almanak

Padi; Filosofi, Simbol dan Pemaknaan

Padi membuat kebudayaan manusia meningkat, seiring dengan makin lamanya mereka bermukim di sebuah tempat untuk menetap. Sejak budidaya padi dikenal umat manusia sebagai bahan pokok, sejak itu peradaban mulai menggeliat.

PublishedJanuary 13, 2017

byDgraft Outline

Padi adalah sebuah keniscayaan hidup. Dari butir-butirnya sebagian penduduk Bumi menghidupi raga mereka, termasuk penduduk Nusantara.

Jumlah kaum nomad makin berkurang. Maka dari itu, budidaya padi diperkirakan lahir pertama kali dari komunitas yang berdiam di lembah. Di suatu tempat dengan teknik pengairan cukup maju, seperti di lembah Sungai Gangga, Brahmaputra, dan Yangtse.

Nomad/Nomaden: ( Sejarah): adalah Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagian masyarakat dunia, hingga kini, mengonsumsi padi sebagai sumber karbohidrat utama. Mengungguli gandum, jagung, sagu, dan tumbuhan palawija lainnya.

Padi telah menjadi penanda kemakmuran. Sejak masa sejarah-madya atau Hindu-Buddha, negeri ini telah termahsyur sebagai negeri penghasil beras. Literatur Yunani purba dan epik India seperti Ramayana telah mencatat adanya “negeri emas”, “negeri padi”, dan “negeri perak” di “Dunia Timur sana”. Bila Sumatra tersohor sebagai Pulau Emas, maka Pulau Jawa sebagai Pulau Padi.

Keberlimpahan Jawa akan padi dapat dilihat ketika peristiwa Mataram dengan rajanya Sultan Agung menyerang Batavia pada 1628-29. Dua abad dari sana, abad ke-19, Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mengakui bahwa “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan, bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.” Betapa beruntungnya penduduk tanah tropis ini.

Padi juga sebuah kesakralan. Selain catatan sejarah, tak terhitung tradisi lisan yang mengetengahkan padi sebagai tema dan benang merah cerita. Legenda tentang padi dipastikan lahir dari mereka yang menganut kehidupan perhumaan hingga mereka yang berbudaya sawah. Mereka tahu, padi adalah berkah dari langit sekaligus bumi. Ia bersifat transenden, perwujudan Dunia Atas yang suci dan feminis dengan Dunia Bawah yang profan dan maskulin.

Langit yang basah dan esensial serta tanah-bumi yang kering dan eksistensial dipaami sebagai “orangtua” padi. Padi, dalam hal ini, adalah mandala, poros kosmos atau axis mundi, atau harmoni, perpaduan efektif antara protagonis dengan antagonis.

Mandala; adalah suatu bentuk pola desain(simbol) yang umumnya berbentuk lingkaran yang dibuat untuk merepresentasikan keutuhan secara personal maupun secara kosmologis.

Bila demikian, maka padi sama saja dengan wayang, pantun, alunan gamelan, dawai kecapi, candi, dan apa pun yang menjembatani antara Dunia Atas yang tak berwaktu dengan Dunia Manusia yang terikat waktu. Ia hierofani (perwujudan suci) dan apotheosis (manusia-dewa), penghubung dunia Hyang Tunggal yang ilahiah dengan manusia.

Dari kesakralan lahirlah upacara yang mengagungkan sosok yang berjasa dalam “menumbuhkan” padi seperti Dewi Sri atau Sanghyang Pohaci. Sosoknya senantiasa “dipanggil” dalam upacara agar ia selalu menjaga dan tak bosan mengaruniai manusia dengan limpahan padi.

Orang-orang menyimpan sesajen pada sesuatu yang berupa rumah atau saung sanggar atau pupuhunan di sekitar sawah sebagai “kediaman” Sang Sri yang baik hati. Juga orang membangun lumbung yang tak jarang padanya terdapat ukiran naga—perlambang makhluk bawah tanah (bila kita perhatikan cukil atau centong nasi, akan tampak bentuk ular/naga pada tangkainya). Kita tahu, naga adalah makhluk mitologis yang hidup di air yang kisahnya tersebar di hampir semua daratan Asia.

Disebut suci karena, seperti yang disebutkan dalam sejumlah mitos, padi bukanlah hasil “hubungan seksual” antara Dunia Atas atau langit dengan Dunia Bawah atau bumi. Pantun Sulanjana, misalnya, menyebutkan bahwa padi lahir dari sebuah kesedihan Naga Anta.

Makhluk berbadan naga ini menangis karena tak bisa ikut serta membangun Bale Mariuk Pada Gedong Sasaka Domas di negeri Pajajaran yang diperintahkan Dewa Guru. Tiga tetes airmatanya jatuh dan berubah menjadi tiga butir telur. Dari salah satu telur itu lahirlah Nyi Pohaci, yang kelak menjadi padi dan palawija lain. Kesedihan pun membawa berkah.

Bila sesaji, saung sanggar, dan lumbung adalah mantra nonverbal, maka proses menggarap sawah adalah mantra verbal yang bersifat non-naratif. Mulai dari mencangkul tanah, menebar bibit, mencabut tanaman padi baru tumbuh untuk ditanam, menanam benih (tandur), menyiangi rumput, hingga memotong padi.

Begitu pula setelah panen, ketika orang mulai mengikat padi, menuju lumbung, memasukkan pada lumbung, dan menatanya di lumbung padi, semuanya adalah proses suci. Tatkala telah menjadi beras, dari memasukkannya pada periuk hingga memasukkannya ke mulut, diperlukan perlakuan-perlakuan yang tak sembarangan.

Sakral berarti ia pun punya pantangan. Bila seorang anak tak menghabiskan nasi dalam piringnya, sang ibu akan memperingatkan bahwa butir beras itu menangis. Membuang beras atau padi berarti menghinakan Sanghyang Sri Pohaci. Di sejumlah daerah dinyatakan pelarangan bersiul di rumah karena akan menyebabkan Dewi Sri ketakutan.

Keistimewaan padi dapat dilihat pula ketika kita menemukan warung (kini sudah tidak ditemukan) yang menggratiskan nasi—tiga kali menambah pun tetap gratis. Kita hanya membayar lauk pauk dan sayur mayurnya saja. Di sini tersirat, bahwa beras pantang diperjualbelikan. Beras tak lain adalah milik bersama; siapa pun aku, siapa pun ia, siapa pun kamu. Memperjualbelikan gabah atau beras “pantang” hukumnya, Saudara!

Padi, seperti benda alami lainnya dalam pandangan masyarakat primordial. Dipercaya sebagai hasil perwujudan wanita luar biasa nan cantik. Dari jasad atau kuburan sosok wanita itu, muncul padi dan sejumlah palawija lain.

Dalam Wawacan Sulanjana (sastra jenis wawacan muncul setelah pengaruh Islam kuat), diceritakan bahwa Sri Pohaci Dangdayang Trusna Wati Nyi Sri Bibiting Sri alias Dewi Aruman mati karena tak diberi buah holdi (sebagai pengganti air susu). Kemudian mayatnya diurus oleh Aki dan Nini Bagawat Sanghyang Sri.

Wawacan; adalah bentuk karya sastra yang sangat populer pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Muncullah keajaiban! Dari kelapanya tumbuh pohon kelapa, dari telinganya tumbuh buah-buahan pelbagai warna (merah, kuning, hijau), dari rambut dan matanya keluar berbagai macam ketan, dari tangannya timbul pohon enau, dari jarinya bermacam bambu, dari payudaranya muncul buah-buahan, dari bulunya terbit rerumputan.

Kesemua palawija penjelmaan Sri Pohaci (kawung, kelapa, bawang, bambu, jengkol, kemiri, sirih, tembakau, waluh, dan tanaman lain kebutuhan petani) itu dibawa ke Pakuan oleh Semar. Pakuan pun makmur. Padi (dan tetumbuhan lain) adalah dunia wanita yang penuh kelembutan dan selalu memproduksi kehidupan.

Keterikatan intim antara padi dengan dunia wanita terlihat pula ketika suami Dewi Nawangwulan, yakni Prabu Siliwangi raja Pajajaran (dalam versi lain, Pangeran Surya Kancana Ratu Sajagat), melanggar perjanjian karena penasaran dengan memergoki istrinya yang tengah menanak nasi. Sang Raja wajar penasaran karena hanya dari satu tangkai padi, istrinya bisa mengakomodasikan kebutuhan konsumsi seluruh rakyat Pakuan.

Tak masuk akal! pikirnya. Namun, Dewi Nawangwulan, anak Batara Guru dari kahyangan itu, tak bisa mentolelir keteledoran suaminya. Jelas ia marah melihat sang suami masuk dapur dan membuka periuk tanpa izinnya (nama ini terdapat pula dalam cerita Jaka Tarub dan Aryo Menak, termasuk kerahasiaan sang istri ketika menanak nasi).

Selanjutnya, rahasia Nawangwulan sebagai bidadari terkuak. Talak pun jatuh. Nawangwulan kembali ke kahyangan dan berpesan pada suaminya agar membuat penumbuk padi ( lisung ), bakul nasi, kipas ( hihid ) pendingin beras, centong atau cukil, dan dulang (tempat membolak-balik dan mendinginkan nasi). Jelas, urusan dapur seyogyanya bukan urusan kaum lelaki.

Kedudukan padi yang sakral mencerminkan posisi perempuan di Nusantara dalam kondisi serupa. Di Minang Rumah Gadang adalah rumah perempuan, dan bagian belakang rumah itu adalah wilayah perempuan.

Di budaya Sunda, perempuan menempati ruangan kanan rumah dan juga belakang rumah, dapur. Di sana tersimpan padi yang masih basah atau goah yang ditutupi kain putih sebagai simbol Dunia Atas.

Bila belakang rumah adalah bagian perempuan, maka bagian tengah merupakan ruang keluarga (ruang percampuran). Sedangkan bagian depan merupakan wilayah lelaki di mana tersimpan padi yang sudah kering.

Pada sosok Sunan Ambu dalam pantun-pantun Sunda tampak pemujaan aspek dewi sebagai pemelihara. Perannya bertolak belakang dengan posisi Dewi Durga dalam Hindu yang bersifat destruktif. Kesaktian Sang Ambu positif sekaligus domestik, sementara kesaktian Sang Durga negatif yang kosmopolit.

Sebagai hasil bumi, padi dan palawija berbeda dengan barang tambang. Dalam kisah Sulanjana atau Sri Sadana, ketika Sanghyang Sri Pohaci meninggal, maka Bangbang Kusiang, saudara kembar Sri Pohaci, bunuh diri bersama dua orang pengawalnya. Dari kuburan Bangbang Kusiang muncul benih emas dan perak, dari kuburan dua pengawalnya muncul benih besi dan baja.

Dalam kisah tersebut melambangkan bahwa seluruh benda tambang merupakan penjelmaan lelaki. Tak heran bila sejak bibitnya ditanam di petak ladang atau sawah, hingga ia disulap jadi nasi di dapur, kaum perempuanlah yang melakukannya. Sedangkan lelaki bertindak sebagai sarana pengolah padi: membuat pacul, menggaruk, dan membajaknya. Dengan begitu, perlogaman adalah dunia lelaki, “dunia keras”.

Padi juga bersifat oposisi. Ia harus memiliki musuh: hama. Padi dan hama merupakan pasangan kembar yang bertentangan. Dalam cerita Sulanjana, adalah Budug Basu yang berperan sebagai hama padi. Sri Pohaci dan Bangbang Kusiang berasal dari air mata Naga Anta (yang berubah jadi telur).

Sebelumnya, Budug Basu mengelilingi kuburan Sri Pohaci sebanyak tujuh kali, lalu mati. (kisah Budug Basu pun terdapat dalam budaya Cirebon dan, inilah yang unik, berhubungan dengan kehidupan bahari)

Dari peti matinya, keluar seribu jenis hama darat dan seribu jenis hama air. Sedangkan tali pengusung mayatnya menjelma jadi bermacam-macam ular. Bahkan, meskipun perusak padi, hama jelmaan Budug Basu dijaga oleh dua pengawal utusan Sapi Gumarang (ayah angkat Budug Basu), yakni Kalamula dan Kalamuntir, di negeri Sabrang Ujung Tua.

Dalam hal ini terdapat jurang antara tempat hama dijaga yaitu negeri Sabrang Ujung Tua dengan tempat padi tumbuh di Pajajaran. Keduanya merupakan pasangan dualistik yang saling berseteru sekaligus transenden.

Teranglah, bila Sri Pohaci merupakan perwujudan Dunia Atas, maka Budug Basu merupakan transendensi Dunia Bawah. Keduanya bertemu di Dunia Tengah, alam manusia, sebagai musuh abadi. Dengan adanya hama, padi bukan saja kekal namun juga terkena sifat fana.

Bukankah ia perpaduan antara yang absolut dengan yang relatif, esensi dengan substansi? Juga dapat kita nilai, bahwa segala sesuatu yang mendatangkan bencana, seperti kasus Budug Basu, berasal dari Bumi, dari dunia manusia, bukan dari kahyangan atau Dunia Atas yang jelas suci. Secara kodrati, dalam agama dan budaya mana pun, penghuni Bumi bernama manusia cenderung perusak.

Padi, bernama Latin Oryza sativa. Hidup di dua dataran; rendah dan tinggi. Di dataran rendah ia tumbuh di persawahan, hidup dari sistem irigasi. Manusia pendukungnya cenderung berperan aktif dalam pengolahan sawah dan dengan begitu masyarakatnya cenderung bersendikan patriakri.

Di dataran tinggi padi tumbuh di perhumaan, menghasilkan padi gogo atau gogo rancah, bergantung pada curah hujan. Manusia pendukungnya begitu tunduk pada anugerah langit dan hidupnya cenderung berazaskan matriarki (Sumardjo, 2003: 212).

Bagi masyarakat peladang terutama, kehadiran “Ibu Surgawi” begitu dinanti, begitu dipuja, maka lahirlah Dewi Sri, Nyi Pohaci, Dewi Sukraba, Dewi Supraba, serta peri-peri gaib dengan segala keistimewaannya dalam cerita-cerita lisan di negeri ini. (ingatlah legenda 7 atau 40 bidadari di mana salah seorangnya tak bisa pulang ke swarga akibat campur tangan lelaki di bumi, bidadari bersangkutan biasanya menjelma menjadi Dewi Padi).

Hingga kini, padi masih ditanam di Indonesia, dan Sri Pohaci atau Dewi lainnya masih diagungkan oleh sebagian kecil petani primordial. Entah itu di Kanekes (Banten), di Ciptagelar (Sukabumi, Jawa Barat), di komunitas peladang lainnya, di suatu tempat yang memiliki ketahanan pangan cukup walau kadang hasil panen turun.

Namun, bila dulu yang dirusak Budug Basu hanyalah padi, kini yang dirusak manusia adalah lahan padi. Tak hanya merusak, lebih dari itu: menghilangkan area persawahan untuk dijadikan area lain. Bukan lagi palawaja yang tumbuh dari tanah, melainkan beton-beton dan berutas-utas kawat yang angkuh.

Sawah dan ladang kini banyak menjadi mall yang megah dan pongah, swalayan yang menyedot listrik bermega-mega watt, vila mewah, dan wahana wisata yang bukan tempat para petani.

Bahkan pada suatu masa, menurut berita, negara ini telah menjadi pengimpor beras. Tak ada kata lain yang bisa terucapkan selain menyedihkan bagi negeri lumbung padi. Kemakmuran tinggal cerita, kesucian padi hanya seonggok masa lalu.

Padi kini hanya sebatas keniscayaan hidup semata, sebagai pengisi lambung belaka—tak ada lebihnya.