almanak

Kerajaan Buton; Kesultanan Melayu Buton

Buton sangat penting dalam pelayaran dan perdagangan Nusantara dan Asia, serta jaringan para ulama Nusantara dan Arab dalam rangka penyiaran dan penyebaran ajaran agama Islam di Buton.

PublishedApril 20, 2014

byDgraft Outline

Di Buton pada masa lalu berdiri kerajaan Buton (kesultanan Melayu Buton). Wilayahnya sangat penting dalam pelayaran dan perdagangan Nusantara dan Asia, serta jaringan para ulama Nusantara dan Arab dalam rangka penyiaran dan penyebaran ajaran agama Islam di Buton.

Berbicara tentang Kesultanan Melayu Buton tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lampau negeri Buton. Hal ini dimulai dari sejarah migrasi bahasa Melayu ke negeri Buton, sejarah terbentuknya Kerajaan Buton, hubungan Buton dengan kerajaan lain di Nusantara terutama Kerajaan Melayu dan Majapahit.

Dalam Hikayat Negeri Buton La Ode Syukur, (2009) dikisahkan bahwa jauh sebelum Kesultanan Buton terbentuk, bangsa Melayu telah menguasai sebagian besar daratan Pulau Buton. Mereka berasal dari Pulau Liya tanah Melayu.

Sumber lain yang menerangkan kerajaan Buton terdapat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Bahwa egeri Buton disebut dengan nama Butuni. Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi (pendeta) yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati.

Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok, yakni: Sipanjongan dan Sijawangkati, sedangkan lainnya Simalui dan Sitamanajo.

Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu, sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa. Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama Lakuleba pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M).

Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Dalam perjalanannya, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Pada saat itu, kerajaan tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M.

Berkaitan dengan asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai tanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong).

Menurut Zuhdi (1999:50) ada juga jalur dari Jawa ke Kepulauan Maluku melalui Butun. Dalam jalur ini, Butun merupakan salah satu mata rantai jaringan yang tidak terpisahkan. Meskipun tidak memiliki komoditas perdagangan yang diandalkan (kecuali perdagangan budak), letak strategisnya tidak dapat disangkal telah memberi peluang Butun masuk ke dalam jalur pelayaran di Nusantara dan Asia.

Namun setelah VOC menguasai Malaka tahun 1624 banyak perdagangan Melayu yang berpindah ke timur. Makasar memanfaatkan kesempatan ini untuk menjadi persinggahan dalam jalur pelayaran Maluku, Philipina, Patani, Cina, dan Kepulauan Sunda Kecil.

Dalam jaringan ini, Butun menjadi salah satu bagiannya. Dalam kerangka persaingan antara VOC (Belanda) dan Estado da India (Portugis) di perairan Nusantara, letak Butun juga memegang peranan strategis.

Posisi Butun di sini tidak semata-mata sebagai tempat persinggahan, melainkan juga tempat perdagangan sebagaimana terungkap dalam catatan Speelman, menyebutkan bahwa tekstil dari Siam, Johor, Malaka dan Aceh diteruskan ke Manggarai, Timor, Tanimbar, Alor, Bima, Palembang, Jambi, Johor, Maluku, Aceh, dan Banjarmasin.

Sehingga bisa dilihat bahwa kerajaan Buton dalam bidang ekonomi berjalan dengan baik, berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti.

Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu).

Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.

Begitu pun dalam kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara dililit lehernya dengan tali sampai mati.

Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam diawali pada tahun 1542 dan Buton menjadi kesultanan (pemerintahan Islam) yang dipemerintah oleh Sultan Kaimuddin (1542-1568). Sultan ini telah menciptakan filosofi masyarakat Buton dalam kehidupan bernegara yang salah satu butirnya berbunyi, Bolimo karo somanamo lipu (setiap individu harus mengalah demi kepentingan nasional).

Periode Kerajaan Buton yang dimulai tahu 1542 M ini kemudian berakhir pada 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M. Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.

Istana Buton; Kediaman Para Raja Sulawesi Tenggara

Buton adalah sebuah pulau yang berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Di pulau ini terdapat 4 kabupaten yaitu Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kota Bau-Bau dan Kabupaten Buton. Kabupaten Buton merupakan wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Buton yang wilayahnya mencakup sebagian wilayah pulau Muna dan seluruh Pulau Kabaena.

Kerajaan Buton berdiri sejak tahun 1332 Masehi, pemimpin pertamanya adalah seorang ratu bergelar Ratu Wa Kaa Kaa, kemudian Ratu Bolawombana dan Raja Batara Guru.

Kerajaan buton sendiri didirikan atas kesepakatan golongan yang datang bergelombang, gelombang petama yang datang adalah golongan dari Kerajaan Sriwijaya, gelombang kedua adalah golongan kekaisaran China dan gelombang tiga adalah golongan dari Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Buton berubah mejadi kerajaan Islam pada abad ke 16. Pasca itu perkembangan agama Islam berkembang pesat di wilayah buton dan sekitarnya. Masyarakat Buton sendiri terdiri berbagai suku bangsa. Walaupun begitu, Masyarakat Buton mampu memformulasikan adat yang masing-masing dibawa menjadi adat yang baru.

Salah satu cagar budaya yang merupakan peninggalan Kerajaan Buton yang masih bisa dijumpai adalah Istana Buton. Istana buton dikenal juga dengan istilah Malige yang berasal dari kata mahligai, bermakna istana atau Kamali yang berarti kediaman para raja.

Dahulu, Istana Buton merupakan tempat tinggal keluarga sultan dan pusat pemerintahan kerajaan. Struktur bangunan istana ini menggunakan struktur rumah panggung. Istana Malige dibuat dengan fondasi batu alam yang disebut dengan sandi.

Sandi tersebut tidak ditanam tapi diletakkan begitu saja tanpa perekat. Fungsinya adalah untuk meletakkan tiang bangunan. Diantara sandi dan tiang bangunan dibatasi oleh satu atau dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi. Ini berfungsi sebagai pengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan

Bangunan ini juga terdiri dari 4 lantai dan terbuat dari kayu yang berasal dari pohon Wala dan lantai bangunan ini terbuat dari kayu jati. Pembangunan istana ini terbilang cukup unik karena tidak menggunakan paku, bilah-bilah kayu hanya dikaitkan satu sama lain agar merekat dengan kokoh

Bangunan ini kokoh berdiri dengan topangan 40 tiang penopang, di bagian depan terdapat 5 tiang yang berderet hingga 8 baris ke belakang. Tiang utamanya disebut dengan tutumbu yang bermakna selalu tumbuh. Struktur bangunan istana buton pada dasarnya adalah sama setempat sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada.

Hanya saja, ketika rumah tersebut difungsikan sebagai rumah para pejabat, terdapat penambahan tiang penyangga yang berfungsi sebagai kambero (kipas) sehingga disebut dengan banua tada kambero atau istana kamali. Setiap raja akan naik tahta maka akan dibuatkan rumah sejenis ini, jadi ada sekitar 38 rumah yang sejenis dengan istana malige Istana Buton terdiri dari beberapa ruangan yang memiliki fungsi masing-masing.

Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton, ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu dan yang sebelah kanan berfungsi sebagai ruang makan tamu, ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebagai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah, ruang kelima sebagai kamar makan Sultan atau kamar tamu bagian dalam, serta ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan dipergunakan sebagai kamar anak perempuan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.

Lantai kedua teridiri dari 14 buah kamar yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Setiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. kamar-kamar tersebut berfungsi sebagai ruang tamu keluarga, kantor, dan gudang.

Kamar besar yang terletak di depan adalah kamar tinggal keluarga Sultan dan yang lebih besar lagi adalah Aula. Lantai ketiga digunakan sebagai tempat istirahat dan bersantai keluarga kerajaan. Terakhir, lantai empat digunakan untuk tempat menjemur pakaian keluarga kerajaan. Disamping bangunan utama istana malige terdapat bangunan kecil yang berfungsi sebagai dapur dan kamar mandi. Bangunan ini dihubungkan oleh satu gang di atas tiang ke bangunan utama.

Selain memiliki nilai histosris dan nilai estetik yang tinggi, istana malige juga menyimpan banyak nilai-nilai filosofis. Penggunaan batu alam sebagai fondasi bangunan bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan alam akherat).

Istana malige tampak terbagi menjadi 3 bagian yang mencirikan 3 alam kosmologi yakni, alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong. Makna-makna simbolis tersebut tampak pada komponen-komponen yang menyusun bangunan seperti atap yang disusun sebagai analogi susunan atau tata letak posisi kedua tangan dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri.

Di sisi kanan kiri atap terdapat kotak memanjang yang berfungsi sebagai bilik atau gudang. Bentuk kotak ini menyimbolkan tersebut menunjukkan tanggung jawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat. Balok penghubung yang harus diketam halus merupakan penggambaran budi pekerti orang beriman yang menggmbarkan budi pekerti orang istana. Tiang Istana dibagi menjadi 3 bagian, tiang pertama disebut Kabelai (tiang tengah), ini menyimbolkan ke-Esa-an Tuhan yang tercermin dari pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada ujung bagian atas tiang yang penempatannya harus melalui upacara adat (ritual) karena berfungsi sakral.

Kedua adalah tiang utama sebagai tempat meletakkan tada (penyangga) yang melambangkan stratifikasi sosial atau kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Dan yang ketiga adalah tiang pembantu yang bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya.

Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena, maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha. Tangga dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga di pintu depan berorientasi terhadap arah timur barat atau arah ahadap solat sementara pintu bagian utara berorientasi pada penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur.

Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan merupakan seorang bangsawan dan berkepribadian tenang. Dinding sebagai penutup melambangkan kerahasiaan seperti halnya alam kehidupan dan alam kematian. Dan jendela (bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Menggambarkan pengaruh islam yang mendalam.

Makna simbolis lain terdapat pada dekorasi istana malige. Simbol nenas bermakna kesejahteraan rakyat Buton. Simbol ini juga menyiratkan pesan kepada masyarakat buton agar mempunyai sifat seperti nenas yang walaupun berkulit tebal dan berduri tapi buahnya manis.

Simbol Bosu-bosu adalah buah pohon Butun (baringtonia asiatica) bermakna keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Makna lain menurut bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang suci. Symbol ake atau hiasan yang bentuknya seperti patra (daun) bermakan wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan).

Simbol Kamba/kembang yang berbentuk kelopak teratai bermakna kesucian atau disebut juga Suryanullah. Ada juga simbol naga pada bumbungan atap bermakna kekuasaan, dan pemerintahan. Simbol Naga dipercaya sebagai asal-usul bangsa Wolio yang diyakini datang dari daratan Cina. Terakhir adalah tempayan simbol yang bermakna kesucian. Tempayan ini harus ada di setiap bangunan kamali maupun rumah rakyat biasa.

Kini bangunan Istana Malige digunakan sebagai museum benda-benda bersejarah di Kota Bau-bau Kabupaten Buton. Istana malige juga menjadi salah satu cagar budaya kebanggaan yang dimiliki oleh Kabupaten Buton dan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Keberadaan Bahasa Melayu di Kerajaan Buton

Buton merupakan salah satu kerajaan Melayu yang terletak di kawasan pulau Sulawesi (Sulawesi Tenggara). Dalam perkembangan selanjutnya bangsa Melayu semakin ramai di Negeri Buton, hal ini terutama dikaitkan dengan posisi Buton yang sangat strategis sebagai jalur lalu lintas perdagangan di kawasan Nusantara bagian timur serta dalam rangka penyebaran ajaran agama Islam di Buton.

Bahasa Melayu mulai ditulis dengan huruf Yunani, berkembang menjadi bahasa yang terpenting di kawasan Asia Tenggara, dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16. Bahasa Melayu luas digunakan oleh para saudagar bahkan digunakan sebagai bahasa utama dalam perhubungan antar negara.

Pada masa itu, ketika hampir seluruh alam Melayu telah memeluk agama Islam, tradisi pernaskahan Malayu meraih puncak kejayaannya. Diilhami oleh tradisi pernaskahan Islam (Kozok, 2006:xii) berkembanglah tradisi pernaskahan Melayu yang merupakan jati diri bangsa Melayu.

Penggunaan lebih dari satu bahasa resmi dalam satu kerajaan atau negara yang sedang membangun tentu merupakan hal yang wajar. Begitu pun dalam Kerajaan Buton, Bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa resmi di lingkungan kerajaan Buton, selain bahasa Arab dan bahasa Wolio.

Melalui naskah-naskah peninggalan kuno yang tersimpan di koleksi kerajaan Buton diketahui bahwa naskah bahasa Melayu menunjukkan usia yang lebih tua daripada naskah berbahasa Arab dan berbahasa Wolio (keterangan kolofon) dan telah digunakan untuk menuliskan naskah-naskah yang berisi ajaran keagamaan, surat-surat resmi kerajaan, hukum adat, sejarah, silsilah, sastra, obat-obat tradisional, pelajaran bahasa dan primbon.

Naskah-naskah Buton yang secara fisik masih tergolong baik yang masih tersimpan di koleksi ini berjumlah 301 buah naskah. Naskah-naskah tersebut ditulis dalam beberapa bahasa (Melayu, Arab, Wolio, Belanda, Bugis, dan Jepang).

Naskah yang ditulis dalam bahasa Melayu jumlahnya yang lebih besar daripada naskah lainnya dengan rincian sebagai berikut: naskah berbahasa Melayu 102 buah, berbahasa Arab 84 buah, berbahasa Wolio 75 buah, berbahasa Belanda 37 buah, Bugis 2 buah dan berbahasa Jepang 1 buah.

Berdasarkan keterangan yang tertera dalam kolofon naskah, dipastikan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan usia lebih tua dari pada naskah-naskah berbahasa Arab dan Wolio. Naskah berbahasa Melayu ditulis pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19, sedangkan naskah-naskah berbahasa Arab dan Wolio ditulis pada abad ke-19.

Kehadiran bahasa Melayu di Kerajaan Buton sehingga digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan Buton (media penulisan naskah) tentu tidak lepas dari sejarah masa lampau kerajaan Buton itu sendiri terutama sejarah migrasi bangsa Melayu yang kemudian mendirikan kerajaan Melayu Buton (Hikayat Sipanjongan atau Hikayat Negeri Buton, 1850 masehi), posisi Buton sebagai lalulintas perdagangan Nusantara, serta peran bangsa Melayu dalam rangka siar Islam di negeri Buton, menurut Gallop (1994:59) lasana bahwa Melayu adalah lingua franca di seluruh pelosok Nusantara, naskah Melayu ditemukan di hampiri semua pulau utama di Indonesia mulai dari Sumatra di barat sampai kepulauan Maluku di bagian timur.

Pemakaian bahasa Melayu di kerajaan Buton yang digunakan dalam penulisan naskah surat di Buton memiliki ciri yang sama dengan bahasa Melayu yang digunakan dalam penulisan naskah surat-surat di berbagai wilayah Nusantara lainnya terutama jika dilihat dari segi pemakaian kosa-kata yang tidak murni menggunakan bahasa Melayu serta dilihat dari penggunaan kata yang menandai pemerian, alinea atau paragraf baru seperti “ maka ”, “ syahdan ”, dan “ waba’dahu ”.

Menurut Mujizah (2009:23) bahasa-bahasa yang dipergunakan dalam surat-surat resmi berbahasa Melayu secara umum sangat khas (berbeda dengan bahasa Melayu “klasik” umum) karena sarat dengan kata dan kalimat Arab, penuh dengan formula-formula yang rumit berisi istilah-istilah langka (misalnya di bidang persenjataan dan perdagangan), sarat juga dengan kata asing dan daerah, atau dengan pengaruh bahasa daerah, atau dengan pengaruh, atau dengan pengaruh bahasa daerah atas morfologi dan sintaksis, serta ungkapan-ungkapan yang diterjemahkan secara harfiah dari bahasa daerah ataupun bahasa Arab, ditambah lagi nama-nama orang dengan tempat yang sering kali sulit dicari.

Kekhasan ini akan nampak jika ditinjau dari segi pemakaian kosa kata, bahasa Melayu yang digunakan dalam naskah surat di Buton tampaknya tidak murni berasal dari kosa kata bahasa Melayu, Kata-kata seperti; Sultan, Kaimuddin, Takriyam, dan takliyan berasal dari kosa kata bahasa Arab; bobato berasal dari kosa bahasa Wolio (Buton) dan Gurnadur dan Guvermen berasal dari kosa kata bahasa Belanda.

Pemakaian kosa kata bahasa Melayu yang tidak murni sebagaimana ditemukan dalam naskah surat dari Buton tersebut tampaknya telah menjadi ciri umum dalam penulisan naskah surat-surat berbahasa Melayu di kawasan Nusantara.