almanak

Balaputradewa; Sang Raja Suwarnadwipa

Balaputradewa adalah salah satu tokoh dalam sejarah nusantara yang sangat berpengaruh. Pengaruhnya tidak hanya di wilayah Asia bagian tenggara, melainkan meluas hingga ke daratan India. Seorang Raja yang telah memberikan landasan bagi politik dan diplomasi internasional pada zamannya.

PublishedMarch 8, 2014

byDgraft Outline

Nama Balaputradewa disebut-sebut dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja bernama Dewapaladewa (atas nama Balaputradewa).

Prasasti tersebut ditemukan di Nalanda, India bagian timur (negara bagian Bihar). Isinya tentang pendirian bangunan (atau tempat ibadah) di Nalanda oleh Raja Balaputradewa. Prasasti ini diduga berasal dari abad ke-9 Masehi.

Prasasti Nalanda memberitakan kepada kita bahwa Maharaja Balaputradewa adalah raja Suwarnadwipa. Prasasti itu tidak menyebutkan secara langsung bahwa Balaputradewa merupakan raja dari kerajaan Sriwijaya.

Munculnya anggapan bahwa Balaputradewa adalah raja di Sriwijaya merupakan hasil analisis atau penyamarataan Suwarnadwipa dengan Sriwijaya di satu pihak dan penyamarataan San-fo-tsi dengan Shih-li-fo-shih di lain pihak. Maka tidak heran jika Balaputra sering dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya.

Geneologi: adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya.

Prasasti Nalanda menyajikan geneologi Balaputradewa. Dalam prasasti itu Balaputradewa mengaku sebagai cucu raja dari wangsa Sailendra yang menyandang gelar Śailendrawamśatilaka Śrī Wīrawairimathana yang berarti “Permata keluarga Sailendra, Pembunuh para Musuh yang gagah”.

Keberadaan Balaputra di Sumatra dalam pertengahan abad ke-9 Masehi bertepatan dengan pengiriman utusan dari Jambi ke negeri Cina pada tahun 853 dan timbulnya nama kerajaan San-fo-tsi dalam berita Cina. Dalam berita Cina dinyatakan, bahwa utusan dari Jambi datang di negeri Cina pada tahun 853 dan 871 Masehi. Utusan-utusan selanjutnya dikatakan berasal dari kerajaan San-fo-tsi.

Sejarah Dinasti Sung lebih lanjut memberitakan bahwa Kerajaan San-fo-tsi yang terletak di Laut Selatan antara Kamboja dan Jawa menguasai lima belas Negara bawahan. Berita ini terdapat dalam Karya Chou Ku-Fei Ling-wai-tai-ta yang ditulis pada tahun 1178 (dan dikutip Chau Ju-kua dalam Chu-fan-chi tahun 1226).

Pang-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Kuala Brang), Ji-lo-ting (Cerating), Ch’ieng-mai (…?), Pa-t’a (Paka), Tan-ma-ling (Trambralingga), Kia-lo-hi (Grahi), Pa-lin-fong (Palembang), Sun-to (Sunda), Kien-pi (Muara Kampe), Lan-wu-li (Lamuri), Si-lan (Srilangka)


Balaputradewa diduga merupakan anak bungsu Samaragrawira (Rakai Warak), sekaligus merupakan cucu dari Dhanarandra (Rakai Panunggalan) yang bergelar Wirawairimathana (pembasmi para Musuh). Dan kemungkinan bahwa Balaputradewa ini adalah adik Samaratungga (Rakai Warak).

Balaputra kabarnya “tidak mendapatkan hak” untuk menjadi penguasa di Bumi Jawa dikarenakan putera yang tertua dari kerajaan tersebut adalah Samaratungga bukan Balaputradewa. Sehingga Samaratungga-lah yang mempunyai hak untuk memimpin kerajaan di Tanah Jawa. Samaratungga kemudian dikabarkan mempunyai seorang putri yang bernama Pramodhawardhani. Ia nantinya akan menikah dengan Jatiningrat.

Tahun 856 Masehi, Balaputra akhirnya dikalahkan oleh Pramodawardhani yang dibantu suaminya yang bernama Rakai Pikatan. Balaputradewa kemudian mengungkisakn diri ke pulau Sumatra.


De Casparis, mengungkapkan sebuah terori bahwa Samaragrawira sama atau identik dengan nama Samaratungga yang menjadi raja Jawa. Kejadian selanjutnya adalah bahwa Sepeninggal Raja Samaratungga terjadi peristiwa perebutan takhta kerajaan oleh kedua anaknya; Balaputradewa dengan Pramodawardhani.

Pendapat De Casparis tersebut kemudian dibantah oleh Slamet Muljana. Menurut Slamet Muljana berdasarkan sebuah prasasti di Malang, Raja Samaratungga menurutnya hanya memiliki satu anak perempuan yang bernama Pramodawardhani.

Pengungsian Balaputradewa ke Sumatra pada umumnya didasarkan pada berita prasasti Wantil yang memnyebutkan telah terjadi perang antara Rakai Pikatan (Rakai Mamrati Sang Jatiningrat) dengan seorang musuh yang telah membangun sebuah benteng pertahanan yang berupa timbunan batu. Di dalam prasasti tersebut didapati istilah “Walaputra” yang diidentikan dengan Balaputradewa.

Pusponegoro dan Notosutanto dalam buku sejarah nasional indonesia II menyatakan bahwa istilah Walaputra tersebut bukan lah Balaputradewa. Istilah Walaputra justru seharusnya dimaknai sebagai “putra bungsu” yaitu Rakai Kayuwangi yang merupakan putra bungsu dari Rakai Pikatan yang telah berhasil mengalahkan musuh dari ayahnya.

Benteng dari timbunan batu yang dihubungkan dengan tempat Balaputradewa konon identik dengan bukit Ratu Baka yang memang memperlihatkan banyaknya tinggalan arkeologis berupa bangunan dari batu dan diduga pernah dijadikan sebagai tempat untuk bermukim. Akan tetapi dari prasasti-prasasti yang diketemukan di wilayah tersebut ternyata tidak ada yang menyinggung nama Balaputradewa, justru menyebutkan nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni.

Kiranya pendapat yang menyatakan bahwa Balaputradewa mengungsi ke pulau Sumatra akibat kekalahan perang yang dideritanya dari Rakai Pikatan adalah keliru. Bagaimana mungkin seorang yang kalah perang atau “pengungsi” kemudian bisa membangun (dan atau menjadi raja) kerajaan baru dengan sangat mudah. Bahkan, diberitakan dengan waktu yang relatif singkat kerajaan itu bisa sebanding dari kerajaan sebelumnya; Mataram Kuna.

Mungkin Balaputradewa memang telah meninggalkan pulau Jawa. Akan tetapi bukan diakibatkan oleh kalah perang, melainkan karena dari awal ia tidak mempunyai hak atas takhta di Jawa, karena Balaputradewa merupakan adik Samaratungga, bukan putranya.

Adapun yang menjadi penyebab Balaputradewa berada di Swarnadwipa masih harus dikaji lebih jauh lagi. Lepasnya Kamboja dari kekuasaan Samaragrawira konon mengaibatkan sang raja membuat sebua keputusan untuk membagi dua kekuasaannya: Samaratungga yang berkuasa di Tanah Jawa dan Balaputradewa berkuasa di Swarnabhumi.

N.J.Krom menafsirkan bahwa Dharmasetu dari Somawangsa (?) itu raja Sriwijaya. Demikianlah Balaputradewa itu cucu raja Sriwijaya yang mempunyai hak menjadi raja Sriwijaya. Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan di Swarnabhumi dari keluarga kakeknya (pihak dari ibu), yaitu Sri Dharmasetu.

Nama Sri Dharmasetu didapati dalam prasasti Kelurak yang disebutkan sebagai bawahan dari Dharanindra yang telah ditugaskan untuk menjaga bangunan Candi Kelurak.

Kemungkinan Dharanindra telah berbesan dengan Sri Dharmasetu akibat perkawinan Samaragrawira dengan Dewi Tara. Akan tetapi Dharmasetu menurut prasasti Kelurak berasal dari bumi Jawa. Jadi, pendapat tentang hubungan tokoh ini dengan kerajaan Sriwijaya kiranya harus dipertimbangkan lagi.


Penyebutan geneologi Balaputra pada prasasti Nalanda mungkin perlu dihubungkan dengan prasasti Ligor B yang menyebut Sri Maharaja Wisnu dari wangsa Sailendra juga mempunyai gelar “pembunuh musuh”. Berdasarkan persamaan gelar “pembunuh musuh” Sri Maharaja Sanggrama Dhananjaya dari wangsa Sailendra di Mataram; juga cucu Sri Maharaja Wisnu yang disebut pada prasasti Ligor.

Adanya prasasti Ligor B di pantai timur Semenanjung Malayu, seperti telah disinggung di muka, menunjukkan, bahwa daerah Ligor khususnya dan Kerajaan Sriwijaya umumnya di sekitar pertengahan abad kedelapan dikuasai oleh Sri Maharaja Wisnu dari wangsa Sailendra.

Demikianlah Balaputradewa sebagai cucu Sri Maharaja Wisnu juga mempunyai hak waris atas Sriwijaya, yang telah menjadi Negara bawahan Mataram sekembalinya Sri Maharaja Wisnu dari Sriwijaya ke Mataram sebelum tahun 782 untuk menjadi raja di Mataram.

Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak zaman Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.

Dengan kata lain Balaputra berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa.


Swarnadwipa di bawah kekuasaan Sri Maharaja Balaputradewa mengalami kemajuan pesat. Wilayah pelayaran Sriwijaya makin luas. Luas wilayah pelayaran dimasa pemerintahan Balaputradewa mencapai wilayah India bahkan mampu menguasai pelayaran di kawasan Semenanjung Malaya dan Selat Malaka.

Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara dengan didukung armada lautnya. Kekuatan ekonomi Sriwijaya kemudian dikembangkan oleh Balaputradewa setelah menguasai wilayah kekuasaannya yang kemudian dijadikan pusat perdagangan. Swarnadwipa pun bergabung dalam jaringan perdagangan internasional dengan pelayaran dan hubungan diplomasinya yang bahkan dihormati oleh India dan Cina.