almanak

Tollense Ungkap Kisah Kelam Prasejarah di Eropa

Sebelum tahun 1996, Lembah Tollense belum menarik perhatian dunia jika saja tidak ditemukan tulang-belulang dan barang-barang perunggu dari periode 1250 Sebelum Masehi.

PublishedApril 21, 2016

byDgraft Outline

Sepanjang hamparan Sungai Tollense, arkeolog dari Departemen Pelestarian Bersejarah Mecklenburg-Vorpommern (MVDHP) dan University of Greifswald (UG) telah menemukan pemukul dari kayu, ujung tombak perunggu, proyektil batu, dan mata panah perunggu.

Mereka juga menemukan tulang dalam jumlah yang luar biasa: setidaknya lima kuda dan lebih dari 100 orang. Tulang dari ratusan lebih orang lainnya mungkin belum tergali karena setiap lapisan tanah Tollense ternyata menyimpan misteri.

Ketika hanya ditemukan artefak mata panah yang menancap pada tulang manusia di tahun 1996, belum ada yang menduga bahwa Tollense, sekitar 120 kilometer sebelah utara Berlin itu adalah medan perang.

Namun setelah serangkaian ekskavasi tahun 2009 dan 2015 tersebut, para peneliti kini mulai membicarakan Tollense tidak hanya sebagai bukti dari peradaban Zaman Perunggu di Eropa, tapi kisah pertempuran dan implikasinya untuk masa itu.

Andrew Cury mengangkat kisah Tollense ini dalam sciencemag.org (24/3/2016), dan laporan tersebut juga telah diterbitkan dalam Seri Jurnal Science (25 Maret 2016) dengan judul “ Slaughter at the bridge ”.

Eropa Utara pada Zaman Perunggu memang dianggap sebagai wilayah yang minim peranannya. Kawasan ini dibayangi oleh peradaban yang lebih maju dari beberapa wilayah Timur Dekat dan juga Yunani.

Temuan perunggu di Tollense mungkin memang dipengaruhi atau dibuat dari wilayah-wilayah di Timur Dekat sekitar 3200 SM dan baru menyentuh Eropa Utara 1.000 tahun kemudian.

Tapi situs Tollense justru menunjukkan karakteristik Zaman Perunggu yang lebih terorganisir—dan lebih banyak bukti kekerasan—dari dugaan sebelumnya.

“Kebanyakan orang berpikir masyarakat kuno damai dan bahwa orang-orang yang hidup di Zaman Perunggu hanya peduli pada perdagangan dan sebagainya,” kata Helle Vandkilde, seorang arkeolog di Aarhus University Denmark.

“Sangat sedikit yang berbicara tentang perang,” ungkapnya.

“Jika hipotesis kami benar, bahwa semua temuan mengarah pada peristiwa yang sama, kita sedang berhadapan dengan konflik di Pegunungan Alpen yang hingga kini benar-benar belum diketahui,” kata co-director penggalian, Thomas Terberger.

“Tidak ada pembandingnya. Bahkan mungkin bukti—berhubungan dengan senjata dan prajurit—pertempuran dari skala ukurannya belum pernah terjadi di tempat lain pada masa lalu,” ungkap Terberger yang juga seorang arkeolog di Lower Saxony, lembaga pemerintah untuk Warisan Budaya di Hannover.

Sebelum temuan di Tollense, bukti langsung peperangan besar-besaran di Zaman Perunggu memang bisa dikatakan minim, terutama untuk wilayah Eropa.

Catatan sejarah dari Timur Dekat dan Yunani walaupun banyak menggambarkan pertempuran epik, tetapi bukti artefak menunjukkan klaim tersebut hanyalah ‘kesombongan sejarah’.

“Bahkan di Mesir, walaupun terdapat banyak kisah perang, kita tidak pernah menemukan bukti arkeologi dalam skala besar baik dari sisi jumlah yang terlibat dan juga korban,” jelas arkeolog Barry Molloy dari University College Dublin (UCD).

Hampir 10.000 tulang yang ditemukan—korban dari pertempuran Tollense—mengubah semua jalannya cerita pada Zaman Perunggu di Eropa.

1.478 tulang dan 20 tengkorak bisa ditemukan di tempat yang hanya seluas 12 meter persegi. Arkeolog berpikir mayat-mayat korban Tollense telah terjatuh atau dibuang di kolam yang dangkal, hingga tulang dari individu yang berbeda bercampur.

Setelah penghitungan yang sepsifik pada tengkorak dan tulang paha, Ute Brinker dan Annemarie Schramm, antropolog forensik dari UG, mengidentifikasi minimal 130 orang terlibat dan hampir semua korban adalah laki-laki berusia antara 20 – 30 tahun.

“Minimal 130 orang dan lima kuda. Dan kita hanya membuka 450 meter persegi. Itu 10% dari seluruh area, paling banyak, mungkin hanya 3% atau 4%, “kata Detlef Jantzen, kepala arkeolog di MVDHP.

“Jika kita menggali seluruh daerah, mungkin akan ada 750 orang. Itu jumlah yang luar biasa untuk [peperangan] Zaman Perunggu.”

Detlef Jantzen dan Terberger memperkirakan—secara kasar dan sederhana—bahwa jika satu dari lima orang yang ikut dalam pertempuran ini tewas atau ditinggalkan di medan perang, berarti hampir 4000 prajurit mengambil bagian dalam pertempuran di Tollense.

Mereka adalah Prajurit-Prajurit Terlatih

Mengapa orang-orang berkumpul di satu tempat dan berperang hingga meregang nyawa adalah misteri lain dari Situs Tollense yang coba diurai oleh para arkeolog.

“Kami mempertimbangkan skenario penggerebekan, sekelompok kecil pemuda membunuh dan mencuri makanan,” kata Svend Hansen, kepala Departemen Archaeologi German Archaeological Institute’s (DAI) di Berlin.

“Tapi membayangkan pertempuran besar dengan ribuan orang itu sangat mengejutkan.”

Dari bukti yang ada, para peneliti menyimpulkan bahwa pertempuran di Tollense mengarah pada keberadaan kelas prajurit terlatih. Bahkan kuat dugaan bahwa orang-orang dari seluruh Eropa terlibat dengan keributan berdarah tersebut.

“Mereka bukan para petani yang bersenjata kemudian sengaja pergi keluar setiap beberapa tahun untuk tawuran. Mereka adalah pejuang profesional,” ungkap Thomas Terberger.

Temuan senjata dari logam dan kuda setidaknya memberi bukti bahwa beberapa pejuang yang ikut berperang memang dilengkapi dengan alat dan perlengkapan yang baik.

Pelindung tubuh dan perisai bisa saja sudah muncul di Eropa utara pada abad-abad sebelum konflik Tollense dan bisa menjadi bukti adanya kelas ksatria.

“Jika Anda berperang dengan pelindung tubuh, helm, dan corselet, Anda membutuhkan pelatihan setiap hari atau Anda tidak bisa bergerak,” kata Hansen.

Analisis genetik mendukung gagasan beragamnya wilayah asal prajurit yang ikut berperang. Perbandingan dengan sampel lain dari Zaman Perunggu di seluruh Eropa mampu memperkirakan hal itu.

“Mereka bukan sekelompok preman lokal,” kata Joachim Burger, ahli genenetik University of Mainz. “Mereka terdiri dari populasi yang sangat beragam.”

Mengumpulkan orang-orang berbeda di satu tempat adalah ‘prestasi’ luar biasa. Namun karakteristik tentara seperti itu setidaknya bisa kita pahami dari cerita Homer yang mengisahkan perang Troya—bahkan terjadi 100 tahun kemudian dari peristiwa di Tollense, 1184 SM.

Homer mengisahkan banyak kelompok-kelompok tentara yang terlibat dalam perang terdiri dari prajurit-prajurit bayaran atau ksatria yang sedang mencari keagungan.

Temuan di Tollense mungkin bisa memaksa evaluasi ulang dari periode sejarah di wilayah Baltik hingga Mediterania, kata arkeolog Kristian Kristiansen dari University of Gothenburg Swedia.

“Ini akan membuka pintu bagi banyak bukti baru tentang organisasi masyarakat pada Zaman Perunggu,” tegasnya.

Misalnya, bukti kuat menunjukkan bahwa perang Tollense bukan pertempuran pertama untuk orang-orang ini. 27% dari kerangka yang ditemukan menunjukkan tanda-tanda dari luka yang sudah sembuh, mungkin mereka dapatkan dari perkelahian sebelumnya.

Tapi mengapa kekuatan militer yang begitu banyak berkumpul di lembah sungai sempit di Jerman utara? Kristiansen mengatakan periode ini tampaknya memang merupakan perubahan era pergolakan yang signifikan dari Mediterania ke Baltik.

“Sekitar 1200 Sebelum Masehi, ada perubahan radikal tujuan dan arah budaya dalam masyarakat,” kata Vandkilde.

“Ini bisa menjadi bukti pertama dari titik balik dalam organisasi sosial dan perang di Eropa,” ungkap Vandkilde. “Tollense cocok menjadi periode ketika kita telah meningkatkan peperangan di mana-mana.”

Dari karakteristik zaman dan pertempuran dengan kehadiran kelas prajurit yang pandai menghunus senjata, Tollense memang menawarkan bukti untuk melihat bagaimana Eropa bisa berevolusi dan ‘akrab’ dengan peperangan yang terorganisir hingga abad modern.