etnografi

Aksara Bali; Wianjana dan Panggangge

Syair agama dan sejarah hasil para pujangga Jawa pada kurun waktu abad ke-10 hingga ke-16, dibawa ke Bali untuk kemudian dikembangkan sesuai selera masyarakat Bali.

PublishedMarch 19, 2010

byDgraft Outline

Mulai abad ke-16, orang Bali menciptakan karya sastra mereka sendiri, yang khas. Kemungkinan besar bahwa aksara Bali merupakan “turunan” dari aksara Jawa.

Penggunaan aksara Bali ini sejalan dengan perkembangan sastra-sastra Hindu klasik seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah berkembang dan dituliskan pada daun tal terlebih dahulu di Jawa.

Sastra-sastra Jawa Kuno disalin dengan bahasa Jawa. Ada perlakuan khusus terhadap bahasa Jawa Kuno ini, hanya boleh dibaca oleh orang-orang tertentu, tidak sembarangan. Karena banyak terdapat kata-kata rumit yang berasal dari Sanskerta.

Isinya bisa berupa agama, doa-doa, tata cara upacara ritual, silsilah, undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, hingga adu ayam dan tata cara memelihara kuda dan merpati.

Sementara, teks yang dianggap lebih “rendah” ditulis dalam bahasa Jawa yang sederhana dan kadang dicampur dengan bahasa Bali. Dengan itu, pembacaannya pun agak longgar dan bersifat umum.

Sistem Aksara Bali

Aksara Bali banyak sekali kemiripan dengan aksara Jawa yang disebut aksara Hanacaraka. Setiap suku kata disebut dengan kata Sanskerta-nya, yaitu aksara. Istilah aksara ini kemudian berarti huruf. Sebagai aksara silabis (dapat berdiri sendiri sebagai suku kata) aksara Bali memiliki aksara konsonan yang disebut Wianjana.

Aksara Wianjana ini nama dan bentuknya mirip dengan ha-na-ca-ra-ka. Aksara Bali ditulis dari kiri ke kanan, biasanya ditorehkan pada kedua sisi daun tal

Berikut tabel aksara Wianjana dan cara penulisannya:

Ada pun penanda vokal atau diakritik pada sistem aksara Bali disebut panggangge, di mana bunyi yang dihasilkan adalah u, e, I, o, dan e. Berikut tabel panggangge : Seperti halnya aksara Jawa dan Sunda, sistem aksara Bali pun mengenal penulisan angka tersendiri. Berikut tabel sistem numerik Bali:

Tentang Naskah Lontar di Bali

Hingga kini di Bali pembacaan naskah lontar ini masih berlangsung. Sang pedanda brahmana membawakan bagian dari kitab Mahabharata, yakni Adiparwa, atau teks Jawa Kuno berjudul Putrupasaji, sebagai bagian dari proses pembersihan jiwa. Dan teks yang dibacakan harus dari lontar, karena membacakan teks dari kertas dianggap melanggar kekeramatan

Bagi orang Bali, naskah memiliki dewi pelindung, bernama Dewi Saraswati. Ia adalah dewi kebijaksanaan, pembelajaran, dan musik dari India, istri Dewa Brahma. Di hari peringatan namanya—pada Sabtu Manis, minggu Watugunung, sistem penanggalan Wuku— semua naskah dikeluarkan dan dipamerkan di bangsal; rumah besar untuk pertemuan, pertunjukan, dsb.

Naskah-naskah ini kemudian dimandikan dengan air suci oleh seorang pedanda dalam upacara Puja Saraswati itu. Orang tak boleh membacanya mulai Jumat malam hingga Sabtu saat air suci dipercikkan, namun aturan ini kini diabaikan.

Sebagai gantinya, para mahasiswa membicarakan kesusasteraan suci di depan halaman pura/candi atau membacakan puisi modern. Kegiatan ini berlangsung sepanjang malam, berakhir dengan upacara mandi keagamaan di laut dini hari.