almanak

Prasejarah Perahu di Nusantara dan Sebarannya

Abad ke-5 Masehi adalah akhir dari masa prasejarah di Indonesia. Asumsi ini biasanya akan dihubungkan dengan temuan sebuah inskrpsi, prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan. Akan tetapi jawabannya mungkin akan berbeda jika fokus pernyataan sedikit digeser, Kapan berakhirnya prasejarah perahu sebagai moda transportasi air Indonesia?

PublishedJanuary 17, 2015

byDgraft Outline

Bukti arkeologis pertama tentang batas sejarah dan prasejarah perahu ternyata berasal dari Pulau Sumatra pada awal abad ke-7 Masehi. Berikut kutipannya:

….Tahun Śaka 605, pada hari ke sebelas paro terang bulan Waiśakha, Dapunta Hiyang naik perahu (samwau ) guna mencari siddhayātra. Di hari ke tujuh paruh terang bulan Jyestha, raja kemudian berlepas dari Minanga membawa tentara dua laksa dengan perkebalan….” dan seterusnya.

Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuna itu untuk saat ini memberikan sebuah penanggalan yang paling tua berkenaan dengan penyebutan (jenis) perahu sehingga kiranya dapat menjadi acuan sementara dalam tonggak sejarah dari perahu Indonesia.

605 Śaka (683 Masehi), dengan kata lain, jika ditemukan artefak perahu di Indonesia dan setelah dilakukan berbagai penelitian uji karbon misalnya, dan didapati berasal dari sebelum tahun 683 Masehi, kiranya itu adalah perahu dari masa prasejarah nusantara.

Tentunya akan banyak pertanyaan penting yang harus bisa dijawab dengan pasti. Bagaimana proses pembuataannya, kemudian tentang fungsi pemakaian yang sifatnya khusus juga pertanyaan lainnya yang akan sukar sekali untk dijawabnya karena tidak ada catatan tertulis. Jawaban mungkin hanya berdasar pada logika dan perbandingan dengan perahu yang ada pada masa sekarang. Tapi tetap saja jawaban itu hanya bersifat hipotetis.

Moda Transportasi Air Nusantara

Sekitar 20.000 Sebelum Masehi, Semenanjung Malaya masih bersatu dengan Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Indocina. Berburu dan mengumpulkan makanan adalah mata pencaharian penduduk pada masa itu yang masih didukung kebudayaan alat-alat batu dan sepertinya belum mengenal perdagangan maritim antar pulau misalnya antara Paparan Sunda dan sahul atau tempat lainnya.

Transaksi pertukaran masih sangat terbatas, dan dalam cakupan wilayah yang tidak begitu luas, mungkin sudah mengenal pertukaran ( barter ) tapi tidak terlalu kompleks.

Teknologi pelayaran yang sederhana mungkin sudah ada tetapi navigasinya belum berkembang. Pengetahuan navigasi yang meliputi bagaimana menentukan posisi dan mengenal arah atau haluan yang harus dituju dalam navigasi tradisional bersumber dari pengalaman, naluri, kepekaan pada alam dan juga tradisi muncul belakangan. Pemanfaatan sumber makanan yang berasal dari laut berlangsung di tepian pantai secara sederhana yaitu untuk mengumpulkan dan mencari kerang.

Awalnya mungkin rakit yang lebih dahulu ditemukan. Kemunculannya bermula melalui batang pohon yang mengambang. Kemudian batang kayu atau bambu itu diikat dalam jumlah yang lebih banyak sehingga memiliki daya apung dan daya muat yang besar.

Paparan Sunda terpisah dari daerah sekitarnya di Asia Tenggara, sekitar 10.000 Sebelum Masehi (akhir Pleistosen), Kejadian alam ini secara tidak langsung mengubah cara hidup manusia pada masa itu tetapi perburuan masih menjadi inti untuk bertahan hidup, mungkin beberapa mulai menanam sesuatu sebagai bagian dari masa berburu tingkat akhir. Perahu dan rakit mulai dimanfaatkan untuk penjelajahan di rawa dan daerah-daerah di sekitar hutan bakau guna memperoleh sumber makanan.

Peningkatan akan pengetahuan navigasi telah memungkinkan dilakukannya berbagai pelayaran, walaupun masih terbatas, karena sepertinya belum digunakan untuk mengarungi lautan terbuka. Pelayaran untuk menemukan daerah baru mungkin dilakukan secara kecil-kecilan dengan menyusuri wilayah laut yang dangkal atau terbatas pada sungai-sungai.

Pada masa peralihan zaman batu, mesolitik antara zaman batu tua(paleolitik) dan zaman batu baru (neolitik ) antara 10.000 tahun Sebelum Masehij sampai dengan 5.000 tahun Sebelum Masehi.

Bukti adanya penggunaan sarana transportasi air yang lebih “maju” yaitu temuan artefak prasejarah perahu lesung (jenis canoe ) dengan haluannya yang masih datar. Selain itu, dari sampah dapur ( kjokken moddinger ) berupa sisa kerang yang banyak ditemukan di sepanjang pantai Laut Utara dan Samudera Atlantik, diketahui bahwa masyarakat yang mendukung budaya mesolitik itu telah mengkonsumsi kerang yang cukup banyak. Perahu lesung yang tertua ditemukan di wilayah Pesse, Belanda, berdasar pada analisis radiokarbon diketahui pertanggalannya berasal dari masa sekitar 6315 Sebelum Masehi.

Dalam kurun waktu 5.000 Sebelum Masehi hingga 4.000 Sebelum Masehi, perdagangan yang sifatnya terbatas masih terus berlanjut seperti sebelumnya tetapi dengan tambahan adanya perdagangan antara daerah pantai dan pedalaman yang mulai berkembang ke bentuk perdagangan yang mulai berorientasi keluar wilayah.

Kemungkinan jalur perdagangan maritim juga telah mulai dijalin sebagai konsekuesnsi dan bagian dari adanya ekspansi pelayaran laut di kawasan Asia Tenggara.

Teknologi dalam membuat moda transportasi air telah berkembang sehingga memungkinkan untuk melakukan pelayaran di laut terbuka dengan lebih baik. Penggunaan jenis perahu dengan menggunakan cadik dan layar sederhana mungkin sudah dikenal guna menangkap ikan dan sumber makanan lainnya yang berada jauh dari garis bibir pantai.

Kita dapat mengasumsikan bahwa melalui sebuah perjalanan waktu cukup panjang, akhirnya prasejarah perahu lesung telah berkembang menjadi planked boat (perahu papan).

Perkembangannya dimulai dari penambahan bagian papan pada kedua sisi atau dinding perahu lesung guna meningkatkan daya apung dan daya muat yang lebih besar lagi. Kebutuhan dalam memuat beban yang lebih banyak mungkin pada akhirnya menyebabkan evolusi perahu menjadi lebih besar lagi.

Perahu cadik

Keberadaan cadik di perahu nusantara telah banyak menarik perhatian terutama untuk mencari garis asal usulnya yang ditarik sejauh mungkin. Cadik pada perahu nusantara menjadi sesuatu yang khas di perairan Asia Tenggara dan bagian barat wilayah Indonesia.

Bahwa selanjutnya telah terjadi migrasi dari masyarakat pendukung budaya candik ini yang berpencar dengan perahu-perahu bercadik mereka berlayar hingga jauh ke arah timur, menyebabkan seluruh kepulauan Nusantara kemudian mengenal cadik ganda yang dipasang pada kedua sisi perahu.

Wujudnya seperti yang dapat dilihat pada masa sekarang misalnya londe dari Sulawesi atau jukung dari Bali. Namun ketika para pelaut yang berpencar itu sampai di perairan yang cukup besar, seperti Samudera Pasifik, cadik-cadik itu dianggap terlalu membahayakan dan kemungkinan bahwa pada saat itulah diputuskan hanya menggunakan satu cadik (cadik tunggal). Mungkin itu sebabnya di wilayah Oceania banyak ditemui keberadaan perahu yang hanya memiliki satu pengapung di sisi perahunya; cadik tunggal.

Perahu dalam kajian prasejarah perahu sebagai sarana transportasi di nusantara, juga dapat ditelusuri bersamaan dengan proses terjadinya migrasi penduduk dan penyebaran dari rumpun bahasa Austronesia.

Dalam beberapa hipotesa yang ada, kuat dugaan bahwa proses migrasi yang terjadi pada kurun waktu antara 2.000 Sebelum Masehi sampai dengan 500 Sebelum Masehi semuanya dilakukan dengan menggunakan perahu. Selanjutnya, untuk masa yang lebih muda, keberadaan perahu di nusantara menjadi semakin jelas terutama mendekati awal abad Masehi.

Mengenai dinamika dalam lintas kesejarahan perahu di nusantara, baik itu menyangkut kemaritiman dan atau aspek teknologi pemanfaatannya, tentunya tidak hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi melainkan juga didorong oleh kebutuhan akan komunikasi budaya antar bangsa.

Pengkajian sejarah telah memperlihatkan bahwa kemampuan berlayar orang-orang nusantara dengan perahu-perahunya dan juga jalur pelayarannya telah membuktikan bahwa sejak dahulu orang di nusantara telah mempunyai pengetahuan navigasi yang baik sehingga memungkinkan mereka dapat berlayar ke mana saja bahkan mengarungi samudera yang maha luas.

Indonesia adalah negara kepulauan, itu merupakan sebuah kenyataan yang tentu tidak dapat disangkal terlebih diabaikan atau disepelekan. Kesadaran tentang wawasan bahari tentu sangat lah penting, baik untuk eksistensi maupun untuk kelangsungan masa depan suatu negara kepulauan.

Laut seharusnya bukan hanya menjadi masa lalu Nusantara, laut harus bisa menjadi masa depan bagi Indonesia.

Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudra Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai