almanak

Menyeberang Sungai dengan Getek dan Sejarahnya

Sebagai sarana transportasi yang menghubungkan desa-desa yang terpisah oleh sungai, praktis kegunaan rakit-getek berlanjut hingga masa kemudian.  Hingga pertengahan abad ke-20 getek masih digunakan untuk menyeberang sungai. Bahkan masih bisa ditemukan di di Jakarta.

PublishedDecember 2, 2012

byDgraft Outline

Manusia membangun jembatan lazimnya di atas sebuah aliran sungai yang deras atau di atas sungai yang cukup landai. Jika kedalaman sungai masih di bawah panjang kaki manusia, orang-orang zaman dulu cukup melangkahkan kaki di permukaan sungai atau di atas bebatuan yang banyak terhampar di sungai atau, jika ia cukup punya uang untuk membeli kuda, memacukan kuda menyeberang sungai yang lebar.

Namun, jika sungai itu airnya cukup tenang dan tidak landai namun cukup dalam, maka manusia zaman dulu menyeberang sungai memakai perahu kecil atau rakit-bambu yang disebut getek yang disewakan oleh tukang getek.

Kita di zaman sekarang tentu bertanya: bagaimana cara tukang getek memastikan bahwa geteknya menyeberang sungai lurus, tak serong dan menyimpang, akibat dorongan arus sungai? Apakah cukup dengan hanya mengandalkan dayung? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita telisik bentuk getek itu

Getek terbuat dari batang-batang bambu yang dirapatkan satu sama lain atau anyaman bambu berbentuk bidang persegi panjang dengan panjang-lebar bervariasi. Terkadang, pada permukaan bawah getek ditempelkan dua buah sampan kecil di kanan-kiri sebagai pengambang getek; sampan ini terbuat dari kayu (jati).

Agar arah getek lurus selama diseberangkan, di atas sepanjang jalur sungai dipasang sebatang rotan panjang yang kedua ujungnya masing-masing ditalikan pada sebatang pohon yang tumbuh di tepi kanan-kiri sungai

Agar bentangan rotan cukup kukuh, tak mudah goyang, maka ujung kanan-kiri (sebelum keduanya ditalikan pada batang pohon) disangga oleh sebatang bambu yang ditancapkan tepat di kedua tepi sungai (tentu lebih dekat dengan tepi sungai ketimbang pohon di mana ujung masing rotan ditalikan).

Untuk memastikan rakit meluncur sejajar bentangan rotan, si tukang perahu memasang dua buah bambu di salah satu sisi rakit sehingga tegak lurus dengan rotan dan melebihi ketinggian bentangannya

Bila tukang rakit dua orang, maka tukang yang satu memegang pada bentangan rotan, tukang yang satu lagi mendayung atau memegang galah, dan getek pun sampai di seberang, menurunkan penumpang manusia, hewan seperti kuda, biri-biri, kambing, dan barang-barang bawaan.

Sebagai sarana transportasi yang menghubungkan desa-desa yang terpisah oleh sungai, praktis kegunaan rakit-getek berlanjut hingga masa kemudian. Hingga pertengahan abad ke-20 getek yang masih beroperasi masih bisa ditemukan di Nusantara, bahkan di Jakarta.

Keberadaan getek atau perahu penyeberang telah ada sejak dulu. Prasasti Tlang yang berangka 825 Saka (903 M) menyebutkan bahwa ada perahu yang berfungsi menghubungkan kedua tepi sungai untuk menaikkan atau menurunkan barang dan penumpang setiap harinya tanpa dipungut bayaran.

Ke-gratis-an penyeberangan ini dikarenakan Desa Tlang, Desa Mahe, dan Desa Paparahuan—tiga desa yang dihubungkan dengan sungai yang sama—telah dijadikan sima, yakni wilayah yang dibebaspajakkan oleh kerajaan yang menguasi wilayah tersebut di mana tidak diperbolehkan terjadi transaksi perekonomian.

Desa Tlang dan Desa Paparahuan kemungkinan besar kini adalah Desa Teleng dan Desa Praon di Surakartam Jawa Tengah, sedangkan Desa Mahe belum diketahui letak pastinya; sementara sungai yang dimaksud prasasti itu adalah Bengawan Solo.

Jika desa-desa bersangkutan tidak termasuk wilayah sima tentu penumpang yang memakai jasa getek akan dikenakan biaya dan penyewa jasanya mungkin dikenakan pajak oleh kerajaan.