almanak

Lukisan Gua Prasejarah di Indonesia, Rupa dan Makna

Lukisan gua prasejarah di Indonesia telah berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Menurut analisis H.R. Van Hekeren (1972) kemungkinan besar beberapa gua yang terdapat di Sulawesi Selatan telah dihuni sejak ribuan tahun sebelum Masehi.

PublishedDecember 5, 2011

byDgraft Outline

Lukisan Gua Prasejarah Pettakere Maros
Image by Cahyo Ramadhani / wikipedia

Lukisan prasejarah dalam beberapa kasus dikaitkan dengan aspek seni. Lukisan itu dianggap sebagai cikal bakal seni lukis. Selama manusia tinggal di gua, selain berburu dan membuat alat-alat, manusia ternyata menggambar dinding gua mereka yang terkadang menunjukkan aktivitas berburu dan ada juga yang menyangkut alam kepercayaannya.

Table of contents

Open Table of contents

I. Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan

Menurut analisis H.R. Van Hekeren (1972) kemungkinan besar beberapa gua yang terdapat di Sulawesi Selatan telah dihuni sejak ribuan tahun sebelum Masehi.

Sekurang-kurangnya ada dua tempat di wilayah Sulawesi Selatan yang memiliki lukisan gua, yaitu di wilayah Kabupaten Maros yang juga sering disebut sebagai Kompleks Maros dan di wilayah Kabupaten Pangkajene yang dikenal sebagai Kompleks Pangkajene.

Kompleks Maros bahkan merupakan tempat yang sering diteliti para arkeolog. Wilayah Maros juga menjadi salah satu objek arkeologi yang telah lama diteliti, bahkan sejak zaman Belanda hingga sekarang.

Kompleks Pangkajene terkenal karena terdapat banyak gua yang memiliki lukisan prasejarah, antara lain; Gua Akarasaka, Bulu Ballang, Bulusumi, Bulu Ribba, Bulu Sipong, Camingkana, Cumi Lantang, Garunggung, Kassi, Lasitae, Lompoa, Patenungan, Sakapao, Salluka, Sapiria, dan Sumpang bita.

Gua-gua tersebut memiliki lukisan prasejarah yang bervariasi, tidak hanya keragaman polanya tetapi juga dari segi teknik penggambarannya.

A. Sejarah Penemuan Gua-Gua Berlukis di Sulawesi Selatan

Lukisan gua di Sulawesi Selatan pertama kali dilaporkan oleh C.H.M. Heeren tahun 1950 yang meneliti keberadaan lukisan cap tangan dengan latar belakang cat merah di Leang PattaE.

Diduga bahwa lukisan cap tangan tersebut adalah cap tangan kiri perempuan. Di gua tersebut juga diketemukan lukisan hewan babi rusa yang terpanah bagian jantungnya.

Mungkin lukisan itu dimaksudkan sebagai harapan atau juga lukisan tersebut merupakan pengingat keberhasilan mereka dalam berburu.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan Heekeren di Gua Burung, diketemukan lukisan cap tangan yang sama yaitu cap tangan kiri. Peneliti lainnya, C.J.H. Franssen, menemukan lukisan cap tangan di gua JariE.

Kedua peneliti itu kemudian melakukan penelitian bersama sehingga berhasil diketemukan lukisan cap tangan sebanyak 29 buah yang terdiri dari dua lukisan cap tangan yang masing-masing mempunyai 7-5 buah cap tangan dengan latar belakang merah.

Ada juga empat lukisan cap tangan yang hanya memiliki 3-4 jari; empat sampai lima lukisan cap tangan yang tidak beribu jari. Selain itu juga diketemukan lukisan lengan bawah yang bentuknya sudah tidak terlihat jelas.

Temuan lainnya adalah di gua Lambattorang, di wilayah Maros, diketemukan lukisan cap tangan mencapai 40 buah. Di Leang PattaE Kere, juga diketemukan lukisan gua yang berbentuk babi rusa bercampur lukisan cap tangan. Gambar dari babi rusa itu memiliki ukuran kira-kira 1 meter panjangnya.

B. Pola dan Bentuk lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan

Warna merah sepertinya adalah warna dominan yang digunakan, akan tetapi ada beberapa gua yang menggunakan warna hitam untuk menggambarkan pola manusia, yaitu gua Kassi, Lompoa, dan Sapiria.

Di gua Sumpang Bita bahkan diketemukan lukisan cap kaki, hewan anoa, dan perahu (sampan). Belum dapat diketahui secara pasti makna dalam lukisan cap kaki di dinding gua Sumpang Bita.

Ada yang berpendapat bahwa lukisan itu dapat dihubungkan dengan ritual atau upacara bagi bayi yang mampu berjalan pertama kali. Terdapat persamaan antara pola cap kaki dengan cap tanga, keduanya digambarkan dalam bentuk negatif ( negative footprint).

Gambar objek manusia selain terdapat di gua Kassi, Lompoa, dan Sapiria, juga diketemukan di wilayah sekitar Pulau Muna (Sulawesi Selatan) dan di Pangkajene (Sulawesi Selatan).

Selain pola manusia, di gua Lampoa juga diketemukan pola lain seperti, lukisan cap tangan, hewan menyerupai babi, ikan, pola matahari, parahu, dan bentuk-bentuk geometris. Sedangkan yang menarik dari lukisan di Gua Kassi adalah gambar ular, bentuk kapak, dan pola yang mirip dengan mata bajak.

Pola yang menggambarkan ikan juga diketemukan di gua Lasitae, gua Bulu Ballang, Akarassaka, gua Bulu Sippong, dan sua Bulu Ribba.

Di Bulu Ballang bahkan terdapat pola yang menyerupai kura-kura, sedangkan di gua Bulu Ribba pola ikannya menyerupai seekor lumba-lumba.

Umumnya gua-gua tersebut terdapat lukisan pola cap tangan dan babi. Satu-satunya pola babi yang memiliki pola unik dan sering dikaitkan dengan makna religi-magis adalah lukisan babi yang terdapat di gua Sakapao.

C. Makna Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan

Berdasarkan pola-pola yang terdapat pada lukisan gua di Sulawesi Selatan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat pada masa itu mempunyai kehidupan yang kompleks disamping hanya berburu.

Misalnya gambar pola babi di gua Sakapao yang memperlihatkan goresan di tubuhnya sering dihubungkan dengan kekuatan magis dalam perburuan. Nilai magis dan religi juga dapat merujuk kepada lukisan cap tangan dan matahari.

Nilai sosial-ekonomi jelas diperlihatkan oleh pola babi, perahu, kapak, dan mata bajak. Sedangkan gambar dengan pola ular mungkin dimaksudnya sebagai peringatan bahaya.

II. Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Tenggara

Jika di Sulawesi Selatan gudang lukisan prasejarah ada di Kompleks Maros dan kompleks Pangkajene, di Sulawesi Tenggara seni cadas itu banyak diketemukan di Pulau Muna.

Berdasarkan hasil penelitian para arkeolog, gua dan ceruk (gua dangkal) yang didapati lukisan prasejarah di Pulau Muna berada di kawasan Liabano, Kotobu.

Diantaranya gua Kolumbo, La Kabori, Mentanduro, Gua Toko, dan wa Bose, sedangkan untuk ceruk-ceruknya yang memiliki lukisan prasejarah adalah Ida Malangi, La Nasrofa, La Sabo, dan Tangga Ara.

Lukisan gua prasejarah yang terdapat di Pulau Muna (Sulawesi Tenggara) telah banyak diteliti oleh E.A. Kosasih (1977).

Dari segi gaya lukisannya umumnya berbeda dengan lukisan gua yang diketemuka di Sulawesi Selatan, khususnya dengan kompleks Maros.

Cap jari tangan yang menjadi ciri khas lukisan gua di wilayah Maros, tidak diketemukan di Pulau Muna. Dilihat dari gaya lukisannya, corak lukisan di Pulau Muda justru lebih dekat kemiripannya dengan gaya lukisan yang terdapat di Pulau Kei, di Papua, dan Seram.

A. Gaya Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Tenggara

Lukisan gua di Pulau Muna umumnya memiliki warna coklat seperti dibuat dari tanah liat. Lukisa gua di Pulau Muna didominasi oleh lukisan manusia yang digambarkan dalam berbagai sikap.

Contohnya penggambaran perkelahian dengan menggunakan sejata, memegang sejenis pedang, kegiatan perburuan, menari, seperti menaiki kuda dan bahkan ada yang seperti terbang. Penggambaran manusia dilukiskan dengan bagian anggota badan yang dibentangkan ke arah samping.

Selain itu juga ada lukisan yang berpola menyerupai binatang seperti anjing, babi, buaya atau kadal, kuda, rusa, ular dan sebagainya. Pola matahari dan geometris juga ditemukan dan yang paling menarik adalah penggambaran perahu yang seperti sedang dinaiki.

B. Penggambaran Kehidupan Pada Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Tenggara

Kompleks lukisan gua prasejarah di Pulau Muna menunjukan tingkat perbedaan signifikan dari lukisan gua di Sulawesi Selatan, tidak saja teknik penggambaran serta warna yang digunakan, tetapi juga terlihat dari pola yang lebih bervariasi dalam menggambarkan kehidupan mereka.

Di gua Metanduro misalnya, ada lukisan gua yang menggambarkan adegan berburu hewan yang ditemani dua ekor anjing. Pola lukisan ini juga diketemukan di Ceruk La Sabo, yaitu adegan perburuan yang sedang membidik senjata ke sekelompok rusa yang tengah berlarian.

Adegan perburuan menunjukan penggunaan tombak sebagai alat berburu dan kegiatan perburuan dengan ditemani atau menggunakan hewan peliharaan untuk membantu perburuan hewan.

Selain sebagai pemburu, manusia juga digambarkan sedang bertempur dengan membawa senjata dan perisai. Penggambaran prajurit juga diketemukan di Ceruk Tangga Ara walaupun pada beberapa bagiannya terlihat kurang sempurna.

Di Gua Kobori terdapat lukisan yang menunjukan aktivitas manusia seperti sedang menari dan bahkan ada lukisan yang menggambarkan manusia yang mampu terbang layaknya burung.

Penggambaran manusia burung bahkan terlihat memiliki pola cakar pada bagian tangan serta kakinya. Penggambaran menari mungkin masih berhubungan dengan unsur-unsur profan dan mempunyai derajat kesakralan, yang berhubungan dengan kesejahtraan hidup mereka.

Penggambaran manusia terbang (manusia burung) sepertinya ditujukan kepada unsur magis-religi sebagai bagian dari kepercayaan mereka. Hal yang mempunyai nilai kesakralan juga di ketemukan di Gua We Bose.

Di Gua ini terdapat lukisan yang berbentuk genital (kelamin perempuan), lukisan ini mungkinmemiliki makna yang berhubungan dengan kesuburan.

Penggambaran bentuk perahu di beberapa gua yang ada di Pulau muna menunjukan kalau perahu itu telah mendapat pengaruh dari teknologi modern yang sepertinya dikembangkan pada awal-awal masehia.

Penggambaran perahu di Gua Kobori dianggap spektakuler ditunjukan oleh perahu dengan layar yang berbentuk persegi panjang dan pola yang nyaris vertikal.

Perahu itu digambarkan memiliki dayung dan juga kemudi, di dalam perahu itu bahkan digambarkan orang yang sedang naik; awak perahu. Pola unik lainnya ditemukan di Gua Toko, yang menampilkan bentuk pohon kelapa dan jagung.

Melihat bentuknya, pola perahu digambarkan dalam dua gaya; sebagai perahu niaga dan untuk mencari ikan.

Lukisan gua lainnya yang berhubungan dengan kegiatan sosial-ekonomi masyarakatnya adalah bentuk lukisan pohon kelapa dan jagung di Gua Toko mempunyai makna sosial-ekonomi yang erat hubungannya dengan mata pencaharian mereka.

Gambar-gabrat itu juga menunjukan mereka telah mengenal sistem pertanian dan tradisi bercocok tanam.

Penggambaran yang tertera dalam lukisan Gua di Sulawsi Tenggara ini sedikitnya dapat memberi kita gambaran tentang kehidupan manusia pada masa itu yang selain telah mampuu “berkesenian” mereka juga mampu mengungkapkan simbol-simbol kehidupan mereka.

III. Lukisan Gua Prasejarah di Maluku

Di Maluku yang dianggap pertama kali menemukan lukisan gua prasejarah adalah J. Roder di tahun 1937, walaupun pada kenyataannya mungkin masyarakat yang kini tinggal dan berada di sekitarnya sudah mengenal peninggalan tersebut lebih dulu sebelum Roder “menemukannya”.

Apa yang berbeda dari seorang ahli dan mereka yang hanya mengenal, adalah Roder tidak hanya menemukan tapi ia juga menelitinya kemudian mewartakannya pada dunia.

Roder tercatat telah menemukan lukisan gua di wilayah Maluku kurang lebih sebanyak 100 buah yang keseluruhannya itu ia temukan di Pulau Seram, pada dinding karang di dekat Sungai Tala.

Lukisan prasejarah yang diketemukannya berupa pola gambar seperti hewan rusa, pola burung, penggambaran manusia, bentuk perahu, pola matahari, dan juga bentuk mata.

Selain di Pulau Seram, lukisan prasejarah di Maluku juga diketemukan di Kepulauan Kei. Lukisan-lukisan prasejarah yang diketemukan di Kepulauan Kei umumnya berupa garis-garis lurus ( sktets ), tetapi ada juga yang telah diberi warna pada bagian dalamnya.

Penggambaran manusia ditampilkan dengan berbagai adegan seperti menari, berperang sembari memegang perisai, dan ada juga yang seperti posisi jongkok dengan kedua tangannya terangkat.

Juga ada lukisan pola topeng, jenis burung, bentuk perahu, pola matahari, dan bentuk geometris. Gaya lukisan gua itu sepintas mirip dengan lukisan yang diketemukan di Papua, dan Timor, bahkan beberapa memiliki kemiripan dengan lukisan gua prasejarah di bagian selatan Australia.

Di wilayah Dudumahan, pantai utara Nuhu Rowa yang masih satu kawasan Kepulauan Kei, diketemukan lukisan prasejarah dengan pola yang berbeda.

Lukisan gua prasejarah di wilayah Dudumahan ini tidak saja menampilkan penggambaran pola manusia, tetapi juga ada bentuk ikan, kura-kura, pola topeng, bentuk perahu, dan matahari.

Salah satunya yang cukup menarik adalah penggambaran wanita. Lukisan dengan bentuk dan pola seperti ini biasanya dihubungkan dengan simbol atau unsur kesuburan. Lukisan dengan gaya yang sama juga diketemukan di Pulau muna, di Gua Wa Bose (Sulawesi Tenggara).

Gambar lukisan gua di kepulaua Kei pada umumnya dibuat dari garis luarnya saja (o utline ), tetapi pada penggambaran yang menampilkan bentuk manusia biasanya akan terisi sepenuhnya oleh warna merah.

Lukisan-lukisan gua yang diketemukan di Kepualauan Kei terdiri dari lukisan cap tangan yang berlatar belakang merah, bentuk topeng yang menggambarkan wajah manusia, lambang dari matahari, orang-orang berkelahi dan menari, bentuk perahu, dan juga gambar hewan seperti burung.

Lukisan gua bagaimanapun merupakan hasil dari kebudayaan manusia zaman prasejarah, bagus atau tidaknya merupakan nilai lain. Sejatinya lukisan gua itu adalah dapat memberi kita informasi bagaimana kehidupan pada masa berburu dan mengumpulkan makanan di masanya.

Mereka yang telah tinggal di gua-gua dan ceruk (gua dangkal) memberi kita sebuah gambaran bahwa gua bukan hanya tempat dinggah, gua bagi mereka adalah rumah dalam arti sesungguhnya. Tempat dimana hidup dan kehidupan terpancar dan dicirkan oleh penghuninya.

Seni cadas itu juga memberikan kita pemahaman lain. Para ahli ada yang berpendapat bahwa dengan dibuatnya lukisan-lukisan itu, terutama yang bergambar binatang yang akan diburu, si pemburu akan bersemangat dan telah merasa satu dengan binatang buruannya ( sympathetic magic ).

Hal ini ditunjukan oleh penggambaran sejumlah besar lukisan binatang yang seperti terkena panah atau terluka, sebuah harapan.

Lukisan gua itu kerap menceritakan pengalaman, kenangan, perjuangan, dan juga di dalamnya tergambar harapan manusia pada masanya. Lukisan gua yang selama ini diketemukan selalu membuat interpretasi baru tentang budaya yang dikmebangkan oleh pemangguknya.

Antara satu daerah-dengan daerah lain walaupun terdapat kesamaan terkadang lebih banyak menunjukan perbedaannya. Lukisan gua prasejarah itu bagaimana pun menggambarkan bagaimana keadaan sosial ekonomi dan juga terkadang merupakan gambaran dari alam kepercayaan masyarakat pada masa itu.

IV. Lukisan Gua Prasejarah di Kalimantan

Lukisan gua prasejarah di Kalimantan terbanyak dijumpai di Kalimantan Timur dan kemudian Kalimantan Barat. Penemuan pertama lukisan gua di Kalimantan Timur (di Kabupaten Kutai) diketahui dari tim arkeologi gabungan Indonesia dan Perancis pada tahun 1982, 1983 dan 1986.

Penelitian sehubungan dengan peninggalan-peninggalan budaya pada zaman prasejarah di pulau Kalimantan ditindaklanjuti oleh Chazine pada tahun 1994 yang meneliti di wilayah situs Sungai Bungam (Kapuas Hulu) dan wilayah pegunungan Muller (Kutai).

Lebih jauh penelitian kemudian dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin yang sudah dirintis dari tahun 1955, terutama yang berkaitan dengan lukisan gua prasejarah.

Hingga saat ini, lukisan gua prasejarah di Kalimantan terus mengundang ketertarikan para peneliti baik dari dalam dan luar negeri untuk mengungkap misteri kehidupan zaman prasejarah di wilayah tersebut.

Kendati demikian, penelitian seni cadas di Kalimantan dan juga wilayah-wilayah lainnya di Indonesia kerap menemui hambatan mengingat kondisi wilayah geografis yang cukup berat, jarak tempuh yang jauh, serta memerlukan biaya yang kadang tidak sedikit.

Tujuan dari penelitian lukisan gua prasejarah selain untuk mengetahui kehidupan manusia pada zaman dahulu, penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai pengetahuan untuk dipelajari manusia sekarang. Misalnya tentang “sejarah seni”, sistem kepercayaan, dan juga bahan pewarna yang digunakan.

A. Gua-Gua di Kalimantan yang Memiliki Lukisan Gua Prasejarah

Penelitian terhadap gua-gua yang terdapat lukisan prasejarah di Kalimantan oleh Indonesia baru dimulai dengan melakukan survei pada tahun 1995 yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasih dan Pusat Arkeologi Nasional ke pegunungan Meratus, yang termasuk Kabupaten Tabalong (Kalimantan Selatan).

Penelitian itu dimaksudkan guna memperoleh data tentang aktivitas kehidupan zaman prasejarah yang berciri mesolitik dan neolitik. Salah satu gua tersebut adalah Gua Babi.

Di dalamnya ditemukan sisa-sisa aktivitas hunian yang dicirikan oleh benda-benda serpihan batu rijang, pecahan gerabah berhias, serta himpunan sisa moluska dari kelas gastropoda. Contoh arang dari Gua Babi yang dianalisis dengan metode pertanggalan C-14 menghasilkan data 5000 tahun yang lalu.

Pada tahun 1996 penelitian dilakukan di kawasan Tanjung Mangkalihat, Sangkulirang, Kutai Timur (Kalimantan Timur). Dari gua-gua yang terdapat di wilayah tersebut, dipastikan bahwa ada delapan gua yang memiliki lukisan, yaitu: Gua Mardua, Gua payau, Gua Liang Sara, Gua Masri, Gua Ilas Keceng, Gua Tewet, Gua Tamrin, dan Gua Ham.

Penelitian yang cukup intensif di kawasan ini jusru telah dilakukan oleh tim dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis yang dipimpin oleh Jean-Michael Chazine, seorang ahli etno-arkeologi yang sudah dirintisnya sejak tahun 1993, baik berupa survei maupun penggalian arkeologi.

B. Gua Tamrin dan Gua Ham di Kalimantan

Lukisan gua yang cukup menarik perhatian adalah lukisan gua di Gua Tamrin dan Gua Ham karena di dalam gua tersebut terdapat banyak gambar.

Gua Tamrin yang berada dekat sungai Marang, bahkan memiliki lukisan-lukisan penari yang mengenakan topeng pada seluruh bagian kepala. Lukisan tersebut sedikitnya mirip dengan tari-tarian adat yang masih berlangsung di beberapa suku papua dan beberapa kepulauan di Melanasia.

Sementara di Gua Ham diketemukan lukisan penari, hewan yang menyerupai tapir, jenis rusa dan tumbuhan. Yang paling luar biasa adalah lukisan cap tangan yang jumlahnya mencapai 275 gambar, dan menjadi salah satu gua yang memilki lukisan cap tangan terbanyak di dunia.

C. Pola Lukisan Gua Prasejarah di Kalimantan

Pola lukisan gua yang cukup dominan di beberapa gua di Kalimantan adalah lukisan cap tangan, yang hampir sama dengan lukisan cap tangan yang diketemukan di kompleks Maros dan Pangkajene (Sulawesi Selatan).

Pola lainnya antara lain hewan banteng dan sejenis tapir yang diperkirakan telah punah ribuan tahun lalu. Ada juga hewan babi, sejenis rusa, tumbuhan, pola geometris, dan gambar manusia yang digambarkan seperti sedang berburu dan menari.

Pola dan bentuk lukisan secara tidak langsung juga dapat menunjukan kelas sosial yang berkembang pada masa itu, baik itu yang mengandung simbol-simbol yang berhubungan dengan sosial-ekonomi maupun makna religi-magis.

Roder dan Galis yang meneliti lukisan gua di wilayah Maluku dan juga juga di wilayah Papua, lukisan gua terkadang berkaitan dengan upacara-upacara dan bentuk penghormatan kepada nenek moyang, bentuk inisiasi, dan juga untuk keperluan memperingati kejadian yang penting.

Lukisan-lukisan itu seperti diselimuti suasana sakral dan juga religius. Lukisan itu juga seperti ungkapan permohonan yang dengannya mereka melukiskan agar dapat dikabulkan, sebuah impian. Beberapa bahkan menyatakan lukisan gua sebagai tanda belasungkawa yang dapat mengantarkan perjalanan seseorang ke dunia lain.

Semua yang tergambar pada lukisan gua masa prasejarah itu merupakan bentuk refleksi kehidupan yang dijalani manusia di masanya. Gua bukan hanya sebagai tempat mereka berteduh, gua adalah rumah.

Fungsinya bukan hanya sebagai tempat beristirahat atau sebagai tempat tinggal saja, tapi gua-gua itu dijadikan sebagai salah satu tempat untuk mengekspresikan perkembangan hidup yang mereka jalani.

V. Lukisan Gua Prasejarah di Papua

Orang-orang tua dahulu menganggap lukisan gua prasejarah itu dibuat oleh setan-setan. Oleh karena itu, setiap kali mereka melewatinya, seolah wajib memberikan sesajian baik berupa sirih dan pinang demi keselamatan atau terhindar dari bahaya.

Di Papu lukisan dinding gua itu merupakan simbol keberadaan Suku Mairasi. Lain halnya dengan klan Watora, mereka menganggap lukisan telapak yang ada di tebing-tebing itu mereka anggap sebagai tempat singgah nenek moyang mereka ketika hendak pindah menuju Tanjung Bicari.

Johannes Keyts, seorang pedagang ketika melakukan perjalanan dari Banda ke Papua Nugini tahun 1678, Ia melewati tebing karang dekat teluk Speelman.

Betapa terkejut-nya ia saat melihat tebing itu dipenuhi oleh tengkorak, patung manusia, dan terdapat lukisan-lukisan berwarna merah pada dinding gua tersebut.

Johannes Keyts adalah orang yang mencatat keberadaan lukisan gua prasejarah di Papua untuk pertama kalinya.

Selang beberapa abad kemudian, K.W. Gailis kemudian meneliti seni cadas prasejarah yang terdapat di wilayah Papua bagian barat, di sekitar Teluk Seireri dan daerah Danau Sentani.

Sebagian dari lukisan gua yang ditemukannya berbentuk abstrak, ada lukisan pola lengkung, bentuk spiral, serta penggambaran hewan melata yang distilir. Selain itu, di dalam gua-gua itu banyak dijumpai tulang-belulang manusia.

Belum jelas mengenai temuan tulang-tulang manusia itu, apakah mereka pendukung dari budaya lukisan tersebut atau manusia-manusia yang hadir pada masa setelahnya.

Lukisan gua Papua umumnya mempunyai kemiripan dengan lukisan-lukisan gua prasejarah yang diketemukan di Maluku dan Pulau Kei, tetapi ada beberapa bentuk yang juga berbeda (khusus).

Misalnya di wilayah Kokas, diketemukan lukisan cap tangan dan juga kaki yang berlatar belakang cat merah. Di daerah Namatone juga diketemukan pola yang hampir sama.

Bentuk lainnya yang juga dijumpai di kedua situs ini adalah pola penggambaran manusia, bentuk ikan, hewan kadal dan bentuk perahu pola distilir. Dari cerita penduduk setempat, lukisan cap tangan dan juga kaki itu merupakan jejak nenek moyang mereka ketika hendak melakukan perjalanan dari timur ke barat.

Lukisan prasejarah yang diketemukan d wilayah Kokas merupakan satu dari situs kuno yang cukup terkenal. Lukisan-lukisan itu berada pada tebing-tebing terjal. Bagaimana mereka melakukannya? Masih misteri.

Penduduk setempat menyebut tebing terjal itu dengan Tapurarang. Bagi mereka, lokasi lukisan di tebing tersebut merupakan tempat yang sakral. Mereka mempercayai lukisan pada dinding gua itu adalah mereka yang mendapat kutuk arwah. Sebagian lagi percaya lukisan itu melambangkan penguasa laut, Kaborbor, arwah yang paling menakutkan.

Di wilayah Kokas peninggalan prasejarah didapati di daerah Andamata, Darembang, Fior, Forir, dan Goras. Seni cadas ini juga banyak ditorehkan pada dinding-dinding gua di Wilayah Kaimana, Papua Barat.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Jayapura, motif-motif lukisan di Kaimana umumnya adalah penggambaran manusia, bentuk fauna-flora, ragam geometris dan juga benda-benda yang dihasilkan oleh manusia misalnya bentuk perahu, bumerang, senjata tombak, pola tapak batu, bentuk penokok sagu dan juga topeng.

Motif dan bentuk manusia itu ada yang berupa penggambaran manusia secara utuh, lukisan cap tangan, bentuk antropomorfik dan juga matuto. Sedangkan untuk kategori fauna adalah bentuk buaya, burung, kuskus, ikan, penyu, ular, dan juga bentuk kuda laut.

Sementara itu, pola geometris adalah bentuk matahari, segi empat dan juga pola lingkaran. Lukisan gua prasejarah itu tersebar di beberapa wilayah yang memiliki ketinggian ceruk dan juga tebing karang tiga hingga lima meter di atas permukaan laut.

Di Kaimana lukisan prasejarah banyak diketemukan di wilayah Desa Maimai, Marsi, dan di Namatota.

A. Gaya dan Makna Lukisan Gua Prasejarah di Papua

Rode mengelompokan lukisan gua prasejarah yang ada di papua menurut gayanya seperti: gaya Arguni dan Ota I, gaya Mangga, gaya Ota II dan Sosorra, dan gaya Tubulinetin.

Gaya Arguni dan Ota I ditandai dengan lukisan-lukisan yang hampir sepenuhnya berwarna hitam, sedangkan untuk gaya Ota II dan Sosorra lukisan perahu menjadi khasnya, selain itu juga terdapat tradisi penempatan mayat di depan gua. Sebagian besar lukisan gua yang diketemukan berwarna merah.

Masyarakat yang berada di sekitar tempat itu menyebutkan bahwa matuto adalah pahlawan nenek moyang, oleh karenanya hingga saat ini di tempat-tempat yang terdapat lambang matuto kerap dilakukan sebuah upacara dan juga tari-tarian.

Lukisan cap tangan dipercaya mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka dari kekuatan jahat. Perempuan dilarang melihat lukisan gua itu atas dasar keselamatan.

Lukisan cap tangan, manusia, binatang, perisai, perahu, dan bumerang, kemudian hadir dalam pola hias mereka, dalam simbol-simbol upacara penguburan, menjadi perisai dan perhiasan.

Reinach dan Begeuen yang menganalisis lukisan gua dari pendekatan kesuburan dan kepercayaan, gua-gua yang diktemukan di wilayah Papua memperlihatkan makna-makna itu.

Lukisan prasejarah itu mencoba menjelaskan kegiatan sosial-ekonomi mereka sehari-hari yang juga berhubungan dengan sistem kepercayaan.

Lukisan itu juga dinilai sebagai wadah dalam menuangkan ide atau gagasan manusia pada masa lalu berkaitan dengan kejadian, keadaan yang dialami atau sesuatu yang memang dilihatnya.