almanak

Kerajaan Majapahit (Wilwatikta) Abad XIIV – XV

Majapahit pada abad ke-14 diberitakan telah menjelma menjadi sebuah kekuasaan besar di Asia Tenggara. Peranannya bahkan telah sanggup menggantikan Kerajaan Mataram di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra. Dua kekuatan besar di zamannya; yang pertama merupakan negara agraris, yang kedua negara maritim. Kedua ciri itu dimiliki oleh Majapahit.

PublishedMarch 25, 2011

byDgraft Outline

Para penggagas kerajaan Majapahit memiliki keinginan untuk membangun kerajaan yang meramu dua basis kekuatan, maritim dan agraris.Visi tersebut didukung dengan lokasi Ibukota Kerajaan Majapahit di daerah hilir sungai (Brantas) yang strategis. Sehingga dapat memudahkan pengawasan perdagangan pesisir yang sekaligus dapat mengendalikan produksi pertanian di pedalaman.

Selain itu, perluasan cakrawala mandala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah Seluruh Dwipantara, menjadi prioritas berikutnya.

Kerajaan Majapahit (Wilwatikta, Sansekerta) adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah ada di Nusantara. Mampu mempengaruhi jalannya sejarah serta peradaban di kawasan Asia Tenggara pada abad ke 14 M. Sejarah Kerajaan Majapahit merupakan rentetan kisah serta peristiwa yang berkesinambungan dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di Tanah Jawa, Kadiri dan Singasari.

Sejarah Nusantara telah mencatat peristiwa pengusiran utusan Kaisar Mongol (Bangsa Tartar) bernama Meng Khi. Mereka datang ke tanah jawa membawa perintah Kaisar Kubilai Khan agar Krtanagara (penguasa Singhasari, raja yang memiliki pengaruh kuat di Tanah Jawa waktu itu), tunduk dalam pengaruh dan kekuasaan Mongol. Krtanagara dengan tegas menolaknya.

Di beberapa literatur dikatakan utusan tersebut dilkukai sebagai peringatan tegas penolakan raja Singasari tersebut. Krtanagara kemudian membangun armada militer untuk sebuah ekspedisi menggalang kekuatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara untuk menghalau pengaruh bangsa Mongol. Ekspedisi tersebut kemudian dikenal dengan nama ekspedisi Pamalayu.

Tersebutlah Jayakatwang (Jayakatong), seorang raja bawahan yang berkuasa di Kediri, melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan Singasari. Diilhami oleh peristiwa yang terjadi pada 1222 M, ketika leluhur Krtanagara, Ken Arok yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, merebut kekuasaan dari Kediri.

Jayakatwang melakukan pemberontakan terhadap Singasari, tepat setelah ekspedisi Pamalayu diberangkatkan oleh Krtanagara. Dengan memanfaatkan menurunnya jumlah kekuatan pasukan di Singasari, Jayakatwang melakukan penyerangan dari delapan penjuru mata angin seperti yang dikisahkan dalam Pararaton.

Hanya dalam waktu yang sangat singkat Singasari dapat dikuasai. Krtanagara sendiri gugur dalam peristiwa ini (1292).

Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, di tahun meninggalnya Krtanagara, di China, Kaisar Dinasti Yuan, Kaisar Shizu (Kubilai Khan) mengirimkan ekspedisi untuk membalas pengusiran utusannya yang terdahulu ke Tanah Jawa.

Ekspedisi Dinasti Yuan yang dipimpin oleh Shi Bi (Shih pi), Gao Xing (Kau Hsing), dan Ike Mese ini sampai di Pulau Belitung pada 1293 M untuk menyiapkan rencana penyerangan terhadap Singasari dan mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa tepat saat keberangkatan ekspedisi mereka, situasi politik dan kekuasaan di Jawa sudah berubah sangat drastis.

Table of contents

Open Table of contents

I. Raden Wijaya, Sang Pendiri

Terseret dalam arus konflik politik dan peperangan di antara perseteruan abadi dua wangsa, Raden Wijaya membuktikan kualitasnya sebagai seorang calon pemimpin.

Alih-alih ikut terseret dalam perseteruan tersebut, Raden Wijaya lebih memilih mengunjungi Bupati Songeneb (Sumenep), Arya Wiraraja dan memintanya sebagai utusan pendamai kepada Jayakatwang.

Belum ada alasan pasti mengapa kemudian Jayakatwang menganugerahi Raden Wijaya dengan Hutan T’rik, apakah Raden Wijaya sendiri, atau bahkan Arya Wiraraja yang mengusulkan hal tersebut.

Entah siapa yang memulai untuk berhubungan, pasukan Kubilai Khan yang dipimpin oleh Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xin yang mendarat di Tuban kemudian bersatu dengan pasukan Raden Wijaya.

Mungkin Bagi pasukan Mongol, Raden Wijaya merupakan sekutu yang berguna, mengingat mereka penduduk asli sehingga dapat dipastikan mengenal medan dengan sangat baik.

Sementara bagi Raden Wijaya, Ike Mese dan pasukan Mongolnya merupakan bantuan besar dalam menjalankan rencana besarnya, mengusir Jayakatwang dari Singasari.

Kronik Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, pasukan Raden Wijaya balik menyerang pasukan bala tentara mongol yang telah berhasil menumpas Jayakatwang.

Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Kerajaan Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina.

Sebelumnya tentara Mongol nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang.

Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang, melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memorak-porandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit Mongol di atasnya.

Raden Wijaya kemudian mendirikan sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta (sinonim untuk Majapahit dalam bahasa Sansekerta). Nagarakretagama dan Pararaton sependapat bahwa Raden Wijaya menobatkan diri sebagai raja dari sebuah kerajaan baru bernama Majapahit pada tahun 1294 M. Ia dinobatkan dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

II. Puncak Pencapai Kerajaan Majapahit

a. Tribhuwanatunggadewi dan Sumpah Palapa

Tribhuwanatunggadewi adalah Penguasa ketiga Kerajaan Majapahit (1328-1351 M) menggantikan Jayanagara yang meninggal Tahun 1328 M. Ia dinobatkan dengan nama gelar abhiseka Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani, terdapat pada Prasasti Singasari (1351).

Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) sebagai makamangalya (memerintah dengan pengawasan) karena Gayatri telah menjadi bhiksuni. Karena itu pula, ketika Gayatri meninggal tahun 1350 M, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.

Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana Adalah tahun 1350 M, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Akan tetapi, Prasasti Singasar pada tahun 1351 M masih menyebutkan Tribhuwana sebagai raja Majapahit. Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja.

Kakawih Nagarakretagama, memaparkan bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana, pada tahun 1331 M terjadi pemberontakan daerah Sadeng dan Keta, yang mengangkat peran Gajah Mada sebagai bagian dari kesejarahan Majapahit. Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi juga terkenal sebagai masa perluasan wilayah Kerajaan Majapahit.

Peristiwa Sumpah Palapa kemudian masuk ke dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit atas visi perluasan cakrawala kekuasaan pada masa Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi. Dalam Pararaton disebutkan bahwa Sumpah Palapa diucapkan Gajah Mada (dengan wewenang Tribhuwanatunggadewi) Saat dilantik sebagai rakryan patih, Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1334 M.

b. Hayam Wuruk , Perluasan Cakrawala Mandala

Pada 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja keempat Kerajaan Majapahit, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara, juga dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha.

Hayam Wuruk merupakan kumaraja (raja muda) ketika ibunya, Tribhuwanatunggadewi, masih memerintah. Hayam Wuruk mendapat daerah kekuasaan sebagai daerah lungguh-nya (daerah kekuasaan).

c. Trowulan, Tatakota Kerajaan Majapahit

Berdasarkan hasil penelitian arkeologi di salah satu kompleks candi di Mojokerto, Trowulan, Jawa Timur, dapat diketahui bahwa tempat tersebut diduga pernah menjadi Ibukota kerajaan Majapahit.

Sebaran situs seluas 9 x 11 km serta kelengkapan komponen- komponen tata kota yang lengkap dapat dijumpai. Saat ini, di Trowulan banyak temuan peninggalan Kerajaan. Kakawih Nagarakretagama merupakan sumber tertulis yang sangat penting untuk mengetahui gambaran kota Majapahit.

III. Keruntuhan Majapahit, Sirna Ilang Kertaning Bhumi

Masa-masa setelah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk diduga merupakan masa kemunduran kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Majapahit. Pertikaian keluarga yang berkelanjutan, perubahan politik dan perekonomian dunia internasional, secara tidak langsung memberi dampak yang mengakibatkan terjadinya kemunduran kerajaan.

Selain itu, melebarnya kekuasaan Kerajaan Islam Demak juga turut andil dalam melemahkan Kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kemunduran Majapahit sering di ibaratkan sebagai Sirna Ilang Kertaning Bhumi (Musnah Hilang Keagungan Negeri: 1400 Saka /1487 M); Tahun inilah yang dipercaya sebagai tahun awal kemunduran Majapahit.

IV. Kondisi Kehidupan dan Pemerintahan Kerajaan Majapahit

A. Struktur Pemerintahan Kerajaan Majapahit

Dari Pararaton dan Nagarakretagama dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan dan politik Kerajaan Majapahit sudah teratur dengan baik dan berjalan lancar. Konsep politik ini menyatu dengan konsep jagat raya, yang melahirkan pandangan cosmoginos.

Majapahit sebagai sebuah kerajaan mencerminkan doktrin cosmoginos, kekuasaan yang bersipat teotorial dan disentralisasi dengan birokrasi yang teperinci.

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa tertinggi, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan.

Ada pun wilayah tinggal para dewa lokapala terletak di empat penjuru mata angin. Untuk terlaksananya kekuasaan, raja dibantu oleh sejumlah pembantu, yang tidak lain penjabat-penjabat birokrasi kerajaan.

Dalam susunan birokrasi demikian, semakin dekat hubungan seseorang dengan raja maka akan semakin tinggi pula kedudukannya dalam birokrasi kerajaan.

Nagarakretagama pupuh LXXXIX memberitakan bahwa hubungan negara dengan desa begitu rapat seperti singa dengan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan.

Struktur Pemerintahan Majapahit atau Struktur birokrasi dalam hierarki Majapahit dari tingkat pusat ke jabatan yang lebih rendah adalah:

  1. Raja;
  2. Yuwaraja/kumaraja (raja muda);
  3. Rakryan mahamatri kartini;
  4. Rakryan mantri ri pakirakiran;
  5. Dharmadhyaksa.
  6. Penjabat dan Pegawai

1. Raja

Raja adalah pemegang otoritas tertinggi, baik dalam kebijakan politik mau pun istana lainnya. Kedudukannya diperoleh dari hak waris yang telah digariskan secara turun-temurun. Di samping raja, ada kelompok yang disebut sebagai Bhatara Sapta Prabu semacam Dewan Pertimbangan Agung.

Dalam Nagarakretagama dewan ini disebut Pahom Narendra yang beranggotakan sembilan orang; sedangkan dalam Kidung Sundayana disebut Sapta Raja. Pada masa Raja Dyah Hayam Wuruk, mereka yang menduduki jabatan tersebut di antaranya:

  1. Raja Hayam Wuruk;
  2. Kertawardhana (Ayah Sang Raja);
  3. Tribhuwana Tunggadewi (Ibu Suri);
  4. Rajadewi Maharajasa (Bibi Sang Raja);
  5. Wijayarajasa (Paman Sang Raja);
  6. Rajasaduhiteswari (Adik Sang Raja);
  7. 7Rajasaduhitendudewi (Adik Sepupu Sang Raja);
  8. Singawardhana (Suami Rajasaduhiteswari);
  9. Rajasawardhana (R. Larang, Suami Rajasaduhitendudewi).

2. Yuwaraja/Rajakumara/Kumaraja (Raja Muda)

Jabatan ini biasanya diduduki oleh putra mahkota. Dari berbagai prasasti dan Nagarakretagama diketahui bahwa para putra mahkota sebelum diangkat menjadi raja pada umumnya diberi kedudukan sebagai raja muda.

Misalnya, Jayanagara sebelum menjadi raja, terlebih dahulu berkedudukan sebagai rajakumara di Daha. Hayam Wuruk sebelum naik takhta menjadi raja Majapahit, terlebih dahulu berkedudukan sebagai rajakumara di Kabalan. Jayanegara dinobatkan sebagai raja muda di Kadiri tahun 1295.

Pengangkatan tersebut dimaksud sebagai pengakuan bahwa raja yang sedang memerintah akan menyerahkan hak atas takhta kerajaan kepada orang yang diangkat sebagai raja muda, jika yang bersangkutan telah mencapai usia dewasa atau jika raja yang sedang memerintah mangkat. Raja muda Majapahit yang pertama ialah Jayanegara.

Raja muda yang kedua adalah Dyah Hayam Wuruk yang dinobatkan di Kahuripan ( Jiwana ). Pengangkatan raja muda tidak bergantung pada tingkatan usia. Baik raja Jayanegara mau pun Hayam Wuruk masih kanak-kanak, waktu diangkat menjadi raja muda, sementara pemerintahan di negara bawahan yang bersangkutan dijalankan oleh patih dan menteri.

3. Rakryan Mahamatri Kartini

Jabatan ini merupakan jabatan yang telah ada sebelumnya. Sejak zaman Mataram Kuno, yakni pada masa Rakai kayuwangi, jabatan ini tetap ada hingga masa Kerajaan Majapahit. Penjabat-penjabat ini terdiri dari tiga orang yakni: rakryan mahamantri i hino, rakryan mahamantri i halu, dan rakryan mahamantri i sirikan.

Ketiga penjabat ini memunyai kedudukan penting setelah raja, dan mereka menerima perintah langsung dari raja. Namun, mereka bukanlah pelaksana-pelaksana dari perintah raja; titah tersebut kemudian disampaikan kepada penjabat-penjabat lain yang ada di bawahnya.

Di antara ketiga penjabat itu, rakryan mahamantri i hino -lah yang terpenting dan tertinggi. Ia memunyai hubungan yang paling dekat dengan raja, sehingga berhak mengeluarkan piagam (prasasti). Oleh sebab itu, banyak para ahli yang menduga jabatan in dipegang oleh putra mahkota.

4. Rakryan Mantri ri Pakirakiran

Jabatan ini berfungsi semacam Dewan Menteri atau Badan Pelaksana Pemerintah. Biasanya terdiri dari lima orang rakryan ( para tanda rakryan ), yakni:

  1. Rakryan Mahapatih atau Patih Amangkubhumi;
  2. Rakryan Tumenggung (Panglima Kerajaan);
  3. Rakryan Demung (Pengaturan Rumah Tangga Kerajaan);
  4. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima);
  5. Rakryan Kanuruhan (penghubung dan tugas-tugas protokoler).

Para tanda rakryan ini dalam susunan pemerintahan Kerajaan Majapahit sering disebut Sang Panca ring Wilwatikta atau Mantri Amancanagara. Dalam berbagai sumber, urutan jabatan tidak selalu sama. Namun, jabatan rakryan mahapatih (patih amangkubhumi) adalah yang tertinggi, yakni semacam perdana menteri ( mantri mukya ).

Untuk membedakan dengan jabatan patih yang ada di Negara daerah (provinsi) yang biasanya disebut mapatih atau rakryan mapatih, dalam Nagarakretagama jabatan patih amangkubhumi dikenal dengan sebutan apatih ring tiktawilwadika. Gelar Gajah Mada sendiri adalah Sang Mahamantri Mukya Rakyran Mapatih.

5. Dharmadhyaksa

Dharmadhyaksa adalah penjabat tinggi yang bertugas secara yuridis mengenai masalah-masalah keagamaan. Jabatan ini diduduki oleh dua orang, yaitu:

  1. Dharmadhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa,
  2. Dharmadhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha.

Masing-masing dharmadhyaksa ini dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmaupapatti atau upapatti, yang jumlahnya amat banyak.

Pada masa Hayam Wuruk hanya dikenal tujuh upapatti, yakni: sang upapatti sapta, sang pamget i tirwan, kandhamuni, manghuri, pamwatan, jhambi, kandangan rare, dan kandangan atuha. Di antara upapatti itu ada pula yang menjabat urusan sekte-sekte tertentu, misalnya: bhairawapaksa saurapaksa, siddahantapaksa, sang wadidesnawa, sakara, dan wahyaka.

6. Penjabat dan Pegawai

Penjabat dan Pegawai lainnya yang berada di bawah kuasa raja Majapahit adalah, Tanda, Rakryan, Arya, Dang Aacarya.

Tanda: Di Kerajaan Majapahit para pegawai pemerintahan disebut tanda, masing-masing diberi sebutan atau gelar sesuai dengan jabatan yang dipangkunya. Dalam hal kepegawaian, sebutannya mengalami perubahan dari masanya; gelar yang sama Kerajaan Mataram belum tentu bermakna yang sama dengan masa Kerajaan Majapahit, misalnya gelar rake atau rakai dan mangkubumi.

Ditinjau dari gelar-sebutannnya seperti yang kedapatan pada pelbagai piagam, tanda ini dapat digolongkan yakni: golongan rakryan atau rakean, golongan arya, dan golongan dang acarya.

Rakryan (Rakean): Beberapa piagam, di antaranya Piagam Surabaya, menggunakan gelar rake yang maknanya sama dengan rakryan. Jumlah jabatan yang disertai gelar rakryan terbatas sekali. Para tanda yang berhak menggunakan gelar rakryan atau rake seperti berikut:

  1. Mahamantri kartini, yaitu mahamantri i hino, mahamantri i sirikan, dan mahamantri i halu. Misalnya, pada Piagam Kudadu terdapat: rakryan mantri i hino untuk Dyah Pamasi; rakryan mantri sirikan untuk Dyah Palisir; rakryan mantri halu untuk Dyah Singlar.
  2. Pasangguhan, samakan dengan hulubalang. Pada zaman Majapahit hanya ada dua jabatan pasangguhan, yakni: pranaraja dan nayapati. Misalnya, pada Piagam Kudadu, tarikh 1294: mapasanggahan sang pranaraja, rakrian mantra ….. Mpu Siana (nama ini ditemukan juga dalam Piagam Penanggungan); mapasanggahan sang nayapati, Mpu Lunggah. Pada zaman awal Majapahit, ada empat orang pasangguhan, yakni dua orang yang disebutkan di atas ditambah rakryan mantri dwipantara Sang Arya Adikara dan pasangguhan Sang Arya Wiraraja.
  3. Sang Panca Wilwatikta, yakni lima orang pembesar yang diserahi urusan pemerintah Majapahit. Mereka itu rangga dan tumenggung. Piagam Penanggungan menyebut: Rakryan Apatih Pu Tambi, Rakryan Demung Pu Rentang, Rakryan Kanuhunan Pu Elam, Rakryan Rangga Pu Sasi, dan Rakrian Tumenggung Pu Wahana.
  4. Juru pangalasan, yakni pembesar daerah mancanegara. Piagam Penanggungan menyebutkan raja Majapahit sebagai Rakryan Juru Kertarajasa Jayawardana atau Rakryan Mantri Sanggramawijaya Kertarajasa Jayawardhana. Piagam Bendasari menyebut Rake Juru Pangalasan Pu Petul.
  5. Para patih negara-negara bawahan. Pada Piagam Sidateka tarikh 1323 disebutkan: Rakryan Patih Kapulungan: Pu dedes; Rakryan Patih Matahun: Pu Tanu. Piagam Penanggungan, tarikh 1296, menyebut Sang Panca ri Daha dengan gelar rakryan, karena Daha dianggap sejajar dengan Majapahit.

Arya: Para tanda arya memunyai kedudukan lebih rendah dari rakryan, dan disebut pada piagam-piagam sesudah Sang Panca Wilwatikta. Ada berbagai jabatan yang disertai gelar arya. Piagam Sidakerta memberikan gambaran yang agak lengkap, yakni:

  1. Sang Arya Patipati: Pu Kapat;
  2. Sang Arya Wangsaprana: Pu Menur;
  3. Sang Arya Jayapati: Pu Pamor;
  4. Sang Arya Rajaparakrama: Mapanji Elam;
  5. Sang Arya Suradhiraja: Pu Kapasa;
  6. Sang Arya Rajadhikara: Pu Tanga;
  7. Sang Arya Dewaraja: Pu Aditya;
  8. Sang Arya Dhiraraja: Pu Narayana.

Karena jasa-jasanya, seorang arya dapat dinaikkan menjadi wreddhamantri atau mantri sepuh. Baik Sang Arya Dewaraja Pu Aditya maupun _Sang Arya Dhiraraja Pu Narayan_a memunyai kedudukan wreddhamantri dalam Piagam Surabaya.

Dang Acarya: Sebutan ini khusus diperuntukkan bagi para pendeta Siwa dan Buddha yang diangkat sebagai dharmadhyaksa (hakim tinggi) atau upapatti (pembantu dharmadhyaksa kesiwaan dan dharmadhyaksa kebuddhaan).

Jumlah upapatti semula hanya berjumlah lima, semuanya dalam kasaiwan (kesiwaan); kemudian ditambah dua upapatti kasogatan (kebuddhaan) di kandangan tuha dan kandangan rahe.Dengan demikian, semuannya berjumlah tujuh dalam pemerintahan Dyah Hayam Wuruk.

Pembesar-pembesar pengadilan ini biasanya disebut sesudah para arya. Contohnya, susunan pengadilan seperti yang dipaparkan dalam Piagam Trawulan, tarikh 1358, sebagai berikut.

  1. Dharmadhyaksa Kasaiwan: Dang Acarya Dharmaraja;
  2. Dharmadhyakasa Kasogatan: Dang Acarya Nadendra;
  3. Pamegat Tirwan: Dang Acarya Siwanata;
  4. Pamegat Manghuri: Dang Acarya Agreswara;
  5. Pamegat Kandamuni: Dang Acarya Jayasmana;
  6. Pamegat Pamwatan: Dang AcaryaWidyanata;
  7. Pamegat Jambi: Dang Acarya Siwadipa;
  8. Pamegat Kandangan Tuha: Dang Acarya Srigna;
  9. Pamegat Kandangan Rare: Dang Acarya Matajnyana.

Tambahan dua orang upapatti yang biasa disebut ( sang ) pamegat dilakukan sesudah tahun 1329, yakni pada zaman pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, karena pada Piagam Berumbung, pamegat kandangan tuha dan rare belum disebut. Penyebutan yang pertama didapati yang pertama terdapat pada Piagam Nglawang, tidak bertarikh.

B. Struktur Birokrasi Pemerintahan Pusat-Daerah

Penjabat lainnya yang berada di bawah raja Majapahit adalah sejumlah raja-raja daerah ( paduka bhatara ) yang masing-masing memerintah sebuah negara daerah. Biasanya mereka adalah saudara-saudara raja atau kerabat dekat.

Dalam pelaksanaan tugas kerajaan, raja-raja daerah tadi dibebani tugas untuk mengumpulkan penghasilkan kerajaan, menyerahkan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, dan pertahanan wilayah.

Mereka dibantu oleh sejumlah penjabat daerah, di mana bentuknya hampir sama dengan birokrasi di pusat tetapi dalam skala yang lebih kecil. Dalam hal ini raja-raja daerah memiliki otonomi untuk mengangkat pejabat-pejabat birokrasi bawahannya.

Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seorang yang bergelar bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu: Daha, Jagaraga, Kabalan, Wengker, Kahuripan, Keling, Kelinggapura, Kembang Jenar, Matahun, Pajang, Singhapura, Tanjungpura, Tumapel, dan Wirabhumi.

Selain pejabat birokrasi yang telah disebutkan tadi, masih banyak sejumlah penjabat sipil dan militer lainnya. Mereka adalah kepala jawatan ( tanda ), nayaka, pratyaya, drawwayahaji, dan surantani, yang bertugas sebagai pengawal raja dan lingkungan keraton.

Mengenai birokrasi kerajaan, menurut berita Cina dari zaman Dinasti Sung (960-1279), bahwa raja Jawa waktu itu memunyai lebih dari 300 penjabat yang mencatat penghasilan kerajaan.

Selain itu, ada kira-kira 1.000 orang penjabat rendahan yang mengurusi benteng-benteng, parit-parit kota, perbendaharaan, dan lumbung-lumbung negara. Sedangkan dalam kitab Praniti Raja Kapa-kapa, diuraikan bahwa ada 150 menteri dan 1.500 penjabat rendahan.

Melihat struktur pemerintahannya, sistem pemerintahan di Majapahit bersifat teotorial dan disentralisasi, dengan birokrasi yang teperinci. Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa, memegang otoritas politik tertinggi. Hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya dalam birokrasi pemerintahan Kerajaan berbentuk clienship, yaitu ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi.

Wilayah kerajaan yang berupa negara-negara daerah disamakan dengan tempat tinggal para dewa lokapala yang terletak di empat penjuru mata angin.

Negara bawahan maupun daerah, mengambil pola pemerintahan pusat. Raja dan juru pangalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab; sementara pemerintahannya dikuasakan kepada patih, sama dengan pemerintah pusat.

Meski raja Majapahit adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pemerintahan, tetapi pemerintahannya berada di tangan patih amangkubumi (patih seluruh negara). Itulah sebabnya menurut Nagarakretagama pupuh X, para patih, jika datang ke Majapahit, mengunjungi gedung kepatihan amangkubumi yang dipimpin oleh Gajah Mada.

Ada pun masalah administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan kepada lima pembesar yang disebut sang panca ri Wilwatika.Mereka adalah: patih amangkubumi, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung.

Mereka inilah yang banyak dikunjungi oleh para pembesar negara bawahan dan negara daerah untuk urusan pemerintahan. Apa yang direncanakan di pusat, dilaksanakan di daerah oleh pembesar bersangkutan.

Dari patih perintah turun ke wedana, semacam pembesar distrik. Dari wedana turun ke akuwu / akurug, pembesar sekelompok desa (semacam lurah). Dari akuwu turun ke buyut, pembesar desa.

Dari buyut turun kepada penghuni desa. Demikianlah tingkat organisasi pemerintahan di Majapahit, dari pucuk pimpinan negara sampai rakyat pedesaan. Apa yang berlaku di Jawa diterapkan pula di Pulau Bali dengan patuh.

C. Politik dan Tata Negara Kerajaan Majapahit

Kehidupan Politik dan struktur pemerintahan Majapahit dapat dikatakan merupakan bentuk pemerintahan yang sangat lengkap hingga menjadi pola bentuk struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa pada masa kemudian.

Ibu kota kerajaan sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya dipisahkan dengan kota-kota lain di sekitar.

Para anggota kerajaan umumnya dijadikan gubernur di daerah-daerah tertentu, akan tetapi mereka tetap tinggal dekat dengan raja. Meluasnya kekuasaan suatu wilayah kadang-kadang menimbulkan pemberontakan. Untuk mencegah kejadian semacam itu dibentuk lah ikatan kekeluargaan dengan cara perkawinan. Akan tetapi usaha semacam itu tampaknya tidak selamanya dapat berlangsung.

Dalam system pemerintahan yang gemuk terlebih saat sistem poligami masih berjalan, maka pada suatu saat akan timbul usaha-usaha dari para pangeran untuk merebut tahta pemerintahan kendati pun sebenarnya bukan haknya. Hal ini terbukti terutama pada masa sesudah meninggalnya Hayam Wuruk dan akan berlangsung terus pada masa-masa kemudian.

Oraganisasi pemerintahan pusat senantiasa menjadi pola organisasi pemerintahan di wilayah-wilayah. Raja sebagai penguasa tertinggi dalam menitahkan suatu keputusan akan dan harus diturunkan kepada rakryan mahamantri katrini yang berpangkat Hino, Halu dan Sirikan.

Ketiga jabatan ini umumnya dipegang oleh para putera raja, dengan Hino sebagai yang pertama dan akan menggantikan menjadi raja kemudian. Selanjutnya titah tersebut akan diturunkan kepada patih atau rakryan mapatih Hamangkubhumi.

Dengan demikian jabatan patih Hamangkubhumi merupakan jabatan yang paling penting setelah raja karena ia menguasai dan mengendalikan pengawasan baik di bidang kemiliteran maupun pemerintahan sipil–mirip seperti jabatan Perdana Pentri

Di dalam melaksanakan perintah-perintah raja tersebut patih dibantu oleh rakryan Tumenggung sebagai panglima perang, Rakryan Demung sebagai pengatur rumah tangga kerajaan (semacam jabatan istana protokoler?), Rakryan Rangga sebagai pembantu panglima, dan Rakryan Kanuruhan sebagai penghubung.

Mereka ini disebut Sang Panca ring Wilwatikta atau sama dengan Mantri Amancanagara pada zaman Islam. Selain itu dalam bidang keagamaan diangkat pejabat-pejabat yang bertugas sebagai Dharmadyaksa, masing-masing; Dharmadyaksa ring Kasogatan atau Kabuddhan.

Di bawah para pejabat tersebut di atas masih banyak lagi jabatan-jabatan dan gelar lainnya yang memegang tugas-tugas tertentu. Raja di dalam menjalankan roda pemerintahannya didampingi oleh suatu dewan yang disebut Bhattara Sapta Prabhu, berfungsi semacam dengan penasihat atau pertimbangan agung. Yang tergabung dalam kelompok lagi-lagi adalah kerabat atau keluarga raja sendiri.

D. Keagamaan Pada Masa Kerajaan Majapahit

Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, ahli warisnya membuatkan baginya pendharmaan dalam bentuk Candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai Bhatara Siwa.

Wijaya pun didharmakan pada Candi Antapura di daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Buddha). Raja Jayanegara, anak Wijaya, setelah meninggal didharmakan (dicandikan) di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu, sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha.

Gajah Mada, yang menjabat sebagai panglima bhayangkari sewaktu pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dan sebagai mahapatih semasa pemerintahan Hayam Wuruk, sangat tekun dalam menjalankan ajaran dharma.

Gayatri, ibunda Hayam Wuruk, memerintah putranya supaya benar-benar melaksanakan upacara sradha. Upacara sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para raja yang telah meninggal dunia ( amoring scintya ).

Upacara ini dilaksanakan dengan dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggalnya raja bersangkutan, dari mulau tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari bahkan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan, disebut dengan nyadran, yang asal katanya dari istilah sradha.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, kecuali Tribuwana Tunggadewi, ibunda Hayam Wuruk, yang beragama Buddha Mahayana.

Walaupun begitu, Siwa dan Buddha merupakan agama resmi Kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa Raden Wijaya ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu dharmadyaksa ring Kasaiwan dan dharmadyaksa ring Kasogatan. Kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya disebut dharmapapati atau dharmadihikarana.

Terdapat pula para agamawan yang berperan penting di lingkungan istana yang disebut tripaksa, yaitu resi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan catur dwija, yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-resi (berkelompok 4).

Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta Siddantatapaksa, yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Pu Sindok pada abad ke-10.

Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur atau Smrti ; yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada zaman Pu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada zaman Majapahit.

Ajaran agama ini sangat dipengaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta, dan Samkhya. “Kenyataan Tertinggi” agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci “OM”.

Siwa, sebagai dewa tertinggi, memunyai tiga hakekat ( tattwa ) yaitu:

  1. Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud ( niskala );
  2. Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud ( sanakala-niskala );
  3. Siwa-tattwa bersifat berwujud ( sakala ).

Selain Siwasiddhanta, dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini.

Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa; di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia ( mahavrata ).

Di samping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu; yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai Dewa Pelindung ( Istadewata ).

Walau pun Nagarakretagama tidak menyebutkan keberadaan Islam, namun tampaknya ada beberapa anggota keluarga istana yang telah beragama Islam pada waktu itu.

Bangunan Suci Keagamaan

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci ( patirtan, petirtaan), dan gua-gua pertapaan.

Bangunan-bangunan suci ini kebanyakan dipergunakan oleh penganut Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha. Candi yang bercorak Siwa antara lain: Candi Jago (Jajaghu), Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual seperti Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Status dan fungsi bangunan suci pun berbeda-beda. Berdasarkan status bangunan-bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang dikelola oleh masyarakat di luar kekuasaan pemerintah pusat.

Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:

  1. Dharma dalm, atau dharma haji, yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma haji ada 27 buah, di antaranya: Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.

  2. Dharma-lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf ( bhudana ) pemberian raja untuk para resi Saiwa dan Sogata (Buddha), untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.

Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti resi, antara lain mandala, katyagan, dan janggan.

Secara umum bangunan suci nonpemerintah ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.

Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendarmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama ( garbhagrha ) untuk menempatkan sebuah arca pendarmaan ( dewawimbha ), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, dan Simping (Sumberjati).

2. Candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak memunyai garbhagrha dan arca pendarmaan/perwujudan; tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi.

Candi semacam ini kebanyakan dipakai oleh para resi dan terletak di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Lawu, atau Wilis.

Sinkretisasi Siwa-Buddha

Perlakuan raja-raja Jawa yang sama terhadap dua agama yang ada, yakni Hindu-Siwa dan Buddha, cukup toleran. Ini jelas merupakan pengejawantahan kerukunan beragama dan antaragama yang dianut masyarakat Majapahit berjalan sangat baik.

Hal ini memperlihatkan nilai-nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada saat sekarang. Nilai-nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun tetap merupakan nilai-nilai positif bagi ahli-ahli warisnya.

Sinkretisasi (perpaduan) agama Siwa dengan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Kretanagara, raja terakhir Singasari.

Hal ini memperlihatkan tradisi masyarakat Jawa yang selalu tertarik akan perpaduan, di samping memperlihatkan sifat toleransinya yang begitu tinggi, dan mungin juga karena alasan politis, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi kekuatan Kublai Khan.

Sebagai langkah mempertemukan kedua agama ini, Kertanagara membuat candi Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota Malang.

Percampuran Siwa-Buddha pada zaman Majapahit antara lain terlihat pada cara pendarmaan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya.

Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa (Raden Wijaya) yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha.

Bisa pula dilihat pada raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, yang didharmakan di Sila Petak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana “Kenyataan Tertinggi” dalam agama Siwa mau pun Buddha tidak berbeda.

E. Tata Sosial Masyarakat Majapahit

Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.

Pada zaman Majapahit pembagian masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok-kelompok lokal yang terdiri dari kelompok desa, kelompok keagamaan yang terbentuk oleh karena perbedaan kelas atau kasta (meskipun tidak sekeras dan seketat di India). Dan kelompok yang memiliki keahlian khusus.

Masyarakat desa zaman Majapahit dapat dibedakan atas kelompok anden (golongan bangsawan yang hidup di desa); Golongan Rama (masyarakat dapur pemerintaha desa) serta golongan bhertya atau abdi dalem yang bertugas mengelola tanah milik raja atau keluarganya.

Selain itu yang dimaksud dengan kelompok-kelompok yang terbentuk karena memiliki keahlian tertentu misalnya golongan seniman, pemahat, penari, ahli nujum, perbintangan, kelompok pembuat benda-benda gerabah dan lain sebagainya.

Banyaknya pendatang Asing yang tinggal di sekitar Kerajaan juga menimbulkan terbentuknya perkampungan-perkampungan tersendiri dengan corak kebudayaannya masing-masing

Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis. Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.

Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu mengajar, belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain, membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup dan bersatu dengan Brahman (Tuhan).

Mereka juga mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi, yaitu pendeta dari agama Siwa dan agama Buddha, yang disebut sebagai Saiwadharmadhyaksa dan Buddhadarmadyaksa.

Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan) dan tempat pemukiman empu (kalagyan); Buddhadyaksa mengepalai tempat sembahyang (kuti) dan bihara (wihara); manteri berhaji mengepalai para ulama (karesyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai wikuhaji.

Para rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu mandala, dharma, sima, wihara, dsb. Mandala adalah nama komunitas agama di desa, yang ditempatkan di daerah yang terpencil di bukit yang berhutan, sedangkan Sima adalah daerah yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung di bawah kekuasaan pejabat istana manapun.

Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai wargahaji atau sakaparek.

Para bangsawan yang memerintah suatu kawasan Pemukiman di ruang lingkup kekuasaan kerajaan dapat dikatakan memiliki hubungan dengan keluarga raja terdahulu dan disebut sebagai parawangsya. Semua anggota keluarga raja masing-masing diberi nama atas gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat.

Bila seseorang diangkat menjadi bangsawan, maka nama pengangkatan akan diberikan kepadanya. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan atas nama daerah kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja. Hak istimewa yang diterima oleh para bangsawan kerajaan bersumber pada penghasilan dari propinsi mereka dan terutama pada penghasilan wilayah yang menjadi hak mereka sendiri.

Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah dan beternak.

Kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan brahmana.

Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai pancama (warna kelima) adalah kaum candala, mleccha, dan tuccha. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya), sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya.

Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll). yang tidak menganut agama Hindu. Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah para penjahat.

Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan tatayi adalah membakar rumah orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak dan memfitnah kehormatan perempuan.

Dari aspek kedudukan kaum wanita dalam masyarakat Majapahit, mereka mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja.

Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain “mengurusi” dapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.

F. Ekonomi dan Perdagangan Kerajaan Majapahit

Gambaran mengenai aktivitas perdagangan dalam sumber prasasti biasanya dikaitkan dengan pengaturan mengenai batas barang-barang yang tidak dikenai pajak dan yang dikenai pajak.

Aktivitas perdagangan majapahit dan umumnya pada masyarakat Jawa Kuno dapat dibedakan kedalam dua kategori: lokal yang berlangsung di tingkat desa, dan regional yang mencakup wilayah luas atau jarak jauh.

Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung juga menunjuk kepada kegiatan perdagangan, menandakan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli.

Pusat perhatian dari kajian perdagangan lokal adalah kegiatan pasar yang biasanya beralngsung mengikuti pola hari pasaran dengan siklus lima hari sepekan dan biasanya menyang kut barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Pemahaman mengenai hal ini terutama diperoleh melalui kajian etnografi dan sumber-sumber sejarah Jawa. Kesimpulan umum mengenai pola perdagangan ini menegaskan bahwa sistem perdagangan lokal tidak mengalami perubahan yang berarti sejak dikenalnya sistem perdagangan ini hingga pertengahan abad ke-20.

Dalam konteks masa Jawa Kuno, tidak banyak diketahui bagaimana ketentuan dan batas-batas desa yang menjadi rute rotasi, juga tidak diketahui bagaimana mekanisme perdagangan di atas tingkat desa dilakukan, dan kelompok pedagang seperti apa yang paling berperan.

Lombard menduga, jenis perdagangan dalam cakupan yang lebih luas telah mulai muncul sejak awal abad ke 10 dengan munculnya profesi khusus yang disebut dengan istilah banyaga (pedagang) dan dikenal sebagi salah satu kelompok ‘pengelana’, bahkan diantaranya ada yang telah mendiami sebuah desa dan membuat sebuah pola perkampungan bagi pedagang.

Hal tersebut menurut Pigeaud bukan merupakan hal yang aneh, karena pada abad ke-14 (sejak 1366-1387), telah dijumpai desa-desa dengan spealisasinya masing-masing.

Nagarakretagama pupuh LXXXIII/3 mencatat bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnatas (Mysore di India) datang ke Kerajaan Majapahit. Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa pun pergi ke tempat-tempat tersebut.

Ramainya perdagangan Majapahit terbukti dari banyaknya pedagang asing yang ada di sana. Menurut Ma Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng Lain, disebutkan bahwa di Kerajaan Majapahit banyak bermukim orang-orang Cina dari Canton, Chang Chou, Ch’uan, dan Fukien.

Bahkan di Gresik terdapat kurang lebih 1.000 keluarga Cina asal Canton, dan di antaranya termasuk bangsa asing dari Jambudwipa (India), Kamboja, Campa (Laos), Yawana, Goda, dan Kanataka.

Dalam hal ini, Tuban merupakan pelabuhan ekspor hasil bumi yang berasal dari Jawa atau pulau lainnya. Barang dagangan yang diekspor meliputi lada, garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, gula, pisang, kayu cendana, kelapa kapas, sutera, belerang, perak, emas, dan budak belian.

Beras juga diekspor dari Tuban untuk Indonesia bagian timur. Di daerah ini beras ditukar dengan rempah-rempah yang selanjutnya dikirim ke Cina. Pelabuhan yang tidak kalah pentingnya adalah Gresik yang mengekspor berasnya sampai ke Malaka.

Istilah-istilah yang terdapat dalam prasasti secara langsung menunjuk kepada kegiatan perdagangan adalah tuha dagang atau juru dagang yaitu ketua atau pengawas para pedagang. Istilah yang merujuk kepada profesi jual-beli disebut hadagang, banyaga atau awalija.

Kendati tidak selalu disebutkan di dalam seluruh prasasti namun jenis-jenis barang yang diperdagangkan kerap dihantar atau dahului kata wli (beli) termasuk besar pajak yang ditentukan.

Disamping jenis barang dagangan, ada kelompok yang melakukan usaha pelayanan, khususnya pelayanan angkutan menggunakan tenaga hewan seperti atitih (kuda), juga alat angkut lainnya seperti gulungan (gerobag), mapadati (pedati) dan parahu (perahu).

Tidak setiap prasasti menuliskan aktivitas perdagangan, kecuali beberapa diantaranya Prasasti Biluluk II (1313 Saka/1391 AD):

asambewara sarwwa papat hadagang, hamahat … hamalanten hamdel hamuter hanglaksa hangapu … palalanjer luputing titiban sahang, cabe, kemukus kapulaga besi kawali besi pinggan kapas

(berdagang serba empat: pedagang, pemahat, tukang kain halus, pembuat celup berwarna biru, pembuat minyak yang menggunakan gilingan/hamuter, pembuat laksa, penjual kapur … termasuk hasil bumi yang diperjual-belikan seperti merica, cabe, kemenyan, kapulaga, besi, kuwali besi, pinggan kapas…).

Tentang barang dagang yang lain, beras biasanya didatangkan dari seluruh negeri dan menjadi sandaran utama perdagangan Kerajaan. Adapun garam umumnya dihasilkan dari pantai utara Jawa; kulit penyu dari Jawa Timur bagian selatan; mutiara dari Maluku; emas dan perak dari Jawa Barat. Sebaliknya, orang-orang Cina membawa barang kelontong, seperti sutera, keramik, uang kepeng, dan arak.

Penduduk yang ada di pantai utara terutama yang berdekatan dengan pelabuhan seperti Tuban Gersik, Surabaya, dan Canggu, kebanyakan menjadi pedagang. Menurut berita Ma Huan, kota-kota pelabuhan banyak ditempati pedagang dari Arab dan Cina. Sedangkan orang pribumi datang ke sana untuk berdagang.

Barang yang menjadi komoditas di tempat ini adalah batu bermutu dan barang buatan luar negeri yang dibeli dalam jumlah banyak. Mereka sangat suka membeli barang pecah belah (porselen) Cina yang bergambar bunga-bungaan, bewarna hijau, minyak wangi, kain sutra, dan katun baik yang berguna maupun yang polos. Mereka membayarnya dengan uang tembaga dari Cina; uang tembaga dari berbagai dinasti di Cina laku di tempat niaga ini.

Tiap-tiap prasasti memiliki istilah-istilah menyebut jenis barang dagangan sejalan perkembangan dan pengenalan bahasa periode yang diwakilinya namun pada dasarnya berkaitan dengan ketentuan pajak.

Secara garis besar barang-barang yang diperdagangkan terdapat tidak kurang dari 31 macam dan tidak berarti setiap pedagang menjual secara khusus satu jenis barang dagangan.

Daftar jenis barang tersebut dapat dikelompokkan antara lain; a) jenis makanan dan bumbu-bumbuan dan pangan, b) jenis sandang, c) jenis perlengkapan umum, dan d) hewan (ternak).

G. Pertanian Pada Masa Kerajaan Majapahit

Perekonomian pada masa Kerajaan Majapahit dititik-beratkan pada sektor pertanian dan perdagangan. Pertanian masa itu dapat dikelompokan menjadi dua sistim pertanian yaitu sistim pertanian dengan irigasi dan pertanian dengan sitim non-irigasi.

Pertanian dengan sistim irigasi sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum datangnya pengaruh kebudayaan lain, yaitu dengan memanfaatkan kontur lahan atau yang dikenal dengan nama pertanian terasering (disusun berundak-undak).

Kemudian dengan masuknya pengaruh dari luar, sitem terasering tersebut semakin sempurna menjadi pertanian dengan sistim irigasi atau pengairan. Bukti-bukti bahwa pada masa Kerajaan Majapahit sistim pengairan ini sudah masu dapat dilihat dari banyaknya waduk-waduk atau bendungan-bendungan yang didirikan lengkap dengan saluran-saluran sekundernya.

Salah satu contoh waduk penampungan air masa itu adalah waduk air di Trowulan yang disebut dengan nama waduk Segaran. Bangunan ini luasnya tidak kurang 500 m x 200 m dengan kedalaman tidak kurang dari 5 m.

Konon menurut cerita, di sini tempatnya raja-raja Majapahit menerima dan menjamu tamu-tamu yang dating dari luar dengan mangkuk atau piring emasnya. Sehabis jamuan piring dan mangkuk tersebut dibuang ke kolam segaran sebagai tanda tentang kemakmuran Majapahit masa itu, tentu saja ini hanya cerita dan sekarang di dasar kolam tersebut tidak ada apa-apanya kecuali tanah, jadi jangan coba untuk membuktikan kebenaran cerita ini.

Selain waduk di daerah Trowulan ini juga banyak ditemukan bekas-bekas saluran air atau kanal-kanal, sumur-sumur kuno serta pertirtaan (pemandian). Salah satu pertirtaan (arti pertirtaan lebih lengkap?) atau pemandian kuno dari masa itu adalah pertirtaan Candi Tikus yang letaknya tidak jauh dari waduk segaran.

Petirtaan ini bentuknya segi empat, dibuat dari batu bata, pada bagian tengahnya terdapat sebuah “candi” dengan menara-menaranya berjumlah 17 buah. Bentuk bangunan ini menggambarkan sebuah gunung suci yaitu gunung mahameru yang melambangkan kesuburan pula.

Pada kolam tersebut selain pancuran-pancuran yang dipahatkan pada dinding-dinding kolam juga ditemukan saluran-saluran air yang mengatur sirkulasi air bersih dan air kotor.

Tidak diragukan bahwa air yang keluar dari kolam tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah di sekitarnya. Peninggalan saluran irigasi dari masa Majapahit juga kita jumpai di daerah Girang, kabupaten Mojkerto. Saluran ini tampkanya merupakan saluran primer yang mengatur pembagian air ke tempat lain, bias jadi ke sawah-sawah yang berada di sekitarnya.

Pertanian dengan system non-irigasi banyak dijumpai terutama di daerah lereng-lereng pegunungan dan daerah-daerah dekat hutan dikenal dengan nama tegalan atau pagagan. Oleh karena sistim pertanian semacam ini kurang produktif bila dibandingkan dengan sawah maka luas wilayah pagangan lebih kecil dibandingkan dengan tanah persawahan.

Satu hal yang perlu diingat adalah pada masa itu dan juga pada masa sebelumnya, di dalam setiap ketetapan daerah perdikan sering dijumpai tentang jenis-jenis tanah yang menjadi wilayah perdikan termasuk pula di dalamnya adalah tegalan, hutan, atau tebat.

Jenis-jenisnya tanaman masa itu tidak banyak berbeda dengan masa sekarang walaupun untuk beberapa jenis barangkali sudah banyak yang telah hilang atau tidak kita kenal lagi.

Sawah dan lading umumnya ditanami padi atau palawija sedangkan untuk daerah-daerah tegalan selain padi juga ada ubi-ubian. Jenis tanaman buah umumnya ditanam di pekarangan-pekarangan atau kebwan (kebun) meliputi manggis, durian, nangka, manga, langsep, limau, pisang dan sebagainya.

Kiranya tidak perlu disampaikan satu persatu karena flora dan fauna zaman Majapahit tidak jauh bedanya dengan keadaan yang sekarang, kecuali mungkin untuk beberapa kasus, seperti Harimau dan atau beberapa spesies lainnya yang kemudian dkabarkan telah punah di masa sesudahnya.

Hasil pertanian yang melimpah telah membuka kemungkinan untuk menyelenggarakan kontak dagang dengan Negara-negara di luar Kerajaan Majapahit dalam bentuk perdagangan.

Hasil-hasil bumi seperti padi dan palawija serta hadil-hasil hutan lainnya diangkut ke daerah-daerah pesisir melalui jalan darat atau sungai untuk ditukarkan dengan barang pecah belah, kain atau garam yang tidak dihasilkan di pedalaman.

Sitim perdagangan masa itu dilaksanakan dengan dua cara ialah dengan sitem tukan-menukar ( barter ) atau jual-beli. Banyaknya temuan mata uang CIna yang disebut kepeng membuktikan bahwa perdagangan dengan Cina pada masa itu sudah demikian majunya.

Selain itu juga dengan adanya berbagai jenis pecah belah barang-barang porselin seperti mangkuk, piring, guci, dan lain-lain yang berasal dari Negara-negara Thailand, Campa atau Kmer, Persia serta India merupakan petunjuk bahwa kontak perdagangan dengan negara-negara tersebut telah berlangsung dengan ramai.

Pelabuhan-pelabuhan di Jawa seperti Tuban, Sedayu, Gresik, Canggu, banyak disinggahi oleh kapal-kapal asing. Lama kelamaan banyak diantara saudagar-saudagar asing tersebut yang tinggal di sekitar daerah pelabuhan itu, kemudian mendirikan perkampungan sendiri sehingga timbullah perkampungan-perkampungan Keling, Pekojan, Pecinaan, Kampung Arab dan lain sebagainya.

Sektor pertanian yang berimbang dengan lajunya sektor perdagangan ini telah mendorong Kerajaan Majapahit bukan hanya sebagai negara yang bercorak agraris tetapi juga sebagai negara maritime yang semi komersial.

H. Mata Uang Kerajaan Majapahit

Trowulan, sebagai salah satu kota kuno abad pertengahan di Indonesia, memiliki peninggalan mata uang dari masa Majapahit yang merupakan salah satu bukti adanya sistem moneter dan hubungan perdagangan dengan bangsa lain.

Higga saat ini temuan mata uang Cina yang berhasil diselamatkan di Balai Pelestarian Purbakala Trowulan sebanyak 34.175 keping, baik dalam kondisi utuh maupun pecah atau telah mengalami patinasi yang diduga merupakan Mata uang Majapahit.

Mata uang yang ditemukan selain dari mata uang lokal (gobog) juga mata uang Cina (kepeng).

Penelitian mengenai mata uang Cina di Trowulan sampai pada kesimpulan bahwa Mata Uang Majapahit sebagai alat tukar yang beredar di Kota Majapahit ternyata berasal dari beberapa zaman.

Diperkirakan hubungan antara Indonesia dan Cina telah terjadi sejak abad V dan mengalami peningkatan pada abad XIII ketika Majapahit mengalami kejayaannya.

Lajunya pertumbuhan perdagangan tersebut selain karena Majapahit mampu menyediakan bermacam-macam komoditi yang dibutuhkan, antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain. Adapun barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni, dan keramik.

Pedagang-pedagang asing ketika mengadakan transaksi dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing, sehingga lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri.

Bagi kebanyakan orang, mata uang logam lokal dikenal dengan istilah uang gobog, dibuat bukan hanya dari tembaga melainkan juga logam timah, kuningan, dan perunggu.

Berdasarkan jenis bahan, mata uang lokal yang berkembang sejak abad IX dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: mata uang emas, perak, tembaga, dan mata uang besi.

Satuan mata uang Jawa dari bahan emas diurutkan dari satuan yang terbesar hingga terkecil, yaitu kati (disingkat ka), suwarna (su), masa (ma), kupang (ku), dan satak (sa). Semua mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda (nilai intrinsik).

Mata uang gobog sebagai Mata Uang Majapahit memiliki satuan “nilai yang rendah” dibandingkan dengan uang perak atau emas, tetapi nilainya masih lebih tinggi dari pada uang timah.

Perbandingan antara uang gobog dengan uang yang beredar di Jawa lainnya antara lain: 1 gobog=5 keteg; 1 derham perak=400 gobog; dan 1 derham emas=4000 gobog.

Pada kedua sisi mata uang gobog terdapat relief manusia yang umumnya adalah tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Mata uang logam Cina–ada juga yang menyebutnya pisis (picis) atau kepeng–di negeri asalnya disebut qian, yang terbuat dari campuran tembaga dan timah putih, juga unsur tambahan yaitu timah hitam, seng dan besi.

Terdapat dua cara pembacaan legenda pada koin Cina, yaitu: (1) atas – kanan-bawah-kiri atau searah jarum jam; (2) atas-bawah-kanan-kiri. Sementara gaya tulisan yang telah dikenali adalah: (1) Zhuan Shu yaitu gaya tulisan melengkung; (2) Li Shu yaitu gaya tulisan persegi; (3) Kai Shu yaitu gaya tulisan baku; (4) Hsing Shu yaitu gaya tulisan sambung; dan (5) Ts ’ao Shu yaitu gaya tulisan miring.

Dari penelitian mata uang logam yang ditemukan di Trowulan sebagian besar berasal dari Song Utara (960 – 1127) dengen legenda Yuanfeng Tongbao (1078 – 1085) yang diterbitkan oleh Kaisar Shen Tsung (1067 – 1085).

Selain sebagai alat pembayaran dalam jual beli barang, mata uang kepeng juga digunakan untuk membayar utang piutang, gadai tebus tanah, denda akibat pelanggaran hukum, serta digunakan sebagai benda sesaji, bekal kubur, dan amulet atau jimat.

Di dalam buku Ying-yai Sheng-lan atau ”Laporan Umum Tentang Pantai-pantai Lautan” yang diterbitkan dalam tahun 1416 oleh Ma-Huan, dikatakan bahwa orang-orang Cina yang tinggal di Majapahit berasal dari Canton, Chang-chou, dan Ch-uan-cu. Mereka kebanyakan bermukim di Tuban dan Gresik menjadi orang kaya di sana. Tetapi tidak sedikit pula penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang.

Dalam transaksi perdagangan, penduduk pribumi menggunakan kepeng Cina dari berbagai dinasti. Artinya bahwa penduduk Majapahit telah melakukan kegiatan ekonomi mereka cukup lama dengan orang Cina; dari Dinasti Tang, Song, bahkan Yuan.

I. Pendidikan Pada Masa Kerajaan Majapahit

Dalam perjalanan yang diselenggarakan setiap tahun, Hayam Wuruk biasa mengunjungi tempat-tempat yang menjadi pusat sejarah leluhurnya dan tempat pendidikan.

Di tempat tersebut raja menyampaikan amanatnya, rakyat berkumpul mendengarkan kemudian masing-masing menyampaikan persembahan dan tidak lupa raja pun memberikan aneka hadiah pada mereka.

Pada masa Kerajaan Majapahit, bidang pendidikan memperoleh tempat yang sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya sastra yang indah maupun bangunan yang megah serta karya-karya seni lainnya yang bernilai tinggi yang mereka warisan kepada kita.

Tentu saja keahlian yang mereka miliki dalam menciptakan benda-benda tersebut semata-mata bukan karena bakat yang alamiah melainkan juga karena ketekunan mereka dalam menuntut ilmu dari para ahli yang datang atau mereka sendiri yang pergi untuk belajar kepada para ahli-nya itu.

Pendidikan pada masa itu sifatnya tidak berbeda dengan masa sekarang. Para tokoh pendidikan bukan hanya bertujuan untuk menciptakan seseorang ahli dalam suatu bidang ilmu, melainkan lebih menekankan pada masalah-masalah moral yang dapat mencerminkan watak dan kepribadian bangsa yang mandiri.

Banyak contoh-contoh media komunikasi pendidikan dari masa itu yang sampai kini masih dapat disaksikan candi misalnya, bukan hanya sekadar merupakan tempat masyarakat beribadat melainkan juga tetuang di dalamnya ajaran-ajaran moral, seni bangunan, seni hias dan sebagainya.

Pada dinding-dinding candi biasanya kita melihat lukisan-lukisan atau relief yang menceritakan suatu cerita tertentu. Cerita-cerita tersebut kadang-kadang merupakan cerita kepahlawanan, bangunan-bangunan masa itu, cerita-cerita binatang dan lain sebagainya.

Pendek kata, gambaran tentang kehidupan dan suasana suatu masa seluruhnya tetuang dalam bangunan yang megah tersebut. Dengan demikian candi sebagai tempat berkumpulnya umat untuk beribadah, juga berperan sebagai tempat masyarakat menuntut pendidikan.

Di samping itu masih banyak lagi tempat-tempat penting lainnya yang umum dikenal dengan nama asrama, yaitu suatu tempat yang khusus yang dipergunakan oleh para tokoh agama untuk mengajarkan ajarannya. Tempat-tempat semacam ini tidak hanya terbatas di kota-kota tetapi di daerah-daerah yang terpencil, di pegunungan-pegunungan atau dekat-dekat hutan.