almanak

Tribhuwana Tunggadewi , Ratu Kerajaan Majapahit

Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, Gajah Mada didaulat untuk mengikrarkan sebuah gagasan demi menyatukan daerah-daerah di luar kerajaan Majapahit dalam satu kesatuan yang utuh.

PublishedJune 4, 2010

byDgraft Outline

Di tahun 1328, Tribhuwana Tunggadewi naik takhta di Kerajaan Majapahit. Ia adalah satu dari banyak tokoh wanita dalam khazanah Sejarah Dunia yang mempunyai pengaruh di masanya.

Dyah Gitarja merupakan nama Kecil dari Tribhuwana Tunggadewi, ia putri pertama Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dari buah perkawinannya dengan Dyah Gayatri. Tribhuana Tunggadewi mempunyai adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara.

Pada masa pemerintahan Raja Jayanagara (1309-1328) Tribhuwana diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana, bergelar Bhre Kahuripan. Suami Tribhuwana Tunggadewi bernama Cakradhara dan bergelar Kertawardhana Bhre di Tumapel. Dari perkawinan tersebut lahir Rajasanagara (Hayam Wuruk) dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai putra mahkota dan Raja Muda di Kahuripan bergelar Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.

Tribhuwana Tunggadewi saat memerintah Kerajaan Majapahit bergelar Bhatara Sakalayawadwipa Sri Tribhuwana Uttunggadewi Jayawisnuwardhani atau Sri Paduka Mahalaksmyawatara Sri Tribhuwanottungga Rajanantawikramaottunggadewi.

Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Tribhuwana Tunggadewi adalah raja ketiga Majapahit. Ia menggantikan saudaranya Raja Jayanagara atas mandat ibunya, Dyah Gayatri.

Pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi kemudian dikenal sebagai masa awal berkembangnya pengaruh kerajaan Majapahit ke beberapa wilayah diluar kekuasaan Majapahit hingga mencakup hampir seluruh wilayah Jawa bagian timur.

Pada tahun 1331 Tribhuwana ikut serta dalam menumpas beberapa pihak yang diduga telah memberontak kepada Kerajaan Majapahit. Ia bahkan bertindak langsung sebagai panglima penumpasan pemberontak di Sadeng dan Keta dengan didampingi sepupunya, Adityawarman.

Sosok Gajah Mada yang selama ini membantu dalam menertibkan wilayah-wilayah konflik di wilayah Majapahit, di tahun 1334 namanya muncul sebagai patih Majapahit menggantikan Aya Tadah.

Gajah Mada kemudian didaulat untuk menyampaikan visi-misinya tentang gagasan penyatuan wilayah di bawah daulat Kerajaan Majapahit. Gajah Mada bahkan di beberapa kesempatan bertindak langsung sebagai pelaksana dalam gagasan penyatuan tersebut. Ambisi Gajah Mada, dan misi perluasan cakrawala Majapahit oleh Tribhuwana, akhirnyya membuahkan hasil.

Hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa berhasil ia satukan di bawah panji Majapahit, yang kemudian dibagi-bagi ke dalam beberapa daerah setingkat provinsi. Bahkan pada tahun 1343, Kerajaan Majapahit berhasil menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Balidwipa berhasil disatukan. Di tahun 1347 Majapahit kemudian mulai melakukan pendekatan dengan wilayah-wilayah di Melayu.

Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Namun Tribhuwana Tunggadewi diperkirakan turun takhta pada tahun 1351 sesudah mengeluarkan sebuah prasasti di wilayah Singasari. Ada pun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, Hayam Wuruk.

Tribhuwana lebih memilih kembali menjadi Bhre di Kahuripan, namun ia masih bertindak sebagai dewan penasehat bagi raja yang tergabung dalam kelompok Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung bagi raja. Uraian Pararaton kemudian memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386.