traveldraft

Panting, Alat Musik Tradisional dari Kalimantan Selatan

Indonesia mempunyai ragam budaya tradisional masing-masing, bukan hanya di tiap Provinsi, melainkan sampai ke tingkat kabupaten. Sebut saja alat musik Panting dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan.

PublishedOctober 30, 2014

byDgraft Outline

Dalam Bahasa Banjar, kata Panting mengandung banyak arti. Salah satunya adalah duri ikan yang mengandung racun. Namun, yang kita bicarakan disini bukan masalah duri ikan. Melainkan, tentang sebuah alat musik yang sepintas mirip dengan gambus yang diberi nama alat musik Panting.

Dalam hal ini, Panting berarti petik. Yaitu, membunyikan senar dengan teknik sentilan; Panting juga bisa merujuk pada seni pertunjukan di mana alat musik ini sebagai ensemble utamanya.

Di masa awal dan tahap perkembangannya, alat musik tersebut hanya memiliki tiga buah tali atau senar. Di mana masing-masing senar punya fungsi tersendiri. Tali pertama disebut pangalik. Yaitu tali yang dibunyikan untuk penyisip nyanyian atau melodi.

Tali kedua, disebut panggundah atau pangguda yang digunakan sebagai penyusun lagu atau paningkah. Sedang tali ketiga disebut agur yang berfungsi sebagai bass. Tali Panting pada masa lalu dibuat dari haduk hanau (ijuk), serat nenas, serat kulit kayu bikat, benang mesin, atau benang sinali.

Tapi sekarang, karena lebih mudah didapatkan, ditambah lagi dengan bunyinya yang jauh lebih merdu, benang nilon tampak lebih banyak digunakan. Atau, ada pula yang menggunakan tali kawat dengan empat bentangan pada badan “Panting”.

Menurut kepercayaan masyarakat , “Panting” akan mempunyai daya tarik yang hebat apabila ia diberi azimat. Karena itu, pada masa lalu, pembuatnya konon selalu memasukkan sesuatu ke dalam perut “Panting” sebelum “Panting” diselesaikan.

Azimat-azimat tersebut antara lain tambang lirang, yaitu semacam guna-guna. Menurut kepercayaan para pembuat “Panting”, Tambang Lirang dapat membuat penggemar dan penonton jadi tergila-gila terhadap musik “Panting”. Sehingga, mereka selalu ingin menontong pertunjukan musik “Panting”. Tambang Lirang menumbuhkan kerinduan penonton terhadap bunyi yang didengarnya sangat merdu

Azimat lainnya adalah Bunga Kenanga. Dalam hal ini, bunga kenanga dimaksudkan agar penonton menyukai musik “Panting” dan merasa rindu dendam manakala tidak mendengar “Panting” di sentil orang. Selain itu, ada pula Sumbaga yang bertujuan agar penonton terpesona terhadap gelaran bunyinya, serta tulisan tertentu yang bertujuan agar penonton terpukau mendengar bunyi “Panting”.

Di kalangan Pemantingan dikenal pula adanya datu-datu pemelihara “Panting”. Menurut kepercayaan, datu itu biasa memberikan bobot bunyi yang sangat merdu. Beberapa datu yang paling dikenal adalah Datu Lampai, Datu Bangkala, Datu Kalambahai, Datu Kundarai, Datu Ujung, dan Datu Lampai Sari yang merupakan satu-satunya datu perempuan.

Di masa dulu, jika Panting mau dimainkan di tengah banyak orang, terlebih dahulu di panggil datu-datu tersebut dengan cara membakar kemenyan dan meletakkan “Panting” di atas asap kemenyan tersebut.

Dalam hal bentuk, alat musik ini mempunyai perbedaan-perbedaan. Karena adanya perbedaan tersebut, maka muncullah nama-nama “Panting”. Beberapa nama yang sempat diinventarisir adalah Lalai Gajah, Putri Kurung, Putri Manjanguk, Mayang Bungkus atau Mayang Marakai, Sari Dewi, dan Si Runtuh Palatar.

Di antara sekian jenis tersebut, yang paling banyak digunakan adalah Lalai Gajah dan Putri Kurung. Sementara yang paling jarang adalah Mayang Marakai. Sebab, ada yang mengasumsikan bahwa apabila menggunakan “Panting” jenis tersebut, maka grup pemain bisa rakai atau terpecah belah.

Perkembangan Musik Panting

Tahun 1984 merupakan tahun yang sangat menentukan bagi kehidupan musik “Panting”. Ketika itu, para seniman melakukan penelitian terhadap musik ini di daerah Kabupaten Tapin. Dari hasil penelitian, dinyatakan bahwa musik tersebut masih layak untuk diangkat kembali ke permukaan. Segala sesuatu pun dipersiapkan. Lagu-lagunya direnovasi dan diganti dengan lagu-lagu Banjar yang sudah diaransement ulang sedemikian rupa.

Setelah dibenahi secukupnya dengan tidak meninggalkan esensi sebagai suatu musik tradisi, di tahun 1984 itu juga, musik “Panting” diuji-cobakan ke festival musik daerah se-Indonesia. Hasilnya sangat memuaskan sekaligus mengejutkan.

Musik panting berhasil menduduki peringkat 10 besar musik-musik Nusantara. Sejak saat itu, pembinaan terus ditingkatkan. Hingga pada akhirnya, lahirlah grup-grup musik “Panting” di seluruh penjuru Kalimantan Selatan seperti sekarang ini. Mari terus kita kembangkan dan lestarikan kesenian khas daerah kita

Akibat penjajahan itulah yang hingga kini belum ada data tertulis yang mengetahui. Namun menurut tuturan lisan bahwa alat musik panting sudah ada sejak abad ke-18 yang dugunakan untuk mengiringi tarian japen dan Gandut. Dalam periode tersebut, musik “Panting” diiringi dengan istrumen lain seperti babun, gong, suling, dan rebab. Tapi setelah biola masuk ke Kerajaan Banjar, maka kedudukan rebab digantikan oleh biola.