almanak

Kesultanan Gowa, Sejarah dan Sistem Pemerintahannya

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling berpengaruh di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.

PublishedNovember 3, 2014

byDgraft Outline

Wilayah Kesultanan Gowa sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin.

Saat itu Sultan Hasanudin pernah melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC, dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.

Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis. Demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.

Table of contents

Open Table of contents

Terbentuknya Kesultanan Gowa

Menurut Sejarah Gowa, sebelum terbentuk Kesultanan Gowa, di daerah Gowa terdapat sembilan negeri-negeri yang dipimpin raja-raja kecil dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera). Kemudian menjadi pusat Kesultanan Gowa, yaitu: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili (KaIling).

Gabungan Bate Salapang (Sembilan Bendera) ini diketuai oleh seorang pejabat yang disebut paccallaya yang bertindak sebagai ketua pemerintahan gabungan atau federasi Gowa.

Paccallaya ini merupakan “ketua dewan” yang terdiri dari penguasa-penguasa yang bergabung itu. Paccallaya juga bertindak sebagai hakim tertinggi, apabila terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa yang bergabung dalam federasi Gowa itu. Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam daerahnya masing-masing.

Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, negeri dan raja negeri lainnya bergabung untuk membentuk Kesultanan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya.

Memerintah pada awal abad ke-16, di Kesultanan Gowa yaitu Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa’risi’ Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa “daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil”.

Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa’risi’ Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa.

Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata.

Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.

Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada abad ke-16 dan ke-17.

Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa’risi’ Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga

Gowa-Tallo dan Kejayaan Makassar

Kesultanan Gowa mencapai puncak kejayaannya ketika bersekutu dengan Tallo di abad ke-17. Kerajaan kembar Gowa-Tallo, atau disebut juga kerajaan bersaudara, Kerajaan dwi tunggal ini terbentuk pada masa Raja Gowa IX, Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Masa kejayaan ini tak terlepas dari peran putra Raja Tallo VII Karaeng Patingalloang yang berkuasa pada 1639-1654. Nama lengkapnya I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud.

Penyatuan kedua kerajaan ini dikuatkan oleh ucapan sumpah raja-raja dan para pembesar kedua kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makassar berbunyi: “ Ia Iannamo Tau Ampassi Ewai Gowa-Tallo Iamo Nacalla Rewata ”. artinya: “Siapa-siapa saja yang mengadudomba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka orang itu akan dikutuk oleh dewata”.

Sejak itulah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, terutama dalam hubungan keluar, merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa kokoh perpaduan antara kedua kerajaan bersaudara itu, dapat dilihat dalam ungkapan bahasa Makassar: Rua karaeng se’re ata artinya “Dua raja namun satu hamba”.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula, Dobo, Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir, Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara.

Bahkan sampai Marege-Australia Utara, Timor, Sumba, Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa Tenggara di sebelah selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur sebelah Barat. Tidak kurang dari 70 Kerajaan besar dan kecil yang mengaku berlindung dibawah naungan “Laklang SipuwEa” (Payung Kebesaran Kesultanan Gowa).

Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pun beberapa kali mengirimkan armada lautnya untuk menaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara. Untuk memperkuat pengaruhnya di Nusantara, Sultan Alauddin Raja Gowa ke 14 mengirim pasukan ke beberapa daerah yang dianggap strategis bagi pengawasan pelayaran niaga ke Maluku, salah satunya adalah ke Pulau Sumbawa dibawah pimpinan Karaeng Maroanging.

Karaeng Maroanging mungkin tidak sepopuler Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu sang Panglima Angkatan Perang Kesultanan Gowa yang meninggalkan Makassar menuju Pulau Jawa. Namun tidak demikian jika kita berbicara akan pencapaiannya selama menjabat sebagai Panglima Angkatan Perang. Berkat keberaniannya, akhirnya pulau Sumbawa dapat diduduki pada tahun 1618.

Satu tahun kemudian tepatnya 1619 Sultan Alauddin meresmikan penaklukan tersebut, wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar meluas sampai ke Bima, Tambora, Dompu dan Sanggar di pulau Sumbawa. Bima adalah daerah pertama yang menjadi daerah taklukan Kerajaan Gowa (1616) yang pada masa itu Ekspedisi penaklukannya dipimpin oleh Lo’mo Mandalle sebagai Panglima Angkatan Perang Kesultanan Gowa.

Meredupnya Kekuasaan Kesultanan Gowa

Dalam tahun 1632 orang Bima mengadakan perlawanan/pemberontakan terhadap Kerajaan Gowa. Maka pada tanggal 25 November 1632 setelah kedatangannya dari Tanah Toraja, Sultan Alauddin mengirim sebuah armada militer ke Bima dibawah pimpinan Karaeng ri Bura’ne untuk memadamkan huru-hara tersebut. Setelah berhasil menyelesaikan tugasnya, armada perang itu kembali ke Makassar pada tanggal 7 April 1633.

Tanggal 29 Januari 1642, Kerajaan Makassar kembali mengerahkan armada perang Kerajaan Gowa ke Ambon (Hitu) untuk membantu rakyat setempat melawan VOC. Tahun 1634 – 1643, Rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah di bawah pimpinan Kakiali mengadakan perlawanan terhadap VOC.

Peristiwa yang dikenal dengan Perang Hitu Pertama ini terjadi akibat politik monopoli perdagangan dan “Hongi Tochten” VOC yang sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). I Baliung dan I Daeng Batu, keduanya adalah panglima perang kerajaan yang memimpin armada perang Kesultanan Gowa ke Ambon.

Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah.

Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran: Saidi, Majira dan Kalumata. Majira sebagai salah satu pemimpin tertinggi pemberontakan menghadap Raja Gowa untuk minta bala bantuan pasukan melawan Sultan Ternate dan sekutunya (Belanda). Raja Gowa memberi bantuan sebanyak 30 perahu lengkap persenjataan, dan mengutus Daeng ri Bulekang untuk memimpin pasukan demi membantu rakyat Ambon dari penindasan Belanda tersebut.

Pada 18 November 1667 dibuat suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian Bungaya di Bungaya, antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.

Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowan). Dari perjanjian tersebut, ternyata menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhannya.

Sistem Pemerintahan Kesultanan Gowa

Dalam Pemerintahannya, Raja Gowa memunyai kekuasaan yang mutlak (absolut). Betapa mutlaknya kekuasaan raja Gowa dapatlah kita gambarkan pada sebuah kalimat dalam bahasa Makassar: “ Makkanama’ numammio ” (Aku berkata dan engkau mengiyakan).

Ada dua macam atau cara pelantikan raja Gowa. Yang pertama disebut nilanti (dilantik) dan yang kedua disebut nitogasa (ditugaskan). Jika calon raja itu seorang Karaeng Ti’no, anak pattola sejati, maka ia akan nilanti. Jika calon raja itu bukan seorang Karaeng Ti’no, bukan anak pattola sejati, maka ia hanya nitogasa.

Raja Gowa yang paling dikehendaki dan paling memenuhi syarat adalah Karaeng Ti’no ( karaeng =raja, ti’no =masak atau matang). Ayah maupun ibunya berdarah bangsawan tertinggi dan keturunan langsung dari Tumanurunga ri Tamalate (penguasa Gowa). Calon atau putra raja yang demikian itu disebut ana pattola artinya “anak pengganti raja” ( mattola =mengganti, menggantikan; pattola =pengganti).

Upacara penobatan raja Gowa yang disebut nilanti dilakukan di tamalate. Upacara ini dilakukan di atas sebuah batu yang menurut riwayat adalah tempat Tumanurunga turun dari langit. Upacara nitogasa dilakukan di depan istana saja. Tentu saja upacara nilanti lazimnya lebih megah, meriah dan lebih besar sifatnya daripada upacara nitogasa.

Dalam menjalankan pemerintahannya, raja Gowa dibantu oleh beberapa orang pejabat kerajaan, yakni:

  1. pabbicara butta (juru bicara tanah atau juru bicara negeri);
  2. tumailalalang towa ( tu =orang; ilalang =dalam; towa =tua);
  3. tumailalang lolo ( tu =orang; ilalang =dalam; lolo= muda ).

Di samping itu raja Gowa dibantu oleh sebuah lembaga “perwakilan rakyat” yang disebut Bate Salapanga ( bate =panji, bendera; sialapang=sembilan) yang sejarahnya bisa ditarik sebagai simbol para penggagas munculnya pemerintahan Gowa.  Lembaga ini juga disebut Kasuwiang Salapanga ( kasuwiang =mengabdi; salapang =sembilan), “pengabdi yang sembilan orang”.

Selain jabatan inti yang disebutkan di atas, masih ada lagi beberapa pangkat atau jabatan lainnya:

Jabatan dan Pejabat Militer seperti:  Anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga, Lomo-tumak-kajannangnganga, Anrong-Guru-Lompona tu Bontoalaka, Anrong-gurunna tu bontoalaka.

Sabannara atau syahbandar mengurus soal pemasukan uang pajak bea dan cukai. Qadhi, pemimpin urusan yang mengangkut keagamaan.

Gelar Pejabat daerah dan bangsawan diantara Bate-Anak-Karaeng, karaeng, gallarang, anrong guru, jannang, pabbicara, dan matowa. Mereka ini biasanya mengepalai pemerintahan sebuah wilayah atau daerah.

1. Pabbicara butta

Pabbicara butta adalah orang kedua sesudah raja Gowa. Jadi jabatan pabbicara butta dapat disamakan dengan perdana menteri, mahapatih, atau mangkubumi Kerajaan Gowa.

Sejak Penyatuan Gowa-Tallo, raja Tallo dan keturunan penggantinyalah yang diangkat menjadi Pabbicara butta   atau sebaliknya Pabbicara butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa yang merangkap menjadi raja Tallo.

2. Tumailalang Towa

Tumailalang Towa  adalah seorang pejabat atau pembesar kerajaan yang menyampaikan dan meneruskan segala perintah raja Gowa kepada bate salapanga, kepada para kepala distrik atau kepala wilayah, kepada para bate anak karaeng, dan lain-lain. la menjaga pula agar segala perintah raja Gowa dilaksanakan.

Ia sering pula memimpin sidang-sidang yang diadakan untuk membicarakan soal-soal yang sangat penting. Tumailalang towa -lah yang menyampaIkan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah raja Gowa. Segala keputusan, saran-saran, atau pesan-pesan raja Gowa disampaikan oleh tumailalang towa.

3. Tumailalang Lolo

Pejabat kerajaan ini selalu berada di dekat raja Gowa. Ialah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk disampaikan kepada raja Gowa. Ia meneruskan segala perintah raja Gowa mengenai soal-soal rumah tangga istana.

Di dalam masa perang, ia sering bekerja bersama dengan panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa yang disebut “ anrongguru-lompona-tumak-kajannangnganga ”. Mereka sering membicarakan dan merencanakan segala soal yang bersangkut-paut dengan soal peperangan.

Jabatan tumailalang towa dan tumailalang lolo diangkat dan dipecat oleh raja Gowa. Dahulu, kedua fungsi itu dipegang oleh pacallaya, lalu oleh tumailalang (orang yang di dalam).

4. Anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga

Panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa pada masa perang. Pada masa damai ia ditugaskan menjaga agar orang-orang, mentaati dan melaksanakan segala perintah raja Gowa.

Jika ada orang yang membangkang dan dianggap perlu ditindak dengan kekerasan, maka tugas karaeng tumakajannangngang untuk menindaknya. Ia bertugas menumpas pemberontakan dan memberantas pengacau-pengacau yang mengganggu keamanan dalam negeri. Ia juga bertugas menjaga keamanan pribadi raja Gowa dan keluarga baginda.

5. Lomo-tumak-kajannangnganga

Di bawah anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga ada lagi jabatan yang disebut Lomo- tumak-kajannangnganga. Sebagai wakil atau pengganti panglima perang ia meneruskan segala perintah karaeng tumakajannangnganga kepada para bawahannya yang disebut anronggurunna tumakkajannangnganga.

6. Anrong-Guru-Lompona tu Bontoalaka

Jabatan penting lainnya yaitu pemimpin pasukan yang disebut Anrong-Guru-Lompona tu Bontoalaka. Ia adalah pemimpin tertinggi pasukan-pasukan orang-orang Bontoala. Bontoala adalah sebuah kampung di bagian timur Kota Makassar atau Ujung Pandang. Kampung ini merupakan tempat tinggal orang-orang tawanan perang yang kemudian dimerdekakan dan menjadi warga Kerajaan Gowa.

Mereka ini memunyai seorang kepala atau pemimpin sendiri yang disebut Karaeng Bontoala (karaeng=raja). Setelah peperangan antara Kerajaan Gowa dengan VOC berakhir, maka Kampung Bontoala diduduki oleh Aru (Arung) Palakka. Di sinilah Aru Palakka tinggal dan kemudian wafat. Oleh karena itu, Aru Palakka memeroleh gelar anumerta “ matinrowe ri Bontoala ”, artinya yang tidur (wafat) di Kampung Bontoala.

7. Anrong-gurunna tu bontoalaka

Di bawah karaeng bontoala atau anrong-guru-lompona tu bontoalaka, ada lagi pemimpin-pemimpin orang-orang Bontoala yang disebut anrong-gurunna tu bontoalaka.

8. Bate-Anak-Karaeng

Mula-mula daerah kekuasaan bate anak karaeng merupakan daerah-daerah yang bebas dan berdiri sendiri. Kemudian daerah-daerah ini dikalahkan dan menjadi daerah takluk Kerajaan Gowa. Lalu daerah-daerah itu dihadiahkan oleh raja Gowa kepada salah seorang “anak karaeng” atau anak raja/anak bangsawan yang dianggap berjasa.

Anak karaeng inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di daerah bate-anak-karaeng itu. Semua orang di daerah itu harus tunduk dan melaksanakan segala perintah anak karaeng yang mendapatkan hadiah dari raja Gowa itu. Lazimnya mereka yang memperoleh daerah bate-anak-karaeng itu masih berkeluarga dekat dengan raja yang berkuasa.

Gelar Pejabat daerah dan bangsawan lainnya seperti karaeng, gallarang, anrong guru, jannang, pabbicara, dan matowa. Mereka ini biasanya mengepalai pemerintahan sebuah wilayah atau daerah.

9. Sabannara

Sabannara atau syahbandar merupakan pula jabatan yang cukup penting di dalam Kerajaan Gowa yang merupakan kerajaan maritim. Sabannara membantu raja mengurus soal keluar masuknya perahu-perahu di pelabuhan Kerajaan. Sabannara mengurus soal pemasukan uang pajak bea dan cukai.

Selain itu, sabannara sering ditugaskan mengurus soal pemasukan uang untuk harta kekayaan raja sendiri. Dahulu Kerajaan Gowa memunyai dua orang sabannara, yakni Sabannara Towa dan Sabannara Lolo. Pangkat sabannara biasanya dijabat oleh seorang bangsawan, keturunan atau keluarga raja. Bahkan semua jabatan penting yang sudah disebutkan tadi, sedapat mungkin dijabat oleh orang-orang bangsawan keluarga raja.

10. Qadhi

Qadhi ada pemimpin yang mengurusi soal-soal agama, perwakilan, dan lain-lainnya diurus oleh syara’. Ia dibantu oleh pegawai-pegawai atau petugas-petugas syara’ seperti: imam, khatib, bilal, doja, dan urusan yang mengangkut keagamaan lainnya.