almanak

Kesultanan Demak, Kerajaan Islam Terbesar di Pulau Jawa

Dalam silsilah kerajaan-kerajaan Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, yang kemudian muncul sebagai kekuatan baru dan mewarisi legitimasi kebesaran Majapahit.

PublishedMarch 3, 2013

byDgraft Outline

Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam yang terbesar yang pernah ada di Pulau Jawa. Kesultanan Demak juga dianggap sebagai pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan di Nusantara.

Sayang, kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perpecahan di antara kerabat kerajaan. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang dalam sejumlah catatan disebutkan didirikan oleh Walisongo.

Keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca “Bintoro” dalam bahasa Jawa; saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah). Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai “Demak Bintara”. Pada masa raja ke-4, ibukota kerajaan dipindahkan ke Prawata (dibaca “Prawoto”), dan untuk periode ini, kerajaan disebut Demak Prawata.

Raden Patah atau Jin Bun, pendiri sekaligus raja/sultan pertama kesultanan Demak merupakan anak dari Brawijaya, raja Majapahit. Tak lama berselang setelah berdirinya kesultanan Demak, Majapahit jatuh ke dalam kekuasaan Girindrawardhana.

Menyikapi hal tersebut, Raden Patah lantas menghimpun kekuatan dengan maksud untuk menundukan Majapahit. Penyerangan yang berlangsung pada tahun 1478 masehi tersebut membuahkan hasil. Majapahit menjadi daerah di bawah kekuasaan Demak, dengan tetap diperintah oleh Girindrawardhana sebagai Bupati.

Dalam perkembangannya, Demak mampu menjadi negara maritim. Lokasi kerajaan Demak yang strategis mengakibatkan Demak cepat berkembang dalam segi ekonomi. Letak Demak di tepian laut dan terbentangnya tanah pertanian yang sangat subur dengan hutan jati yang sangat lebat di sekitar kerajaan menjadi keuntungan tersendiri dari segi ekonomi.

Pada tahun 1512, Demak mengirimkan armada perangnya untuk merebut Malaka, yang saat itu merupakan kota pelabuhan yang sangat penting di Nusantara, dari tangan Portugis. Sayangnya penyerangan itu berbuah kegagalan. Pada 1521, kembali Adipati Unus untuk kedua kali mengirim pasukannya dalam rangka merebut Malaka. Sayangnya, penyerangan itu pun kembali gagal.

Pada 1521 Adipati Unus meninggal mendadak. Hal itu sontak membuat Demak goyah dan dilanda saling intrik antarkerabat dalam kerajaan. Anak dari Raden Patah sendiri berjumlah empat orang, yakni Adipati Unus dan Raden Trenggana dari istri pertama, dan Raden Kanduruhan yang berasal dari istri kedua, dan Raden Kikin dari istri ketiga. Raden Kanduruhan mempunyai usia yang lebih tua dari Trenggana. Hal ini menjadi pemicu terjadinya perang saudara di Demak.

Melihat keadaan ini, Girindrawardhana merasa mendapat angin segar, dan berencana untuk menyerang Demak. Tetapi belum sempat itu terjadi, Raden Trenggana mengirimkan Sunan Gunung Jati untuk menyerang Majapahit pada tahun 1527. Pada tahun itu juga Girindrawardhana tewas dan posisi bupati Majapahit tidak lagi ada. Ini juga sekaligus akhir dari kerajaan Majapahit.

Runtuhnya Kesultanan Demak; Perang dan Perpecahan

Peperangan di antara kerabat kesultanan Demak berawal dari meninggalnya anak sulung Raden Patah, yaitu Adipati Unus (selaku Raja yang berkuasa), perebutan kekuasaan antara anak-anak dari Raden Patah pun tidak terhindarkan. yaitu antara Raden Trenggana dan Pangeran Seda Lepen (Kikin).

Pangeran Seda Lapen tewas di tangah Raden Prawoto, anak Raden Trenggana. Raden Trenggana manjadi sultan kedua di Demak. Pada masa kekuasaan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mencapai puncak keemasan dengan luasnya daerah kekuasaan dari Jawa Barat sampai Jawa timur. Di Barat, Kesultanan Cirebon menjadi benteng andalan Kesultanan Demak.

Sultan Trenggana memiliki dua orang putra dan empat putri. Anak pertama perempuan dan menikah dengan Pangeran Langgar, anak kedua laki-laki, yaitu Sunan Prawoto, anak yang ketiga perempuan, menikah dengan Pangeran Kalinyamat, anak yang keempat perempuan, menikah dengan pangeran dari Cirebon, anak yang kelima perempuan, menikah dengan Pangeran Adiwijoyo (Jaka Tingkir), dan anak yang terakhir adalah Pangeran Timur.

Kisah selanjutnya, Arya Penangsang Jipang, anak Pangeran Seda Lapen, konon dihasut oleh Sunan Kudus untuk membalas kematian dari ayahnya. Pada tahun 1546, setelah wafatnya Sultan Trenggana secara mendadak, anaknya, yaitu Sunan Prawoto, naik tahta dan menjadi raja ke-3 Demak.

Diceritakan sejumlah sumber, Arya Penangsang, anak Raden Seda Lapen, dengan sokongan dari Sunan Kudus, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.

Pada masa itu posisi Demak sedang mengalami kekosongan armada akibat dikirimkan ke daerah timur Nusantara. Maka dengan mudahnya Arya Penangsang membumi – hanguskan Demak, yang hanya menyisakan masjid Demak dan Klenteng.

Dalam pertempuran ini, tentara Demak terdesak dan mengungsi ke Semarang. Pasukan Arya Panangsang terus melakukan pengejaran. Sunan Prawoto beserta Pangeran Kalinyamat pun gugur dalam pertempuran ini.

Dengan membunuh Sunan Prawoto, Arya Penangsang berhasil menguasai Demak dan menjadi sultan yang berdaulat. Namun ternyata kematian Sunan Prawoto tidak begitu saja menyelesaikan perseteruan di tengah keluarga besar Demak.

Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan Arya Penangsang berhasil membunuh Sunan Prawoto dan Pangeran Kalinyamat, sehingga tersisa Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggana, sebagai ancaman terakhir atas kekuasaannya.

Jaka Tingir adalah anak dari Ki Ageng Pengging, bupati di wilayah Majapahit di daerah Surakarta. Dengan dibantu oleh Ki Ageng Panjawi dan Ki Ageng Pamanahan, Arya Panangsang berhasil ditumbangkan.

Sebagai rasa terimakasih, Ki Ageng Panjawi mendapatkan hadiah tanah pati, dan Ki Ageng Pamanahan mendapat tanah Mataram.

Begitulah, Dinasti Raden Patah, trah Majapahit pendiri Kesultanan Demak, berakhir pada 1546; hanya bertahan selama 68 tahun sejak berdirinya.

Pada tahun itu juga, berdirilah Kesultanan Pajang, di sebelah barat kota Surakarta sekarang, yang diprakarsai oleh Jaka Tingkir. Sedianya, Kesultanan baru itu diharapkan bisa melanjutkan dinasti kekuasaan Demak.

Namun demikian, tidak semua wilayah dalam penguasaan Demak tunduk terhadap Kesultanan Pajang, termasuk salah satunya adalah Kesultanan Cirebon.