendam dalam batin si pengarangnya.

  2. Ketidakjelasan siapa pengarang dan bagaimana jalan cerita itu diterima secara akurat oleh si pengarangnya ( manhaj tahdits ). Hal ini menyebabkan Hikayat Raja-raja Pasai tidak memiliki potensi ilmiah untuk menjadi sumber sejarah, apalagi sejarah sebuah kerajaan yang diyakini menjadi pusat penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.

Perjalanan Marco Polo yang Singgah di Sumatra pada 1292

Sementara Perjalanan Marco Polo (1254-1325) adalah suatu kisah yang ditulis tentang lawatan keluarga Polo dari Eropa ke Timur Jauh dan menjadi pelayan di istana Kubilai Khan, putra penakluk besar Jengis Khan. Marco Polo adalah putra dari Nicolo, salah seorang dari dua bersaudara (Nicolo & Maffio Polo).

Polo bersaudara ini adalah dua saudagar dari Vinesia. Setelah bertemu dengan Kaisar Kubilai Khan, keduanya banyak bercerita tentang Eropa dan agama Kristen kepada Kubilai Khan dan keduanya kemudian menjadi utusan Kubilai Khan untuk membawa suratnya kepada Pope (Paus) di Roma. Posisi kedua bersaudara ini dalam hubungan mereka dengan kekaisaran Mongol diteruskan oleh Marco.

Pengambaran Marco Polo terhadap kawasan Samudra Pasai ketika singgah dalam perjalanannya ke Persia untuk mengantarkan putri Tiongkok untuk dikawinkan dengan penguasa Persia waktu itu menurut hemat kami sama sekali tidak dapat diterima karena beberapa alasan.

Melihat dari latar belakang keluarganya, mereka adalah keluarga yang membawa misi misionaris Kristen. Dari itu tentu saja Marco Polo memandang sinis terhadap suatu kerajaan Islam besar di Asia Tenggara yang merupakan lawan dari misinya.

Seperti diketahui bahwa masa Marco Polo hidup tidak jauh dari masa Shalahuddin Al-Aiyyubi dan Dinasti Al-Aiyyubiyah yang berhasil mengusir tentara Salib Eropa. Jelas saja ia memendam rasa sakit hati dan dendam kesumat terhadap negeri-negeri Islam—jika bukan karena terpaksa sungguh ia tidak mau singgah di Kerajaan Islam Samudra Pasai.

Menyangkut hal ini, keluarga Polo boleh jadi dalam suatu negoisasi untuk menggalang persekutuan dengan Mongol untuk menghancurkan negeri-negeri Islam. Sebab tidak lama, setelah Turan Syah, pemerintah terakhir dari Dinasti Al-Aiyubiyyah berhasil mengusir Tentara Salib dari Dimyat, bala tentara Tentara Tatar, yang tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Mongol menyerang Mesir.

Tapi mereka berhasil dikalahkan oleh bala tentara Muslim yang dipimpin oleh Al-Malik Al-Mudhaffar Quthuz dan Adh-Dhahir Baibras—keduanya sezaman dengan Al-Malik Ash-Shalih dari Samudra Pasai—di ‘Ain Jalut.

Di sisi lain, masyarakat Muslim di kawasan Samudra Pasai juga tidak mau terbuka dan membeberkan informasi begitu saja tentang negeri mereka kepada seorang yang berlainan akidah. Apalagi saat itu Islam sedang mengalami perseteruan yang sengit dengan Eropa.

Bahkan sangat boleh jadi bahwa informasi yang diberikan oleh penduduk Samudra Pasai tentang kawasan-kawasan pedalaman di Aceh kepada Marco Polo dimaksudkan untuk menakut-nakutinya, seperti di sana masih ada manusia primitif dan makan manusia sehingga tidak dimasuki oleh orang berlainan akidah itu.

Maka dari itu perjalanan Marco Polo tidak dapat dijadikan referensi ilmiah dalam menulis Kerajaan Islam Samudra Pasai karena tidak dapat dijamin objektifitasnya, bahkan pandangan sinisnya terhadap Samudra Pasai bangkit dari suatu kedengkian yang mendalam kepada negeri-negeri Islam.

Perjalan Ibnu Batutah

Ibnu Batutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, memberi informasi yang sangat beharga tentang Kerajaan Samudera Pasai. Namun disayangkan, catatannya sangat singkat, sesuai dengan kunjungannya yang singkat pula ke kerajaan Malikussaleh.

Ia mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatra sekitar 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Ibnu Batutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota, mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudra Pasai. Samudra Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudra Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.

Kejayaan Samudra Pasai yang berada di daerah Samudra Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peureulak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudra pada 1270 Masehi.

Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Batutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin.

Meski telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap sewenang-wenang. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Batutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.

Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudra Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya: “Ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama.”

Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudra Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.

Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000-10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman.

Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju, sebagai bandar dagang yang maju, Samudra Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.

Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudra Pasai.

Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai. Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.

Eratnya pengaruh Kerajaan Samudra Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis, lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.

Epigrafis pada Nisan Al-Malik Ash-Shalih

Apabila kedua sumber ( Hikayat Raja-raja Pasee dan Perjalanan Marco Polo ) ini dalam hemat penulis tidak dapat digunakan sebagai sumber yang menjamin kebenaran penulisan sejarah Kerajaan Islam Samudra Pasai.

Maka hanya ada satu sumber lain yang menurut hemat kami itulah satu-satunya sumber akurat dan tepercaya, dan dapat menjadi ukuran/patron bagi berbagai keterangan yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasee dan Perjalanan Marco Polo, yaitu artefak yang ada pada batu nisan raja-raja. Pemuka agama dan tokoh-tokoh yang bertebaran di wilayah kekuasaan dan pengaruh Samudra Pasai pada masanya.

Samudra Pasai di Era Modern

Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya, pemuka agama, dan tokoh penyiar Islam di makam-makam peninggalan mereka.

Makam-makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain sudah tidak dapat dilacak lagi dengan sempurna. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat.

Makam Sultan Malikussaleh berada di mulut pintu masuk ke cagar budaya Samudra Pasai. Sekitar setengah kilometer dari makam itu ada lokasi yang dulunya istana Kerajaan Pasai. Sayang sekali, wujud fisik bangunan yang berada persis di bibir pantai Lhokseumawe, Aceh Utara, itu tak lagi bisa dinikmati.

Kawasan itu sudah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan. Bekas-bekas fondasi dari batu bata merah masih terlihat di atas tanah tempat berdirinya kerajaan. Di atas tanah seluas lebih dari lima hektar itu, kebesaran kerajaan masih sangat terasa. Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut (44), ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai.

Raja menganggap ke-44 ulama itu sebagai lawan politiknya dan memerintahkan agar mereka dibunuh. Akibat tindakannya yang sewenang-wenang, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti “pelit”.

Makam Ratu Nahrisyah merupakan makam yang mengesankan. Makam sang ratu dan suaminya terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora. Marmer-marmer mewah bewarna coklat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang.

Situs makam keluarga istana Kerajaan Samudra Pasai dipercayai hanya terletak di komplek tersebut, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudra Geudong, sekitar 20 km dari Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara.

Beberapa kuburan raja-raja dan ratu terletak di sana, tetapi Kerajaan Samudra Pasai sebagai sebuah peradaban yang agung dan merupakan salah satu kerajaan yang berjasa membangun peradaban Islam pertama di Asia Tenggara, bukti-bukti peradabannya tersebar di seluruh kawasan kekuasaan dan pengaruhnya di Aceh, Indonesia, dan Asia tenggara.

Meski pun secara umum peninggalan-peninggalan peradaban Samudra Pasai tidak dapat dilacak lagi dengan mudah, apalagi dapat dibuktikan dengan otentik, namun tulisan-tulisan kaligrafi di artefak-artefak nisan-nisan kuburan peninggalan para raja-raja, pemuka agama, pemuka-pemuka kerajaan, dan orang-orang penting kerajaan menjadi bukti yang tak dapat terbantahkan sebagai sumber informasi akurat tentang peradaban Samudra Pasai pada masanya.

Hasil telaah kami, penelitian-penelitian sebelumnya tentang Samudra Pasai belum pernah dilakukan dengan pendekatan pembacaan kaligrafi Arab yang ada di batu-batu nisan peninggalan para pemuka kerajaan dan ulama serta tokoh masyarakat Kerajaan Samudra Pasai.

Hal ini menjadi sangat wajar karena situasi politik dan konflik yang tidak kunjung berhenti sebelumnya, menghambat penelitian ini karena alasan keamanan. Apalagi dengan letak batu-batu nisan ini yang tersebar di hutan belantara dan pengunungan yang berjauh sekali dengan kota sehingga selain membutuhkan keamanan yang ekstra juga membutuhkan waktu, ketabahan penelti, dan kesabaran dalam menjelajahi menemukan kuburan yang bertebaran di hampir seluruh wilayah pesisir di Aceh.

Hasil penelitian awal yang telah kami lakukan berbulan-berbulan, menunjukkan umumnya batu-batu nisan itu mempunyai corak yang sama, lambang kerajaan yang sama dan tulisan-tulisan kaligrafi Tsuslust, Tsulustain, Diawani, Nasakh, dan Kufi yang saling behubungan sebagai sebuah informasi tentang jiwa dan badan peradaban Samudra Pasai.

Semua artefak ini menjadi saksi sejarah yang sangat otentik, namun disayangkan batu-batu ini menjadi terbengkalai karena tidak ada kepedulian, dilanda tsunami, larut dimakan masa, dan sebagian lainnya menjadi objek penjualan ke luar negeri untuk mendapatkan imbalan uang.