almanak

Wayang dan Pewayangan, Sejarah dan Perkembangan

Tercatat pada 7 November 2003, UNESCO, lembaga khusus PBB yang menangani kebudayaan menetapkan wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity dari Indonesia.

PublishedMay 17, 2013

byDgraft Outline

Sejak dahulu, Asia Tenggara memiliki hubungan dengan Cina dan India lewat jalur dagang. Rute ini berkembang pesat pada tahun 100 Masehi ketika para pelaut Nusantara mulai mahir melakukan pelayaran jarak jauh.

Sambil melakukan perdagangan, mereka juga membawa adat dan kebudayaannya, termasuk kisah Ramayana dan Mahabarata yang dipercaya sebagai bagian yang penting dalam perkembangan pertunjukan wayang.

Wayang merupakan bentuk Seni Pertunjukan yang cukup tua di Indonesia yang dipercaya telah ada jauh sebelum masuknya agama Hindu dan Budha, yaitu sejak zaman Neolitik (sekitar 1500 SM).

Dalam bahasa Jawa, wayang berarti bayang-bayang atau bayangan, konon bayangan manusia di antara api menjadi tontonan yang menarik pada zaman itu.

Pada perkembangannya media tersebut diganti dengan daun tal atau lontar, tetapi karena ukuran lontar dirasa terlalu kecil, maka daun tersebut diganti menjadi kulit sapi atau lembu.

Melihat pertunjukan tersebut begitu lekat dengan masyarakat, memudahkan penyebaran agama Hindu di Nusantara melaui kesenian wayang. Dapat dilihat wayang yang berkembang saat ini, sumber ceritanya berasal dari epos Mahabarata dan Ramayana.

Demikian juga ketika masuknya Islam, wayang dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga sebagai pertunjukan dengan sisipan ajaran-ajaran dan filsafat Islam. Wayang begitu erat kaitannya dengan agama, tahun 1960 misionaris Katolik, Pastor Timotheus L. Wignyosubroto, SJ dalam misinya menyebarkan agama Katolik juga menggunakan wayang yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab.

Table of contents

Open Table of contents

Jenis Wayang Paling Umum di Indonesia

A. Wayang Kulit

Wayang kulit merupakan salah satu jenis wayang yang terbuat dari kulit sapi atau lembu yang disamak atau dikeringkan sehingga menjadi lembaran kulit yang keras. kemudian dipahat dan diwarnai sesuai dengan karakter yang dibutuhkan. Biasanya warna emas mendominasi wayang kulit.

Wayang kulit berkembang pesat terutama di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Banyumas, Jawa Timur. Selain itu terdapan pula di Kalimantan Selatan, Madura, dll.

B. Wayang Golek

Wayang golek merupakan jenis wayang yang terbuat dari kayu. Sangat populer di tanah Pasundan. Biasanya menggunakan kayu berbobot ringan seperti kayu mahoni ( Swietenia Macrophylla ), kayu albasia ( Albizia Falcataria ), dan kayu lame ( Alstonia Scholaris R.Br ).

Kayu diukir, diwarnai, dan diberi pakaian sedemikian rupa hingga berbentuk karakter tertentu. Berbeda dengan bentuk wayang kulit yang pipih dua dimensi, golek disajikan dalam bentuk tiga dimensi.

C. Wayang Orang

Berbeda dari dua jenis wayang sebelumnya, wayang orang adalah seni pertunjukan yang diperankan langsung oleh manusia dengan kostum wayang.

Wayang orang diadaptasi dari wayang kulit oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731 di Solo. Cerita dan penyajiannya dibuat menyerupai wayang kulit, perbedannya wayang orang tidak memakai dalang.

D. Wayang Beber

Penyajian wayang beber lebih mirip dengan pendongeng-pendongeng pada umunnya. Tidak seperti wayang pada umumnya, wayang beber disajikan dalam bentuk gulungan lukisan yang berisi peristiwa-peristiwa dalam cerita wayang, kemudian dalang menceritakan apa yang terjadi pada lukisan tersebut.

Kalah bersaing dengan wayang-wayang lainya, wayang beber kini sudah jarang bisa ditemui dan dibebrapa tempat yang dikenal memiliki kesenian ini pun sudah jarang dipergelarkan lagi.

E. Wayang Rumput atau Wayang Suket

Wayang suket merupakan modifiasi bentuk dari karakter wayang kulit. Biasanya wayang suket dimainkan oleh anak-anak sebagai permainan saja. Tetapi ada juga yang memiliki cerita seperti wayang lainnya.

Sesuai dengan namanya, suket (rumput: bahasa Jawa) terbuat dari rumput dan daun yang dilipat.

F. Pergelaran Wayang

Pergelaran bisa dilakukan semalam suntuk. Cerita yang ditampilkan biasanya diambil dari cerita yang sudah dikenal, namun hanya diambil garis besarnya saja, sisanya dibumbui oleh dalang untuk mengemas inti dari cerita asli tersebut.

Sepanjang cerita berlangsung, pertunjukan iini diiringi oleh satu set gamelan berlaras degung atau salendro sebagai tata musik.

Pola pengadegan dalam wayang dalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.

Selain untuk hiburan dalam rangkaian kenduri, salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruwat atau ruwatan, yaitu ritual yang bertujuan untuk tolak bala (marabahaya). Ritual ini sudah agak jarang ditemukan di tempat asalnya di Jawa Barat.

Periodisasi Wayang di Nusantara

Wayang sebagai sebuah kesenian warisan nenek moyang yang telah ada secara turun-temurun sampai dengan generasi sekarang bukanlah sekadar tontonan hiburan yang tanpa nilai filosofi, melainkan dipercaya sebagai wewayangane ngaurip, yaitu “bayangan hidup manusia”.

Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dipelajari dan direnungkan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga ajal tiba, perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah.

Dari setiap pertunjukannya dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal kebaikan guna mendapatkan kehidupan yang penuh makna.

Wayang juga secara nyata menggambarkan konsep hidup sangkan paran ing dumadi, manusia berasal dari Sang Pencipta dan akan kembali kepada-Nya. Dalam perjalanan sejarah wayang dan pewayangan Menurut Sri Mulyono, periodisasi wayang di Nusantara dibagi ke dalam:

Periode I : 1500 ± SM (Sebelum Masehi) – 400 M

Periode II ± 400 M – 903 M dan dan Periode III ± 903 M – 1478 M

Bentuk :

Cerita : Ketika candi Prambanan dibuat (± 732 – 856 M) pertunjukkan wayang sudah sebagian (dan sebagian lagi masih dengan cerita mitos) menggunakan cerita Hindu/Ramayana dan Mahabarata versi Indonesia (Wayang Purwa) yaitu Ramayana dan Mahabarata yang telah diberi bercampur dengan muatan local. Cerita-cerita pewayangan ini mulai ditulis dalam kepustakaan Jawa Kuna yang teratur dalam sebuah kitab pegangan, antara lain kitab Ramayana mulai ditulis tahun ± 903 M, menurut gaya dan cara menyusun ceritanya dapat diketahui bahwa telah ada pertunjukkan wayang pada tahun 907 sesuai dengan catatan yang tertera pada prasasti Balitung yang menyebutkan ; “ Mawayang buat Hyang ”, sebagian besar dengan dengan cerita Ramayana dan Mahabarata.

Fungsi :

Kepustakaan :

Kitab:

Waktu : Di malam hari dan siang hari untuk cerita Murwakala. Pelaksana : Kepala keluarga, dalang, orang yang dianggap “sakti”, kadang oleh raja sendiri. Tempat : Di rumah/ pekarangan atau tempat yang dianggap suci/istimewa. Bahasa : Bahasa Kawi/ Jawa Kuna bercampur bahasa Sanskerta.

Pada zaman Majapahit II (± 1440) mulai ada kitab-kitab pewayangan Tangtu Panggelaran, Sudamala, Dewa Ruci, Korawa Crama dan sebagainya berbahasa Jawa Tengahan, sedang bahasa sehari-hari telah menggunakan bahasa Jawa Tengahan sebagai bahasa umum, tetapi bahasa Pujangga masih mempergunakan bahasa Kawi.

Periode IV tahun 1478 M – 1945 M

Periode ini dibagi menjadi dua : Pertama yaitu Tahun 1478 M – 1745 M pada saat pemerintahan Demak, Pajang, Mataram dan Kartasura; kedua, tahun 1745 – 1945 M sejak kedatangan Belanda (1680 M), Kartasura hingga Surakarta.

Periode V Tahun 1945 – Sekarang

Tentang Tokoh Punakawan

Dalam pertunjukan wayang, kita hampir selalu akan menemukan tingkah lucu sekaligus bijak sana dari para punakawan.

Panakawan atau punakawan merupakan bagian dari cerita pewayangan yang tidak dapat dijumpai dalam epos Mahabharata atau Ramayana. Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna “paham”, dan kawan yang bermakna “teman”.

Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.

Tokoh punakawan seringkali menjadi bagian selingan dari rentetan peristiwa yang dihadirkan dalam pentas pewayangan, punakawan bisa saja menjadi bagian yang paling ditunggu oleh penonton karena kehadirannya hamper selalu berisi hiburan dan media dakwah.

Secara garis besar, tokoh punakawan adalah Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng (wayang kulit). Dalam wayang golek tokoh punakawan diantaranya Semar, Cepot, Dawala, Gareng.