humaniora

Pemerintah Korup pengaruhi Tingkat Kejujuran Rakyatnya

Kenapa Anda memutuskan untuk berbohong? Jangan-jangan karena Anda beranggapan pemerintah korup atau orang-orang yang duduk di posisi kekuasaan penting juga melakukan hal tersebut.

PublishedMarch 14, 2016

byDgraft Outline

Dilansir sciencemag.org, sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Jurnal online nature.com pada hari Rabu (9/3/2016) menemukan bahwa seseorang cenderung untuk berbohong jika mereka tinggal di negara dengan pemerintah korup atau tingkat korupsi yang tinggi.

Simon Gächter dan Jonathan F. Schulz, peneliti dari University of Nottingham, melaporkan hasil studi dari tahun 2003 itu dengan judul “ Intrinsic Honesty and the Prevalence of Rule Violations Across Societies“.

Studi itu memberikan gambaran bahwa buruknya kinerja suatu institusi atau lembaga, nyatanya mampu ‘menyakiti’ masyarakat melebihi dari dugaan atau dampak yang sebelumnya diperkirakan.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa seseorang cenderung untuk melanggar aturan jika orang lain di sekitar mereka juga melakukannya. Misalnya, mereka yang tinggal di lingkungan dengan banyak sampah, maka dengan sendirinya ia akan akan membuang sampah sembarangan.

“Tapi apa yang kita benar-benar tidak tahu adalah sejauh mana kasus penipuan, korupsi, dan penggelapan pajak, trickle down effect —terhadap pelanggaran yang dilakukan [seseorang], seperti individu yang korup,” kata Shaul Shalvi, seorang peneliti perilaku dari University of Amsterdam yang tidak terlibat dalam studi ini.

Untuk mengetahuinya, Gächter dan Schulz, banyak mengumpulkan data mengenai korupsi pemerintah, penggelapan pajak, dan kecurangan pemilu dari Bank Dunia dan_Freedom House_—organisasi non-pemerintah yang banyak meneliti demokrasi dan kebebasan politik—dari 159 negara.

Para Peneliti kemudian menyusun data itu menjadi sebuah indeks yang mampu memperlihatkan tingkat pelanggaran aturan dari lembaga atau instansi pemerintahan. Data tingkat korupsi pemerintah, penggelapan pajak, dan penipuan pemilu untuk menempatkan negara-negara sesuai dengan peringkat bagaimana warga negara mereka kemungkinan mengabaikan normal sosial dan hukum.

Selama hampir 5 tahun, Tim peneliti melakukan perjalanan ke 23 negara-negara untuk mengukur kejujuran pada tingkat individu. Mereka melakukan percobaan terhadap 2.568 partisipan (usia perguruan tinggi) untuk memainkan putaran dadu dan melaporkan setiap angka (jumlah) yang muncul.

Menariknya adalah, semakin tinggi angka dadu yang muncul, semakin besar para partisipan itu dibayar—peserta juga tahu bahwa peneliti tidak bisa melihat langsung saat mereka melakukannya.

Ketika jumlah rata-rata dari hasil putaran dadu dilaporkan seluruh peserta, di satu negara, ternyata terdapat rata-rata jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya terjadi secara kebetulan, para peneliti tahu bahwa beberapa partisipan berbohong untuk mendapatkan lebih banyak uang.

Ketika mereka membandingkan hasil tersebut dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh instansi atau lembaga, para peneliti menemukan bahwa orang-orang di negara-negara dengan tingkat pelanggaran aturan yang tinggi, lebih mungkin untuk melakukan kecurangan dalam pelaporannya.

Tapi ketika orang berbohong, mereka jarang melakukannya dalam tingkat yang maksimum. Dalam studi putaran dadu, saat angka lima yang keluar mereka akan mendapatkan bayaran penuh dan jika angka enam, partisipan tidak mendapat bayaran apa-apa.

Tapi ketimbang melaporkan bahwa mereka mendapati angka lima dalam putarannya, partisipan yang curang cenderung melaporkan nilai yang hanya sedikit berada di bawahnya seperti angka Tiga dan atau Empat.

“Bahkan [ketika] dihadapkan dengan godaan-godaan ini, orang masih peduli tentang perasaan jujur,” kata Shalvi. “Itu sebabnya bahwa orang berbohong hanya sejauh mereka dapat membenarkan kebohongannya itu”.

Jonathan Schulz, ekonom eksperimental di Yale University yang turut menulis penelitian, menyebut fenomena ini sebagai “kecurangan dibenarkan”—sebuah cara untuk mendapatkan keuntungan sementara masih merasa seperti orang yang agak jujur.

Apa yang dianggap sebuah kejujuran tampaknya bervariasi sesuai dengan lingkungan mereka, Schulz mengatakan. “Tampaknya patokan ketidakjujuran seseorang tergantung pada lingkungan kehidupan sehari-hari mereka”.

Negara-negara dengan tingkat kecurangan yang rendah adalah negara-negara kaya di Eropa Barat—Austria, Belanda, dan Inggris. Di sisi lain, Maroko, Tanzania, dan Kenya merupakan salah satu yang tertinggi.

“Ketidakstabilan keuangan mungkin membantu menjelaskan mengapa kecurangan lebih umum di negara-negara tertentu,” ungkap Simon Gächter.

“Jika semua orang di sekitar Anda miskin atau putus asa dan berebut uang, Anda mungkin berpikir bahwa yang penting adalah uang, tidak mengikuti kehendak hati,” kata David Hugh-Jones, seorang ekonom eksperimental di University of East Anglia di Norwich, UK, yang tidak terlibat dalam studi ini.

Namun, ia memperingatkan bahwa menggunakan hanya satu ukuran kejujuran bisa saja hasilnya condong. Misalnya, perjudian—yang dilakukan dalam studi ini—adalah tabu di beberapa masyarakat. Itu dapat memengaruhi keputusan namun tidak terkait dengan kejujuran intrinsik mereka.

Sementara Schulz menyatakan bahwa data itu memang menggodanya untuk menyimpulkan orang-orang di negara-negara tertentu secara intrinsik kurang jujur, tapi ia justru lebih memilih untuk melihat adanya kesamaan lintas-budaya.

“Bahkan di negara-negara paling korup, orang tidak akan terang-terangan tidak jujur,” katanya. “Mereka masih peduli tentang hal ini—citra [sebagai] orang yang jujur”.

Penelitian serupa untuk beberapa negara tertentu mungkin harus terus didalami. Baik itu dengan mengganti faktor-faktor yang terbebas dari ruang tabu, atau faktor kebiasaan lainnya yang dapat menjadi penghalang.

Namun studi ini sedikitnya telah memberikan gambaran bahwa pemerintah korup bukan hanya menyengsarakan rakyatnya dari sisi ekonomi, tetapi juga membawa dampak buruk pada perkembangan mental suatu bangsa.