almanak

Lada; Sejarah Rempah-rempah di Sunda dan Sumatra

Lada hitam ( Piper nigrum ) berperan penting dalam perdagangan dan peradaban zaman prasejarah sampai zaman modern di Indonesia. Walaupun lada dari India sudah berada di pasar internasional sejak zaman Romawi, permintaan rempah ini terus meningkat sesudah abad pertengahan Eropa untuk bumbu pengawet daging.

PublishedJuly 24, 2015

byDgraft Outline

Pada zaman maritim Asia Tenggara, lada pertama kali dicatat tahun 1187 di Jawa oleh Zhou Chufei. Tak seperti rempah yang lebih halus dari Maluku, Piper ningrum dari India tersebar cepat dan luas sejak abad ke-14 ke kaki gunung dan daerah pantai utara Sumatra sampai Jawa Barat. Pada tahun 1382, misi tunggal Jawa ke Cina tercatat membawa 45 ton lada.

Kemudahan penyatuan tanaman tersebut pada sawah kering atau ladang akhirnya menjadikannya mudah dijadikan sebagai tanaman untuk perdagangan oleh orang Aceh, Sunda, Batak, Pasemah, Rejang, dan Lampung, serta para perantau Minang di Jambi, Indragiri dan Palembang.

Di daerah-daerah ini, lada ditanam di ladang baru tebangan hutan. Setelah menanam padi lebih dulu, tumbuhan lada ditananam, dan setelah masa panen selama tiga hingga 12 tahun, tanahnya seharusnya tidak ditanami sampai regenerasi hutan sekitar 20-30 tahun.

Para petani menanamnya di ladang sebagai tanaman tambahan, seusai panen padi. Mereka dapat menjual hasil lada sebagai tanaman untuk perdagangan. Di daerah seperti Sumatra barat dan selatan, Jawa barat, serta Kalimantan selatan, budidaya lada tersebar dalam daerah penduduk yang jarang dengan ladang. Di wilayah seperti ini, lada dapat ditanam tanpa didahului tanaman pokok.

Kemudahan lada menyesuaikan diri terhadap makanan pokok dan nilainya sebagai barang penukar untuk kain, garam, dan barang mewah lain merangsang perubahan teknik baru bercocok tanam di hutan, termasuk penanaman pohon dadap ( Erythrina corallodendron ) secara luas sebagai tanaman berdaya guna dan pelindung. Pohon ini dengan kandungan pengikat nitrogen, mengurangi perusakan tanah yang biasanya terjadi akibat penanaman lada, sehingga mengurangi usah membuka hutan baru untuk dijadikan lahan baru.

Tekanan Pemerintah

Menjelang abad ke-17, kekuatan permintaan pasar mulai mengacaukan aturan alam untuk ekspor. Perkebunan lada tetap menggantikan pertanian hutan yang sesuai dengan ekologi. Sejak awal abad ke-19 lahan luas, apalagi di Lampung yang penduduknya perlahan bertambah dengan perpindahan dari Jawa, dibiarkan gundul karena ditumbuhi ilalang ( Imperata cylindrica ).

Tekanan yang terus meningkat karena budidaya lada menjadi saksi keberhasilan perniagaan. Tanaman ini mengendalikan politik ekonomi daerah ini selama lebih dari empat abad.

Selain menjadi katalis untuk revolusi perniagaan di Laut Tengah yang berpusat di Venesia, rempah membawa perubahan luar biasa masyarakat Asia Tenggara. Ekspor pedagang Islam ke Timur Tengah dan Laut Tengah, impor Cina yang meningkat terus karena pertambahan penduduk, membuat Indonesia menguasai hasil, bahkan melebihi Malabar.

Kebutuhan lada di Eropa dihitung meningkat dengan 50-100% pada 60 tahun pertama abad ke-16 dan 150% 70 tahun kemudian. Indonesia mengekspor sekitar 60.000 ton lada per tahun menjelang tahun 1670-an, sebagian besar dari Jawa Barat dan Sumatra.

Harga tinggi yang diperoleh rempah jenis ini di pasar internasional selama tahun 1616-1641 membantu perluasan politik kesultanan Aceh dan Banten. sebaliknya, harga lada mulai menurun pada perempat akhir abad tersebut sejalan dengan goncangan kedua kerajaan ini.

Selera Asia Tenggara untuk barang-barang dari Cina dan India dipertajam dengan adanya lada sebagai alat penukar. Pertumbuhan ekonomi membawa pula perubahan sosio-ekonomi, mendorong para raja egalitarian menganut sistem bertingkat yang terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan kecil seperti Inderapura dan Mukomuko di Sumatra Barat.

Keduanya semula berada dalam lingkaran peluasan pengaruh politik Aceh dan Banten. Jambi, Inderagiri, dan Palembang tetap berdiri sendiri tetapi keberhasilan politiknya tidak sebaik Aceh dan Banten.

Pada dasarnya, penguasa pribumi melindungi pasar setempat dari kungkungan kendali monopoli orang Eropa dan mengembangkan penggantian perak dengan meminta pembayaran tunai daripada melakukan barter untuk rempah.

Sementara itu, perubahan kendali dan lembaga yang dipaksakan dalam struktur organisasi produksi dan pemasaran meletakan landasan bagi kebijakan ekonomi penjajah seperti tanam paksa, monopoli ekspor, dan pemusnahan jenis tanaman tertentu sebagai sarana pengendalian harga.

Ekonomi lada di Sumatra dan Jawa menengarai peralihan kawasan memasuki zaman modern, memungkinkan ekonomi penduduk asli menampung perluasan perdagangan dunia.

Lada dan Islam

Selain memperkuat landasan dengan Cina, peningkatan daya beli daerah lada membuat lebih dekat dengan dunia Islam. Islam mendapat pijakan kuat sebagai agama negara. Semangat Islam mendukung perluasan jaringan pengaruh perlindungan niaga, intelektual, dan kebudayaan, serta teknologi baru senjata dan perkapalan.

Hubungan politik Aceh dengan Turki sama dengan hubungan erat antara Banten dan Mekah. Berkat kekayaan dari lada dan peningkatan pelayaran, para penguasa kedua kerajaan mencari cara memperbaiki teknologi barat agar perniagaan jarak jauh diusahakan dengan jong bertonase lebih besar.

Penguasa Banten, Sultan Abdul-Fath AbdulFattah Agung (1651-1682), menyewa nakhoda Inggris dan Portugal untuk membawa kapal pemasaran rempah ini jauh ke Persia, Cina, dan Jepang.

Kekayaan dari lada untuk membiayai pembangunan Masjid Bait al-Rahman yang berarsitektur indah di Aceh, taman dan peristirahatan raja di Tirtayasa (Banten), pesta mewah, penambahan harem, armada perang dan pasukan gajah, serta menjamu dan mengayomi cendekiawan Islam.

Kemakmuran yang Rawan

Dalam kaitan dengan ekonomi, para penguasa Sumatra dan Jawa Barat membangun hubungan awal mereka dengan bangsa Eropa. Para pedagang Cina membantu perluasan ekonomi lada dengan dana produksi dan pengangkutan barang. Ekonomi rempah menjadi batu loncatan Cina untuk menembus perekonomian, perpindahan, dan pemukiman.

Penghasilan yang diperoleh dari lada membuka pintu masyarakat pada kejahatan bersenjata, candu dan kegiatan yang mengacaukan ekonomi penduduk asli. Di bawah kekuasaan penjajah, hasil tanaman ekspor lain mengikuti jejak rempah ini, menjadi dasar untuk mengendalikan ekonomi hampir seluruh Sumatra dan Jawa. Menjelang paruh abad ke-19, mata dagang lain seperti kopi dan timah mengungguli lada dalam ekonomi dunia.

Sampai tahun 1820, jenis rempah ini merupakan ekspor terpenting Indonesia, dan naik-turunnya memberi petunjuk yang baik mengenai pola perdagangan secara umum.

Ekspor meningkat pesat sampai tahun 1600, dan memuncak pada tahun 1670 sebelum terhenti abad ke-18 ketika usaha dagang Belanda dan Inggris mengendalikan hampir seluruh lada Nusantara dengan mematok harga rendah. Namun perkembangan ekonomi lada bagi Sumatra dan Jawa sejalan dengan suatu zaman kekuasaan dan kemakmuran yang hanya tinggal sejarah.