almanak

Rempah Rempah; Sejarah, Petaka dan Anugerah

Rempah, kain indah, logam mulia, batu permata, dan kayu barus di hargai orang sepanjang masa. Rempah diberikan kepada raja dan kerajaan sebagai hadiah atau upeti. Bersama tanaman obat-obatan yang konon bisa melanggengkan usia, rempah pernah menjadi dasar standardisasi obat dan mantra.

PublishedOctober 6, 2015

byDgraft Outline

Rempah rempah pernah bernilai seberat emas, dan sumbernya terselubung dalam kerahasiaan. Karena penting dalam perdagangan internasional, rempah-rempah telah membangkitkan gairah politik dan kekuasaan-kekuasaan baru.

Di Nusantara, rempah ini merupakan bagian dari sejarah “kelam” dan juga cerita kebanggaan dari masa keemasan perdagangan. Nusantara pada masa itu seolah menjadi tanah yang dijanjikan.

Kapan perdagangan rempah rempah internasional dimulai untuk saat ini belum begitu jelas tentang catatan sejarahnya. Meskipun begitu, kita bisa menggali lebih jauh tentang bagaimana rempah-rempah dikenal dan menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Syahdan,…

pada abad ke-4 Sebelum Masehi raja-raja Cina mengirim beberapa orang untuk mencari bahan-bahan yang dapat memperpanjang usia dan rahasia tentang hidup kekal.

Mereka kemudian berkelana ke pulau-pulau menakjubkan. Namun, banyak di antara orang-orang yang pergi itu tidak pernah kembali. Sebagian dianggap telah mencapai Jepang dan tinggal dengan damai.

Sebagian lagi kabarnya tiba di India, dan bahkan ada yang mencapai benua yang kelak disebut Amerika. Kemisteriusan orang-orang yang tidak pernah kembali itu justru telah menambah semangat orang Cina lainnya untuk terus melakukan penjelajahan, kali ini mereka mengarungi perjalanan laut yang penuh dengan risiko.

Seabad kemudian, pada masa Cina dikuasai oleh Dinasti Han ada peraturan ketat untuk para pejabat Kekaisaran dan utusan lainnya, bahwa mereka harus terlebih dahulu mengunyah cengkih ketika akan menghadap Sang Kaisar.

Rupa-rupanya, orang Cina itu telah berhasil mendarat di sebuah tempat asal “obat panjang usia” yang tumbuh dengan subur di Maluku.

Jauh sesudahnya, sejumlah kronik Cina yang ditulis pada abad ke-14; catatan bertarikh 1350, memuat kabar bahwa Maluku sebagai asal cengkih dan kapal-kapal pengelana dan pedagang Cina yang dahulu telah berhasil berlayar langsung ke daerah itu mulai mengurangi intensitasnya.

Cengkih sudah dengan mudah mereka dapatkan di Banda-bandar dagang—selain pedagang Cina, Pedagang Jawa, Sumatra, India, Gujarat, dan Arab telah mengetahui nilai ekonomi dari komoditas cengkih.

Sejarah pelayaran guna menemukan rempah-rempah, selain dilakukan bangsa Cina pada abad ke-3 Sebelum Masehi—dan kelak bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16 Masehi—cengkih ternyata telah lama digandrungi oleh bangsa Mesopotamia, bahkan sejak 1.700 Sebelum Masehi!

Hal ini sekurang-kurangnya didasarkan bukti arkeologis dari penemuan jambangan di situs penggalian Terqa, Efrat Tengah, Syria yang berisi cengkih.

Terqa masa lalu, adalah salah satu wilayah dari peradaban Mesopotamia. Penggalian yang dilakukan oleh arkeolog Giorgio Buccellati di rumah seorang —yang diperkirakan pedagang—membuatnya terkagum-kagum.

Awalnya sang arkeolog juga tidak percaya, setelah diteliti bersama rekannya yang ahli paleobotani (botani purbakala), Kathleen Galvin, yakin lah ia bahwa benda tersebut memang cengkih.

Bagaimana cengkih yang hanya tumbuh di Maluku itu bisa mencapai wilayah Mesopotamia? Dan yang lebih mencengangkan lagi bagaimana bisa pada abad ke-17 Sebelum Masehi? Saat ini, kami masih mencari tahu.

Sejauh ini Jika kita menelaah sumber-sumber Romawi Kuno, seperti catatan Pliny The Elder (Si Tua Pliny) yang diperkirakan hidup awal Masehi, maka akan didapati informasi tentang sekelompok pelaut gagah berani dari Timur.

Juga dari Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi Yunani dalam bukunya “Geographike Hyphegesis” yang menyebut daerah-daerah di timur jauh bernama Argyre (berarti perak atau Merak?) yang terletak di sebelah barat Iabadiou.

Iabadiou ini ada yang menyamakan dengan Jawa, ada juga yang menyamakannya dengan Kalimantan, dan Pulau Sumatra. Tapi jelaslah bahwa yang dimaksud adalah Nusantara.

Pedagang dari Timur datang ke Yunani membawa pelbagai barang dagang yang “eksotis” termasuk diantaranya kayu manis yang disebut cassia. Hingga 500 tahun Sebelum Masehi, nyatanya orang-orang kaya di kota-kota Yunani telah memelihara burung merak di pekarangan mereka, seiring dengan perdagangan antara Yunani, Romawi, dan India menjadi pesat.

Perlu digarisbawahi, baik kayu manis atau burung merak tersebut ditenggarai berasal dari Nusantara. Walau tulisan-tulisan Yunani kuno itu tidak bersangkutan paut dengan cengkih, dapat kita bayangkan bahwa pengangkutan burung merak dan juga cassia itu bersamaan dengan pengangkutan rempah rempah seperti cengkih.

Akan tetapi, keberadaan cengkih di Mesopotamia—38 abad yang lalu—tetap merupakan sebuah misteri. Apakah para pelaut Maluku yang terkenal berani itu telah membelah samudra sepanjang ratusan mil ke negeri para nabi—Jika memang cengkih tersebut dibawa oleh mereka—atau orang Mesopotamia mendapatkan cengkih dari pelaut Arab, Afrika atau India yang telah membawa rempah rempah itu dari Maluku? Sekali lagi, kami belum tahu.

Sebelum para pelaut Eropa terlibat langsung dalam perdagangan dan distribusi cengkih pada abad ke-16, cengkih yang ada di seluruh dunia itu hanya berasal dari lima pulau di barat Halmahera: Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore.

Cengkih bersama komoditas terkenal lainnya seperti wewangian, kayu cendana, bulu cenderawasih, lada dan pala, cula badak, intan, emas, rotan, dan barus pernah menjadi primadona yang membuat para pedagang dari seluruh penjuru dunia berlomba-lomba mendapatkannya, menguasainya, dan bahkan tak ayal dengan melakukan berbagai cara.

Sejarah setidaknya mencatat bahwa rempah rempah itu memang telah menjadi anugerah,tapi sekaligus petaka yang mengerikan.

Perdagangan dan Perang untuk Rempah Rempah

Sebelum Portugis tiba di Pulau Banda tahun 1512, perdagangan rempah dilakukan oleh pelaut Gujarat, Arab, Jawa, Cina, dan Sumatra yang berhubungan dengan para tengkulak Venesia.

Mengharap menemukan rempah rempah baru, cadangan baru, jalur lebih baik, kemasyhuran, dan harta kekayaan, membangkitkan pelayaran besar-besaran dilakukan untuk menemukan sumber awal—seperti yang dilakukan oleh orang Eropa abad ke-15 dan ke-16.

Tiga abad kemudian, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris bertempur untuk me-monopoli, mengawasi, dan menghancurkan rempah rempah.

Rempah tercatat telah diimpor ke Constantinopel abad ke-6 dan menyebar di antara bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-12. Sampai abad ke-18 pulau Banda, meliputi wilayah yang luasnya 50 km2 , merupakan satu-satunya sumber pala dan bunga pala di dunia.

Sumber rempah rempah ini tertutup, hanya untuk beberapa pedagang Arab, sampai Portugis menemukan pulau itu awal abad ke-16. Pada saat itu, pulau ini merupakan tempat penyaluran barang-barang penting, juga perdagangan cengkih dari Ternate dan Tidore, bulu burung cenderawasih, serta budak.

Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku setelah pelaut dan Pedagang Cina mengurangi intensitasnya, distribusi rempah khususnya ke belahan barat ditangani orang-orang Melayu Sumatra, Jawa, Makasar, dan Banda—terletak di selatan Maluku, penghasil pala dan bunga pala yang sangat terkenal pada abad ke-17).

Para pedagang Maluku membawa rempah-rempah mereka ke pelabuhan untuk dijual kepada pedagang yang kebetulan lewat. Orang Portugis lah yang meminta untuk memisahkan cengkih dari daun dan ranting, mengeringkan, lalu memasukkan ke dalam karung.

Selanjutnya pembudidayaan baru dari rempah-rempah terutama cengkih dan pala ini dilakukan oleh penduduk di wilayah Maluku dan Banda sebagai penyesuaian akan kebutuhan pedagang-pedagang Eropa.

Akhirnya Belanda dan Inggris datang membangun benteng; banyak yang hilang dalam merebut kekuatan dan keuntungan. Untuk mengatur monopoli perdagangan pala, Belanda menebangi pohon rempah yang berada di wilayah jauh dari pengawasan VOC, antara tahun 1652-1653

Dikenal dengan politik extirpatie (pemusnahan) agar tetap mengendalikan dan menjaga harga yang tinggi di pasaran Eropa, Belanda ber tindakan di luar batas. Banyak laki-laki Banda harus kehilangan nyawa.

Mereka juga membagi tanah antara kelompok bekas narapidana dan petualang yang menggunakan budak belian untuk memanen pala. Hampir 50 tahun setelahnya, Inggris menyerahkan lebih dahulu Run di barat pulau Banda untuk ditukar dengan Pulau Manhattan milik Belanda. Sementara itu Inggris mengambil pala ke Penang dan India Barat.

Pala

Pala ( Myristica fragans ) merupakan pohon hutan yang kecil tinggi sekitar 18 meter. Tumbuh baik di keteduhan pohon tinggi lainnya. Tumbuhan ini berkulit abu-abu tua, dau mengkilat panjang, seperti rhododendron, bunga kecil kuning, serta menghasilkan buah berukuran dan berwarna seperti aprikot.

Pembelahan terbuka ketika masak menampakkan biji coklat mengkilap dengan aril seperti jala berwarna merah cerah yang menarik kawanan burung besar yang merupakan pelaku utama persebaran biji pala.

Ketika kering, aril dijual sebagai bunga pala dan biji bagian dalam ditumbuk menjadi tepung pala. Pala dan bunga pala digunakan sebagai penyedap, pengawet, obat,serta parfum, dan bahan kosmetik.

Bunga pala terasa sama dengan pala tetapi lebih halus dan karena itu lebih mahal. Kulit pohon pala tipis dan ketika digores menghasilkan cairan merah, yang ketika kering berwarna gelap sampai warna darah kering.

Cengkih

Cengkih (Syzgium aromaticum) merupakan pohon rendah, mencapai tinggi 9-12 meter. Banyak daerah Nusantara mempunyai sisi bukit yang ditumbuhi pohon berujung khas dengan daun hijau-oranye-kemerahan ini.

Seperti kebanyakan tumbuhan bawah pohon, cengkih tidak dapat berbiak pada matahari penuh dan mempunyai biji yang dapat berkecambah dalam waktu yang relatif pendek.

Cengkih ditanam dengan biji di persemaian yang teduh dab ditanam setelah dua tahun. Penggunaan cengkih yang sebenarnya adalah bunganya, se-gugus bunga yang tumbuh di ujung cabang.

Bunga yang belum terbuka itu dipetik hati-hati dan keringkan di bawah matahari sebelum ditumbuk atau digunakan seluruhnya. Pohon setinggi 8 meter menghasilkan 2-3 kilogram cengkih kering per-tahun.

Cengkih dikenal oleh orang Cina abad ke-3 Sebelum Masehi, yang mendatangkan nama warna-warni, Ordiferous nail. Cengkih digunakan di Eropa abad ke-4. Sebelum Belanda langsung terlibat, semua cengkih di dunia datang dari hanya lima pulau kecil di sebelah barat Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan.

Walaupun pala dan bunga pala dijual secara besar-besaran, cengkih yang menguasai perdagangan sehingga berarti nilai moneter pada waktu itu.

Kini, sulawesi utara menanam seperempat cengkih nasional, diikuti Jawa tengah, Lampung, dan Sumatra Barat.

Saat ini Pulau Banda menghasilkan sedikit pala, kebanyakan datang dari Sulawesi, Grenada, dan Sri Lanka; walaupun masih mungkin mengunjungi rumpun pala yang wangi di bawah knopi pohon Canorium di Lontar, Pulau Banda yang terbesar.

Banyak daerah Indonesia “demam cengkih”; tanah tandus dan pinggir hutan mereka tanami cengkih dengan harapan mendapat keuntungan. Harapan petani sia-sia akibat harga rendah, serta hama seperti kumbang pengerek, yang menghabiskan ribuan hektare perkebunan cengkih selama sejarahnya.

Cengkih memang sempat menjadi primadona yang digunakan untuk bumbu masakan, kesehatan dan pemeliharaan gigi, namun kini sebagian besar di antaranya digunakan untuk perusahaan kretek.

Kira-kira 85% dari hampir 30.000 ton cengkih Indonesia digunakan setiap tahun untuk industri rokok. Namun, seperempat jumlah itu sekarang diimpor, terutama dari Zanzibar, Afrika Timur.