almanak

Puputan, Sebuah Jalan bagi Kehormatan

Di balik keindahan alam dan budayanya itu, sesungguhnya Bali menyimpan sisi lain dari gemulainya wajah eksotis pariwisata. Bali adalah daulat keteguhan sekaligus kehormatan. Bali adalah tanah Puputan.

PublishedSeptember 24, 2011

byDgraft Outline

Puputan, bertempur sampai titik darah penghabisan. Kira-kira itulah terjemahan bebas dari kata puputan. Meski puputan itu sendiri sesungguhnya mewakili apa yang disebut sebagai kedaulatan, kehormatan, dan harga diri yang muncul sebagai jawaban atas pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut.

Puputan bukan hanya sebagai sebuah bentuk kepatuhan terhadap seorang raja atau pemimpin, melainkan lebih dari itu.

Puputan adalah kode untuk kehormatan dan harga diri yang tidak dapat ditawar. Puputan adalah sikap hidup. Ia adalah mantra sejati yang tidak memiliki wujud. Mantra yang sanggup menggetarkan siapa pun. Seperti tercatat dalam sebuah kesaksian yang ditulis oleh seorang H.M. van Weede dalam peristiwa Puputan Badung.

“ Setelah tembakan senjata berhenti, Raja pergi ke sana dengan pengikut; wanita, dan anak-anak kira-kira seratus orang. Di sana pandangan kami terhalang. Mereka saling menikam dengan keris. Kami melihat mereka dalam satu timbunan. Raja terkubur di bawah tubuh pengikut setianya.

Seperti menunjukkan bahwa mereka melindunginya dari kematian. Dan wanita tercantik yang pernah kami lihat di Bali, terbaring tanpa nyawa di samping anak-anaknya. Tandu emas dan barang berharga lain terletak di sana, di tengah mayat-mayat ….”

Tercatat ada beberapa peristiwa Puputan antara 1894 hingga 1906 yang menghasilkan ribuan korban. Dipimpin oleh para pemimpin atau raja di daerah Lombok dan Bali dalam menghadapi kolonialisme Belanda.

Terakhir, puputan dikobarkan oleh seorang I Gusti Ngurah Rai dalam masa perjuangan kemerdekaan, juga menghadapi kolonial Belanda. Dikenal dengan nama Puputan Margarana.

Namun Puputan yang paling menggemparkan yang pernah terjadi mungkin adalah puputan Badung yang terangkai oleh beberapa puputan di dalamnya. Dipicu oleh karamnya kapal Sri Kumala berbendera Belanda di perairan Badung 27 Mei 1905 di Pantai Sanur.

Orang Cina pemilik kapal mengaku bahwa orang Bali mencuri muatan kapal. Belanda kemudian meminta ganti rugi sebesar 75.000 gulden namun ditolak oleh Gede Ngurah Denpasar, penguasa Badung saat itu.

“Hukum Tawan Karang/Taban Karang; adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya”.

Perundingan selama berbulan-bulan gagal menemui kata sepakat karena adanya hukum Tawan Karang, hingga kemudian Belanda memutuskan menggunakan kekuatan militernya.

Pada 14 September 1906 pasukan Belanda mendarat di Sanur. Pada 20 September pagi pasukan Belanda sampai di Denpasar dan langsung menuju istana Gede Ngurah Denpasar. Namun, di istana Raja telah memerintahkan rakyat untuk menyalakan api. Raja di depan 300 pengikutnya keluar dan berhenti di depan barisan pasukan Belanda.

Menurut saksi mata, dengan menggunakan busana putih-putih, raja dan seluruh pengikutnya–termasuk di dalamnya wanita dengan rambut diurai dan anak-anak menggunakan kain atau jubah putih sambil menghunus keris–mereka kemudian maju terus, sehingga seseorang menulis:

“ … berasal dari senapan seseorang yang tidak diketahui, tembakan pertama meletus dan memicu tembakan-tembakan selanjutnya.” Dalam perang yang tidak lebih dari 2 jam tersebut, raja termasuk di antara yang tewas.

Di sore hari yang sama, pasukan Belanda menuju pembantu Raja Badung, Gusti Gede Pamecutan; dan hal yang sama terjadi di sini: Gusti Gede Pamecutan beserta para pengikutnya, laki-laki, perempuan, dan anak-anak berjalan menghadapi tembakan pasukan Belanda.

Jumlah korban sampai ratusan jiwa. Kemudian Pihak Belanda melanjutkan ekspedisinya ke Tabanan. Raja Tabanan Gusti Ngurah Agung setuju menyerah, namun malam sebelum mereka dibuang ke Lombok ia dan putranya bunuh diri.

Menurut catatan laporan Tonningen, penyerangan pada Raja Badung juga dilakukan karena Raja Badung tak mau menghapus adat mesatia, ritual istri raja ikut membakar diri hidup-hidup saat suaminya meninggal sebagai tanda kesetiaan.

Penyebab lain berlarut-larutnya masalah perbatasan antara Badung, Gianyar, dan Bangli. Tiga wilayah yang berbatasan itu sering bentrok. Namun, menurut versi kerajaan Badung, permintaan denda itu hanya alasan yang dicari-cari.

Raja Badung menolak tuntutan denda karena telah melakukan penyelidikan dan tidak ada orang Sanur yang merampas isi kapal. Bahkan beberapa di antara mereka telah disumpah di Pura Tambang Badung.

Bagi raja Badung, bukan besarnya denda yang jadi masalah tapi karena Belanda nyata-nyata menginjak kebebasan atau hak rakyat berupa kejujuran dan kebenaran.

Puputan selanjutnya dilakukan oleh Dewa Agung pada 28 April 1908, seperti yang terjadi pada 1906, Dewa Agung bersama pengikutnya berjalan menuju pasukan Belanda dan tewas, dan Bali akhirnya menjadi kekaisaran penjajah Belanda—setidaknya menurut orang-orang Belanda.