almanak

Dolmen, Monumen Megalit Prasejarah

Dolmen berkembang pada masa-masa awal Neolitik (kurang lebih 10.000 Sebelum Masehi). Dolmen seperti sebuah “meja” yang terbuat dari batu, besar, dan datar yang kadang disangga oleh tiga atau lebih batu di bawahnya.

PublishedNovember 10, 2014

byDgraft Outline

Dolmen juga disebut sebagai monumen Megalit (batu besar). Dalam banyak kasus, strukturnya kadang membentuk sebuah gundukan tanah, atau kadang hanya bilik tunggal, bahkan ada yang disangga oleh batu-batu kecil dan ada juga yang ditutup secara rapat.

Di beberapa kebudayaan, Dolmen digunakan sebagai tempat untuk meletakkan persembahan, saji-sajian, atau menjadi sebuah monumen yang diduga digunakan sebagai sarana ritual yang berhubungan dengan kepercayaan dan pemujaan. Oleh karennya Dolmen sering disebut sebagai meja batu.

Istilah Dolmen berasal dari frase “ taol maen ”, yang artinya kurang lebih meja batu. Kemudian juga ada kata “ dolmin ” yaitu istilah yang digunakan oleh para penulis dan peneliti Prancis pada abad ke-18 untuk menyebutkan Kuburan Batu Besar ( megalithic tombs ).

Sementara memasuki Abad ke-19, para penulis dari Inggris kemudian menggunakan istilah dolmen untuk menyebut Meja Batu. Kata ini selain mendapat pengaruh dari Prancis, juga berasal dari istilah Bangsa Celtik “ cromlech ” (stone table) dan “ tolmen ” (a hole of stone).

Di Irlandi yang banyak ditemukan Dolmen, mereka lebih suka menyebutnya “ dolmain ”. Dalam Bahasa Jerman Dolmen disebut Hünenbett atau Hünengrab, Belanda Hunebed, dalam bahasa Portugal Anta, dös di Swedia. Sementara itu di Korea Dolmen disebut Goindol.

Dalam beberapa kasus tertentu, adakalanya Dolmen ini digunakan sebagai tempat untuk meletakkan atau menyimpan mayat. Untuk tujuan tersebut, kaki penyangga meja yaitu batu yang menunjang bagian atasnya biasanya diperbanyak agar mayat yang diletakkan di bawah dolmen itu tertutup rapat.

Menjaga tubuh seorang yang telah meninggal konon menunjukkan adanya hubungan yang terjaga antara orang yang telah meninggal dengan yang masih hidup.

Dengan kata lain, itu bisa terus menjaga harmonisasi serta keselarasan antara dunia roh dan dunia mereka yang masih hidup, komunikasi dengan dunia spiritual, tidak saling mengganggu, misalnya. Atau bahkan dianggap dapat menjadi pelindung.

Dolmen sebagai tempat untuk menyimpan mayat bukan sesuatu yang umum, karena sepertinya tidak sembarangan orang yang ketika dia mati lalu disimpan di bawahnya.

Jika “penguburan” dengan batu itu menjadi tradisi bagi semua orang pada masa itu, tentu akan ditemukan jumlah dolmen yang sangat banyak dalam satu wilayah.

Sebagai fungsinya untuk menyimpan mayat, Dolmen sangat mungkin sekali dikhususkan hanya untuk menyimpan jasad para pemimpin dan orang-orang penting yang dihormati dalam masyarakat.

Seperti situs Megalitik prasejarah lainnya, Dolmen yang berasal dari budaya Neolitik itu ada yang memiliki ukiran yang mewakili tumbuhan, binatang dan ada yang diukir seperti rasi bintang. Sementara itu, banyak juga yang beranggapan jika batu-batu itu mungkin saja telah dirancang sebagai jam astronomi. Beberapa orang setidaknya meyakini hal itu.

Dolmen, Meja Batu dan Tradisi Megalith di Indonesia

Tradisi “pembudayaan” Dolmen berkembang di Indonesia terutama pada masa-masa awal bercocok tanam.

Manusia pendukung budaya ini berbeda dari masa sebelumnya yang masih menerapkan pola hidup berpindah tempat karena mereka sudah mulai hidup menetap dalam kelompok-kelompok dan mempunyai pembagian kerja yang jelas walaupun masih dalam tingkat yang sederhana.

Bagi van der Hoop (1932) dalam bukunya Megalithic Remains in South Sumatra, dolmen yang menurutnya paling “baik” terdapat di daerah Batu Cawang, Kabupaten Empat Lawang.

Di mana meja atau papan batu pada bagian atasnya memiliki ukuran 3×3 meter dengan tebalnya mencapai 7 cm. Meja ini diletakan pada empat batu yang kokoh sehingga menyerupai meja yang kita kenal sekarang.

Di Pagar Alam tepatnya di Dusun Tegurwangi, ditemukan Dolmen yang diduga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan mayat pada masa lalu. Selain itu ditemukan juga Dolmen yang meja atau papan batu bagian atasnya ditopang oleh enam batu yang berdiri tegak.

Tegurwangi adalah daerah yang cukup terkenal bagi kalangan peneliti karena banyaknya temuan-temuan tradisi megalitik prasejarah di daerah itu. Selain Dolmen, di daerah ini juga ditemukan menhir, patung-patung besar dari batu dan lainnya.

Wilayah lainnya yang menjadi perhatian karena diketemukan peninggalan Dolmen yaitu di daerah Pematang, Pulau Panggung (Lampung), Nanding (Bengkulu), Tanjung Ara (Aceh Timur), Pajar Bulan dan Tanjung Sakti (lahat, Sumatra Selatan), Gunung Megang (Muara Enim, Sumatra Selatan), Pagerdewa (lampung Utara), di Lampung Barat, Sumbawa, dan di beberapa wilayah lainnya.

Beberapa jenis Dolmen yang sampai saat ini masih bisa kita lihat terkadang mempunyai ukuran dan bentuk yang sangat luar biasa besarnya. Dengan ukurannya yang besar itu mungkin anda bertanya-tanya bagaimana batu-batu itu bisa sampai ketempatnya sekarang dan bagaimana batu-batu besar itu ditata sedemikian rupa.

Tentu saja membutuhkan perencanaan yang matang, mungkin di sana ada koordinasi, ada pemahaman tentang konstruksi, ada kolaborasi, dan bahkan ada jenjang kepemimpinan.

Dalam tradisi Megalitik Nias dan Sumba kita sedikitnya mempunyai gambaran untuk menjawab rasa ingin tahu tentang cara mengangkut batu besar itu dan bagaimana meletakannya.

Biasanya batu-batu itu dipindahkan oleh kelompok orang dengan jumlah besar yang bekerja sama untuk mengangkut batu tersebut. Selanjutnya menhir atau batu yang digunakan sebagai penopang atau penunjang lebih dulu didirikan. Setelah itu digunakan tiang-tiang kayu yang berguna agar dapat mengangkat dan meletakan batu datar atau papan batu bagian atas. Semakin besar batu yang digunakan maka akan semakin besar juga menhir atau tiang batu penyangga yang digunakan.

Tidak lupa juga mereka melakukan upacara atau sebuah ritual khusus saat mendirikan bangunan Dolmen tersebut. Dari mulai pencarian batu, mengangkutnya ke tempat yang telah ditentukan, kemudian memasukkan mayat, atau hanya dijadikan sebagai tempat persembahan, kesemuanya itu adalah rangkaian kegiatan yang tahap demi tahapnya tidak lepas dari konsepsi keyakinan mereka.

Gambaran Kehidupan

Mereka tidak lagi bekerja sepenuhnya sebagai pemburu dan pengumpul karena sudah dapat “bekerja sama” dengan alam dan lingkungan di sekitarnya serta aktif untuk terus membuat berbagai perubahan-perubahan sosial yang menunjukan perkembangan budaya dari masyarkat tradisional.

Manusia pada saat itu sudah bisa bekerja guna memproduksi makanan sendiri untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari ( food production ). Salah satu yang cuku menonjol dalam masa ini adalah sikap mereka terhadap kehidupan sesudah mati.

Bahwa roh tidak begitu saja menghilang ketika kita meninggal kemudian juga roh dianggap mempunyai tempat tersendiri dalam kehidupan di dunia dan “tinggal” berdampingan dengan mereka yang masih hidup.

Budaya Universal

Sebagai media bagi upacara pemujaan dan monumen Megalit, Dolmen ini tidak hanya ditemukan di Indonesia. Dolmen juga banyak ditemukan di beberapa wilayah di luar Indonesia seperti di wilayah Eropa misalnya di Irlandia, Belanda, Portugal, Prancis, Jerman, Rusia, Denmark, di Sekitar laut Baltik dan Laut utara.

Di kawasan Timur Tengah Dolmen ditemukan di Isrel, Jordan, dan Siria. Sedangkan di Afrika, Dolmen ditemukan di wilayah Somalia utara, Tunisia, juga di temukan di Algeria. Dan untuk Kawasan Asia, Dolmen banyak ditemukan di Semenanjung Korea, India dan beberapa negara di kawasan Asia lainnya.

Ditemukan hampir di banyak belahan dunia, Dolmen yang masih berdiri tegak dapat memberikan kesempatan bagi kita untuk bisa memahami nilai dan keyakinan dari orang-orang yang hidup di zaman dahulu.

Bentuk dan tampilan yang hampir sama di beberapa tempat bahkan di berbagai negara itu membuktikan bahwa ada nilai-nilai yang universal, sesuatu yang menjadi ciri khas dari kehidupan manusia pada masa itu di mana pun mereka berada.