almanak

Raja Jayabaya dalam Sejarah dan Legenda

Sejarah yang mencatat pergerakan Kerajaan Kediri di tanah Jawa berasal dari prasasti yang ditinggalkan oleh raja-rajanya. Cerita demi cerita disusun berdasarkan catatan di tiap prasasatinya. Hal ini juga terjadi pada kehidupan Raja Jayabaya (Jayabhaya) di masa kepemimpinannya.

PublishedApril 6, 2014

byDgraft Outline

Tidak ada yang mencatat secara penuh mengenai kehidupan Jayabaya mulai sejak lahir hingga wafat. Namun, sejarah mencatat apa yang terjadi selama Raja dinobatkan menjadi raja hingga ia wafat. Berikut yang berhasil dicatat sejarah mengenai Raja di masa kejayaan Kediri.

Tidak ada prasasti atau catatan dari masa kerajaan mengenai siapa Jayabaya dan merupakan anak dari keturuanan siapa. Tidak hanya itu, latar belakang secara pasti kapan dan di mana Jayabaya ini lahir dan wafat pun tidak di catat dalam sejarah.

Barangkali sejarah tidak menganggapnya lebih penting dari peran yang dilakoni Jayabaya sebagai Raja dari Kerajaan Kediri (Panjalu). Meskipun demikian, jika diperhatikan dari asal muasal berdirinya Kerajaan Kediri yang merupakan satu dari kerajaan yang dipecah menjadi dua, dan pemecahan ini dilakukan agar tidak ada perselisihan diantara dua saudara.

Raja-raja yang memimpin Kediri bisa jadi berdasarkan garis keturunan, sehingga Jayabaya pun adalah satu dari keturunan Raja Airlangga keturunan Panjalu.

Pencatatan mengenai Jayabaya dimulai saat beliau memimpin Kediri sebagai Raja. Ia memegang kekuasaan sebagai raja sejak tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawih Bharatayuddha (1157).

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Semboyan ini sangat terkenal sebagai peninggalan Raja Jayabaya.

Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Sejarah pun mencatat Raja Jayabaya adalah raja yang cukup tersohor di Kediri karena ditangan beliaulah Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya. Berbagai prestasi sempat diraihnya.

Di masa kepemimpinan Raja Jayabaya Kerajaan Kediri mencapai masa keemasannya dan tingkat kemakmuran yang baik. Di beberapa sektor mengalami perkembangan, perbaikan, dan kemenangan atas hasil pemikiran, strategi, dan kecerdasan yang dimiliki Raja Jayabaya.

Sukses gemilang Kerajaan kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna dan Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya.

Di bawah kepemimpinan Raja Jayabaya, Kerajaan kediri mencapai puncak peradaban terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam Kakawih Baratayuda, Gathutkacasraya, dan Hariwangsa yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi.

Selain kecerdasannya, kejeliannya dalam mengatur strategi, juga keberanian yang dimilikinya, kesuksesan Jayabaya juga dikenal karena sikapnya yang begitu ramah terhadap rakyat sehingga tidak jarang ia berdiskusi atau sekedar mengobrol dengan mereka.

Keluwesan tersebut yang juga membawa Jayabaya dapat dengan lebih mudah meningkatkan nilai kesustraan di wilayahnya, sehingga bermunculanlah para pujangga di sana. Bahkan ia pun dikenal cukup jitu dengan ramalan-ramalannya, sehingga dibuatkanyalah buku Ramalan Jayabaya yang dikenal sampai hari ini.

Kejayaan Kediri di tangan Jayabaya terus berlangsung hingga raja setelahnya. Tidak ada yang mencatat bagaimana Raja Jaya meninggal dunia dan apakah turunnya Raja Jaya sebagai pemimpin Kediri juga diiringi dengan kabar beliau yang meninggal dunia.

Hanya pada prasasti terakhir di tahun 1157 yang dipercaya sebagai peninggalan Jayabaya adalah prasasti yang juga menutup kisah raja tersebut. Tahun 1157 dipercaya sebagai akhir dari kehidupan Raja yang kemudian diinterpretasikan berbagai versi.