traveldraft

Wawacan, Pupuh dan Nyanyian Kesusastraan Sunda

Wawacan merupakan salah satu bentuk kesusasteraan yang hadir di Tanah Sunda pada kira-kira pertengahan abad ke-17 yang konon menyebar melalui ulama Islam dan pesantren. Wawacan adalah cerita panjang yang berbentuk dangding (menggunakan aturan pupuh).

PublishedMay 8, 2009

byDgraft Outline

Wawacan adalah sebuah lakon atau cerita panjang yang ditulis dalam pola pupuh dan disajikan dalam bentuk nyanyian. Dalam Kesusastraan Sunda diperkirakan wawacan mulai ditulis pada abad ke-18. Isi dari sebuah wawacan pada mulanya adalah lukisan kehidupan dan perkembangan agama.

Dari sudut wacana urutan tutur wawacan memiliki urutan tutur ( scripts ) atau penyajian terdiri dari tiga bagian, pertama manggala atau pembuka, kedua isi atau kisah, ketiga kolofon.

Kolofon adalah catatan penulisan naskah, umumnya berisi tentang keterangan mengenai tempat, waktu, dan penyalin naskah. Selain itu ada juga kolofon terkadang mengandung nama atau identitas pengarang. Kolofon tidak selalu terletak di akhir, ada juga naskah yang memiliki Kolofon di awal.

Isi wawacan bisa berupa kisah wayang, pantun (yang sebelumnya beredar secara lisan), fiksional, tokoh legendaris Sunda, dan tokoh sejarah. Contoh wawacan di antaranya: Wawacan Panji Wulung, Wawacan Sulanjana, Wawacan Siti Nungrum, dan Wawacan Gagak Lumayung.

Dalam perkembangan selanjutnya, wawacan juga memuat tentang kebenaran kesaktian dan keagungan keluarga raja serta para kiai. Kesaktian yang dikemukakan dalam wawacan, misalnya: manusia dapat terbang, manusia berubah menjadi patung, binatang dapat berbicara, atau binatang dapat menjelma menjadi manusia.

Selain itu, isi wawacan juga banyak yang berasal dari kesusastraan Jawa, seperti Wawacan Sekartaji dan Wawacan Anglingdarma. A_da pula yang merupakan saduran dari cerita wayang, misalnya _Wawacan Batara Kala dan Wawacan Dewaruci.

Lazimnya wawacan ditampilkan melalui media seni belik atau mamaca yang ditembangkan oleh beberapa orang secara bergiliran. Seorang bertindak sebagai pembaca, sementara yang lain berperan sebagai penembang.

Pada zaman silam, seni belik dipentaskan sebagai hiburan dalam upacara khitanan, perkawinan, upacara guar bumi (mulai menggarap tanah), mipit (mulai menuai padi), ngakut (memindahkan padi ke lumbung), dan ngaruat (upacara penolak bala bagi orang tertentu agar terhindar dari malapetaka).

Wawacan Ogin Amarsakti

Salah satu dari sekian banyak wawacan yang tersebar di Tatar Sunda adalah Ogin Amarsakti. Secara ringkas wawacan ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Raden Amarsakti yang penuh cobaan.

Raden Amarsakti adalah putra Raja Mahruf dari istri kedua, Lesmaya Mahadewi. Sejak dilahirkan, Amarsakti telah dibuang ke laut oleh istri Raja Mahruf yang pertama, yaitu Dewi Nurhayati. Di tengah laut, Amarsakti ditemukan oleh Raja Antaboga yang bertahta di Kerajaan Malebah.

Setelah Amarsakti dewasa, Raja Antaboga membeberkan asal-usul Amarsakti bahwa ia sebenarnya putra Raja Madusari, yakni Raja Mahruf. Selanjutnya, Amarsakti menyamar dengan nama Sarah dan berupaya mencari ayah dan ibu kandungnya.

Dengan melalui berbagai cobaan, Amarsakti akhirnya dapat mempertemukan kedua orangtuanya. Di samping itu Amarsakti memeroleh istri cantik dan harta warisan dari ayah angkatnya, Raja Antaboga dan Raja Mahruf.

Dari ringkasan cerita dapat diketahui bahwa Wawacan Ogin Amarsakti bertemakan keagamaan yang dititikberatkan pada pelajaran budi pekerti.

Perbuatan jahat tidak akan membawa manfaat seperti yang dilakukan oleh Dewi Nurhayati terhadap Dewi Lesmaya. Demikian pula perbuatan yang dilakukan oleh tokoh yang ada pada wawacan ini.

Mereka yang berbuat jahat akhirnya mengalami kekalahan.

Kesengsaraan menjadikan kemuliaan

Bekas susah jadi gagah

Yang dibuang menjadi membuang

Yang licik malah tidak terbukti

Begitulah terhadap orang yang dengki Nyi Nurhayat yang keras kepala

Yang membuat sakit hati malah mati (Bait 1329)

Tampak pada kutipan tersebut bahwa Wawacan Ogin Amarsakti mengikuti konvensi sastra klasik tradisional, yang selalu menyiratkan bahwa kebenaran akan berakhir dengan kebahagiaan dan sebaliknya, kejahatan akan berakhir dengan kekalahan.

Dari segi pengaruh, tampak bahwa Wawacan Ogin Amarsakti mengandung unsur Islam, Hindu, dan animisme. Pengaruh agama Islam tampak ketika Amarsakti mendapat pelajaran membaca Quran dari Raja Antaboga.

Dalam tempo tiga tahun Diberi pelajaran kebatinan Setelah membaca Quran Diajari berbagai ilmu Kesaktian lahiriah Pandai segala ilmu jin (Bait 173)

Kalau diperhatikan secara saksama, Amarsakti tidak hanya mendapat pelajaran membaca Quran, tetapi juga mendapat pelajaran kebatinan dan pandai segala ilmu jin. Hal ini menyiratkan bahwa selain unsur Islam ada pengaruh unsur mistik dalam wawacan ini.

Bahkan dapat ditemui pula unsur yang berasal dari agama Hindu yang ditandai dengan munculnya Ratu Barahma atau Dewa Barahma seperti terlihat pada kutipan berikut ini.

Atas kehendak Yang Maha Kuasa Saat api berkobar besar sekali Datanglah Ratu Barahma Masuk ke dalam tumpukan api Berdiri di atas api Serta berkata, “Kera, kucing umat gusti engkai diberi pertolongan dewa dan oleh Tuhan Pengasih Sayang.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Wawacan Ogin Amarsakti tampak adanya sinkretisme antara agama Islam, agama Hindu, dan kepercayaan terhadap kekuatan gaib.

Wawacan Sulanjana

Wawacan Sulanjana disebut pula Wawacan Sajarah Karuhun Kabeh, Wawacan Dewi Sri, Wawacan Babarit. Penyebutan Wawacan Babarit sehubungan siklus perkembangan tumbuhan padi ketika biji padi sedang isi disebut keur reneuh (hamil) dan kehamilan perempuan dalam usia tujuh bulan diselenggarakan ritual babarit.

Wawacan Sulanjana menggunakan urutan pupuh Asmarandana, Sinom, Pangkur, Durma, Pucung, Dangdanggula, Durma, Pangkur, Kinanti, Dandanggula.

Bagian Teks menurut pengunaan pupuh sebagi berikut:

1). Silsilah Nabi Adam. Kerajaan jagat raya dirajai oleh Sang Hyang Tunggal (Batara Guru) dengan patihnya Narada, akan membuat Bale Pancawarna. Dewa Anta tak bisa menunaikan tugas, keluar tiga buah telur dicakar oleh Elang. Telur terjatuh dua butir lahir Kala Buat dan Budug Basu.

Satu butir telur ditugaskan oleh Batara Guru untuk dierami, dan menetas menjadi Dewi Sri. Di Tegal, Kapapan Idajil kencing diminum oleh sapi betina lahir Sapi Gumarang yang sakti, Kala Buat dan Budug Basu diangkat anak oleh Sapi Gumarang. Dewi Sri diserahkan kepada Batara Guru, disusui oleh Dewi Uma, diasuh oleh Dewi Esri. (Asmarandana)

2). Dewi Puhaci dewasa, sangat cantik, Batara Guru jatuh cinta. Pemikiran Narada jangan sampai Batara Guru menikahi Dewi Sri. Dewi Sri diberi buah khlodi, ketagihan lalu meninggal. Mayat Puhaci diurus oleh Aki Bagawat dikubur di Banyu Suci. Dari perkuburan tumbuh padi dan tanaman lainnya antara lain dari kepala kelapa, dari tangan enau.

Semar dan anak-anaknya diperintahkan membawa seluruh tanaman untuk ditanam di Pakuan yang dirajai oleh Prabu Siliwangi. Pakuan subur makmur. Dewi Nawangwulan ditugaskan memasak padi, satu tangkai padi cukup untuk memberi makan orang banyak. Prabu Siliwangi berjanji tak akan mengganggu masakan istirnya. (Sinom)

3). Budug Basu mencari saudaranya, Dewi Sri, Ke Suralaya, mendapat keterangan bahwa Dewi Sri sudah wafat. Budug Basu mengelilingi perkuburan Dewi Sri selama 7 keliling lalu meninggal. Mayat Budug Basu digotong oleh Kalamula dan Kalamuntir mengelilingi jagat, tembelanya tertimpa pohon gebang, mayat Budug Basu menjadi binatang darat dan laut.

Semua binatang mengabdi kepada Sapi Gumarang. Waktu Dewi Puhaci masih hidup Batara Guru keluar kama, jatuh di bumi tujuh, keluar Sulanjana, Talimendang, dan Talimenir, dipelihara oleh Dewi Pertiwi. Setelah besar ketiganya menyusul ayahnya. (Pangkur)

4). Sulanjana dan saudaranya menemui Batara Guru. Mereka dititipi Suralaya karena Batara Guru dan Narada menjadi burung pipit untuk memeriksa padi di Pakuan. Semar dan anak-anaknya marah karena tanaman diganggu burung pipit, lengan pohon kawung dipotong oleh Semar sehingga mengeluarkan rasa manis. (Durma)

5). Dempu Awang seorang nakhoda datang ke Pakuan untuk membeli beras, diterima oleh Kaliwon. Prabu Siliwangi tidak melayani maksud pembelian padi karena ia tidak merasa memilikinya hanya dititipi oleh pemiliknya Batara Guru. Dempu Awang sakit hati, lalu mendatangi Sapi Gumarang di Tegal Kapapan untuk meminta pertolongan merusak padi. Sapi Gumarang memerintahkan Kala Buat, Budug Basu, Celeng Wijung beserta binatang lainnya merusak padi. (Pucung)

6). Padi di Pakuan Rusak, Batara Guru menugasi ketiga putranya mengindarkan bahaya tersebut. Sekejap mata tumbuhan menjadi segar kembali malah lebih bagus dari semula. Sapi Gumarang malu, marah, dan merasa takut, akan tetapi tak mau menyerah. (Dangdanggula)

7). Sapi Gumarang membuat angin panas mengeluarkannya dari sebelah timur. Gangguan ini bisa diatasi dengan bantuan Sulanjana yang ditugasi oleh Batara Guru. Gangguan datang berkali-kali dan dapat pula diatasi. (Durma)

8). Setiap gangguan Sapi Gumarang dapat diatasi. Sapi Gumarang sangat marah ia menantang perang tanding kepada Sulanjana. Sulanjana meminta restu kepada Batara Guru. Batara Guru menasehatinya jangan takut dan jangan juga lengah karena berperang dengan Idajil. Sapi Gumarang kalah, ia takluk dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana serta akan melindungi padi. Ketiga anak Batara Guru dititipi padi yang ada di Pakuan. (Pangkur)

9). Prabu Siliwangi ingin sekali mengetahui cara memasak padi. Ketika sedang memasak Dewi Nawangwulan ingin buang air, masakannya dibuka oleh Prabu Siliwangi. Dewi Nawangwulan tahu apa yang telah terjadi.

Jatuhlah talak kepada dirinya. Ia memerintahkan untuk membuat alat memasak nasi, bakul, kukusan, dalung/seeng (dandang), lesung dengan tiga buah lubang, dua buah lubang dipingir untuk menempatkan Talimendang dan Talimenir. Ia pun kembali ke Kahiangan.

Prabu Siliwangi menyusul supaya Dewi Nawangwulan dikembalikan tapi permintaannya tidak dipenuhi oleh Batara Guru. Batara Guru menyampaikan saat yang baik untuk melaksanakan pertanian. Dewa Anta diperintahkan menjaga Dewi Sri di Pakuan dan namanya berganti menjadi Dewa Naga Anta. Apabila di sawah atau leuit didiami oleh Dewa Naga Anta pasti akan subur. (Kinanti)

10). Kidung Salamet terdiri dari 8 pada /bait. (Dangdanggula)

Wawacan Sulanjana biasanya dibacakan dalam ritual pertanian terutama siklus penanaman padi dengan sesajen untuk di sawah maupun sesajen untuk dimakan bersama.

Wawacan Sulanjana memiliki struktur penyajian yang tidak seperti wawacan pada umumnya, baik di dalam struktur yang naratif maupun scripts terkandung indeks. “Teks hasil karya seseorang pengarang memiliki indeksikal pribadi mereka”.

Kisah Wawacan Sulanjana secara ringkas sebagai berikut:

  1. kelahiran Puhaci/Dewi Sri
  2. Muncul tokoh pelindung dan perusak padi; pelindung Sulanjana, Talimendang, Talimenir. Perusak; Sapi Gumarang dan anak buahnya.
  3. Puhaci/Dewi Sri menjelma menjadi padi.
  4. Terjadi perlindungan dan pengrusakan
  5. Kekalahan perusak.
  6. Semua menjaga tanaman padi.

Alur tersebut diskemakan sebagi berikut:

Pada Wawacan Sulanjana terdiri dari  manggala yang berisi tahun penulisan, identitas penulis, yakni Wangsaharja (wangsa Harja) orang kulur dengan merendahkan diri ( captatio bonevolintiae ), pengharapan dari penulisan supaya mendapat berkah. Kemudian silsilah dimulai dari Nabi Adam sebanyak 7 pada dalam pupuh Asmarandana.

Isi dan terakhir, Kolofon menceritakan selesai penulisan. Dilihat dari scripts penulisan ini jelas memohon keberkahan, dan silsilah pun diperkirakan untuk keberkahan pula, selain itu memasukan unsur Islam untuk pengharapan pengakuan/penerimaan (legitimasi) atas teks pada masyarakat Islam, seolah-olah tkes naskah ini bersifat Islami.