almanak

Kesultanan Jambi: Sejarah, Wilayah, dan Perkembangan

Nama Jambi sebagai sebuah kerajaan mungkin kurang popular di telinga kita. Di Sumatra, kerajaan-kerajaan seperti Samudra Pasai atau Aceh Darussalam lebih dikenal dalam peta sejarah yang memiliki khazanah kesusastraan yang kaya.

PublishedSeptember 15, 2016

byDgraft Outline

Diakui, data tertulis tentang Kesultanan Jambi dalam bentuk hikayat atau tambo dirasakan sangat kurang. Namun demikian, bukan berarti tak ada data historiografi yang berkaitan dengan Kesultanan Jambi ini.

Table of contents

Open Table of contents

Sungai Batanghari sebagai Gerbang Masuk

Sebelum masa Islam, di wilayah Jambi pernah berdiri sebuah kerajaan bercorak Buddha, yakni Kerajaan Malayu pada abad ke-7. Berita tentang adanya Kerajaan Malayu ini dapat dilacak pada kronik karya I-tsing.

I-tsing menulis bahwa Kerajaan Mo-lo-yu (Malayu) terletak di antara Sriwijaya dengan Kedah ( Chiech-cha ), di mana Sriwijaya terletak di sebelah timur/tenggara Malayu, sejauh lima belas hari pelayaran. Atas dasar catatan I-tsing itu, maka Kerajaan Malayu harus berada di Selat Malaka dan di sebelah barat atau barat laut Sriwijaya.

Selain sebagai nama kerajaan, Malayu pun digunakan sebagai nama ibu kota kerajaan dan pelabuhan di kerajaan tersebut (penyebutan yang sama terhadap nama kerajaan, ibukota, pelabuhan, bahkan sungai merupakan kebiasaan zaman dahulu).

Dengan begitu, ibu kota Malayu dipastikan terletak di tepi laut. Karena jalan yang menghubungkan pelabuhan/ibukota dengan wilayah pedalaman di Jambi adalah Sungai Batanghari, maka pelabuhan Malayu kiranya terletak di muara Sungai Batanghari (Muljana, 1981:33).

Ketika pulang dari Nalanda di India, I-tsing memberitahukan dalam bukunya yang selesai ditulis pada 692 M, bahwa Kerajaan Malayu ternyata telah menjadi bagian Kerajaan Shih-li-fo-chih (Sriwijaya). Pencamplokan atas Malayu adalah karena Sriwijaya sedang mengembangkan wilayah kekuasaannya, terutama di Selat Malaka.

Pada abad ke-13, letak ibukota Malayu telah bergeser ke pedalaman di daerah Dharmasraya, sekitar Sungai Langsat. Salah satu bukti pergeseran letak ibu kota ini adalah adanya Prasasti Adityawarman yang dipahat di sisi belakang arca Amoghapasa yang bertarikh 1347.

Adityawarman menyebutkan negaranya sebagai Malayapura. Yang dimaksudkan Malayapura ini besar kemungkinan adalah Suwarnabhumi atau Malayu yang terpahat pada Prasasti Kertanagara, yang juga terpahat pada arca Amoghapasa.

Nama Malayapura rupanya bukan “ciptaan” Adityawarman sendiri, karena pada Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Srilangka nama itu telah tercatat.

Selat Malaka, di mana Sungai Batanghari bermuara, merupakan salah satu jalur perdagangan internasional sejak abad ke-7. Fakta ini dapat dilacak dari berita Cina.

Selain memberikan sekilas gambaran mengenai keberadaan Kerajaan Malayu, berita Cina pun, salah satunya kitab Pei-hu-lu tahun 875 M, memberikan petunjuk bahwa Chan-pei (lafal Cina untuk Jambi) sudah didatangi para pedagang Po’sse (orang-orang Parsi).

Pedagang Po’sse ini mengumpulkan barang dagangan berupa buah pinang. Buah pinang ini oleh Poesponegoro (2008: 40) dihubungkan dengan kata jambe dalam bahasa Sunda dan Jawa yang berarti “pohon/buah pinang”, dan dengan demikian ia mengandaikan bahwa istilah jambi berasal dari kata jambe.

Bila pendapat ini benar, apakah mungkin dulu kata jambe digunakan oleh komunitas yang lebih luas, yakni orang-orang Melayu dan Sumatra dan bukan hanya orang Sunda/Jawa saja?

JBerita Cina tadi diperkuat dengan data arkeologis berupa temuan pecahan kaca bewarna gelap dan hijau muda di Muara Saba, juga dari Muara Jambi berupa pecahan kaca bewarna biru tua dan biru muda, hijau, kuning, dan merah tua serta sejumlah permata yang diperkirakan dari abad ke-10 hingga ke-13 yang berasal dari Arab dan Persia.

Penemuan pecahan kaca dari Wonorejo, Kabupaten Tanjung Jabung, diperkirakan berasal dari abad yang sama.

Putri Salaro/Selaras Pinang Masak

Berdasarkan temuan-temuan arkeologis tersebut dapat dibuat tafsiran bahwa kehadiran Islam di wilayah Jambi terjadi sejak abad ke-10 hingga ke-13 walau islamisasi yang terjadi masih bersifat secara perseorangan. Sedangkan islamisasi besar-besaran di Jambi terjadi sejak awal abad ke-16, yang ditandai dengan pemerintahan Orang Kayo Hitam, anak Paduka Berhala.

Menurut Undang-undang Jambi, tokoh Datuk Paduka Berhala adalah seorang Turki yang terdampar di Pulau Berhala (kemudian disebut pula sebagai Ahmad Salim) dan menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak, seorang putri pribumi Muslim, keturunan raja-raja Pagaruyung.

Pernikahan mereka melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Jambi yang terkenal. Dengan begitu, persebaran Islam sebetulnya telah ada sejak pertengahan abad ke-15, tepatnya tahun 1460 bila kita merujuk saat Datuk Paduka Berhala terdampar dan menikah dengan Putri Pinang Masak.

Di sini kita melihat bahwa ada hubungan antara Kerajaan Jambi dengan apa pun yang berkaitan dengan Kerajaan Malayu sebelumnya; dan yang menghubungkannya tak lain adalah Putri Selaro/Selaras Pinang Masak.

Sosok Putri ini pula yang membuat masyarakat Jambi menerima kelahiran Kesultanan Jambi, bukan karena peran atau keberadaan Datuk Paduka Berhala yang jelas merupakan orang Turki.

Putri Pinang Masak, bila ditelusuri asal-usulnya, masih keturunan Adityawarman yang merupakan peletak dasar Kerajaan Pagaruyung. Dari sosok Putri inilah sebetulnya Kesultanan Jambi mendapatkan sokongan dan dukungannya dari rakyat Jambi.

Seperti diketahui bahwa Adityawarman setelah ditempatkan menjadi raja di Kerajaan Malayu oleh Mahapahit tahun 1347, lalu menaklukkan Tanah Datar dan lantas mendirikan kerajaan baru bernama Pagaruyung, Sumatra Barat.

Orang Kayo Hitam

Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, pernikahan antara Datuk Paduka Berhala dengan Putri Pinang Masak melahirkan empat orang anak: Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran/Kedataran, Orang Kayo Gemuk (seorang putri), dan Orang Kayo Hitam.

Orang Kayo Hitam menikah dengan Putri Mayang Mangurai (yang berarti Putri Rambut Panjang), anak gadis Tumenggung Merah Mato. Oleh Tumenggung Merah Mato, Orang Kayo Hitam dan Putri Mayang Mangurai diberi sepasang angsa serta Perahu Kajang Lako.

Kepada anak dan menantunya ia berpesan agar menyusuri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan baru itu dan bahwa tempat baru itu haruslah tempat di mana sepasang angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.

Setelah beberapa hari menyusuri Sungai Batanghari, kedua angsa naik ke darat di sebelah hilir Kampung Tenadang (kini Kampung Jam). Sesuai dengan amanah mertuanya, Orang Kayo Hitam dan istrinya beserta pengikutnya mulai membangun kerajaan baru yang kemudian disebut “Tanah Pilih”.

Tanah Pilih ini lalu dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya. Kemungkinan besar, saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, banyak pohon pinang tumbuh di sepanjang aliran Sungai Batanghari, sehingga nama itu, “Jambi”, yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.

Dikisahkan bahwa raja Jambi yang terkenal adalah Orang Kayo Hitam. Raja ini dikatakan melakukan hubungan dengan Majapahit. Orang Kayo Hitam diceritakan pergi ke Majapahit untuk mengambil keris bertuah yang kelak akan dijadikan sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi.

Keris itu dinamakan Keris Siginjai, terbuat dari kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya dijadikan sekadar lambang mahkota kesultanan Jambi, namun juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.

Dalam Sila-sila Keturunan Raja Jambi dikatakan bahwa Datuk Paduka Berhala digantikan oleh Orang Kayo Pingai dan kemudian Orang Kayo Pedataran. Ada pun Orang Kayo Hitam, anaknya yang bungsu, di kemudian hari mendirikan pemukiman baru yang kelak menjadi ibukota Kesultanan Jambi.

Orang Kayo Hitam kemudian diganti oleh Panembahan Hang di Aer yang setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas, sehingga terkenal dengan Panembahan Rantau Kapas.

Sultan Jambi terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada awal abad ke-20. Selain Siginjai, ada sebuah keris lagi yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota).

Pada 1903, Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).

Wilayah Kesultanan Jambi, Sistem Administrasi Pemerintahan, dan Raja-raja Jambi

Ada yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi sembilan buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang): Batang Asai, Batang Merangin, Batang Masurai, Batang Tabir, Batang Senamat, Batang Jujuhan, Batang Bungo, Batang Tebo, dan Batang Tembesi.

Batang-batang ini merupakan anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya merupakan wilayah Kesultanan Jambi. Ada pun yang menjadi ibukota Kesultanan Jambi adalah Tanah PIlih.

Setelah ibukota baru ditetapkan, maka dibentuklah undang-undang bernama Undang Nan Delapan yang mengandung hukum syariat Islam.

Juga, diadakan perombakan sistem administrasi pemerintahan yang membagi negeri Jambi ke dalam 9 kalbu yang masing-masing dipimpin oleh anggota keluarga kesultanan dan para kerabat. Kesembilan kalbu itu adalah:

  1. Kalbu VII-IX Koto, dikepalai oleh Sunan Pulau Johor, saudara Putri Selaras Pinang Masak;
  2. Kalbu Petajin, dikepalai oleh keturunan Orangkayo Pedataran;
  3. Kalbu Muara Sebo, dikepalai oleh Sunan Kembang Seri;
  4. Kalbu Jebus Rajasari, dikepalai oleh keturunan Orangkayo Pingai;
  5. Kalbu Air Hitam, dikepalai oleh keturunan Orangkayo Gemuk;
  6. Kalbu Awin, diserhakan kepada para sunan;
  7. Kalbu Panegan, dikepalai oleh Muara Bijoan yang merupakan saudara tertua;
  8. Kalbu Miji, dikepalai oleh Putri Selaras Pinang Masak;
  9. Kalbu Pinikawan, dikepalai oleh Binikawan Tengah.

Sementara itu, raja-raja Jambi (sebagian menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, sementara pencantuman tarikh-tarikh pemerintahannya diperikan oleh J. Tideman, berdasarkan catatan dari M.M. Menes) adalah:

  1. Datuk Paduka Berhala bersama Putri Salaro Pinang Masak, 1460 M;
  2. Orang Kayo Pingai, 1480;
  3. Orang Kayo Pedataran, 1490;
  4. Orang Kayo Hitam, bisa disebut sebagai Sultan Jambi pertama, sekitar 1500-1515;
  5. Panembahan Hang di Aer, atau Penembahan Rantau Kapas, 1515-1540;
  6. Panembahan Rengas Pandak (cucu Orang Kayo Hitam), 1540;
  7. Panembahan Bawah Sawoh, (cicit Orang Kayo Hitam), 1565;
  8. Panembahan Kota Baru, 1590;
  9. Pangeran Keda, bergelar Sultan Abdul Kahar, pertama kali gelar sultan dipakai untuk menggantikan gelar panembahan, 1615;
  10. Sultan Abdul Jalil;
  11. Sultan Sri Ingalaga (1665-1690);
  12. Pangeran Dipati Cakraningrat, bergelar Sultan Kyai Gede.
  13. Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga, 1790 – 1812;
  14. Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga, 1812 – 1833;
  15. Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat, 1833 – 1841;
  16. Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud, 1841 – 1855;
  17. Thaha Safiuddin bin Muhammad, 1855 – 1858;
  18. Ahmad Nazaruddin bin Mahmud, 1858 – 1881;
  19. Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman, 1881 – 1885;
  20. Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad, 1885 – 1899;
  21. Thaha Safiuddin bin Muhammad, untuk kedua kalinya, 1900 – 1904.

Bentrok dengan Kompeni

Pada masa Sultan Abdul Kahar ini, Kerajaan Jambi mulai kedatangan orang-orang VOC yang bermaksud mengadakan hubungan dagang, terutama membeli lada dari Jambi. Pada 1616, atas izin Sultan jambi, VOC mendirikan lojinya di Muara Kompeh.

Namun, duapuluh tahun kemudian, tahun 1636, loji Kompeni itu ditanggallkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil-hasil buminya, antara lain lada, kepada VOC. Sejak itulah hubungan Kerajaan Jambi – Kompeni makin renggang.

Pada 1642 VOC semasa pemerintahan Gubjen Antonio van Diemn menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram. VOC pun, pada 1643, menyodorkan suatu perjanjian yang jelas akan merugikan Jambi, maka dari itu Sultan Abdul Kahar menolak ajakan perundingan VOC tersebut yang banyak unsur monopolinya.

Sultan Abdul Kahar digantikan oleh Sultan Abdul Jalil yang ternyata mengikuiti kehendak VOC.

Pada masa Sultan Sri Ingalaga (1665-1690) meletuslah pertempuran antara Kerajaan Jambi melawan Kerajaan Johor, dan pada kesempatan ini pihak Jambi dibantu oleh Kompeni dan akhirnya menang.

Sebagai akibatnya gampang ditebak: VOC menyodorkan perjanjian kembali. Berturut-turut VOC menyodorkan perjanjian pada tanggal: 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683, yang pada hakikatnya menguatkan monopoli pembelian lada.

Dalam perjanjian-perjanjian itu pun VOC memaksakan penjualan kain dan candu/opium kepada Jambi. Namun, sekali lagi pihak Jambi menolaknya. Maka perang pun berkecamuk antara Jambi – VOC. Kantor dagang VOC diserang oleh rakyat Jambi pada 1690. Kepala dagang VOC di Jambi, Sybrandt Swart, terbunuh.

Pihak VOC menuduh Sultan Ingalaga terlibat penyerangan tersebut, lalu menangkap. Sultan Ingologi pun disingkan ke Batavia dan akhirnya ke Pulau Banda.

Pengganti Sultan Ingologo adalah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar Sultan Kyai Gede. Ada pun Sultan Ratu yang lebih berhak atas takhta Jambi, bersama sejumlah pengikutnya, pindah ke Muaratebo, dengan membawa keris pusaka Sigenjei, lambang raja-raja Jambi.

Sejak ikut campurnya VOC dalam masalah pemerintahan kerajaan, maka sejak itu pula sering terjadi pemberontakan dan perlawanan rakyat, misalnya perlawanan terhadap Sultan Taha Saifuddin yang dipusatkan di daerah Batanghari Hulu. Setelah terjadi pertempuran sengit, Sultan Thaha Saifuddin wafat pada 1 April 1904 dan dimakamkan di Muaratebo.