humaniora

Keadaan Ekonomi Berdampak pada Kondisi Tubuh

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman subjektif dan objektif dari tidak terjaminnya ekonomi, ternyata memainkan peran yang hampir mirip terhadap rasa sakit fisik yang dialami.

PublishedAugust 16, 2016

byDgraft Outline

Serangkaian penelitian telah menemukan hubungan antara keadaan ekonomi dengan kondisi tubuh. Eileen Chou dan Timnya yang tertarik pada faktor seperti status pekerjaan dan terjaminnya ekonomi, mengungkapkan bahwa ketidakterjaminan ekonomi bisa meningkatkan kondisi sakit (nyeri) secara fisik.

Tim Peneliti; Eileen Y. Chou, Bidhan L. Parmar dan Adam D. Galinsky, mempublikasikan hasil studi mereka dalam jurnal “ Psychological Science ” bulan Februari lalu yang mengungkap bahwa ada hubungan signifikan antara kondisi ekonomi dan kondisi Tubuh.

Dalam studi pertamanya mereka berhasil mengumpulkan 33.720 sampel terkait pembelian obat penghilang rasa sakit. Mereka juga menelusuri status pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengangguran berpengaruh pada penggunaan obat penghilang rasa sakit.

Untuk menilai bagaimana dua ukuran; status pekerjaan dan prospek ekonomi berpengaruh pada keadaan sakit fisik, tim peneliti melakukan survei pada 187 peserta dalam studi kedua.

Seperti studi pertama, tingkat rasa sakit fisik juga tercermin dari status pekerjaan. Selain itu, mereka yang tinggal di negara-negara dengan tingkat pengangguran yang tinggi cenderung memiliki tingkat yang lebih tinggi juga terhadap rasa sakit secara fisik.

Dalam penelitian ketiga, hubungan antara ketidakterjaminan ekonomi dan rasa sakit fisik diteliti dengan memanipulasi variabel informasi dalam kelompok-kelompok.

Hasilnya, setelah mengontrol variabel seperti usia dan status pekerjaan, para peserta yang tercermin pada periode keadaan ekonomi yang tidak aman memiliki hampir dua kali lipat tingkat rasa sakit fisik jika dibandingkan dengan kelompok yang memiliki keterjaminan ekonomi.

Dalam studi keempat, hubungan sebab-akibat lain ditemukan. Peserta diberi informasi bahwa di negara tempat mereka tinggal merupakan salah satu negara dengan tingkat pengangguran tertinggi sehingga menciptakan kelompok yang merasa status ekonomi di negaranya tidak terjamin.

Kelompok kedua tidak diberi tahu tentang tingkat pengangguran negara mereka, sehingga menciptakan kondisi yang akan digunakan untuk perbandingan.

Di antara 195 peserta, saat tingkat rasa sakit dinilai, bila dibandingkan dengan kelompok kedua, kelompok dengan informasi ketidakterjaminan dan keadaan ekonomi melaporkan nyeri fisik. Temuan ini cukup konsisten dengan harapan peneliti.

Peserta dalam studi kelima diminta untuk menulis tentang pengalaman mereka berdasarkan situasi ekonominya. Mereka yang menggambarkan kurangnya keterjaminan ekonomi melaporkan lebih dari dua kali lipat mengalami sakit fisik dibanding yang terjamin secara ekonomi.

Sebuah tes sensasi dingin—guna mengukur sensitivitas terhadap air yang sangat dingin—digunakan untuk mengukur toleransi sakit sebagai bagian dari studi keenam, baik sebelum dan pasca-manipulasi.

Melalui teks komputer, 114 peserta membaca informasi yang terkait dengan penyerapan lapangan kerja yang rendah untuk para sarjana dari perguruan tinggi tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan merefleksikan tidak terjaminnya dunia kerja atau ekonomi mereka, ternyata menurunkan toleransi rasa sakit fisik. Sementara tidak ada perubahan dalam toleransi sakit di antara peserta yang diberikan keterjaminan ekonomi atau dunia kerja mereka.

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman subjektif dan objektif dari tidak terjaminnya ekonomi, ternyata memainkan peran yang hampir mirip terhadap rasa sakit fisik yang dialami.

Mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit memiliki dampak yang harus dipertimbangkan kembali. Selain itu juga arus informasi memiliki peran yang signifikan sehingga temuan ini menjadi penting untuk dokter, peneliti, dan pembuat kebijakan publik.