almanak

Islam di Nusantara, Perkembangan dan Pemaduan

Kekayaan ajaran Islam di Nusantara sudah diakui sejak masa lampau, walaupun selalu muncul keinginan yang terus-menerus untuk melakukan pembaharuan agar memberikan dasar yang sama bagi perkembangan sebagai negara modern yang berkelanjutan.

PublishedSeptember 21, 2015

byDgraft Outline

Selama berabad-abad, Islam yang sampai ke Indonesia berasal dari berbagai wilayah dunia yang berbeda. Sebagai akibatnya, Islam yang dianut berasal dari tradisi yang tidak sepenuhnya sama, ditambah dengan keragaman budaya Nusantara yang memang sudah kaya dari awalnya. Oleh sebab itu, Islam di Nusantara kerap dijadikan model bagi terwujudnya “kesatuan dalam keragaman” dunia Islam.

Pada saat ini selain Indonesia, barangkali tidak ada tempat lain di dunia Islam yang memungkinkan terjadi dialog intelektual antara tradisi dan modernitas, tanpa meriam dan tanpa senapan.

Persebaran Islam di Nusantara juga memberi contoh yang jarang dari proses perkembangan agama baru menggantikan agama lama yang telah mengakar di wilayah luas.

Kini Indonesia merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Pengislaman tidak cepat atau sederhana, dan perjalanan agama Islam dari gurun tandus Arab ke Nusantara yang subur ini diketahui hanya dalam bentuk samar-samar. Sangat sedikit sumber tertulis masa pengislaman paling awal, para pengkaji sejarah Islam Nusantara benar-benar harus bekerja keras untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Asal-usul Islam Nusantara pun banyak diperdebatkan, mungkin tanpa ada suatu kesimpulan akhirnya. Akan tetapi, umumnya semua sepakat bahwa pemaduan Islam ke dalam kehidupan sehari-hari di Nusantara merupakan proses yang berkelanjutan—hingga hari ini, dan sepertinnya masih mencari bentuk.

Sebagai bangsa berpenduduk Islam terbesar, kajian mengenai hubungan kesejarahan Indonesia dan Islam serta perkembangannya, sepertinya memang pantas mendapat perhatian lebih. Bagaimanapun, Islam adalah salah satu akar budaya bangsa Indonesia.

Table of contents

Open Table of contents

Asal-usul Islam di Nusantara dan Perdebatan

Islam merupakan agama yang menyembah kepada Tuhan yang Esa, yaitu Allah, Agama Islam lahir di Arab pada awal abad ke-7 dan dengan cepat menyebar ke seluruh Timur Tengah dan kemudian seluruh dunia.

Qur’an menggambarkan Islam sebagai kelanjutan tradisi hanif, suatu kepercayaan monoteisme Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, dan Nabi-Nabi pendahulu lain dari kepercayaan orang-orang semit. Penganutnya percaya, dan yakin bahwa Agama ini diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang merupakan Nabi terakhir di antara nabi-nabi yang dikirimkan kepada umat manusia; tidak ada Nabi lain setelahnya.

Asal-usul Islam di Nusantara tampaknya masih kabur karena kurangnya bukti yang dapat diandalkan dan diperoleh pada zamannya. Secara umum dianggap bahwa para pedagang dan barangkali para pengelana dari daerah-daerah yang sudah mengalami pengislaman, pernah melakukan kunjungan ke Indonesia bertanggung jawab atasnya. Meski demikian, tidak ada bukti yang lengkap untuk mengetahui bagaimana perkembangan masyarakat Islam sampai dengan akhir abad ke-13.

Islam hadir secara nyata di Nusantara pada akhir abad ke-13. Dari Pasai, Sumatra Utara, Islam lalu menyebar ke bandar lain di Nusantara; Indonesia, Semenanjung Malaya, dan Filipina selatan.

Pada akhir abad ke-14, Islam mengubah kepercayaan di Nusantara hingga jauh ke Trowulan, Jawa Timur. Perubahan agama para penguasa Malaka awal abad ke-15 sangat berpengaruh dalam persebaran Islam ke bandar-bandar di sepanjang jalur perdagangan ke sumber rempah-rempah di Maluku.

Ketika Portugis datang tahun 1509, Islam masih menjadi agama minoritas, terbatas pada masyarakat pedagang di beberapa daerah kantong bandar niaga. Perluasan Islam terjadi pada abad ke-16, ketika agama itu secara bertahap dikenal di antara petani desa pedalaman Jawa, Sumatra, dan Pulau lain.

Proses perubahan agama itu bukan merupakan suatu peristiwa tersendiri dengan suatu penyebab, namun suatu rangkaian peristiwa yang dipengaruhi berbagai hal yang sangat kompleks.

Dalam beberapa contoh keputusan penguasa untuk berganti agama segera diikuti oleh rakyatnya; sedang contoh lain sejumlah besar masyarakat tampak berubah lebih dahulu dan diikuti penguasa mereka sebagai tindakan yang terdorong oleh pertimbangan politis.

Pembawa agama berbeda di beberapa bagian di Indonesia; kadang-kadang mualim, pedagang islam, atau keturunan campuran, yang lain para prajurit yang melakukan penaklukan, atau ulama berpengaruh dari kekuatan kerajaan.

H.J. de Graaf lebih jauh melihat proses islamisasi di Asia Tenggara terjadi melalui tiga metode yang berlangsung secara kronologis yaitu: oleh para pedagang dalam proses yang damai, oleh para wali dan orang suci yang telah datang dari negeri-negeri Islam yang memang bertujuan untuk mengislamkan, dan terakhir jalan kekerasan yang memaklumkan terjadinya perang bagi kerajaan-kerajaan penyembah berhala.

Berdasarkan batu nisan yang paling awal, seperti Malik Ibrahim (1419) dari Gresik, Jawa Timur, memiliki persamaan dengan makam-makam dari tanah Gujarat, dan beberapa menyatakan bahwa itu memang didatangkan dari Gujarat, India barat laut, maka disimpulkan bahwa Nusantara di-islamkan dari Gujarat.

Para Peneliti lain menyatakan bahwa selain peran utama yang dilakukan oleh orang-orang dari wilayah India, pengislaman juga dilakukan oleh orang Arab, Persia, dan bahkan oleh orang Islam dari Cina.

Selanjutnya penyebaran Islam di Nusantara sering dikaitkan dengan peningkatan perniagaan. Islam memang mengandung banyak aturan yang berkaitan dengan perniagaan dan bagaimanapun tradisi perdagangan mereka merupakan bagian dari ajaran Islam.

Pada saat itu Nusantara merupakan persimpangan utama perdagangan internasional, ada kemungkinan pula bahwa orang Islam dari berbagai wilayah dunia Islam lain muncul dan berperan dalam penyebaran Islam Nusantara—juga disebarkan oleh orang Islam dari daerah lain di Nusantara yang telah memeluk Islam.

Pengertian bawa Islam tersebar dengan cara perdagangan menjadi perdebatan di kalangan para peneliti, masing-masing mendasarkan pada argumentasi tertentu. Tidak dapat diragukan peran penting perdagangan dan para pedagang, karena dengan cara inilah hubungan terbangun antara Nusantara dan dunia Islam.

Namun karena barangkali para pedagang dari wilayah yang kemudian menjadi basis islam itu telah ada di Nusantara selama berabad-abad sebelum Islam itu sendiri hadir, maka jalur perdagangan jelas bukan merupakan penjelasan yang memuaskan.

Awal penyebaran Islam di Nusantara jika dikaji lebih jauh bersamaan dengan masa-masa kebangkitan spiritualitas Islam ( sufi ) yang menjadi kekuatan utama dunia Islam waktu itu, dan ada bukti jelas untuk beranggapan bahwa mungkin sufi ini berperan penting dalam pengislaman di Nusantara.

Perubahan sosial-keagamaan di beberapa daerah tampaknya berlangsung bukan karena pengislaman semata tetapi juga karena adanya pemeluk Islam dari negeri asing yang menetap di Nusantara dan hidup berdagang, dan akhirnya seiring dengan perubahan waktu mereka menjadi penduduk tetap karena telah menikah dan beranak-pinak di Nusantara.

Di beberapa daerah terutama Sulawesi Selatan dan pedalaman Jawa, Islam menyebar lewat keunggulan kerajaan bercorak Islam yang menguasai wilayah sekitarnya dan mengalahkan kerajaan-kerajaan dengan corak agama sebelumnya. Di samping berfungsi sebagai pusat kekuatan sosial-politik dan ekonomi, kerajaan-kerajaan Islam juga memberi payung yang di bawahnya tumbuh subur bidang pengetahuan; filsafat, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.

Bukti Awal Islam di Nusantara

Sisa tertua pengislaman di Nusantara adalah nisan yang ditemukan di beberapa pulau. Bentuk dari isi nisan-nya memberi petunjuk perubahan dalam kegiatan keagamaan yang dibawa oleh Islam. Batu Nisan Islam tertua di Indonesia yang kita ketahui bertanggal 475 HIjriah (1082 Masehi), ditemukan di Leran, Surabaya sebelah barat, Jawa Timur. Orang yang dikubur adalah seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Habatallah; tidak ada lagi yang diketahui darinya. Ia mungkin bukan orang Indonesia asli.

Di Aceh, Sumatra, Bukti yang paling tua terdapat pada batu-batu nisan yang menandai kematian Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir tahun 1211 Masehi, meyakinkan bahwa masyarakat Islam telah terdapat di Sumatra utara pada awal abad ke-13.

Pada batu nisan lain—batu nisan milik Malik al-Salih sultan yang meninggal tahun 1297—juga menjadi bukti penting yang mencatat kehadiran masyarakat Islam, atau setidaknya Islam Nusantara pada abad ke-14 sudah berkembang di pantai timur Semenanjung Malaka dan Jawa Timur, di situs kerajaan Hindu-Jawa Majapahit.

Batu nisan Sultan Malik al-Salih dari Pasai juga merupakan contoh tertua dari jenis nisan dengan “sayap”, sebuah gaya yang kemudian menjadi ciri khas makam Aceh dan orang-orang Melayu sejak itu.

Sementara contoh tertua batu nisan Islam ini menunjukkan pengaruh setempat yang kuat, contoh lain dari Pasai, dan juga batu nisan Malik Ibrahim yang terkenal—berangka tahu 1419 Masehi—di Gresik, di sekitar Surabaya, Jawa Timur, tampaknya didatangkan ke Nusantara dari Cambay (Gujarat, di barat laut India) di masa agak kemudian. Keadaan ini mungkin menujukan salah satu sumber islam Nusantara.

Perubahan agama sebagian besar penduduk Jawa terjadi kemudian. Sekitar tahun 1368 batu nisan Islam dipahat di ibu kota Majapahit. Pemakaman di Tralaya berisi contoh khas dengan syair Islam beraksara Arab di salah satu sisi dan ragam hias Surya Majapahit, dan ragam hias Majapahit lain dengan tanggal perhitungan Jawa dan berdasar tarikh Saka.

Makam di Istana Majapahit justru hadir di masa kerajaan Hindu-Buddha masih merupakan kepercayaan mayoritas. Bentuknya juga menujukan sinkretisme adat Islam dan Jawa, karena dibentuk seperti batu-batu yang digoreskan piagam keagamaan Jawa Kuna. Batu nisan yang sama dari awal abad ke-15 ditemukan di bagian barat daya (Matan) dan Kalimantan utara (Brunei),

Di daerah berbahasa Melayu, batu nisan tertua memberi kesaksian sebuah peralihan bertahap satu budaya ke budaya lain. Batu Minye Tujoh (Aceh, 1380) dan Pangkalan Kempas (Semenanjung Malaka, 1476) memuat teks Melayu yang ditulis dengan aksara yang berasal dari India. Tahun-tahun pertama abad ke-14, piagam Trengganu (sekitar tahun 1303) ditulis dengan aksara Jawi, aksara Melayu yang diambil dari aksara Persia.

Sekitar tahun 1400 Masehi di tenggara semenanjung Malaka telah berdiri negara-bandar dagang Melayu terkenal, Malaka, dan dalam beberapa dasawarsa berubah menjadi negara Islam. Sudah barang tentu hal ini merupakan sebuah dukungan pengislaman di wilayah Asia Tenggara.

Berdasar atas pengamatannya sendiri, penjelajah Portugis, Tome Pires, menggambarkan luasnya, pengislaman yang terjadi sekitar tahun 1515, berarti tidak butuh lama untuk islam tumbuh cepat. Saat itu masyarakat Islam terdapat di sepanjang pantai timur Sumatra tetapi bukan di pantai barat atau pedalaman.

Mereka berdiam di pantai Jawa timur dan tengah, tetapi bukan di Jawa barat atau pun di pedalaman Jawa timur, dan tidak di bagian paling timur Jawa. Masyarakat Islam juga terdapat di kantung-kantung Kepulauan Maluku, Madura, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan yang mengalami pengislaman luar biasa pada abad ke-16 dan ke-17.

Konsep dan “Kegiatan” Baru

Tradisi arsitektur Islam memberi bentuk yang mengagungkan istana sultan, dan menawarkan bentuk baru pada bangunan, taman, seta makam umum dan religius. Kaligrafi berkembang dalam berbagai gaya, yang disesuaikan dengan bermacam sarana yang meliputi batu, kaca, kulit, bambu, rontal, kain, dan kayu yang sebelumnya telah digunakan.

Arsitektur Islam abad ke-15, seperti makam Sendang Duwur yang besar dan amat indah, di bagian timur laut Jawa (bertahun 1485), menujukan seberapa banyak tugu kepercayaan baru yang diperlihatkan pada arsitektur Hindu. Dengan cara yang sama, papan-papan masjid Mantingan yang diukir dengan hiasan menyatakan lahirnya seni hias Islam, khususnya Jawa, perkembangan yang dihentikan oleh keadaan ekonomi yang disebabkan penjajahan Belanda.

Penyesuaian lain tampak dalam konstruksi Masjid Nusantara dengan bentuk persegi, atap tumpang, dan tanpa menara. Masjid yang paling lama bertahan, seperti Demak, Sendang Duwur, Cirebon, dan Banten, memiliki unsur seperti itu, dan juga unsur lain termasuk sebuah kolam di sekitar serambi, atau ajungan yang menempel ke pintu masuk tempat para umat berkumpul untuk tujuan sosial sebelum dan sesudah shalat.

Adat Indonesia lain memengaruhi mihrab atau penanda yang menunjuk kiblat Mekah; mihrab menjadi ruang seperti gua yang cukup besar untuk seorang duduk di dalamnya dan berdoa. seperti petama masa pra-islam, dan mihrab kadang-kadang di bingkai dengan rancangan hiasan yang mengingatkan ragam hias kala-makara di relung pintu candi. Masjid dan makan seringkali dipagar tembok dengan satu atau lebih gerbang dalam bentuk candi bentar atau paduraksa, lagi-lagi seperti candi.

Masjid di Kudus menarik karena menggabungkan bangunan bata merah tinggi yang dirancang seperti sebuah candi pra-islam, namun disesuaikan untuk digunakan sebagai menara tempat bedug ditabuh untuk memberitahukan bahwa sembahyang akan dimulai. Menara di susun dengan piring-piring porselen yang mungkin meniru hiasan ubin Islam klasik.

Penggunaan ubin hiasan pada bagian luar masjid dan gugus pemakaman Indonesia mungkin dipinjam dari penerapan yang sama pada bangunan Islam di Timur Dekar, serta di Asia Selatan dan Tengah. Meski demikian ada beberapa bukti bahwa penggunaan ubin-ubin seperti itu telah dikenal di Indonesia pra-islam.

Menurut Babad Tanah Jawi, masjid Demak dibangun oleh arsitek dari Majapahit yang pindah ke sana setelah kerajaan Hindu itu dikalahkan oleh kekuatan Islam dari kerajaan bandar Demak. Pun Babad Tanah Jawi merupakan sumber yang kadang harus dibuktikan kebenarannya lagi, para arkeolog menemukan pecahan ubin yang sama di ibu kota Majapahit, Trowulan.

Tidak diketahui apakah ubin-ubin itu digunakan untuk menghias bangunan suci atau sekuler, mungkin pula untuk menghiasi kediaman para bangsawan dengan cara serupa dengan penggunaan ubin Belanda di Istana-istana Indonesia kemudian. Piring porselen juga telah digunakan untuk menghiasi dinding beberapa pura di Bali.

Masjid Demak, Cirebon, Banten, dan beberapa masjid Indonesia awal lainnya menggunakan empat tiang utama yang dikenal sebagai saka guru. Tiang-tiang besar itu juga digunakan untuk mendukung atap tumpang beberapa pura Bali. Atap ini dinamakan meru berdasarkan gunung perlambang di pusat alam semesta dan rumah bagi para Dewa.

Makam-makam Islam awal juga menujukan pendekatan kebiasaan perkembangan tradisi agama islam yang penting, yakni cara baru pengaturan mayat. Berbeda dengan adat Hindu, Buddha, atau tradisi masa prasejarah, yang berlaku sampai masa itu, jenazah dikubur, dibungkus dengan kafan, dan menghadap ke kiblat (mekah).

Islam memperkenalkan konsep baru tentang ruang, yang tidak lagi diarahkan ke delapan arah umum di sekitar titik pusat, namun dengan satu pusat yang terletak jauh ke barat Nusantara. Ke arah itulah jenazah harus menghadap, arah yang sama bagi mereka untuk menunduk ketika shalat lima waktu.

Tradisi Pemikiran Islam di Nusantara

Konsep tentang arah alam semesta ke satu pusat yang terletak di luar Nusantara ini tidak diterima sepenuhnya. Beberapa orang penting abad ke-15 dan ke-16 menilai ziarah ke Mekah adalah sebuah perjalanan biasa. Sultan Malaka merupakan salah satu diantaranya karena mempertahankan bahwa pusat dunia Islam berada di kerajaannya.

Hikayat Hang Tuah, sebuah syair kepahlawanan Melayu abad ke-17 yang terkenal, menggambarkan misi diplomatik dan perdagangan yang dilakukannya ke kerajaan-kerajaan penting masa itu: Konstantinopel, Cina, India, dan Mesir. Ia melakukan ziarah hanya bila dengan kesempatan dalam perjalanan ke barat, dan jelas baginya sebagaimana juga bagi rajanya, pusat dunia bukanlah di Mekah.

Salah seorang Indonesia penting yang naik haji dan yang mengunjungi beberapa pusat terkemuka dalam pencarian “mistiknya”, Hamzah Fansuri, diresmikan ke dalam persaudaraan sufi Qadiriyya. Sunan Gunung Jati, seorang tokoh yang membingungkan abad ke ke-16, salah satu dari wali-wali terkenal Islam di tanah Jawa, menurut beberapa cerita diduga merupakan anggota persaudaraan ( tarekat ) Naqshakabdiyya dan Shattariyya. Kenyataan persaudaraan ini tidak berkembang di Nusantara sampai akhir abad ke-17.

Para ahli kepercayaan baru sepertinya tertarik pada ilmu kebatinan. Ajaran wujudiyya muncul sebagai pusat intelektual abad ke-16. Berdasar ajaran itu alam semesta kemungkinan besar berisi perangkat abadi Tuhan yang menyatakan diri secara tetap dalam ciptaan-Nya.

Alam semesta, dan manusia di dalamnya, ikut serta dalam inti Tuhan. Akan tetapi alam semesta merupakan gelombang dalam lautan yang tak dapat dipahami, yaitu Tuhan.

Sebuah Syair terkenal waktu itu mengungkapkan, “Katakanlah, Aku adalah kenyataan tertinggi, janganlah takut. Selanjutnya gelombang menjadi laut” Ini tidak jauh dari pernyataan yang menyebabkan penganut ilmu kebatinan Persia Al-Hallaj menemui ajalnya di atas tumpukan kayu api di Baghdad awal abad ke-10.

Para ahli wujudiyya segera diserang dan dihukum oleh para cendekiawan ortodoks. Dua tokoh legendaris Islam Jawa lama disamakan dengan al-Hallaj, seraya mereka dihukum bakar hidup-hidup; Seh Siti Jenar, salah seorang dari Wali Sanga yang dihormati dengan “pengislamian Jawanya”, dan Sunan Panggung.

Keduanya dituduh memfitnah, namun tradisi Jawa tetap mengatakan bahwa keduanya adalah pemuja pengetahuan yang tinggi dan perilaku mereka justru disalahtafsirkan.

Hanya sedikit karya Islam Melayu dan Jawa ditulis sebelum abad ke-17 yang terpelihara. Karya-karya itu terpelajar dan memuat pemikiran halus tentang sifat Tuhan dan tulisan tentang kepercayaan.

Karya-karya itu meliputi terjemahan Melayu Aqa’id dan al-Nasafi, Burdah dari al-Busri, dan risalah Melayu asli oleh Hamzah Fansuri— Sharah al-Ashiqin, Minuman para Pencinta—atau yang disebut “Nasihat Seh Bari” dalam bahasa Jawa. Karya-karya ini jelas tidak dimaksudkan untuk orang biasa.

Pada awal Islam di Nusantara tentu saja terkait hubungannya dengan dunia Islam yang lebih luas dan latarbelakang setempat. Karya-karya sufi Jawa abad ke-16 dan Aceh awal abad ke-17 memberikan gambaran beberapa luas ajaran sufi yang dapat ditemukan dalam kepustakaan sufi di mana pun, tetapi karya dari Jawa secara khusus memasukkan citra Hindu-Jawa dalam menyampaikan pesan-pesannya.

Sekolah Qur’an pedesaan— pesantren, tempat orang Islam saleh—yang sangat penting di Jawa dan pulau lain sebagai pusat pendidikan Islam, tidak dicatat sebelum abad ke-18. Meski demikian pesantren-pesantren itu berhubungan dengan masyarakat keagamaan masa Hindu-Buddha; Mandala dan Dharma.

Mungkin tampak bahwa dalam masa Islam paling awal, pendidikan keagamaan diberikan dalam jenis sekolah yang terpencil dan jauh dari pusat-pusat politik. Tampaknya bahwa beberapa ciri khas Islam Indonesia telah ada sejak masa paling awal, sepeti perdebatan antara ilmu kebatinan wujudiyya dan pengikut tradisi Islam ortodoks yang tetap ada sejak saat itu, dan membentuk dasar persoalan-persolanan dalam Indonesia kontempoter.

Tradisi Islam yang Berkelanjutan

Ketika Islam masuk, mengakar, dan menyebar di Nusantara, unsur tersebut menciptakan budaya yang bersumber pada ajaran Islam di negeri asalnya, namun secara lahiriah Islam di Nusantara berdiri di atas pondasi kepercayaan lama dan menunjukkan kesinambungan dengan sifat pra-Islam.

Perubahan paham utama menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Kesinambungan paling abadi menyangkut golongan atas masyarakat, dengan istana tetap merupakan titik pusat arah budaya dan bangsawan tetap menjadi sumber utama permintaan dan penawaran seni tinggi.

Seniman-seniman Indonesia meringkas sejumlah konsep Islam dari acuan Arab mereka dan menyesuaikan dengan suasana setempat Nusantara. Penyesuaian-penyesuaian ini tampak dari Aceh sampai Maluku.

Dalam Kaligrafi, misalnya, orang Indonesia menciptakan bentuk sosok manusia dan sosok satwa yang disamarkan, “menghindari” pelanggaran larangan Islam atas penggambaran makhluk hidup.

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, banyak terjadi perubahan; sunatan dan pemakaman menjadi baku bagi orang Islam Nusantara. Sementara itu kegiatan “non-Islam” lainnya berubah, misalnya hukum waris dan pernikahan.

Di beberapa daerah, Islam memang gagal mengganti kepercayaan dan kegiatan sebelumnya, contoh paling jelas adalah Bali, yang menganut agama yang telah lebih dahulu mereka percayai dengan taat selama berabad-abad bahkan ketika islam sudah tersebar luas di pulau-pulau sekitarnya.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa keberadaan mistik Islam memudahkan agama baru ini masuk ke dalam budaya yang sudah ada sebelumnya di Nusantara. Kegiatan bersemadi di kubur tampaknya menjadi suatu kesinambungan dari kebiasaan bersembahyang pra-Islam di candi-candi yang berisi patung raja yang meninggal, dan juga tradisi penghormatan terhadap arwah nenek moyang di masa yang jauh.

Meski demikian, para peneliti lain saat ini yakin bahwa ziarah makam bukan berasal dari sistem keyakinan Nusantara, melainkan menandai kegiatan baru yang hanya mempunyai hubungan tidak langsung dengan adat sebelumnya. Kaum sufi dan shi’ite di negara-negara lain, antara lain India, Pakistan, Iran, Irak, dan Bahkan Saudi Arabia, melakukan ziarah serupa.