almanak

Kerajaan Malayu, Catatan Sejarah dan Perkembangannya

Nama Kerajaan Malayu mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tentang adanya Kerajaan Malayu ini sebagian besar Sarjana mengacu pada keterangan prasasti dan berita Cina.

PublishedOctober 10, 2010

byDgraft Outline

Kerajaan Malayu diperkirakan berdiri pada akhir abad ke-6. Bukti penting yang menyebutkan tentang keberadaan Kerajaan Malayu adalah catatan perjalanan I-tsing  pada tahun 671 M.

Dalam catatannya itu, I-tsing menceritakan perjalanannya dari Cina menuju India tahun 671 yang pernah singgah dan belajar bahasa Sansekerta di Kerajaan Sriwijaya. Berikut adalah terjemahan perjalanan I-tsing dari Cina/Kanton menuju India yang Singgah di Sriwijaya:

Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan …. Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya.

Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di sana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah.…

Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) …. Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India) ”.

Keterangan catatan yang dibuat oleh I-tsing ini menyebutkan tentang adanya negeri/Kerajaan Malayu. Penyebutan negeri Malayu mengindikasikan bahwa pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bernama negeri Malayu.

Kisah perjalanan I-tsing ini memberikan sebuah pengetahuan bagi kita tentang adanya Kerajaan Malayu di nusantara. Pada tahun 685 sepulangnya dari India I-tsing membuat catatan kembali tentang negeri Malayu yang sudah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Berikut adalah terjemahan catatan I-tsing pada saat pulang dari India:

Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya ”.

Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua …. Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya ”.

Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan ”.

Catatan perjalanan pulang I-tsing dari India menuju Cina menyebutkan bahwa pada tahun 685 negeri Malayu sudah berada di wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa sejak kepergian I-tsing dari pulau Sumatra ke India telah terjadi perubahan politik dan pada masa itu Sriwijaya berhasil menguasai negeri Malayu.

Catatan perjalanan I-tsing tersebut telah dijadikan sebagai salah satu sumber utama dalam memahami dan menggali tentang sejarah Kerajaan Malayu. Banyak sejarawan yang menafsirkan tentang tata letak Kerajaan Malayu tersebut berdasarkan berita I-tasing. Ia telah memberikan sumbagsih cukup besar dalam mendokumentasikan sejarah nusantara.

Berita lain mengenai Kerajaan Malayu berasal dari T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u pada tahun 961. Berdasarkan sumber dari dinasti Tang ditemukan sebuah keterangan yang menyebutkan tentang adanya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644/645. Nama Mo-lo-yeu ini mungkin dapat dihubungkan dengan Kerajaan Malayu yang terletak di pantai Timut Sumatra dengan pusat di sekitar Jambi.

Kerajaan Malayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah berdirinya Sriwijaya sekitar 670, Kerajaan Malayu tidak lagi mengirimkan utusan ke Cina.

Berita dari T’ang-Hui-Yaoi yang menyebutkan tentang adanya utusan dari negeri Malayu pada tahun 645 mengindikasikan bahwa sebelum adanya Kerajaan Sriwijaya Kerajaan Malayu sudah lebih dulu ada, karena Kerajaan Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) baru mengirim utusan ke Tiongkok tahun 670 sampai seterusnya.

Tentang tidak adanya utusan dari Kerajaan Malayu setelah berdirinya Kerajaan Sriwijaya, mungkin dapat dihubungkan dengan keterangan I-tsing yang menyebutkan bahwa negeri Malayu pada tahun 685 sudah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya, sehingga sejak saat itu Kerajaan Malayu tidak lagi mengirim utusan ke Cina.

Letak Kerajaan Malayu

Mengenai letak pasti pusat kerajaan Malayu sampai saat ini masih banyak perbedaan pendapat. Ada yang menduga bahwa Kerajaan Malayu berada di daerah sekitar Jambi sekarang. Namun, dari sumber lain menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu terletak di Semenanjung Tanah Malayu.

Moens melakukan analisis letak Kerajaan Malayu berdasarkan catatan perjalanan I-tsing. I-tsing menyatakan bahwa dari Malayu ke Kendah ia “berganti arah”, sehingga Moens berpendapat bahwa arah Malayu – Sriwijaya harus berada di barat laut – tenggara, karena arah Malayu – Kendah ialah tenggara – barat laut.

Berdasarkan hal tersebut Moens menempatkan Sriwijaya sebelum pindah ke Muara Takus, terletak di daerah timur Jazirah Malaka. Pernyataan ini ia hubungkan dengan prasasti Kedukan Bukit, yang menurut anggapannya merupakan peringatan penguasaan Malayu oleh Sriwijaya. Setelah penguasaan Malayu, pusat Kerajaan Sriwijaya tidak berpindah ke Palembang tetapi ke daerah Muara Takus.

Slamet Muljana menyimpulkan tentang letak Kerajaan Malayu masih berdasarkan keterangan dari berita I-tsing bahwa pada abad ke VII, Malayu terletak di Sungai Batanghari atau sama dengan kota Jambi sekarang.

Slamet Muljana juga menganalisis berdasarkan nama Malayu yang berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta berarti “bukit”. Pada zaman kerajaan dulu, nama sebuah kerajaan biasanya identik dengan nama ibu kotanya.

Oleh karena itu Slamet Muljana berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu tidak terletak di dataran rendah, tetapi istananya lebih ke dalam terletak di dataran agak tinggi. Menurut prasasti Tanyore yang dikeluarkan oleh Rajendra Coladewa bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit.

Keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatra.

Berdasarkan hasil analisis Boechari terhadap catatan perjalanan I-tsing lebih cenderung menempatkan Kerajaan Malayu di pantai timur Sumatra sebab I-tsing harus mengubah arah pelayarannya untuk mencapai Kedah.

Mereka yang menganalisis letak Kerajaan Malayu berdasar keterangan I-tsing secara tidak langsung sudah menempatkan pusat Malayu di sekitar Jambi, walaupun letak secara pastinya masih belum jelas.

Malayu dan Ekspediri Kertanagara

Sejak disebutkan oleh I-tsing bahwa negeri Malayu pada tahun 685 sudah di kuasai oleh Sriwijaya, untuk jangka waktu yang lama nama Malayu tidak terdengar sejak 685 – 1275. Nama Malayu mulai terdengar lagi pada tahun 1275 ketika raja Kertanagara melakukan pengiriman ekspedisi ke Malayu yang disebut sebagai ekspedisi Pamalayu yang tercatat dalam kitab Pararaton. Berikut adalah salinan terjemahan Pararaton yang menyebutkan adanya ekpedisi Pamalayu:

Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu.

Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap tiap hari, raja Kertanegara bersenang senang.

Ada perselisihannya dengan raja Jaya Katong, raja di Daha, ini menjadi musuh raja Kertanegara, karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan ketepatan waktu, ia tidak memikir kesalahannya ”.

Di dalam Pararaton disebutkan bahwa pada tahun 1275 raja Kertanagara mengirim utusan ke Malayu. Pengiriman utusan tersebut terkenal dengan sebutan Pamalayu. Pengiriman utusan raja Kertanagara ke Malayu tidak terlepas dari letak Malayu yang strategis untuk jalur perdagangan di nusantara, karena pada masa itu Selat Malaka memegang peranan penting dalam perdagangan antara Cina dan India dengan daerah-daerah di Indonesia.

Sejak awal Masehi Selat Malaka telah menjadi sentral lalulintas perdagangan internasional antara Cina dengan India. Sehingga daerah tersebut menjadi daerah rebutan kekuasaan raja-raja di nusantara.

Alasan lain yang mendasari dilakukannya ekspedisi pamalayu oleh Kertanagara tidak terlepas dari usaha membendung kekuasaan Mongol yang mungkin akan menguasai nusantara, karena pada masa itu Mongol sedang berambisi untuk menguasai dunia.

Pada masa itu Mongol sudah mulai melancarkan serangannya ke Asia Tenggara sehingga tahun 1287 Vietnam Utara dan Burma sudah berhasil di kuasai Mongol. Maka untuk mencegah masuknya kekuatan Mongol ke nusantara, Kertanagara lebih dulu melakukan ekspansi ke Malayu, karena Malayu merupakan salah satu tempat yang memungkinkan dijadikan sebagai pintu masuk Mongol ke nusantara.

Ekspedisi Pamalayu tersebut akhirnya berhasil terjalin persahabatan antara Kerajaan Malayu dengan Kerajaan Singhasari. Sebagai tanda mempererat persahabatan antara Kerajaan Malayu dengan Kerajaan Singhasari, maka raja Kertanagara mengirim sebuh hadiah pada tahun 1286 berupa arca Buddha Amoghapasalokeswara. Penempatan arca ini di Dharmasraya dipimpin oleh empat orang pejabat tinggi dari Kerajaan Singhasari.

Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah negara-negara Melayu yang telah tunduk.

Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura ”.

Berdasarkan keterangan Nagarakretagama tersebut, kita mendapat gambaran bahwa Kerajaan Malayu pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit atau mungkin memiliki kedudukan sebagai negara bawahan.

“Penaklukan” Kerajaan Malayu oleh Kerajaan Majapahit mengindikasikan bahwa Kerajaan Malayu pada masa itu telah bangkit lagi menguasai perdagangan di Selat Malaka setelah sebelumnya berhasil di kuasai oleh Kerajaan Singhasari di bawah raja Kertanagara.

Sedangkan berdasarkan keterangan prasasti yang ditemukan di Minangkabau, kita dapat mengetahui bahwa pada pertengahan abad ke XIV ada seorang raja yang memerintah di Kanakamedini (pulau emas) yang bernama Adityawarman, anak dari Adwayawarman.

Nama ini juga dikenal dalam prasasti yang dipahatkan pada arca Manjusri di candi Jago yang berangka tahun 1341. Di dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa Adityawarman bersama Gajah Mada telah menaklukan Bali.

Adityawarman merupakan raja negeri Malayu keturunan dari Majapahit, dia pernah menjabat sebagai wrddha-mantri di Majapahit. Pada tahun 1347, dia berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke daerah Pagaruyung (Minangkabau), dan mengangkat dirinya sebagai seorang maharajadhiraja dengan gelarnya Udayadityawarman atau Adityawarmodaya Pratapaparakramarajendra Maulimaliwarmadewa.

Berdasarkan prasasti yang ditemukan kita dapat mengetahui bahwa Adityawarman merupakan penganut agama Buddha dan menganggap dirinya sebagai penjelmaan Lokeswara.

Anggapan ini sesuai dengan sistem kalacakra seperti halnya raja-raja di Majapahit. Berdasarkan tahun akhir dari prasastinya kita dapat mengetahui bahwa Adityawarman memerintah hingga sekitar tahun 1375. Penggantinya adalah anaknya yang bernama Ananggawarman, sampai saat ini belum diketahui dengan pasti kapan Ananggawarman tepatnya menggantikan ayahnya.