almanak

Adityawarman, Maharajadiraja Malayupura

Adityawarman merupakan bangsawan dari dua dinasti, yaitu dinasti Mauliwarmadewa di Malayu (Dharmasraya) di Sumatra dan dinasti Singhasari-Majapahit di Jawa.

PublishedMay 16, 2010

byDgraft Outline

Adityawarman (lahir: Malayu (atau Majapahit?), antara 1310 – 1320 M; wafat: Pagaruyung, 1375) adalah seorang maharajadiraja alias raja agung Malayupura.

Malayupura ini awalnya beribukota di Dharmasraya yang kemudian pindah ke Suroaso (Pagaruyung, Sumatra Barat) pada abad ke-14. Adityawarman meneruskan takhta Malayupura dari pamannya, Akendrawarman.

Bangsawan Dua Dinasti

Menurut Prasasti Kuburajo yang berada di Limo Kaum dan menggunakan aksara Dewanagari, Adityawarman adalah anak Adwayawarman, sementara menurut Prasasti Bukit Gombak ia putra Adwayadwaja.

Nama ayahnya ini mirip dengan nama seorang pejabat penting Kerajaan Singhasari, yakni Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrahma, yang pada 1286 M mengantarkan arca Amoghapasa untuk disimpan di Dharmasraya sebagai hadiah Raja Singhasari, Kertanagara, kepada Raja Malayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.

Nama Adityawarman tercantum pula pada Prasasti Blitar bertarikh 1330 M sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. Nama Sang Arya Dewaraja Empu Aditya pun termaktub dalam Prasasti Bendasari yang menyebutkan istilah tanda rakryan makabehan serta urutan jabatan di Majapahit setelah raja.

Piagam ini menyebutkan sejumlah jabatan di Majapahit secara berurutan, dimulai dari wreddamantri sang aryya dewaraja empu Aditya, lalu sang aryya dhiraraja empu Narayana, kemudian rake mapatih ring Majapahit empu Gajah Mada, dan seterusnya. Dengan begitu, jelas kedudukan Adityawarman sangat tinggi di Majapahit, bahkan melebihi Gajah Mada.

Sementara itu, kitab Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama (disebut juga Kidung Ranggalawe ), menyebutkan nama yang oleh sebagian ahli diidentikkan sebagai Adityawarman, yakni Tuhan Janaka yang bergelar Sri Warmadewa alias Raja Mantrolot.

Ibu Tuhan Janaka adalah Dara Jingga, putri Kerajaan Malayu dari Dharmasraya. Dara Jingga dan adiknya, yakni Dara Petak, ikut bersama tim ekspedisi Pamalayu yang kembali ke Jawa pada 1293 M.

Pararaton pun menyebutkan bahwa ahli waris Kertanagara (Raja Singhasari pencetus ide Pamalayu ) yakni Raden Wijaya kemudian mengambil Dara Petak sebagai permaisuri dan melahirkan Kalagemet (Jayanagara), sedangkan Dara Jingga diperistri oleh seorang bangsawan Majapahit yang tak disebutkan namanya.

Dara Jingga dan Dara Petak tiba di Jawa dari Sumatra sepuluh hari setelah pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir pasukan Tatar alias Mongol-nya Kubhilai Khan untuk menyerang Jawa.

Atas keterangan Pararaton yang singkat ini, sejarawan menilai, Tuhan Janaka lahir dan dibesarkan di Majapahit pada masa pemerintahan Raden Harsa Wijaya (1294–1309).

Namun, jika kita teliti membaca berita Pararaton bahwa Dara Jingga tiba di Jawa pada 1293 M, sedangkan prasasti pertama yang mencantumkan nama Adityawarman bertarikh 1347 M, maka besar kemungkinan anak Dara Jingga bukan Adityawarman, melainkan pendahulunya yakni Akendrawarman.

Yang jelas, menurut prasasti di Minangkabau, Aditya mengaku masih sedarah dengan putri Rajapatni di Majapahit. Rajapatni, menurut Nagarakretagama, merupakan gelar bagi Gayatri, istri keempat Raden Wijaya.

Sementara itu, Prof. Berg, menganggap tokoh Arya Damar dalam Babad Arya Tabanan dan Kidung Pamacangah sebagai Adityawarman. Dikisahkan, Arya Damar sebagai Bupati Palembang berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali tahun 1343.

Dalam Babad Arya Tabanan diceritakan bahwa Arya Damar keturunan bangsawan Kediri, sedangkan dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis abad ke-18 dikatakan bahwa Arya Damar merupakan ayah tiri Raden Patah pendiri Kerajaan Demak di Jawa pada abad ke-15.

Dengan begitu, ada jarak satu abad antara masa penyerangan Bali oleh Arya Damar dengan pendirian Kerajaan Demak; dan fakta ini tentu perlu dipertimbangkan kembali.

Melihat arca Amogaphasa sebagai perlambangan dirinya dan juga Prasasti Bukit Gombak yang menyebutkan ia telah membangun sebuah wihara di Suwarnabhumi (istilah Sumatra dulu), rupanya Adityawarman menganuti Buddha.

Ia pun menganggap dirinya penjelmaan Lokeswara. Jejak kebuddhaan ini dapat kita lihat pula pada penamaan Biaro Gadang (“biara atau wihara agung”), sebuah nagari di Kabupaten Agam.

Namun, bisa pula ia seorang penganut ajaran Siwa-Buddha sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan Singhasari-Majapahit.

Saat Jayanagara menjadi raja Majapahit menggantikan Raden Wijaya, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk Kaisar Dinasti Yuan (1271 – 1368) sebanyak dua kali, yaitu tahun 1325 dan 1332.

Kronik Dinasti Yuan menyebutkan nama Adityawarman sebagai Sengk’ia-lie-yu-lan. Pengiriman duta ini dilakukan oleh Majapahit sebagai usaha perdamaian dengan Mongol yang beberapa tahun sebelumnya berhasil “ditipu-daya” oleh Raden Wijaya dan kanca-kanca atas saran Arya Wiraraja.

Menurut Prasasti Manjusri yang bertahun 1343 M, semasa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Adityawarman menduduki jabatan wrddha-mantri atau perdana menteri di Majapahit dan bergelar Aryadewaraja pu Aditya.

Prasasti Manjusri sendiri berada di sebuah candi tambahan yang dibangun oleh Adityawarman di dekat Candi Jajagu atau Candi Jago (candi yang didirikan Kertanagara tahun 1341 M untuk menghormati ayahnya, Wisnuwardhana), di mana terdapat arca Manjusri.

Pada 1339 Masehi Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk wilayah Suwarnabhumi. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan, tiada satu pun yang menyebutkan hubungannya dengan bhumi jawa.

Uli Kozok bahkan berpendapat bahwa Adityawarman lahir di Sumatra, bukan di Majapahit seperti yang diyakini Slamet Muljana, dan tidak identik dengan Tuhan Janaka seperti yang disebutkan Pararaton.

Menurut Kozok, Adityawarman dikirim ke Majapahit selagi muda dalam rangka persahabatan Malayu-Majapahit; dengan begitu ia pun bukan bangsawan bawahan Majapahit.

Raja Malayupura di Pagaruyung

Berdasarkan tulisan di belakang arca Amoghapasa (disebut juga Prasasti Padang Roco), pada 1347 M Adityawarman merupakan raja Malayapura. Prasasti Kuburajo menyebutkan bahwa Adityawarman sebagai Kanakamedinindra, yakni raja di Kanakamedini.

Sebagian ahli berpendapat bahwa Kanakamedini (“Pulau Emas”, sepadan dengan arti Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa ) merupakan nama lain dari Kerajaan Malayu(pura).

Tahun 1347 M, setelah meluaskan wilayah kekuasaan hingga Pagaruyung (Suruaso), Adityawarman mengangkat dirinya menjadi Maharajadiraja Srimat Sri Adityawarmodaya Pratapaparakrama Rajendra Maulimaliwarmadewa.

Walau begitu, Adityawarman tetap menganggap dirinya sebagai sang mantri terkemuka dari Rajapatni di Majapahit. Tak hanya mengangkat diri menjadi maharajadiraja, ia kemudian memindahkan ibukota ke Pagaruyung.

Dengan begitu, praktis ia telah melepaskan diri sebagai bawahan Majapahit di Sumatra (bila memang ia seorang bawahan Majapahit sebelumnya).

Kita pasti bertanya-tanya: mengapa Adityawarman memindahkan takhta dari Dharmasraya? Alasan ini bisa kita jawab dengan melihat silsilah dirinya sebagai keturunan Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.

Adityawarman memiliki darah bangsawan Dharmasraya dari ibunya (Dara Jingga, putri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa), bukan dari ayahnya (jika memang ia anak Dara Jingga).

Berita bahwa ia keturunan Dinasti Mauli—terlepas ia anak Dara Jingga atau bukan—dapat kita temui pada Prasasti Padang Roco. Rupnaya, Adityawarman cukup cerdas memindahkan pusat kerajaan ke wilayah pedalaman, yakni Pagaruyung, agar konfrontasi langsung dengan Majapahit yang tengah gencar memperluas wilayahnya di bawah Mapatih Gajah Mada dapat dihindari.

Selain itu, sangat mungkin juga kepindahannya ke pedalaman didorong keinginan Adityawarman untuk dapat langsung mengontrol sumber emas di kawasan Bukit Barisan.

Melihat gelarnya, tampaknya tokoh kita satu ini berusaha menggabungan tiga gelar raja sebelumnya, yakni Mauli gelar penguasa Dharmasraya, gelar Sri Udayadityavarman yang pernah disandang seorang raja Sriwijaya, serta gelar rajendra yang dipakai raja Chola dari India penakluk Sriwijaya.

Hal ini dilakukan Adityawarman untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di bhumi malayu, sesuai dengan manuskrip pengukuhannya sebagai maharajadiraja yang menyebutkan dirinya sebagai “pelindung persatuan dan menentang perpecahan dalam kerajaannya”.

Berdasarkan Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu, Adityawarman telah menyelesaikan selokan untuk mengairi “taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi” yang sebelumnya dibuat oleh Akendrawarman, pamannya sekaligus raja Malayu sebelumnya.

Dari berita ini, kita bisa mempertimbangkan pendapat bahwa Adityawarman bukanlah anak Dara Jingga, melainkan keponakan Akendrawarman, raja Malayu yang kemungkinan besar anak Dara Jingga, di mana sesuai adat Minangkabau bahwa keponakan merupakan ahli waris pamannya. Pun, berita ini menggambarkan perhatiannya yang besar terhadap lingkungan serta perekonomian wilayahnnya.

Pada masa Dinasti Ming (1368 – 1644), sebagai Raja Malayupura, Adityawarman mengirimkan utusan sebanyak 6 kali selama 1371- 1377. Kronik Dinasti Ming menyebutkan, pada 1376 M terdapat tiga penguasa di San-fo-tsi (Sumatra), yakni Sengk’ia-li-yu-lan (Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya).

Berita Cina ini bisa dikaitkan dengan Prasasti Padang Roco yang menyebutkan gelarnya sebagai maharajadiraja yang membawahi Dharmasraya dan Palembang.

Politik diplomatis yang dijalankan sang rahja agung dari Malayupura secara cermat ini membuat Kaisar Cina memberi peringatan kepada raja Siam agar tidak menyerang Malayupura.

Adityawarman memerintah di Pagaruyung hingga 1375 M, berdasarkan tahun pada Prasasti Batusangkar, dan digantikan anaknya, Ananggawarman. Bila tahun yang tercantum dalam prasasti ini merupakan tahun wafatnya, maka bisa diperkirakan bahwa ia wafat dalam usia 55 (jika lahir ahun 1320) atau 65 tahun (jika lahir ahun 1310).

Namun anehnya, semua prasasti peninggalannya tidak menyebutkan kata Pagaruyung ; begitu juga tambo (tradisi lisan) yang beredar di masyarakat Minang tak menyebutkan nama Adityawarman.

Namun, Prasasti Suroaso menyebutkan Adityawarman sebagai Suravasawan atau Tuan Surawasa. Rupanya, kata Surawasa berubah tutur menjadi Suruaso, sebuah nagari yang bersepadanan dengan nagari Pagaruyung kini.