etnografi

Permainan Tradisional dan Manusia sebagai Homo Ludens

Jenis dan bentuk permainan tradisional bisa dikatakan sangat beragam. Hampir setiap daerah mempunyai permainan mereka sendiri. Banyak diantaranya memiliki kesamaan dengan daerah lain dalam segi bentuk dengan penamaannya saja yang berbeda. Keragaman permainan tradisional  juga dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat pemangku budayanya tinggal.

PublishedSeptember 9, 2015

byDgraft Outline

Sebuah permainan biasanya dilakukan untuk tujuan kesenangan. Permainan berbeda dari pekerjaan dan juga seni yang lebih sering merupakan ekspresi dari unsur estetika atau ideologi, namun perbedaan ini tidak jelas dalam bentuk-bentuk permainan tradisional masyarakat Nusantara, karena unsur seni dan juga pekerjaan terdapat di dalamnya. Di beberapa kasus, permainan tradisional bahkan mempunyai kaitan dengan unsur magis-religi.

Komponen kunci dari permainan adalah adanya tujuan, aturan, tantangan, dan interaksi. Permainan umumnya melibatkan stimulasi mental atau fisik, dan sering melibatkan keduanya secara bersamaan.

Permainan juga dapat membantu mengembangkan keterampilan praktis, berfungsi sebagai bentuk latihan, atau melakukan peran pendidikan, simulasi, dan untuk kebutuhan psikologis.

Huzingga lebih jauh bahkan mengatakan bahwa “ Play is older than culture“, bahwa permainan itu lebih tua dari budaya. Terlepas dari kontroversi pernyataan itu, nyatanya dalam setiap komunitas memang selalu terdapat permainan sebagai bagian dari kebudayaan mereka.

Di beberapa kebudayaan, permainan tradisional bahkan menjadi ciri, menjadi kekayaan budaya yang menujukan karakter bangsa tersebut. Maka tidak lah mengherankan jika permainan tradisional ini sejatinya adalah duta budaya. Lebih jauh lagi, beberapa cabang olah raga yang sekarang ada di olimpiade atau pun pada kejuaraan-kejuaraan olah raga lainnya, banyak yang bermula dari permainan rakyat.

Table of contents

Open Table of contents

Homo Ludens

Manusia adalah makhluk bermain yang suka bermain dan memainkan bentuk-bentuk permainan. Homo Ludens, istilah yang dicetuskan Johan Huizingga pada tahuan 1938 dalam bukunya “ Homo Lud_esn; a Study of Element in Cultu_re”.

Setiap kebudayaan memperlihatkan karakter manusia sebagai pemain yang memainkan permainan. Konsep Homo Ludens lebih lanjut menyatakan bahwa permainan adalah fenomena budaya. Bermain merupakan insting dan kehendak manusia.

Konsep Homo Ludens ini didasarkan pada Deus Ludens, sebuah pandangan tentang karakter Tuhan yang bermain-main atau bersenang-senang dengan menciptakan manusia.

Alam dalam Permainan Tradisional

Latar belakang dan sejarah termasuk kehidupan masyarakat yang berbeda, secara bertahap telah menciptakan bentuk tata asuh anak yang berbeda pula di setiap tempat. Demikian pula hal ini jelas memengaruhi jenis dan karakter mainan dan permainan yang muncul di wilayah tersebut.

Permainan tradisional selalu berkaitan dengan alam sekitar. Hal ini dimungkinkan terjadi karena mereka hidup bersama dengan alam dalam keseharian. Hukum alam dihormati sebagai ‘hukum Tuhan’, sehingga saat mereka bersentuhan dengan alam, secara sadar menganggap bahwa mereka sedang berhubungan dengan Tuhannya.

Hubungan harmonis ini bahkan hadir di kehidupan mereka sehari-hari, termasuk dalam menyiapkan generasi penerus. Kesadaran itu mereka terapkan dalam pola asuh anak yang mendorong anak agar mampu menjaga dan menghormati lingkungan. Anak sedini mungkin harus dikenalkan dengan lingkungan tempat mereka tinggal.

Permainan tradisional pada masyarakat Nusantara selain mempererat anak dengan alam juga memperhatikan kebutuhan anak dalam mencapai perkembangan usianya agar mempunyai kedekatan emosi dengan wilayah tempat mereka tinggal.

Bahkan material yang digunakan untuk membuat permainan juga tergantung kepada apa yang disediakan oleh alam atau ada di lingkungan sekitar mereka. Alam Nusantara yang kaya ini sesungguhnya menyediakan tempat bermain yang menakjubkan. Gratis!

Belajar Seharusnya Menyenangkan

Permainan dan bermain adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan dari lingkungan anak-anak. Permainan dan mainan, hakikatnya dapat dijadikan media belajar yang dapat melatih kecerdasan dan keterampilan.

Pelbagai bentuk permainan tradisional masyarakat selain mengajarkan kreativitas—seorang anak selain bisa memainkannya, juga dituntut untuk dapat membuatnya sendiri— ternyata juga mengajarkan kedekatan mereka dengan alam sekitar.

Alam hakikatnya menyediakan media mainan yang tak terbatas bagi anak. Dari mainan dan permainan tradisional inilah kita akan berbicara tentang masa depan manusia yang bijak dengan alamnya.

Kehidupan anak-anak Nusantara, di lain sisi banyak terenggut oleh pendidikan yang menuntut mereka untuk belajar tak kenal waktu untuk beberapa mata pelajaran yang ditentukan pihak sekolah.

Dibanding misalnya, pendidikan yang mengarah kepada lingkungan dan keluarga. Kondisi anak sekarang cenderung dituntut menyelesaikan pendidikan formal secepat dan sedini mungkin, bahkan tidak jarang kondisi psikologis dan perkembangan anak dikesampingkan.

Seorang anak dinilai cerdas dan berhasil jika sudah dapat membaca dan berhitung. Pola pendidikan seperti ini konon muncul dari dunia Barat, bahwa pendidikan di sekolah harus dilakukan sejak usia dini.

Kita kerap menyebutnya pola pendidikan Barat–entah Barat yang mana. Karena pada kenyataannya, banyak negara-negara Barat yang dimaksud sudah jauh-jauh membuang pola tersebut. Tapi tak apa lah, sekedar untuk mencari kambing hitam, mari kita salahkan saja barat. “A ing deui, aing deui” kata orang Jawa Barat.


Dari kata scola dan atau skhola yang artinya waktu luang atau waktu senggang, kita kemudian mengenal istilah school; sekolah. Orang-orang Yunani pada masa lalu tahu betul bahwa bermain merupakan cara belajar yang efektif bagi anak.

Sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak di tengah kegiatan utama mereka, bermain dan menikmati masa anak-anak bersama keluarga dan lingkungan.

Bermain bagi anak adalah belajar dari lingkungannya, dari alam, dan belajar dari kehidupan masyarakat. Seorang Ki Hadjar Dewantara sangat mengerti makna dan fungsi sekolah hanya sebagai pengisi waktu luang. Beliau menggagas Sekolah Taman Siswa tahun 1922; taman berarti tempat bermain dan tempat belajar.

Pendidikan kita saat ini seolah ‘masa bodo amat’ dengan keadaan lingkungan sekitar anak. Semua seragam, dari mulai baju sampai pelajaran, cita-cita dari setiap anak pun seragam. Bahkan pola pikirannya kadang seperti robot yang sengaja diarahkan pada sesuatu yang sama; bahwa setelah besar pergi ke ibu kota, bekerja di kantor. Daerahnya kemudian dilupakan karena mereka tidak mempunyai kedekatan emosi dengan lingkungannya.

Permainan Sebagai Duta Budaya

Tiap zaman memiliki tipikal permainannya sendiri karena permainan adalah bagian dari kebudayaan. Jenis permainan pun sangat erat dengan perkembangan budaya masyarakat setempat.

Oleh karenanya, permainan tradisional sebaiknya tidak selalu dimaknai sebagai permainan dari masa lalu, permainan tradisional seharusnya dipahami sebagai bentuk-bentuk permainan yang muncul dari kreativitas masyarakat setempat; dari, oleh, dan untuk mereka.

Tradisi adalah gejala budaya yang berlanjut dalam waktu cukup lama tetapi dalam ruang yang sempit. Permainan tradisional memang memperlihatkan adanya fungsi penyampaian budaya, karena biasanya permainan itu berasal dari generasi sebelumnya.

Dengan kata lain, memainkan atau menggunakan mainan itu sekaligus mempelajari budaya. Secara tidak langsung jika kita lebih memilih permainan dari budaya lain, kita juga telah mengajarkan budaya asal mainan itu ketimbang budaya sendiri.

Dengan kondisi lingkungan bermain dan pendidikan yang sudah berbeda, permainan tradisional kini jarang dimainkan oleh anak-anak. Hal ini semakin diperparah oleh generasi tuanya yang terlihat mandeg dalam menciptakan dan mengembangkan permainan-permainan baru berdasar pada budaya sendiri.

Seolah tidak ada pilihan, anak kini lebih mengenal jenis permainan yang berasal dari luar negeri. Maka tidak mengherankan mereka lebih akrab dengan budaya luar sejak dini.

Keadaan yang terkondisikan oleh lingkungan ini akhirnya telah menjauhkan anak dari permainan tradisional. Dunia pendidikan pun sejatinya ikut andil karena permainan tradisional hampir tidak diperkenalkan sebagai media bermain atau belajar, mungkin sesekali saja, itu pun sebagai hiburan, bukan kebutuhan.

Mainan dan permainan tradisional lebih lanjut dianggap sebagai mainan kelas bawah, kotor, tidak berkualitas, dan berbahaya. Celaka! Kondisi seperti inilah yang lebih membuat anak-anak kita enggan mengenal ‘permainan tradisional’. Untuk beberapa kasus bahkan mereka benar-benar tidak mengenalnya sama sekali.

Permainan Tradisional, Dibuang Sayang

Permainan tradisional Nusantara sudah cukup langka dimainkan oleh anak-anak pada saat ini, bahkan di wilayah-wilayah pedesaan pun jarang terlihat anak membuat mainan dari material alam di sekitarnya. Mainan yang terbuat dari bahan-bahan plastik, kertas dan logam lebih banyak didapat oleh anak dan justru berhasil menggeser permainan rakyat.

Beberapa pihak memang telah melakukan usaha-usaha agar anak-anak kembali mengenal permainan tradisional, permainan zaman dahulu tepatnya. Tanpa mengesampingkan usaha yang dilakukan, permainan anak seharusnya juga terus diciptakan, diperbaharui dan setiap zaman harusnya terus menyesuaikan dengan kondisinya. Bagaimana pun anak-anak yang sekarang pasti akan merasa sangat jauh jika langsung dikenalkan dengan bentuk asli permainan yang ada pada masa lalu.

Pada masa lalu, seorang pembuat mainan bahkan menduduki bidang pekerjaan yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah. Naskah Siksa Kanda Ng Karesian, naskah kuna yang cukup terkenal di wilayah Jawa Barat, menempatkan mereka yang ahli membuat permainan ( empul ) sejajar dengan keahlian bidang lainnya;

Ahli cerita atau dalang, ahli karawitan, ahli kain, ahli masak, ahli pantun, ahli tempa, ahli ukir, dsb. Ini memberikan kita bukti bahwa masyarakat dan juga pemerintah pada masa lalu telah memahami bahwa dalam membuat permainan atau mainan itu memerlukan seseorang yang ahli dengan tingkat kecerdasan yang tinggi agar apa yang diciptakan, selain digemari anak juga diperlukan oleh masyarakat. Singkatnya, mereka yang pembuat mainan dihargai kedudukannya.


Perlahan namun pasti, kini banyak permainan tradisional mulai dicoba disesuaikan dengan zaman. Pola perubahannya terjadi dalam beberapa tahap, dari mainan yang dianggap masih asli atau dibuat dari material alam sampai perubahan bentuk modern dengan penggunaan material sintetis, hingga digital. Sayangnya, justru bukan disesuaikan dengan zaman tapi disesuaikan dengan bentuk mainan dari luar negeri.

Perubahan dalam berbagai hal ini konon merupakan sebuah terobosan baru untuk menjadikan permainan tradisional di sukai oleh anak-anak. Perubahan ini justru memengaruhi tingkat kereativitas anak-anak sebab permainan-permainan sekarang di-produksi secara massal oleh pabrik-pabrik, bukan oleh anak sendiri.

Pada gilirannya, kita secara tidak sadar telah ikut bertanggung jawab dalam menanamkan pola hidup konsumtif kepada anak. Bermain untuk seorang anak menjadi mahal, lebih parahnya lagi, kelas sosial bahkan sudah menghantui anak di saat mereka seharusnya hidup tanpa sekat dan perbedaan.

Melestarikan tidak selamanya berarti mempertahankan bentuk. Dalam kasus permainan tradisional seharusnya melestarikan bukan hanya membuatnya sama pada bentuk-bentuknya saja, tapi juga pada apa yang ingin disampaikan oleh permainan tradisional itu, nilai-nilai budaya apa yang ada di dalamnya dan apa manfaatnya. Karena bukan tanpa sebab permainan itu dahulu diciptakan.

Jika terus-menerus terfokus pada bentuknya saja, maka zaman akan meninggalkan, setidaknya itu sudah terbukti. Sekali lagi, kita masih terlalu naif jika memandang budaya hanya sebagai benda.