almanak

Raden Patah, Pendiri Kesultanan Demak

Dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun dan dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senopati Jimbun. Setelah menjadi raja ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sedangkan dalam Serat Pranitiradya, Raden Patah bergelar Sultan Syah Alam Akbar.

PublishedJanuary 19, 2015

byDgraft Outline

Babab Tanah Jawi yang ditulis akhir abad ke-17atau awal abad ke-18 Masehi– yang menjadi penguasa Mataram saat itu adalah Paku Buwono I–menuturkan bahwa Raden Patah merupakan putra raja Brawijaya, raja terakhir kerajaan Majapahit dengan selirnya yang berasal dari negeri Campa.

Menurut Serat Kanda, putri Campa (kini termasuk wilayah Kamboja) justru telah dinikahi oleh Brawijaya ketika masih menjadi putra mahkota—belum menjadi raja kerajaan Majapahit.

Sang permaisuri Raja, Ratu Dwarawati, konon merasa cemburu pada selir Rajaitu. Untuk menghindari hal-hal buruk, Raja Brawijaya lalu mengungsikan selirnya itu ke Palembang, Saat itu Palembang diperintah oleh Arya Damar, Putra sulungnya.


Syahdan, di Sumatra, Putri Campa melahirkan dua orang putra, yang dikenal dengan Raden Patah dan Raden Kusen.

Berita yang hampir sama, diperoleh dari kuil Sam Po Kong–kuil di Semarang yang didirikan sebagai penghormatan terhadap Zheng He atau Cheng Ho– terdapat sebuah, Tambo (Kronik) yang memberikan informasi bahwa nama asli dari Raden Patah adalah Jin Bun, yang merupakan putra dari Kung-ta-bu-mi (pelafalan Cina untuk Bhre Kertabumi) dengan selirnya yang berasal dari Cina. Bhre Kertabumi sendiri memang bukan nama asing dalam sejarah kerajaan Majapahit.

Nama itu juga tercantum dalam Kitab Pararaton sebagai raja dari Kerajaan Majapahit. Kemudian selir Cina itu mengungsi ke Palembang. Kronik Sam Po Kong memberi informasi kepada kita bahwa Jin Bun lahir pada tahun 1455 Masehi, kemungkinan besar memang sebelum Bhre Kertabumi diangkat sebagai raja Majapahit (1474-1478).

Sedikit berbeda dengan dua sumber di atas, dalam naskah Sajarah Banten kita mendapat informasi bahwa pendiri Kesultanan Demak itu benama Cu Cu, yang merupakan putra dari seorang [mantan] perdana menteri Cina yang telah bermigrasi ke tanah Jawa.

Diberitakan bahwa Cu Cu telah mengabdi di kerajaan Majapahit dan berhasil menumpas pemberontakan dari Arya Dilah, Bupati Palembang. Berkat jasa-jasanya, Cu Cu kemudian dijadikan menantu oleh raja Majapahit dan menjadi Bupati di Demak bergelar Arya Sumangsang.

Tentang “putri Campa” yang disebut-sebut sebagai ibu Raden Patah, kita mungkin dapat merujuk kepada informasi yang berasal dari pustaka Purwaka Caruban Nagari. Menurut naskah itu, nama selir yang dimaksud adalah Siu Ban Ci, yang merupakan putri dari pasangan Tan Go Hwat dan Siu Te Yo, kedunya tinggal di Gresik. Tan Go Hwat bergelar Syekh Bantong, merupakan saudagar sekaligus ulama.

Menurut Lombard dalam bukunya Nusa Jawa; Silang Budaya, Raden Patah berasal dari Cina. Mula-mula Raden Patah itu menetap di Gresik, kemudian ia pindah ke wilayah Demak dan mendirikan bandar dagang. Demak saat itu merupakan pelabuhan penting di pesisir Jawa karena ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai daerah.

Sedangkan jika merujuk kepada berita dari Tome Pires, Suma Oriental, bahwa pendiri kerajaan Demak adalah Pate Rodin Senior, yang merupakan cucu dari seorang penduduk Gresik.

Tome Pires yang pernah singgah di pelabuhan Demak, juga memberitahukan bahwa Demak sekurang-kurangnya memiliki kapal jung sebanyak 40 dan telah berhasil meluaskan pengaruhnya hingga ke wilayah Sumatra, dan sejumlah pulau-pulau besar lainnya diantara wilayah Tanjung Pura, Bangka, dan Belitung.

Demak saat itu, menurut pantauan Tome Pires, terdapat tak kurang sepuluh ribu rumah, dengan wilayah sekelilingnya merupakan penghasil beras. Beras yang dihasilkan Demak sebagian diekspor ke Malaka. Menurut penjelajah dari Portugis itu, Demak (dan juga Rembang) terkenal dengan galangan-galangan pembuatan kapalnya.

Kapal-kapal itu dibuat dari kayu-kayu jati yang memang banyak tumbuh di Jawa Tengah dan Timur waktu itu. Pedagang yang memiliki uang dan ingin dibuatkan kapal (jung) biasanya datang ke Demak, begitu tulis Pires. Demak dikelilingi kota-pelabuhan lainnya seperti: Jepara, Juwana, Pati, Rembang, dan Semarang

Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda selanjutnya memberitakan bahwa Raden Patah (Jimbun / Jim Bun / Jin Bun) lahir di Palembang pada tahun 1455 Masehi itu. Hampir selama 20 tahun tinggal di kediaman Arya Damar, adipati Majapahit di Palembang.

Raden Patah kemudian berangkat ke Majapahit untuk belajar Islam kepada Raden Rahmat (Sunan Ngampel/Ampel) di Denta, Surabaya. Di tempat Sunan Ampel, Raden Patah mempelajari Islam bersama dengan murid-murid Sunan Ampel lainnya: Maulana Ibrahin (Sunan Bonang), Raden Paku (Sunan Giri), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).

Raden Patah kemudian dinikahkan dengan Nyi Ageng Maloka, yang merupakan cucu dari Raden Rahmat. Selanjutnya Raden Patah menjadi peyebar Islam di wilayah Bintoro dan membuka hutan di wilayah Glagahwangi untuk dijadikan wilayah pendidikan Islam ( pesantren ).

Aktivitas Pesantren Glagahwangi yang semakin berkembang membuatnya mendapat perhatian dari keraton. Raja Brawijaya meminta Raden Patah untuk menghadap. Alkisah, Raden Patah pun diakui sebagai keturunan Brawijaya. Raden Patah lalu dijadikannya sebagai bupati Demak, nama baru Glagahwangi, beribukota di Bintoro.

Kronik Sam Po Kong menguraikan hal yang sedikit berbeda. Bahwa pada tahun 1475 Jin Bun telah pindah ke wilayah Demak dari Surabaya dan pada tahun 1477, Jin Bun menaklukkan Semarang. Penaklukan Wilayah Semarang yang dijadikan wilayah kekuasan Demak membuat Kung-ta-bu-mi (Kertabhumi) geram.

Akan tetapi, berkat Bong Swi Hoo (Sunan Ngampel), Kung-ta-bu-mi akhirnya mengakui Jin Bun sebagai keturunannya, dan justru meresmikan Raden Patah sebagai bupati di Bing-to-lo (Bintoro).

Jimbun kemudian mengangkat saudara tirinya yang bernama Kin San, menjadi bupati di Semarang. Sementara Gan Si Cang, anak Haji Gan Eng Cu, saudagar Tionghoa yang menjadi bupati di Tu Ma Pan (1430), diangkat menjadi seorang kapten.

Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi

Nama Brawijaya begitu populer di masyarakat Jawa sebagai penguasa Majapahit. Nama Brawijaya sendiri kemungkinan berasal dari Bhra dan Wijaya; Bhatara Wijaya. Dalam kesempatan lain, Brawijaya juga didentikan sebagai nama atau gelar para Raja Majapahit. Brawijaya I diidentikan dengan Raden Wijaya, dan seterusnya.

Suma Oriental Tome Pires memberitakan bahwa pada tahun 1513, di Dayo (Daha) ada seorang raja bernama Batara Vigiaya, akan tetapi pemerintahannya justru dikendalikan oleh Pate Amdura.

Dari sumber prasasti didapatkan bahwa Daha pada tahun 1486 merupakan wilayah yang diperintah Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, dapatlah disimpulkan jika Batara Wijaya atau Brawijaya ini merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang menurut Tome pires memerintah di Daha tahun 1513.

Kemungkinan, ingatan masyarakat tentang kekalahan penguasa Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa kekalahan Majapahit tahun 1478. Akibatnya tokoh Bhre Wijaya pun sering disamakan dengan Bhre/Bhra Kertabhumi. Padahal, belum ditemukan bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.

Masa Pemerintahan Raden Patah di Demak

Berdasarkan Babab Tanah Jawi, setelah Raden Patah menjabat sebagai raja Demak, bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sedangkan menurut Serat Pranitiradya, Raden Patah bergelar Sultan Syah Alam Akbar.

Nama Patah sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Arab, al-Fatah, artinya “Sang Pembuka” —atau “Sang Penakluk”—sebagai gambaran bahwa telah membuka kerajaan Islam di Tanah Jawa. Seperti yang kita ketahui bahwa pemakaian gelar sultan pada waktu itu belum lah menjadi tradisi.

Menurut analisa Lombard, pemakaian gelar sultan untuk raja-raja di tanah Jawa baru dimulai pada pertengahan abad ke-16, yakni pada masa Trenggana (1524) yang menjadi penguasa Demak—sementara penguasa Islam di sekitar Malaka telah menggunakan gelar “Sultan” kira-kira pada pertengahan abad ke-15.

Pada tahun 1479 Raden Patah dikabarkan telah meresmikan Masjid Agung Bintoro di Demak sebagai pusat pemerintahan. Suma Oriental juga memberitakan bahwa pada 1507 Pate Rodin/Roden alias Raden Patah telah meresmikan Masjid Agung Demak yang selesai diperbaiki.

Selama Sunan Ampel hidup, kabarnya Raden Patah tak pernah berani menyerang Majapahit. Raden Patah olehnnya tetap dibuat agar menghormati Raja Majapahit itu—walau berbeda kepercayaan ia tetap ayah Raden Patah. Babab Tanah Jawi dan juga Serat Kanda selanjutnya mengisahkan bahwa sepeninggal Sunan Ampel, barulah Raden Patah dengan bantuan Sunan Bonang menyerang Majapahit.

Peperangan antara Raden Patah melawan Kertabhumi yang diberitakan oleh kronik Sam Po Kong terjadi pada 1478. Perang tersebut memang terjadi setelah kematian Sunan Ngampel ( Bong Swi Hoo ). Kung-ta-bu-mi berhasil ditangkap, ia kemudian dipindahkan ke Demak dengan terhormat.

Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Raden Patah mengangkat Nyoo Lay Wa sebagai bupati Majapahit. Berita tertangkapnya Kung-ta-bu-mi (Kertabumi) berbeda dengan apa yang diungkapkan Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda.

Penulis kronik Sam Po Kong sepertinya merasa tak terikat dengan dunia “mistik” Jawa yang memilih “menghilangkan secara gaib” Brawijaya dari pada harus menulis tertangkap. Brawijaya terlalu agung jika dikatakan tertangkap, Babab Tanah Jawi dan Serat Kanda mengatakan Brawijaya Moksa. Pada 1485, Nyoo Lay Wa meninggal, Jin Bun diberitakan mengangkat seorang pribumi bernama Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi untuk mengantikannya. Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana dalam Pararaton (Dyah Ranawijaya).

Tokoh ini lebih lanjut terdapat dalam Prasasti Jiyu (1486), Ia mengaku sebagai penguasa dari Majapahit, Kadiri, dan Janggala. Girindrawardhana juga menerbitkan Prasasti Petak memuat berita perang Kadiri melawan Majapahit.

Berita-berita dari prasasti tersebut setidaknya dapat menjadi bukti kuat bahwa Kerajaan Majapahit tidak lah runtuh akibat serangan Demak tahun 1478, melainkan akibat serangan dari Girindrawardhana. Girindrawardhana (Dyah Ranawijaya) awalnya memerintah di Daha, ibukota Kediri, utara kota Majapahit.

Baik Babab Tanah Jawi maupun Serat Kanda tidak lagi menceritakan terjadinya perang Majapahit-Demak sesudah tahun 1478. Padahal jika merujuk beberapa catatan Portugis dan kronik Sam Po Kong, peperangan Demak-Majapahit itu terjadi lebih dari satu kali.

Lebih lanjut Kronik Cina itu menguraikan bahwa pada 1517, Pa-bu-ta-la yang bekerja sama dengan bangsa Portugis di Moa-lok-sa (Malaka) telah mengundang kemarahan Jin Bun (Raden Patah). Akibatnya, penguasa Demak itu kemudian menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la berhasil dikalahkan, akan tetapi ia mendapat ampunan mengingat Pu-ba-ta-la adalah suami dari adiknya—istrinya merupakan adik Raden Patah.

Catatan Portugis pun memberitakan peperangan itu. Pasukan Majapahit yang dipimpin oleh seorang bupati Tuban bernama Pate Vira menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan itu mengalami kegagalan dan panglimanya masuk Islam.

Pada tahun 1518, sepeninggal Raden Patah, Demak menurut Babad Tanah Jawi kemudian dipimpin oleh Pangeran Sabrang Lor hingga tahun 1521 yang selanjutnya ia digantikan oleh Sultan Trenggana. Pergantian kekuasaan itu menurut kronik Sam Po Kong, dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la yang kembali menjalin kerja sama dengan orang-orang Portugis di Malaka.

Peperangan Majapahit-Demak akhirnya meletus kembali pada tahun 1524. Pasukan Demak saat itu dipimpin oleh Sunan Ngudung, salah satu anggota Wali di Tanah Jawa. Dalam peperangan ini Sunan Ngudung terbunuh di tangan Raden Kusen, yang merupkan adik tiri Raden Patah yang telah memihak Majapahit.

Peperangan antara Demak-Majapahit dikabarkan terjadi lagi pada tahun 1527. Pasukan Demak saat itu dipimpin oleh Sunan Kudus yang merupakan putra Sunan Ngudung. Sunan Kudus juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali. Dalam peperangan ini Majapahit akhirnya mengalami kekalahan.

Adipati Terung dan Raden Kusen berhasil ditawan secara terhormat, mengingat ia adalah mertua Sunan Kudus dan adik dari pendiri Demak. Menurut kronik Cina, dalam perang yang terjadi tahun 1527 itu yang memimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (Trenggana) yang bernama Toh A Bo.

Wafatnya “Sang Pembuka”

Raden Patah dikabarkan memiliki tiga orang istri. Istri yang pertama merupakan putri Sunan Ampel, yang juga merupakan permaisuri. Dari perkawinannya ini Raden Patah dianugerahi putra; Raden Surya dan Raden Trenggana–masing-masing naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana,–kronik Cina menyebutkan bahwa dua orang putra Jin Bun adalah Yat Sun (identik dengan Pate Unus/Sabrang Lor) dan Tung-ka-lo (Trenggana) akan tetapi Suma Oriental sepertinya lebih menganggap bahwa Sultan Trenggana adalah kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Istri Raden Patah yang kedua kabarnya berasal dari Randu Sanga. Dari perkawinannya lahir Raden Kanduruwan–yang berhasil menaklukan Sumenep pada masa pemerintahan Sultan Trenggana. Istri Raden Patah yang ketiga merupakan putri dari seorang bupati Jipang. Dari perkawinan ini Raden Patah dianugerahi keturunan; Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa.

Kronik Sam Po Kong memberitakan bahwa Raden Patah (Jin Bun, Panembahan Jimbun, dan atau Senapati Jimbun) ini kemudian wafat pada tahun 1518 di usianya yang menginjak 63 tahun. Pemerintahan lalu dilanjutkan oleh Yat Sun, yang dalam Babab Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.

Suma Oriental mengisahkan bahwa pada tahun 1512, menantu Pate Roden (Raden Patah), yakni Pate Unus yang menjabat sebagai Bupati Jepara, menyerang Portugis di Malaka. Tokoh Pate Unus ini didentikan dengan seorang tokoh bernama Yat Sun dalam kronik-kronik Cina—Yat Sun menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512—namun kedua sumber ini terdapat perbedaan tentang hubungannya dengan Raden Patah.

Pate Unus menurut Pires, adalah menantu Pate Roden (Raden Patah), sedangkan menurut kronik Cina, Yat Sun adalah putra Jin Bun (Raden Patah). Baik sumber Portugis maupun sumber Cina itu, sama-sama memberitakan bahwa armada Kerajaan Demak hancur saat pertempuran di Malaka itu.