almanak

Samurai Perempuan dalam Sejarah Jepang

Tomoe Gozen, Nakano Takeko, dan ada juga sosok Hojo Masako adalah tokoh-tokoh masyhur Onna Bugeisha. Meskipun narasi tentang mereka mungkin lebih banyak dikisahkan sebagai lore daripada sejarah, keberadaan Onna Bugeisha setidaknya mampu menghantar imaji kita tentang keberadaan perempuan di medan juang.

PublishedFebruary 12, 2017

byDgraft Outline

Onna Bugeisha

Sebagian besar kisah Samurai dari budaya Jepang dikenal masyarakat dunia bukan lewat buku-buku sejarah. Kita justru kerap mendapati mereka dari novel, manga (komik Jepang), anime (animasi Jepang) dan film.

Para Samurai itu sering menjadi latar cerita jika mengisahkan saat jepang masih menjadi wilayah-wilayah para Shogun. Umumnya kita akan disuguhi dengan budaya dan etik laki-laki berpedang yang maskulin dan berpendirian.

Perempuan biasanya di tampilkan sebagai “ Heroine ” , ia pemanis dan pemanas di belakang layar utama.

Bahkan Akira Kurosawa dalam “ The Seven Samurai ” atau Eiji Yoshikawa dalam beberapa tulisan Samurai-nya, tidaklah banyak menonjolkan perempuan yang menenteng katana.

Namun, ternyata “Samurai wanita” tersebut ada.” Mereka dikenal sebagai Onna Bugeisha, yang bisa ditelusuri peranannya hingga pada masa kekuasaan Permaisuri Jingū–pada 200 Masehi memimpin invasi Korea–yang menggantikan suaminya, Kaisar Chūai (kaisar Jepang keempat belas, tewas dalam pertempuran).

Legenda mengatakan bahwa Permaisuri Jingū mencapai kemenangan yang mengesankan. Dia lantas menggunakan posisinya untuk membawa perubahan ekonomi dan sosial bagi wilayahnya. Pada tahun 1881, Permaisuri Jingū bahkan menjadi wanita pertama yang ditampilkan dalam mata uang Jepang.


Berbeda dengan Samurai laki-laki yang menjadi Samurai karena dinilai sebagai “jalan hidup” (hidup dengan jalan pedang), Onna Bugeisha belajar menggunakan senjata umumnya karena didesak kebutuhan untuk melindungi desa yang “kekurangan” pejuang laki-laki.

Daripada membayar tentara bayaran untuk membela mereka, sebagai warga justru melatih anak gadisnya agar mahir dalam pertempuran yang kelak berguna jika harus melindungi Desa dan keluarga.

Onna Bugeisha dikisahkan jarang menggunakan pedang katana seperti rekan-rekan pria mereka. Samurai perempuan ini lebih memilih naginata–mirip polearm dengan pisau melengkung di ujungnya–senjata yang dinilai efektif untuk berhadapan dengan lawan yang lebih besar dan lebih berat, atau pedang yang lebih pendek dari katana; Wakizashi.

Selain itu, Onna Bugeishas juga mempelajari dan bahkan cukup mahir mengunakan senjata seperti busur dan anak panah, kaiken, dan seni tanto Jutso. Etika Samurai Onna Bugeisha konon juga tanpa kompromi–sama dengan Samurai kebanyakan.

Meskipun akar sejarahnya terkadang ditarik ke waktu yang sangat jauh, Tokoh-tokoh Onna Bugeisha terkemuka justru lebih banyak berasal dari abad ke-12 ke-13, bahkan salah satu tokoh Onna Bugeisha yang tersohor, Nakano Takeko malah malang melintang pada abad ke-19.

Tomoe Gozen yang hidup pada akhir abad ke-12, mencatatkan namanya karena turut berjuang dalam Pertempuran Awazu. Tomoe yang berdarah dingin itu memenggal Honda no Moroshige-Musashi dalam pertempuran.

Lebih garang dari itu, Tomoe Gozen bahkan dilegendakan telah membunuh Uchida Ieyoshi dari clan Kiso Minamoto, hingga Hatakeyama Shigetada pun harus kewalahan dibuatnya di satu pertempuran yang sama.

Nakano Takeko yang hidup pada abad ke-19 adalah pemimpin pasukan pemberontakan terhadap Tentara Kekaisaran Jepang dari Ogaki Domain–di tengah-Selatan Jepang. Naasnya Takeko harus menemui ajalnya dalam pertempuran karena luka tembak.

Kisah selanjutnya “lebih dari heroik”. Takeko sebelum menghembuskan nafas terakhir, meminta rekannya agar memenggal kepalanya–karena tidak rela jika kelak musuh yang mengambilnya sebagai “piala”. Bagian tubuhnya itu kemudian dimakamkan di bawah pohon pinus di Hōkai Temple.

Tomoe Gozen, Nakano Takeko, dan ada juga sosok Hojo Masako adalah tokoh-tokoh masyhur Onna Bugeisha. Meskipun narasi tentang mereka mungkin lebih banyak dikisahkan sebagai lore daripada sejarah, keberadaan Onna Bugeisha setidaknya mampu menghantar imaji kita tentang keberadaan perempuan di medan juang.

Heike Monogatari (Hikayat Heike) menggambarkan Tokoh Tomoe Gozen, seorang Samurai perempuan dalam sejarah Jepang.

“Ia sangat cantik, berkulit putih, rambut panjang, dan berpenampilan menarik. Dia juga seorang pemanah yang hebat, dan sebagai seorang ahli pedang ia bernilai seribu pejuang. Ia siap menghadapi setan atau dewa, menunggang kuda atau berjalan kaki. Keterampilan yang luar biasa… berbahaya”.