traveldraft

Candi Jago, Peninggalan Singhasari di Jawa Timur

Candi Jago dalam Nagarakretagama disebut Jajaghu, terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, dengan keseluruhan bangunannya tersusun atas bahan batu andesit.

PublishedOctober 18, 2009

byDgraft Outline

Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi

Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka.

Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda. Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel.

Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).

Candi Jago belum pernah mengalami pemugaran. Bagaimana pun pelestarian pada bangunan kuno seperti halnya Candi Jago tidak perlu dilakukan, mengingat begitu tinggi nilai sejarahnya.

Relief Candi Jago pada teras pertama (undak terbawah )

Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu.

Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya.

Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.

Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha

Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.

Pada teras kedua terpahat cerita Parthayajna, berasal dari kitab Mahabharata. Isinya mengisahkan Arjuna dan saudaranya, Pandawa, yang mengalami kekalahan main dadu, sehingga Arjuna harus bertapa di Gunung Indrakila.

Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.

Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.

Candi Jago dalam Sejarah

Seperti telah banyak diketahui, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa Amurwabhumi. Riwayat dan cerita tentang raja ini banyak dimuat dalam Pararaton dan Negarakretagama, yang aslinya berbahasa Jawa Kuno namun sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tidak terlalu sulit dipelajari.

Sejak awal, keberadan kerajaan ini banyak tercatat dalam sejarah dan peninggalannya banyak tersebar di bumi Jawa Timur. Raja Rajasa yang memerintah selama 1222-1227, memunyai beberapa putra, di antaranya Mahisa Wong Ateleng dan Tohjaya, sedangkan putra tirinya Anusapati kemudian hari adalah yang membunuhnya.

Sepeninggal Raja Rajasa, Singasari diperintah oleh Anusapati yang berkuasa selama 1227-1246. Dalam pemerintahan Raja Anusapati, Kerajaan cukup aman. Setelah wafat ia digantikan oleh saudaranya, Tohjaya yang tidak seberapa lama memerintah karena meninggal dunia.

Pengganti Tohjaya adalah Ranggawuni, putra Anusapati. Ia bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana, berkuasa selama 1248-1268. Selama memerintah di Singasari, Ranggawuni bekerjasama dengan saudaranya, Mahisa Campaka.

Dalam pemerintahannya, Ranggawuni memerhatikan hamba sahayanya dan membalas jasa kepada mereka yang telah banyak membantu. Waktu masih memerintah, Ranggawuni mengangkat pula putranya, Kertanegara, menjadi raja muda. Bersama putranya Ranggawuni memimpin Kerajaan.

Saat Raja Wisnuwardhana wafat pada 1268, Kertanegara mendirikan beberapa bangunan suci berupa candi sebagai darma baktinya kepada sang ayah. Satu di antara bangunan itu adalah Candi Jago yang terwujud sebagai bangunan Buddha-Siwa.

Candi Jago Peninggalan Singhasari di Jawa Timur

Bangunan Candi Jago sudah tidak utuh lagi, yang tetinggal adalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Arah hadap bangunan ke barat laut.

Bentuk arsitektur candi amat unik; badan candi disangga oleh tiga buah teras yang disusun seperti teras punden berundak yang dibangun di gunung-gunung. Bagian depan teras nampak sangat menjorok apabila dibandingkan dengan bagian badan candi. Dengan demikian kaki candi berteras-berundak, badan candi terletak di bagian paling belakang di teras tertinggi (teras ketiga).

Daerah Provinsi Jawa Timur menyimpan banyak benda-benda peninggalan masa lampau/prasejarah. Hal itu menandakan bahwa Indonesia memiliki banyak sekali peninggalan prasejarah di daerah-daerah di Indonesia.

Salah satu cara untuk menjaga dan melestarikan peninggalan prasejarah adalah dengan mendokumentasikan peninggalan tersebut. Satu peninggalan prasejarah di Jawa Timur adalah Candi Jago.

Candi Jago berada di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Awal mula candi ini dahulu bernama Jayaghu. Bangunan candi Jago berasal dari zaman majapahit akhir.

Pada tahun 1272 Saka atau 1350 Masehi, candi Jago pernah diperbaiki oleh Adityawarman dan sesudah itu candi Jago banyak mengalami beberapa kali pemugaran pada kurun akhir majapahit yakni pada pertengahan abad ke 15.

Menurut Negarakertagama, candi ini merupakan salah satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Hayam Wuruk pernah melakukan kunjungan ziarah ke makam leluhur yaitu Wisynuwardhana di candi Jayaghu atau Jago.

Perwujudan dari Wisynuwarddhana disebut dalam Negarakertagama adalah Arca Amoghapasa dewa tertinggi dalam agama Buddha Tantra yang memiliki tangan delapan. Arca tersebut saat ini masih tersisa di halaman candi tetapi kepala arca telah hilang.

Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit.

Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari.

Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.

Secara arsitektur bangunan candi Jago mirip sekali dengan bentuk punden berundak yang merupakan ciri bangunan religi dari zaman megalitikum yang mengalami kebangkitan pada masa akhir majapahit. Badan candi terletak di atas kaki candi yang bertingkat tiga.

Bangunan utama candi terletak agak ke belakang dan menduduki teras tinggi. Pada bangunan utama itu diberi atap dari ijuk sebagaimana pura-pura di Bali.

Bahkan dari sudut pandang arkeologi nama Desa Tumpang tempat dimana Candi Jago berada tentu berasal dari bentuk candi tersebut, sebab didalam bahasa Jawa kuno kata Tumpang memeliki arti “lapis, deretan bertingkat, bersusun, membangun dalam deretan bertingkat”.

Selain itu, ditinjau dari ragam hias terutama relief-relief yang menghiasi tubuh candi yang mengisahkan lakon Krishnayana, Parthayajna dan Kunjakarna, makin menyakinkan bahwa bangunan candi tersebut berasal dari masa akhir Majapahit meski bahan-bahan batunya sangat mungkin berasal dari masa singosari atau masa ketika candi itu direnovasi oleh Adityawarman.

Kisah Parthayajna dan Kunjakarna, adalah Kakawih yang ditulis Mpu Tanakung yang hidup pada masa akhir zaman Majapahit. Menurut P.J. Zoetmulder (1983), kedua Kakawih itu dipahatkan sebagai relief pada sebuah candi di Jawa Timur yakni Candi Jago.

Relief Kunjakarna yang menghiasi bagian teras Candi jago menceritakan Boddhicitta Wairocana di wihara yang sedang mengajarkan dharma kepada para Jina, Boddhisattwa, Bajrapani dan dewa-dewa.

Pada saat yang sama yaksa bernama Kunjarakarna melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru agar dapat dibebaskan dari wataknya sebagai setan pada inkarnasi berikutnya.

Relief Parthahayajna menuturkan perjalanan Arjuna ke Gunung Indrakila guna melatih diri lewat tapabrata agar memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila adalah tempat ia bisa berjumpa dengan para dewa, tetapi harus melalui Resi Dwipayana, mahaguru dalam ajaran dan praktek Sivadharma.

Resi Dwipayana mengajarai Arjuna tata cara untuk mencapai pembebasan dan persatuan dengan hakekat Siva. Setelah satu tahun, di Gunung Indrakila, Arjuna dikisahkan berhasil mencapai tujuannya di mana Siva menampakkan diri sebagai Hyang Kirata.

Relief Krisnayana dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan kisah perkawinan Maharaja Wisynuwarddhana dengan Nararya Waning Hyun, yakni lambang perkawinan dewa Wisnu dengan dewi Sri yang menitis dalam wujud Kresna dan Rukmini. Didalam Kakawih krynayana disebutkan bahwa tokoh Prthukirti, ibu Rukmini, adalah adik Kunti dan Basudewa.

Jadi Kresna dan Rukmini adalah saudara sepupu. Hal itu sesuai dengan fakta bahwa Wisynuwarddhana adalah sepupu Waning Hyun. Pada akhirnya, Kresna berhasil menikahi Rukmini dan hidup bahagia dengan dikaruniai sepuluh orang anak.

Keberadaan candi Jago juga adalah sebagai penolak bala tuah keris Mpu Gandring yang dikatakan akan memakan tujuh keturunan Ken Arok.

Wisnuwardahana juga mengangkat Narasingamurti yang masih saudara namun beda bapak sebagai pendamping utama dalam menjalankan pemerintahan sehingga periode pemerintahan disebut dengan 2 naga kepala tunggal.

Tujuannya adalah untuk mengakhiri jurang perpecahan antara para keturunan Ken Arok dan Kendedes.