almanak

Makna Nama Satwa pada Orang Tempo Doeloe

Orang tua biasanya menamai buah hati mereka dengan nama-nama berupa kata sifat yang indah,  makna nama yang terpuji, dewa-dewi, nama pahlawan, ksatria, tokoh, wayang, para nabi, sahabat Nabi, dari kata Sansekerta, Arab, Eropa, dan lain sebagainya.

PublishedApril 12, 2013

byDgraft Outline

Bagaimana dengan orang-orang tua di Nusantara dulu menamai putra-putri mereka? Tentunya sama dengan orang-orang tua kita masa kini, yakni dengan kata-kata terpuji, dengan nama-nama pahlawan di zamannya, nama dewa-dewi Hindu-Buddha (bagi yang terkena pengaruhnya), untuk perempuan biasanya disematkan nama-nama bunga dan untuk laki-laki digunakan nama-nama binatang.

Ya, bagi mereka yang hidup di zaman dulu, nama-nama satwa atau hewan sama berartinya dengan nama-nama tokoh pewayangan. Ambillah nama-nama tokoh sejarah atau pun tokoh sastra seperti Kebo Anabrang, Mundinglaya, Hayam Wuruk, Gajah Mada, Kidang Pananjung, Manjangandara, Mahesa Rubuh, Lembu Tal, Lutung Kasarung, Kuda Wangi, Banyakcatra, dan Ciung Wanara.

Dari sini kita mendapati nama-nama binatang seperti kebo dan munding (keduanya berarti kerbau), hayam (ayam), gajah, kidang dan menjangan (keduanya berarti kijang), mahesa dan lembu (keduanya berarti sapi), lutung (kera), kuda, banyak (angsa), dan ciung (burung beo).

Belum lagi nama orang yang ada unsur singa—juga nama kerajaan seperti Singasari—seperti Singaperbangsa.

Nama-nama di atas memang sebagian bahasa Sansekerta (seperti mahesa dan banyak ) namun sebagian lagi merupakan kosakata asli bangsa Nusantara (seperti hayam, kuda, lutung, kebo, munding ).

Kita tak tahu kata-kata apa yang dipakai sebelum wilayah Nusantara terpengaruh Indianisasi. Yang jelas, mereka mengambil nama-nama binatang bagi nama anak-anak mereka setelah ada pengaruh indianisasi (walau tak menutup kemungkinan sebelumnya telah memakai nama-nama hewan dengan makna nama yang berbeda).

Dalam tradisi Hindu-Buddha, hewan-hewan tertentu memiliki makna nama yang istimewa. Lembu misalnya, merupakan kendaraan atau wahana Dewa Siwa. Angsa adalah kendaraan Dewa Brahma, seperti gadura bagi Dewa Wisnu.

Gajah tak lain wahana Dewa Iswara atau Isora, dan macan adalah wahana Maheswara. Sedangkan kerbau adalah kendaraan Dewa Rudra, dan singa wahana Dewa Sangkara.

Bagaimana dengan binatang mitologis seperti naga yang juga banyak disebutkan dalam sastra dan dongeng zaman dulu? Naga, binatang penguasa alam bawah tanah dan hidup di bawah permukaan bumi, tak lain merupakan kendaraan Mahadewa.

Ada pun kera dan burung terdapat pada kayon atau gegunungan dalam pertunjukan wayang, menggelantung dan bertengger di atas dahan nan rimbun; burung raksasa atau wilmana pun merupakan wahana Sambhu ( jangan dilupakan bahwa Hanoman dan pasukan kera pimpinan Sugriwa dari epos Ramayana pun “manusia kera”).

Dari penjelasan tadi pengetahuan kita mulai terbuka dan memahami bahwa hewan-hewan yang disebutkan merupakan makhluk istimewa yang dianggap suci dan sakral.

Selain sebagai kendaraan dewa-dewa, hewan-hewan bersangkutan termasuk “raja” di habitatnya dan hidup di hutan belantara. Dalam pandangan dunia manusia dulu, hutan merupakan wilayah suci sekaligus angker, yang hening dan juga rimbun.

Ia adalah wilayah ambang, wilayah “perantara” bagi manusia di zamannya dalam berhubungan dengan Dunia Atas yang tak terjangkau. Di hutan pula biasanya salah seorang pahlawan cerita dibuang, diasingkan, dan di sini pula ia menemukan panutan hati, ditolong oleh kesatria gagah nan baik hati yang kadang berwujud binatang seperti Lutung Kasarung.

Singkatnya, hutan dan hewan merupakan hal yang menjembatani dunia manusia yang serba terbatas dengan Dunia Atas yang tidak terbatas.

Dalam tradisi kemiliteran masa kuno, nama-nama hewan digunakan sebagai nama siasat atau formasi pasukan dalam peperangan. Misalnya, garuda wyūha atau susunan pasukan berbentuk garuda ( wyuha berarti “susunan pasukan”) dan gajendramatta atau gajamatta wyūha atau susunan pasukan berbentuk gajah mengamuk. Begitu pula gerakan beladiri seperti silat yang kebanyakan jurusnya memakai nama-nama hewan.

Jelas bagi kita kini bahwa orang-orang tua Nusantara dulu menamai anak-anak mereka dengan penuh pertimbangan. Penamaan adalah doa dan harapan, bahwa kelak keturunan mereka, idealnya, bisa menjadi “tunggangan” orang banyak dalam saling berbagi kebajikan dalam kehidupan yang saling membutuhkan.

Dan bisa jadi, sebelum bersinggungan dengan budaya India, mereka telah menamai keturunannya dengan nama-nama hewan sebagai perlambangan kegagahan dan kejantanan kaum pria.