humaniora

Toksoplasmosis Sebabkan Gangguan Kemarahan

Para peneliti dari University of Chicago mengungkapkan adanya keterkaitan antara gangguan eksplosif intermiten atau Intermittent Explosive Disorder (IED) dengan toksoplasmosis, parasit yang umumnya terdapat pada kotoran kucing.

PublishedMarch 27, 2016

byDgraft Outline

Studi yang dimuat dalam Journal of Clinical Psychiatry (23/3) itu menjelaskan bahwa parasit Toksoplasmosis ditemukan dalam jaringan otak dan dikaitkan dengan berbagai kondisi kejiwaan—termasuk skizofrenia (gangguan proses berpikir); bipolar (perubahan kejiwaan secara drastis); dan perilaku bunuh diri.

“Penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi karena parasit Toxoplasma gondii dapat merubah unsur kimia otak yang dapat meningkatkan risiko perilaku agresif,” kata Ellen. C. Manning, salah satu penulis dalam Laporan tersebut.

Intermittent explosive disorder (IED) secara sederhana dapat dimaknai sebagai sebuah ledakan kemarahan verbal atau fisik yang tidak beralasan, tidak terkendali, dan dapat berulang terhadap situasi yang memicunya.

Sedangkan Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, parasit yang ditularkan melalui kotoran kucing juga lewat air, atau daging matang yang ter-infeksi.

Toksoplasmosis dapat menyerang manusia, mamalia darat dan laut, serta beberapa jenis burung. Gejala umum yang terjadi akibat toksoplasmosis ini adalah ensefalitis (infeksi pada otak).

Laporan penelitian itu lebih lanjut menjelaskan studi yang dilakukan para peneliti terhadap IED dan toksoplasmosis.

Hasilnya, “ditemukan 22% dari orang yang memiliki IED dinyatakan positif terkena parasit,” ungkap laporan penelitian yang dipimpin oleh Dr.Emil Coccaro itu.

Hasil tersebut didapat dari studi yang dilakukan terhadap 358 orang dewasa. Mereka menguji IED, gangguan kepribadian, depresi, dan masalah kejiwaan lainnya.

Peneliti juga memberikan penilaian terhadap sifat-sifat seperti kemarahan, dan impulsif (tindakan di luar kontrol). Selain itu, peserta juga diminta melakukan tes darah untuk toksoplasmosis.

Peserta diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Sekitar sepertiga yang memiliki IED, sepertiga yang kontrol sehat, dan sepertiga yang memiliki gangguan kejiwaan tanpa IED.

Hasilnya menunjukkan bahwa 22% dari mereka yang memiliki IED dinyatakan positif terkena toksoplasmosis, sedangkan dari kelompok kontrol sehat hanya 9% dan dari kelompok kontrol kejiwaan hanya 16%.

Kelompok gangguan kejiwaan tanpa IED dan kelompok kontrol sehat memiliki skor yang sama untuk agresi (perilaku melukai) dan impulsif (tindakan di luar kontrol), tetapi kelompok dengan IED memiliki skor yang jauh lebih tinggi untuk agresi dan impulsif.

“Awalnya, didapatkan bahwa ada keterkaitan antara toksoplasmosis dan impulsif. Namun, ketika disesuaikan dengan skor agresi, keterkaitan itu menjadi tidak signifikan. Justru ditemukan korelasi yang lebih kuat antara toksoplasmosis dan agresi,” ungkap laporan itu.

Para peneliti lebih lanjut menekankan bahwa hubungan toksoplasmosis dan IED tidak lantas menjadi vonis bahwa mereka yang memelihara kucing lebih mungkin untuk memiliki kondisi tersebut.

“…kami tidak tahu seperti apa mekanismenya. Bisa peningkatan respons inflamasi, modulasi otak secara langsung oleh parasit, atau bahkan bisa jadi membalikkan sebab-akibat [hipotesis] awal itu. ” Kata Dr. Royce Lee, tim penulis yang juga merupakan profesor psikiatri dan ilmu saraf University of Chicago.

“Ini jelas bukan pertanda bahwa orang-orang harus menyingkirkan kucing mereka,” jelasnya.

Para peneliti menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi temuan tersebut dan untuk mengetahui apakah ada hubungan kausatif—x menyebabkan y, menjadi z.

Kendati demikian, dalam laporannya para peneliti sudah melihat lebih jauh ke dalam hubungan antara toksoplasmosis, agresi dan IED. Mereka berusaha untuk menemukan cara baru dalam mendiagnosis atau mengobati gangguan “kemarahan”, salah satunya dengan mengatasi infeksi-nya terlebih dahulu.