almanak

Tata Kota Majapahit; Ibu Kota, Istana, dan Desa

Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut “Purawuktra” menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng “Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban. -Nagarakretagama

PublishedMarch 18, 2011

byDgraft Outline

Cuplikan dari Nagarakretagama yang menggambarkan salah satu bagian dari ibu kota dan tata kota Majapahit seperti yang digambarkan oleh Prapanca. Di mana reruntuhannya?

Sebagian besar para pakar arkeologi memercayai dan menempatkannya di Trowulan.Mengapa Trowulan? Hal ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto.

Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.

Uraian Nagarakretagama tentang Tata Kota Majapahit telah dicari lokasinya di lapangan oleh Maclains Pont pada tahun 1924-1926. Ia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan.

Secara makro, bentuk Tata Kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi berdenah segi empat dan terdapat gapura masuk di keempat sisinya, sedangkan keraton terletak di tengah-tengah. Benteng kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi.

Selain itu terdapat kediaman para prajurit dan punggawa, pejabat pemerintah pusat, para menteri, pemimpin keagamaan, para kesatria, paseban, lapangan Bubat, kolam segaran, tempat pemandian, dan lain-lain.

Table of contents

Open Table of contents

Istana Raja dan Ibu Kota Majapahit

Berita Cina yang ditulis oleh Ma Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Jawa memberikan penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Antara lain, bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa.

Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang. Pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).

Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu.

Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading.

Kerajaan Majapahit, selain mempunyai ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, juga merupakan pusat magis bagi seluruh kerajaan. Ditinjau dari konsep kosmologi, wujud tata kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru (Semeru).

Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu:

  1. unsur gunung (replikanya dibentuk candi),
  2. unsur sungai (replikannya dibentuk kanal),
  3. unsur laut (replikanya dibentuk waduk).

Nagarakretagama menyebutkan bahwa susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta, dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan.

Rumah di dalam istana indah, bagus, dan kuat. Ibu kota kerajaan Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah ( paduka bhatara ) serta para pajabat/pembesar kerajaan.

Pupuh VIII

Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon Brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.

Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah Timur panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, diSelatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di Selatan jalan perempat: Balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.

Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang Watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara. Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.

Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan Tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak Di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh Berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.

Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah Bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di Sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.

Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua Balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih Berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh XII

Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal Pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang Adiraja.

Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha Penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.

Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.

Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.

Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.

Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Tata kota Majapahit; Seni Bangunan

Gambaran tentang tata kota Majapahit terutama seni bangunan Zaman Majapahit dapat diperoleh dari kitab-kitab kesusasteraan, relief-relief bangunan atau benda-benda purbakala yang merupakan unsur pendukung suatu bangunan.

Berdasarkan kitab Nagarakratagama yang dikarang oleh Prapanca pada tahun 1365 Masehi dapat diketahui tentang tata kota Majapahit pada Zaman keemasannya.

Kiranya tidak perlu kami sebutkan secara terperinci bagaimana letak kota atau istana Majapahit itu, tetapi cukup lah kami sebutkan bahwa istana raja masa itu sudah sangat teratur, kompleks istana berpagar tembok batu bata yang tebal lagi tinggi, di luar tembok terdapat parit keliling yang dalam dan di sebelah barat terdapat jalan raya. Gapura pintu masuk ada dua ialah disebelah barat dan di sebelah utara.

Pintu gapura sebelah utara dibuat dari besi yang dipahat sangat cermat dan di luar gapura utara terdapat pasar, alun-alun, serta bangunan-bangunan tempat pertemuan pada bulan Caitra kalender perhitungan “bulan” yang jatuh bulan Maret-April menurut perhitungan Masehi.

Tempat tinggal patih, pasukan serta beberapa golongan bangsawan terletak di luar tembok, sedang raja dan keluarganya di dalam kompleks istana yang tersendiri. Di dalam istana terdapat bangunan-bangunan tempat tinggal para putera dan permaisuri, ayah, serta pembantu raja ( bhrtya ).

Di bagian dalam ini juga terdapat bangunan-bangunan besar disebut Siti Hinggil yaitu tempat raja menerima tamu-tamu kerajaan. Kita tidak dapat mengetahui secara pasti bagaimana bentuk bangunan-bangunan masa itu, tetapi berdasarkan kitab-kitab kesusasteraan atau relief-relief candi dapatlah kita mengelompokkan bangunan tersebut menurut bahanya menjadi dua kelompok yaitu bangunan kau yang profane dan bangunan dari batu atau batu bata yang sampai sekarang beberapa masih bisa kita lihat.

Bangunan kayu dari masa itu sekarang sudah tidak kita temukan lagi kecuali bekas-bekasnya yang berupa umpak-umpak batu masih kita dapatkan di daerah Trowulan. Salah satu peninggalan umpak yang tampaknya masih pada tempatnya ditemukan di desa Sentanareja, Trowulan.

Umpak-umpak tersebut berdiameter tidak kurang dari 50cm dan jumlahnya tidak kurang dari buah 20 buah. Melihat ukuran serta jumlahnya yang cukup besar itu dapatlah dibayangkan bahwa bangunan tersebut sangat besar.

Petunjuk lain tentang adanya konstruksi bangunan kayu masa itu dapat pula diketahui pada relief-relief candi masa Majapahit baik yang ditemukan di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Bangunan-bangunan tersebut digambarkan mulai dari bentuk rumah bertiang satu hingga bertiang dua belas.

Bangunan-bangunan semacam itu tidak seluruhnya merupakan bangunan tempat tinggal tetapi juga ada yang merupakan bangunan pemujaan. Banyak pula di antara bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan panggung.

Kemungkinan besar bangunan atau kompleks pekarangan masa itu antara yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok keliling. Dari segi keindahan mereka juga telah mengenal sistem pertamanan.

Bangunan konstruksi batu atau batu bata pada jaman Majapahit berupa gapura-gapura, candi-candi atau pertirtaan. Tidak berbeda dengan masa sebelumnya, bangunan yang disebut candi-candi itu adalah bangunan bangunan suci, tempat pendarmaan seorang raja, ratu, atau tokoh penting masa itu.


Candi-candi pada Zaman Majapahit memiliki ciri-ciri bangunan induknya terletak di belakang, bentuknya menyerupai teras berundak dengan tiga halaman pokok.

Bangunan semacam ini mengingatkan pada bentuk-bentuk bangunan berteras dari masa prasejarah. Banyak sarjana berpendapat bahwa pada masa itu unsur pemujaan pada arwah-arwah nenek moyang menduduki tempat yang paling penting di dalam kehidupan masyarakat Majapahit.

Pada candi induknya umumnya diletakkan lingga dan yoni ialah aspek lain dari siwa dan Parwati yang melambangkan perpaduan antara unsur laki-laki dan wanita. Menurut kepercayaan perpaduan kedua unsur tersebut akan menciptakan kesuburan dan kehidupan.

Beberapa contoh bangunan berteras semacam ini misalnya candi Penataran di Blitar, Candi Sukuh dan Candi Ceto di daerah lereng barat Gunung Lawu di daerah Sukoharjo Jawa Tengah.

Gapura peninggalan zaman Majapahit sekarang masih kita dapatkan di daerah Trowulan dikenal gapuran Wringinlawang dan Gapura Bahang RAtu. Gapura Wringin Lawang pada dasarnya adalah gapura atau bentuk candi yang terbelah menjadi dua, disebut dengan istilah gapura candi bentar.

Gapura Bajang Ratu disebut juga dengan istilah gapura padaruksa yaitu bentuk gapura yang bagian atasnya terpadu seolah-olah menyerupai bentuk candi.

Pada dinding gapura Bajang Ratu kita dapatkan relief Sri Tanjung serta episode tentang peperangan Kumbakarna melawan pasukan kera dalam cerita Ramayana. Candi Brahu yang terletak di Trowulan di dalam cerita penduduk memiliki cerita tersendiri. Disebutkan bahwa bangunan ini dahulunya dianggap sebagai tempat untuk pembakaran jenazah raja-raja Majapahit.

Kata Brahu dihubungkan dengan kata abu atau perabuan. Pendapat beberapa sarjana mengatakan bahwa candi pada dasarnya adalah bangunan pemakaman tetapi pendapat terakhir menyimpulkan bahwa candi dalah bangunan pemujaan atau kuil pemujaan seperti halnya kuil-kuil pemujaan di Bali Zaman sekarang.

Di samping karya-karya seni yang bersifat monumental, pada zaman Majapahit juga dihasilkan benda-benda terakota atau tanah liat bakar. Benda-benda semacam ini umumnya menggambarkan bentuk-bentuk miniatur suatu candi, rumah, lukisan alam, unsur bangunan atau bentuk manusia dan hewan.

Kendatipun kita tidak dapat mengatakan dengan pasti fungsi dari benda-benda semacam itu namun dapatlah diperkirakan bahwa benda-benda itu dipergunakan sebagai alat-alat komunikasi atau sebagai perantara seorang dalam menyampaikan pesan atau gagasan-gagasan pada orang lain; tentang apa yang mereka kenal dan ketahui, serta perlu mereka perkenalkan kepada orang lain.

Tata Kota Majapahit; Sistem Pengairan

Bangunan air yang ditemukan di masa Majapahit adalah waduk, kanal, kolam, dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisanya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pemerintah Majapahit membuat bangunan air tersebut untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk: penampungan dan penyimpanan air, serta pengendali banjir.

Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno.

Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan tata Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dengan Kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan.

Waduk Baureo adalah waduk terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan, membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai.

Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno; Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno; Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu; dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir.

Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran.

Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.

Kolam Segaran pertama kali ditemukan oleh Maclaine Pont pada 1926. Kolam ini berukuran panjang 375 meter dan lebar 175 meter dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timurlaut–baratdaya.

Dindingnya dibuat dari bata yang direkatkan tanpa bahan perekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran keluar menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder.

Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur.

Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini.

Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan, memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam 4 m; dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul.

Kanal-kanal itu ada yang ujungnya, berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting; dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekadar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil.

Kanal, waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan, gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar, yang memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya.

Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno.

Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.

Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki, yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni.

Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya.

Rusaknya bangunan-bangunan air tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro tahun 1451, yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Candi Tikus yang letaknya di antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar.

Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan ditambah dengana munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir, mengakibatkan kerusakan bangunan air tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus mengakibatkan daerah ini tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.

Tata Kota Majapahit; Perkampungan dan Dusun

Tidak diketahui secara pasti bagaimana bentuk rumah tradisional peninggalan Kerajaan Majapahit yang sesungguhnya. Dari sejumlah artefak yang ditemukan yang berkaitan dengan okupasi kerajaan, sulit rasanya untuk memberikan contoh baku prototipe rumah zaman Majapahit.

Namun, ada artefak dari tanah liat bakar berupa miniatur rumah dan temuan struktur bangunan yang diduga sebagai tipikal rumah Majapahit.

Ekskavasi di Trowulan tahun 1995 menunjukkan adanya struktur bangunan berupa kaki dari tanah yang diperkuat dengan susunan batu yang berspesi tanah setebal 1 cm, membentuk sebuah batur rumah. Denah batur berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 5,20 x 2,15 meter dan tinggi sekitar 60 cm.

Di sisi utara terdapat sebuah struktur tangga bata yang terdiri dari 3 anak tangga. Dari keberadaan dan tata letak tangga, dapat disimpulkan bahwa rumah ini menghadap ke utara dengan deviasi sekitar 90 55 derajat ke timur, seperti juga orientasi hampir dari semua arah struktur bangunan yang ada di Situs Trowulan.

Pada kedua sisi kaki bangunan terdapat selokan terbuka selebar 8 cm dan dalam 10 cm. Depan kaki bangunan selokan itu mengikuti bentuk denah bangunan tangga. Selokan tersebut dibangun dari satuan-satuan bata sehingga struktur selokan lebih kuat, dan airnya bisa mengalir lebih cepat.

Di sekitar kaki bangunan ditemukan lebih dari 200 pecahan genteng dan 70 pecahan bubungan dan kemuncak, serta ukel (hiasan dari terakota yang ditempatkan di bawah jurai atap bangunan).

Struktur halaman bangunannya amat menarik dan unik. Tanah halaman ditutup dengan struktur yang berkotak-kotak, dan masing-masing kotak dibatasi dengan bata yang dipasang rebah di keempat sisinya, dan di dalam kotak berbingkai bata tersebut dipasang batu-batu bulat memenuhi seluruh bidang.

Tutupan semacam ini berfungsi untuk menghindari bila halaman menjadi becek ketika hujan turun. Belum pernah ditemukan penutup halaman yang semacam ini, kecuali yang agak serupa ditemukan di selatan situs Segaran II.

Dari temuan itu dapat diasumsikan bahwa tubuh bangunan didirikan di atas batur setinggi 60 cm. Kemungkinan bangunan dibuat dari kayu (papan) dan bukan dari bata karena di sekitar areal bangunan tidak ditemukan bata dalam jumlah yang besar sesuai dengan volume bangunannya.

Mungkin tubuh bangunan dibuat dari kayu (papan) atau anyaman bambu jenis gedek atau bilik. Tiang-tiang kayu penyangga atap tentunya sudah hancur, agaknya tidak dilandasi oleh umpak-umpak batu yang justru banyak ditemukan di Situs Trowulan, karena tak ada satu pun umpak yang ditemukan di sekitar bangunan.

Tiang-tiang rumah mungkin diletakkan langsung pada lantai yang melapisi permukaan batur. Atap bangunan diperkirakan memunyai sudut kemiringan antara 35-60 derajat, ditutup dengan susunan genteng berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 24 x 13 x 0,9 cm dengan jumlah sekitar 800 -1.000 keping genteng yang menutupinya. Bagian atas atap dilengkapi dengan bubungan dan kemuncak, serta pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.

Rekonstruksi bangunan rumah yang didasarkan atas bukti yang ditemukan di situs tersebut, dapat dilengkapi melalui perbandingan dengan bentuk-bentuk rumah beserta unsur-unsurnya yang dapat kita lihat wujudnya dalam:

  1. artefak sezaman seperti pada relief candi, model-model bangunan yang dibuat dari terakota, jenis-jenis penutup atap berbentuk genteng, sirap, bambu, ijuk;
  2. rumah-rumah sederhana milik penduduk sekarang di Trowulan; dan
  3. rumah-rumah di Bali.

Lepas dari status sosial penghuni rumah ini, ada hal lain yang menarik, yaitu penduduk Majapahit di Trowulan, atau setidak-tidaknya penghuni rumah ini, telah menggabungkan antara segi fungsi dengan estetika.

Halaman rumah ditata sedemikian rupa untuk menghindari genangan air dengan cara diperkeras dengan krakal bulat dalam bingkai bata. Di sekeliling bangunan terdapat selokan terbuka yang bagian dasarnya berlapis bata untuk mengalirkan air dari halaman.

Dilengkapi pula dengan sebuah jambangan air dari terakota yang besar dan kendi berhias, yang memberikan kesan sebuah halaman rumah yang tertata apik. Di sebelah timur terdapat beberapa struktur bata yang belum berhasil diidentifikasi.

Mungkin rumah yang ukurannya relatif kecil ini hanya merupakan salah satu komplek. Bangunan yang berada dalam satu halaman seluas 200-an meter persegi tersebut dikelilingi oleh pagar seperti yang dapat kita saksikan di Bali sekarang.