humaniora

Pascatrauma, Perbedaan Anak laki-laki dan Perempuan

Munculnya wilayah otak yang mengintegrasikan emosi dan tindakan penderita Pascatrauma atau PTSD ( Post-Traumatic Stress Disorde ) ternyata lebih cepat berkembang pada anak perempuan dibanding laki-laki, studi baru ini diwartakan Stanford University School of Medicine (11/11).

PublishedNovember 12, 2016

byDgraft Outline

Anak-anak dan Remaja yang terkena stres akibat kejadian traumatis, beberapa akan mengembangkan Gangguan stres Pascatrauma atau PTSD. Mereka yang memiliki PTSD mungkin akan terus mengalami kilas balik peristiwa traumatis-nya.

Mereka mungkin akan menghindari tempat, orang, dan hal-hal yang mengingatkan mereka pada trauma; dan mungkin menderita berbagai masalah lainnya, termasuk anti sosial dan kesulitan tidur atau berkonsentrasi.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak perempuan yang mengalami trauma lebih mungkin untuk terkena PTSD dibandingkan anak laki-laki, kini para ilmuwan dari Stanford University School of Medicine telah mampu memberi tahu kepada kita alasannya.

Tim penelitian melakukan MRI-pencitraan otak pada 59 partisipan penelitian usia 9-17 tahun. Tiga puluh dari mereka (14 anak perempuan dan 16 anak laki-laki) memiliki gejala pascatrauma, dan 29 orang lain tidak memiliki trauma dan gejala pascatrauma (15 perempuan dan 14 anak laki-laki)–merupakan kelompok kontrol.

Partisipan trauma dan non-trauma memiliki IQ dan usia yang sama. Mereka yang memiliki gejala pascatrauma, lima orang mengalami satu peristiwa trauma, sedangkan sisanya (25 orang) telah mengalami dua atau lebih peristiwa dan terkena trauma kronis.

Para peneliti melihat tidak ada perbedaan struktur otak antara anak laki-laki dan perempuan pada kelompok kontrol. Namun, di antara anak laki-laki dan perempuan yang mengalami trauma, mereka melihat ada perbedaan.

Lebih jauh studi ini menemukan perbedaan struktural di salah satu bagian dari insula sesuai jenis kelamin; yaitu daerah otak yang mendeteksi isyarat dari tubuh dan proses emosi-empati. Insula umumnya dikenal membantu mengintegrasikan perasaan seseorang, tindakan dan beberapa fungsi otak lainnya.

“Insula tampaknya memainkan peran kunci dalam pengembangan PTSD,” kata salah satu penulis studi tersebut, Victor Carrion, MD, profesor ilmu psikiatri dan perilaku di Stanford University School of Medicine.

“Kami melihat perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan yang mengalami trauma psikologis, ini penting karena dapat membantu menjelaskan perbedaan gejala trauma antara jenis kelamin”.

Dalam bagian insula yang disebut sulkus, anterior melingkar, wilayah otak ini memiliki volume dan luas permukaan yang lebih besar pada anak laki-laki yang mengalami trauma dibandingkan anak laki-laki pada kelompok kontrol.

Selain itu, volume dan luas permukaan di kawasan ini lebih kecil pada anak perempuan dengan trauma dari pada perempuan di kelompok kontrol.

Hasil studinya sendiri telah dipublikasikan secara online 11 November kemarin dan merupakan studi yang pertama berhasil menunjukkan perbedaan antara pasien PTSD pria dan wanita di bagian insula yang terlibat dalam emosi dan empati.

Kontribusi Temuan Bagi Dunia Medis

“Sangat penting bahwa orang-orang yang bekerja dengan gejala trauma anak remaja mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin,” kata Megan Klabunde, PhD, penulis utama penelitian dan Pengajar ilmu psikiatri dan perilaku.

“Temuan kami menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan bisa menunjukkan gejala trauma yang berbeda dan bahwa mereka bisa mendapat manfaat dari pendekatan yang berbeda terhadap pengobatan”.

Insula biasanya berubah selama masa kanak-kanak dan remaja. Volume insula yang kecil akan terlihat pada sebagai anak-anak dan pada saat mereka mulai dewasa. Dengan demikian, temuan juga menyiratkan bahwa stres traumatis berkontribusi terhadap penuaan kortikal.

“Ada beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat stres yang tinggi dapat berkontribusi terhadap pubertas dini pada anak perempuan,” ungkap Klabunde.

Para peneliti juga mencatat bahwa hasil studi mereka dapat membantu para dokter dan ilmuwan lain untuk memahami bagaimana perbedaan dampak trauma dan pascatrauma dengan mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin, sehingga diharapkan pengobatan mampu lebih spesifik dan efektif.