traveldraft

Candi Jawi, Candi Singasari Sampai Majapahit

Paparan bahan serta struktur bangunan menyatakan bahwa candi ini dibangun pada dua masa pemerintahan dan kerajaan, yaitu masa pemerintahan Krtanagara, kerajaan Singasari (Singasari), serta masa Kerajaan Majapahit.

PublishedSeptember 3, 2009

byDgraft Outline

Candi jawi dipercaya pertama kali dibangun pada masa kerajaan Singhasari / Singosari sebagai bentuk pencitraan Krtanagara sebagai Dewa, kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan Majapahit dengan menambahkan struktur benteng dan kolam/parit yang mengelilingi area candi.

Kompleks candi Jawi merupakan perpaduan gaya arsitektur (dari sisi bahan) antara masa Singosari dan Majapahit. Gaya Singosari jelas terlihat dari struktur batu andesit pembentuk candi utama, sementara gaya majapahit terlihat jelas dari reruntuhan gerbang menuju candi utama dan parit yang mengelilingi candi utama yang mengingatkan kita pada struktur kolam Segaran.

Candi jawi merupakan salah satu candi yang ada di Jawa Timur, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Posisi Candi Jawi diluar kebiasaan candi-candi peninggalan yang tersebar di daerah Jawa Timur.

Candi ini tidak menghadap kearah barat, melainkan kearah sebaliknya, yaitu kearah timur. Dengan tinggi kurang lebih 24,50 m, lebar 9,55 m, candi Jawi dibangun diatas teras tinggi yang dikelilingi oleh parit selebar 2,50 meter. Pintu masuk candi menghadap ke timur sedangkan bangunan lainnya yang ada dikompleks ini menghadap ke barat.

Bangunan candi terdiri atas batur, kaki, badan dan atap candi dalam keadaan utuh sebagai hasil dari pemugaran yang pernah dilakukan. Batur dihias oleh relief-relief yang agak “nyeleneh”, di luar keumuman candi-candi pada umumnya.

Kalau biasanya relief-relief pada candi menggambarkan kisah mengenai salah satu ajaran atau epik dalam kitab/keyakinan tertentu maka pada candi Jawi relief-reliefnya malah menceritakan keadaan di sekitar candi jawi.

Di atas batur terdapat selasar yang mengelilingi candi, di kanan kiri tangga menuju selasar terdapat makara. Makara juga terdapat pada kanan dan kiri tangga serta badan candi.

Badan candi dihiasi pintu dan relung-relung yang di atasnya terdapat kala. Dalam bilik candi ditemukan yoni dan di langit-langitnya terdapat sebuah relief yang menggambarkan lingkaran bersinar dengan gambar seorang naik kuda ditengahnya.

Bagian tengah candi dan sudut-sudutnya dihiasi antefix. Atap candi tersusun makin keatas makin mengecil dan akhirnya sampai pada puncak atap berupa dagobha Budha/stupa. Dihalaman candi pernah ditemukan arca-arca yang bersifat siwaistis seperti arca Siwa Guru, Durga, Ganeca, Adhanari, Mahakala, Nandiswara serta Aksobya (Joko Dolog).

Dari bentuk dagobha/stupa pada puncak atap candid an arca-arca yang pernah ditemukan di halaman candi yang bersifat siwaistis, diketahui bahwa candi Jawi merupakan candi perpaduan Siwa Budha seperti yang disebutkan dalam Nagarakertagama.

Menurut Nagarakrtagama, candi yang sarat akan nilai-nilai budaya ini pada candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 C/1331 M) pernah rusak karena disambar petir. Selain bangunan candi, ada salah satu arcanya yang ikut rusak yaitu arca Maha Aksobaya.

Hal ini membuat Raja Hayam Wuruk sangat sedih, sehingga satu tahun kemudian (1332 M) ia mengerahkan rakyat untuk memperbaikinya kembali.

Namun, sama seperti candi-candi lain yang ada di Jawa, Candi Jawi baru mulai diperhatikan lagi pada awal abad ke-20, setelah bangunannya menjadi porak-poranda dan begitu banyak unsur yang hilang.

Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping.

Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya).

Memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M).

Menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Pari di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.

“Kakawih Nagarakertagama yang menyebutkan candi Jawi sebagai Jajawa tempat pendharmaan raja Kertanagara yang wafat pada tahun 1292 masehi, diperkirakan candi Jawi dibangun pada tahun 1304.”

Candi Jawi yang dibangun sekitar abad ke-13 ini adalah tempat penyimpanan sebagian abu jenazah Raja Kertanegara (Raja terakhir Singosari) yang meninggal tahun 1292 M. Sebagian abu lainnya disimpan pada Candi Singosari.

Pada zaman Majapahit, Candi Jawi pernah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) pada waktu mengadakan perjalanan ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M).

Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat.

Nagarakertagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini.

Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.

Candi Jawi baru dipugar kembali pada tahun 1938 karena kondisinya sudah rusak. Pemugaran yang konon telah memenuhi syarat tekno-arkeologis itu dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst dengan membangun kembali lagi kaki candi, mengupas halaman candi serta menyusun beberapa bagian candi dalam bentuk susunan percobaan. Akan tetapi, pemugaran dihentikan pada tahun 1941 karena sebagian batunya telah hilang.

Usaha pemugaran baru dimulai lagi pada Pelita II (1975/1976) yang dilakukan oleh Dit. Linbinjarah, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud dengan Drs. Tjokrosudjono (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur) sebagai pimpinan lapangan.

Dalam pemugaran yang ketiga ini, batu-batu yang hilang dapat ditemukan lagi sebingga pemugaran dapat dilanjutkan sampai selesai pada tahun 1980. Dua tahun kemudian (1982), Candi Jawi diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus objek wisata sejarah.

Candi Jawi, Tempat Pendaharmaan Raja Kertanagara

Nagarakertagama menyebut candi Jawi sebagai Jajawa, tempat pendaharmaan raja Kertanagara yang wafat tahun 1292 Masehi. Diperkirakan candi Jawi dibangun pada tahun 1304 Masehi.

Candi Jawi dibangun di kaki gunung Welirang yang menghadap ke arah gunung Penanggungan, di atas suatu teras tinggi yang dikelilingi parit berisi air selebar 2,50 meter.

Pintu masuk ke candi menghadap ke timur sedangkan kompleks sekitarnya menghadap ke barat. Bangunan candi terdiri atas batur, kaki, badan, dan atap candi dalam keadaan utuh sebagai hasil pemugaran.

Batur dihias relief memanjang dari sudut ke sudut dengan gaya yang naturalistik, namun ceriteranya tidak diketahui identitasnya. DI atas batur terdapat selasar yang mengilingi candi. di kanan kiri tangga menuju selasar terdapat makara.

Makara terdapat juga di kanan kiri tangga pada kaki dan badan candi. Badan candi dihiasi pintu dan relung-relung yang di atasnya terdapat kala. Dalam bilik candi ditemukan yoni dan di langit-langitnya tampak sebuah relief yang menggambarkan lingkaran bersinar dengan gambar seorang naik kuda di tengahnya.

Bagian tengah candi dan sudut-sudutnya dihiasi antefix. Atap candi tersusun makin ke atas makin mengecil dan akhirnya sampai pada puncak atab berupa dagoba (stupa). Di halaman candi pernah ditemukan arca-arca yang bersifat siwaistis seperti arca Siwa Guru, Durga, Ganeca, Adhanari, Mahakala, Nandiswara serta Aksobya (Joko Dolog).

Dari bentuk dagoba (stupa) pada puncak atap candi dan arca-arca yang pernah ditemukan di halaman candi yang bersifat Siwaistis, diketahui bahwa candi Jawi merupakan candi perpaduan Siwa Budha seperti yang disebutkan dalam Nagarakertagama.

Kitab Nagarakertagama menyebut candi Jawi sebagai Jajawa, tempat pendaharmaan raja Kertanagara yang wafat tahun 1292 MAsehi. Diperkirakan candi Jawi dibangun pada tahun 1304 Masehi.

Candi Jawi berada di kaki G. Welirang, tepat di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa candi Jawi didirikan pada abad ke 13 atas perintah raja terakhir kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha.

Selain sebagai tempat ibadah, candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Letak candi Jawi cukup jauh dari pusat kerajaan Singasari. Rakyat di daerah candi Jawi sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Buddha.

Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden wijaya, menantu raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.

Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 m2, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 m. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai.

Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya.

Posisi Candi Jawi yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa.

Sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.

Salah satu keunikan Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunan terdiri dari dua jenis. Dari Kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu berwarna gelap, tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap candi menggunakan campuran batu berwarna gelap dan putih.

Diduga candi ini dibangun dalam dua masa pembangunan. Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pada tahun 1253 Saka (candrasengkala: Api Memanah Hari) Candi Jawi disambar petir.

Dalam kejadian itu arca Maha Aksobaya menghilang. Hilangnya arca tersebut sempat membuat sedih Raja Hayam Wuruk ketika baginda mengunjungi Candi Jawi. Setahun setelah disambar petir, Candi Jawi dibangun kembali.

Pada masa inilah diperkirakan mulai digunakannya batu putih. Penggunaan batu putih tersebut juga mengundang pertanyaan, karena yang terdapat di kawasan G. Welirang kebanyakan adalah batu berwarna gelap. Kemungkinan batu-batu tersebut didatangkan dari pesisir utara Jawa atau Madura.

Kaki candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi sekitar 2 m dengan pahatan relief yang memuat kisah tentang seorang pertapa wanita. Tangga naik yang tidak terlalu lebar terdapat tepat di hadapan pintu masuk ke garba grha (ruang dalam tubuh candi). Pahatan yang rumit memenuhi pipi kiri dan kanan tangga menuju selasar.

Sedangkan pipi tangga dari selasar menuju ke lantai candi dihiasi sepasang arca binatang bertelinga panjang. Di sekeliling tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar.

Bingkai pintunya polos tanpa pahatan, namun di atas ambang pintu terdapat pahatan kalamakara, lengkap dengan sepasang taring, rahang bawah, serta hiasan di rambutnya, memenuhi ruang antara puncak pintu dan dasar atap.

Di kiri dan pintu terdapat relung kecil tempat meletakkan arca. Di atas ambang masing-masing relung terdapat pahatan kepala makhluk bertaring dan bertanduk.

Ruangan dalam tubuh candi saat ini dalam keadaan kosong. Tampaknya semula terdapat arca di dalamnya. Negarakertagama menyebutkan bahwa di dalam bilik candi terdapat arca Syiwa dengan Aksobaya di mahkotanya.

Selain itu disebutkan juga adanya sejumlah arca dewa-dewa dalam kepercayaan Syiwa, seperti arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi, dan Brahma.

Tak satupun dari arca-arca tersebut yang masih berada di tempatnya. Konon arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang sampai saat masih belum ada yang berhasil membacanya. Mungkin karena pahatannya yang terlalu tipis. Mungkin juga karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah.

Kitab Negarakertagama yang menceritakan candi ini secara cukup rincipun sama sekali tidak menyinggung soal relief tersebut. Menurut juru kunci candi, relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), seperti yang digunakan dalam membaca relief di Candi Kidal. Masih menurut juru kunci candi, relief yang terpahat di tepi barat dinding utara menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya.

Antara pelataran belakang candi yang cukup luas dan tertata rapi dengan perkampungan penduduk dibatasi oleh sebuah sungai kecil. Di sudut selatan pelataran terdapat reruntuhan bangunan yang terbuat dari bata merah. Sepertinya bangunan tersebut tadinya adalah sebuah gapura, namun tidak ada keterangan yang bisa didapat mengenai bentuk dan fungsinya semula.

Candi Jawi baru dipugar kembali pada tahun 1938 karena kondisinya sudah rusak. Pemugaran yang konon telah memenuhi syarat tekno-arkeologis itu dilakukan oleh Oudheidkundige Dienst dengan membangun kembali lagi kaki candi, mengupas halaman candi serta menyusun beberapa bagian candi dalam bentuk susunan percobaan. Akan tetapi, pemugaran dihentikan pada tahun 1941 karena sebagian batunya telah hilang.

Usaha pemugaran baru dimulai lagi pada Pelita II (1975/1976) yang dilakukan oleh Dit. Linbinjarah, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud dengan Drs. Tjokrosudjono (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur) sebagai pimpinan lapangan.

Dalam pemugaran yang ketiga ini, berkat kejelian seorang pekerja yang bernama Mbah Karto Plewek dari Prambanan, batu-batu yang hilang dapat ditemukan lagi sebingga pemugaran dapat dilanjutkan sampai selesai pada tahun 1980.

Dua tahun kemudian (1982), Candi Jawi diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus obyek wisata sejarah.