traveldraft

Lontaraq dan Aksara Lontara (Aksara Bugis)

Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari lontar atau palem tal ( Borassus flabellifer ). Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka.

PublishedFebruary 21, 2010

byDgraft Outline

Ada pula yang berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata: raung (daun) dan talak (lontar). Kata raung talak mengalami proses evolusi menjadi lontarak.

Ada sebuah lontaraq yang unik, mirip dengan pita atau kaset audio/video. Teksnya ditulis satu baris pada daun tal sempit yang digulung, hanya dapat dibaca bila gulungan diputar balik. Tulisan pada gulungan bergerak di depan mata pembaca, dari kiri ke kanan.

Salah satu lontaraq gulung tersebut adalah La Galigo, sebuah epos asli masyarakat Bugis, diperkirakan ditulis pada abad ke-14, masa pra Islam. Karya sastra ini berjumlah 6.000 halaman, dengan metrum lima suku kata. Latar belakang kisah La Galigo ini berada di Luwu, kerajaan yang dianggap tempat kelahiran masyarakat Bugis. Berikut lontaraq La Galigo yang digulung pada dua buah poros.

Selain epos La Galigo, tulisan-tulisan kuno Bugis yang lain adalah kronik sejarah ( attoriolong ), nyanyian upacara keagamaan, hukum, catatan harian, silsilah ( lontaraq pangngoriseng ), kata bijak ( pappaseng ), cerita rakyat, dan syair pendek atau elong.

Di samping itu, ada pula jenis toloq, yakni syair sejarah-kepahlawanan, kisah kepahlawanan tersebut diceritakan dengan puitis, mirip La Galigo. Tulisan toloq sangat panjang, bisa mencapai ratusan halaman, dicirikan oleh penggunaan kosa kata kuno, metafora/khiasan, penggunaan matra delapan sukukata, dan heroik.

Sementara itu, tulisan yang ditemukan di Mandar kebanyakan berupa naskah hasil penulisan sejarah, kebiasaan setempat dan pengajaran adat ( pappasang ), kumpulan syair empat baris ( kalindaqdaq ), dan lagu asmara tradisional ( tikapayo ). Ada pun naskah-naskah kuno dari Makassar banyak mengandung peristiwa sejarah, seperti sejarah ( patturioloang ) Kerajaan Makassar, Gowa, dan Tallo; catatan harian ( lontaraq bilang ); serta silsilah keluarga.

Rupanya, tradisi catatan harian ( lontaraq bilang ) cukup memegang peranan penting dalam budaya tulis Sulawesi Selatan. Isinya segala peristiwa penting bagi kerajaan. Penulisnya adalah seseorang yang berpangkat tinggi. Ia menorehkan lidi dari ijuk kasar ke permukaan rontal.

Selain di lontaraq, naskah-naskah Sulawesi Selatan banyak ditulis pada kertas—hampir seluruhnya kertas Eropa. Biasanya naskah kertas ini berasal dari abad ke-18.

Filosofi dan Sejarah Aksara Lontara

Aksara Lontara (ada yang menyebutnya Lontaraq atau Lontarak) ialah aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Sebetulnya masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari aksara Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India.

Aksara Lontara ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain aksara sendiri, masyarakat Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal dengan “bahasa Ugi”. Sementara itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi menulis, hanya memiliki tradisi lisan.

Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “ sulapa eppa wala suji ”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, yakni api-air-angin-tanah.

Maka dari itu, aksara Lontara berbentuk segi empat (belah ketupat). Hal ini didasari pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal dari empat unsur, yaitu; butta (tanah), pepek (api), jeknek (air), dan (anging) angin.

Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap Tumailalang (Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri).

Pada waktu itu Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538, Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab.

Sistem Aksara Lontara

Aksara Lontara telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf (termasuk bunyi konsonan dan vokal a ) yang disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae. Lihat Tabel aksara Lontara:

Namun, aksara Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem.

Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca.

Masyarakat Bugis mengenal adanya elong maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja buluq (buaya gunung) merujuk pada macang (harimau). Ejaan macang sama dengan ejaan macca (pintar), yang menjadi makna turunan dari buaja buluq.