almanak

Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian: “Ensiklopedi” Sunda

Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian (kadang ditulis Sanghyang Siksa Kandang Karesian ; Ayatrohaedi menulisnya Sanghyang Siksa : Kanda ng Karesyan ) kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nama 'register Kropak 630'.

PublishedMarch 13, 2010

byDgraft Outline

Naskah ini bertitimangsa nora catur sagara wulan (0-4-4-1), yang berarti tahun 1440 Saka atau 1518 M, terdiri atas 30 lembar daun nipah, ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno, menggunakan pisau pangot. Sayang tak ada keterangan siapa penulis naskah ini.

Melihat titimangsa di atas, jelas naskah prosa ini ditulis semasa Sri Baduga Maharaja memerintah di Pakuan. Hal ini diperkuat oleh kata “Mesir”, “Dinah” (Madinah), dan “Mekah” yang tertulis pada teks, yang mengisyaratkan bahwa islamisasi telah ada pada kurun ketika naskah dibuat, awal abad ke-16.

Naskah ini pertama dikaji oleh Holle dan Noorduyn. Transliterasi, terjemahan, beserta ulasannya disajikan oleh Atja dan Danasasmita (1881) dalam bentuk stensilan, lalu diterbitkan dalam bentuk buku oleh Danasasmita dkk (1987).

Naskah yang terdiri atas dua bagian ini bersifat didaktis, penuh aturan, wejangan, serta petunjuk religius dan moral bagi pembaca. Bagian pertama yang disebut Dasakreta sebagai “ kundangon urang reya ” (pegangan orang banyak), sedangkan bagian kedua yang disebut Darmapitutur berisikan hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan yang seyogyanya dimiliki semua orang agar hidupnya berguna.

Bahkan di akhirnya disebutkan Sewaka Darma sebagai sumber pegangan akhlak. Kemungkinan besar, naskah ini mengacu kepada naskah yang lebih tua yaitu Sewaka Darma (kadang ditulis Sewa ka Darma ).

Bila diterjemahkan,  Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian berarti “buku peraturan untuk menjadi resi”. Disebutkan bahwa orang yang hendak menjadi resi untuk membiasakan diri berbuat kebajikan ( pakena gawe rahayu ).

Membiasakan diri berbuat kesejahteraan yang sejati ( pakena kreta bener ), yang merupakan sumber kejayaan dan kesentosaan negara. Isi ajaran dalam naskah ini memang bukan ditujukan bagi kaum resi, melainkan kepada kaum yang lebih awam/rakyat dalam hal mendarmakan diri kepada raja/negara.

Membaca teks ini kita akan mengetahui segala aspek kehidupan masyarakat Sunda masa pra-Islam. Selain masalah dunia kosmos, besar dan kecil, yang dikupas dengan baik, di dalamnya juga kita bisa tahu pelbagai profesi yang ada pada abad ke-16 dan sebelumnya beserta definisinya.

Namun sebagian telah punah baik profesinya atau pun istilah itu sendiri. Ada pula keterangan detail mengenai strata sosial-ekonomi, hasil budaya, larangan dan wejangan moral yang sangat didaktis bagi setiap kalangan masyarakat. Hingga permainan tradisional yang sebagain besar tak dapat dilacak kembali.

Pun, tak ketinggalan masalah budaya seperti karya sastra, pantun, kawih, gamelan, seni lukis, seni ukir, ilmu falak, kemiliteran, perkakas rumah tangga dan perang, tekstil, hingga masalah seni kuliner yang telah tercipta pada masa bersangkutan.

Tak heran ada yang berpendapat bahwa Sanghyang Siksa kanda ng Karesian merupakan “ Ensiklopedi Sunda ” yang paling komplit pada masanya.

Table of contents

Open Table of contents

Kesesuaian Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dengan Carita Parahyangan

Meski sangat sedikit membahas sejarah raja-raja di Tatar Sunda, namun naskah ini memuat nama-nama raja Galuh yang memiliki kesesuaian dengan berita yang tertera dalam naskah Carita Parahyangan.

Naskah ini menyebutkan bawah “yang menegakkan sanghyang sasakreta itu ialah: Rahyangta Dewaraja, Rahyangta Rawunglangit, Rahyangta di Medang, Rahyangta di Menir. Itulah yang disebut catur kreta.”

Sementara Carita Parahyangan menyebutkan, “Sang Kandiawan menyebut dirinyaa Rahiyangta Dewaraja. Ketika menjalankan kehidupan secara rajaresi, menjuluki dirinya Rahiangta di Medangjati, juga dikenal Sang Lajuwatang, ya dirinyalah yang membuat Sanghiang Watangageung.”

Dengan begitu, yang dimaksud caturkreta adalah Sang Kandiawan sendiri, raja terakhir Kerajaan Kendan, di mana memiliki sejumlah gelar ketika masih menjadi raja atau pun setelah mangkat, di antaranya Rahyangta Dewaraja dan Rahiangta di Medang (jati).

Di halaman lain disebutkan bahwa “Ini panca putra: pretiwi adalah Sang Mangukuhan, air adalah Sang Katungmaralah, cahaya adalah Sang Karungkalah, angin adalah Sang Sandanggreba, angkasa adalah Sang Wretikandayun.”

Panca putra merupakan lima anak Sang Kandiawan yang dianggap penjelmaan panca kusika (lima orang resi murid Batara Siwa dalam mitologi Hindu). Carita Parahyangan secara eksplisit menyebut kelima anak Kandiawan:

Setelah menikah, ya lahirlah anak-anaknya lima orang, berupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntanjala, yaitu: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, serta Sang Wretikandayun.

Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Wretikandayun merupakan pendiri Kerajaan Galuh, yang asalnya memerintah di Menir, ibukota Kendan, menggantikan ayahnya, Kandiawan, lalu memindahkan pusat pemerintahan ke Galuh.

Pun, antara teks Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dengan Carita Parahyangan tak terdapat perbedaan mengenai nama-nama panca kusika yang menjelma ke dalam diri kelima anak Kandiawan: “Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, Sang Patanjala di Panjulan“, kecuali perbedaan Mesti dengan Mestri, dan Patanjala dengan Puntanjala.

Selain perihal Kandiawan dan Wretikandayun, naskah ini menyebutkan bahwa pada masa itu telah dikenal beberapa pantun yang berjudul: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi.

Ayatrohaedi berpendapat, bila nama Siliwangi telah menjadi judul pantun pada masa abad ke-16, tentunya tokoh bersangkutan telah tiada; sementara ketika naskah ini disusun, Sri Baduga sedang memerintah di Pakuan (1482-1521 M).

Maka dari itu, Ayatrohaedi menilai, tak mungkin tokoh/raja yang masih hidup dijadikan tokoh pantun atau sastra, dan maka dari itu anggapan bahwa Prabu Siliwangi identik dengan tokoh Sri Baduga tak beralasan.

Penilaian Ayatrohaedi ini diperkuat oleh informasi dari naskah Bujangga Manik yang menyebutkan bawah nama Silih Wangi pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 telah digunakan untuk mengabadikan ( sasakala ) kolam pemandian atau sumur Jalatunda di daerah Brebes, Jawa Tengah.

Bertolak dari kedua keterangan tersebut, Ayatrohaedi lebih cenderung sepakat bahwa yang dimaksud dengan tokoh Siliwangi yang banyak tersebar dalam tradisi lisan/pantun adalah tokoh Prabu Niskala Wastukancana, kakek Sri Baduga, yang memerintah di Galuh pada 1371-1475 M.

Raja yang dikenal juga sebagai Anggalarang dalam tradisi lisan dan sastra tulis pada abad ke-19, yang memang banyak jasanya dalam menyejahterakan negaranya. Ada pun ayah Niskala Wastukancana adalah Prabu Maharaja yang gugur di Bubat, Majapahit, yang dikenal dengan sebutan Prabu Wangi; dan ada yang berpendapat bawah raja-raja penerusnya selanjutnya digelari Prabu Siliwangi, yang berarti raja yang menggantikan Prabu Wangi.

Keterkaitan antara  Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dengan Carita Parahyangan secara eksplisit tertera dalam teks Carita Parahyangan di mana terdapat kata “Sanghyang Siksa” sebagai pegangan hidup Raja Rahiyangta Kuku alias Seuweukarma, penguasa Kerajaan Saunggalah/Kuningan, anak dari Rahiyang Sempakwaja. Berikut kutipannya:

Ditanya oleh Rahiang Sanjaya: “Kakek, bagaimana kata Rahiangtang Kuku (tentang) kita?”

“Hamba, Rahiang Sanjaya! Rahiangtang Kuku itu tapanya tiada tara. Menguasai Sanghyang Darma serta Sanghyang Siksa.”

Dari berita Carita Parahyangan jelas bahwa  Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian sebagai ajaran dan juga kitab telah popular di kalangan masyarakat Sunda, terutama kalangan bagawan/resi.

Di sini timbul pertanyaan: apakah naskah yang ditulis tahun 1518 M merupakan salinan dari naskah  Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian yang lebih tua? Bila iya, sejak kapan orang Sunda telah mengenal ajaran Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian ?

Yang dapat disimpulkan sementara adalah bahwa sejak zaman Rahyang Sanjaya memerintah di Galuh di Ciamis, Jawa Barat, kemudian di Medang Kamulan (Bhumi Mataram) di Jawa Tengah pada abad ke-8, ajaran ini telah ada.

Ajaran Spiritual dan Wejangan Moral

Rupanya Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dibuat untuk dijadikan pedoman moral pembacanya. Sang penulis—kemungkinan besar seorang resi atau bagawan yang mumpuni dalam hal keagamaan—memperuntukkan naskah ini dibaca oleh siapa saja, terutama kalangan hamba negara. Tak heran, di dalamnya banyak ajaran spiritual dan wejangan moral yang penuh akan aturan “harus begini” dan “tidak boleh begitu”.

Di dalam pembukaan atau Dasakreta, disebutkan lima lokasi kahyangan menurut posisi mata angin berikut terjemahannya, yakni:

Lamun pahi kapeksa sanghyang wuku lima dina buwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngarana: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupana; daksina, kidul, kahanan Hyang Brahma, mirah rupana; pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning rupana; utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupana; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, aneka warba rupana. Na mana sakitu sanghyang wuku lima dina buwana.

(Kalau terpahami semua Sanghyang Wuku Lima di bumi, tentulah akan (tampak) menyenangkan (keadaan) semua tempat. Tempat-tempat itu disebut purwa, daksina, pasima, utara, dan madya. Purwa yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya.

Pasima yaitu barat, tempat Hyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya itulah Sanghyang Wuku Lima di bumi).

Sangat kentara, bahwa ajaran yang diterapkan adalah sinkretisme dari Siwaisme dan Buddhaisme, seperti pada kalimat “Sembah kepada Siwa! Sembah kepada Buddha! Sembah sepenuhnya kepada Jiwa Mahasempurna!” di akhir-akhir bagian darmapitutur.

Tetapi tetap, semua dewata Hindu itu berbakti kepada “Batara Seda Niskala”, yang bisa diartikan sebagai “Tuhan Yang Mahagaib” atau “Hyang Mahagaib”. Berikut petikannya:

semua itu ketentuan dari hyang dan dewata, suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwah, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra, Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala42. Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.

Uraian naskah ini mengenai suasana kahyangan atau kalanggengan (keabadian) tak jauh beda dengan paparan tentangnya dalam Sewaka Darma. Ini terdapat pada bagian kedua ( Darmapitutur ), yakni:

Na mana kitu ayona/ayeuna, na janma inget di Sanghyang Darmawisesa, naho di karesyan ning janma. Ya ta sinagguh janma rahaseya ngaranna. Lamun pati ma, eta atmana manggihkon sorga rahayu. Manggih rahina tanpa balik peteng, suka tanpa balik duka, sorga tanpa balik papa, enak tanpa balik lara, hayu tampa balik hala, nohan tanpa balik wogan, mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa. Ya ta sinangguh parama lenep ngaranna.

(Karena itu, sekarang manusia teringat akan Sanghyang Darmawisesa, mengetahui kerahasiaan. Jika meninggal, sukmanya akan menemukan kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan, senang tanpa derita, indah tanpa keburukan, kepastian tanpa kebetulan, gaib tanpa nyata, hilang tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi dewa. Itulah kesadaran utama namanya).

Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian menyatakan bahwa moksa adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahyangan. Disebutkan dengan tegas bahwa surga atau sorga (tempat dewa) berbeda dengan kahiyangan (tempat hyang). Masuk surga disebut munggah, masuk kahiyangan disebut moksa atau luput. Berikut petikan terjemahannya:

Inilah keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, dan yun luput. Maksudnya, yun suda adalah keinginan sempurna, tidak mau terkena segala macam penyakit; yun suka adalah ingin kaya, tak mau kehilangan harta; yun munggah adalah ingin surga, tak mau menemui dunia; yun luput adalah keinginan mencapai moksa, tak mau terbawa penghuni surga. Demikianlah semua keinginan manusia.

Menurut Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, ada sepuluh kreta /jalan yang harus dilalui manusia agar hidupnya di dunia sejahtera. Kreta tersebut adalah indra-indra yang ada pada diri manusia, karena itu harus dijaga dalam menggunakan fungsinya, yaitu ceuli (telinga), mata, kulit, letah (lidah), irung (hidung), sungut (bibir), suku (kaki), payu (dubur atau kelamin wanita), dan baga purusa (kelamin wanita dan kelamin pria). Berikut kutipan lengkap dasakreta sebagai “bayangan dasasila” tersebut:

Ceuli ulah barang denge mo sieup didenge kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinenggu utama di pangreungeu.

Mata ulah barang deuleu mo ma sieup dideuleu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinenguh utama ning deuleu.

Kulit ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiris, kenana dora bancana, sangkan nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti kulit.

Letah ulah salah nu dirasakeun kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti letah.Irung ulah salah ambeu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti irung.

Sungut ulah barang carek kenana dora bancana na luna papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijilnya ti leungeun.Suku ulah barang tincak keuna dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti suku.Payu ulah dipake keter-keter kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinegguh utama bijilnya ti payu.

Baga purusa ulah di pake kancoleh kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti baga lawan purusa.

Di dalam naskah ini tertulis pula aturan yang diterapkan pada sepuluh tingkat sosial dalam tata kemasyarakatan, yang harus dijaga keseimbangannya. Kesepuluh bakti, disebut dasa prebakti, itu adalah: Anak berbakti ke ayah, istri berbakti ke suami, hamba berbakti ke majikan, murid berbakti ke guru, petani berbakti ke wado (red: prajurit yang mengurus calagra /pajak pertanian);

Wado berbakti ke mantri, mantri berbakti ke nu nangganan (red: pemimpin barisan di bawah mangkubumi), nu nanggaan berbakti ke mangkubumi, mangkubumi berbakti ke raja, raja berbakti ke dewata, dewata berbakti ke hyang. Inilah yang disebut dasa prebakti.

Bukti keberadaan wado sebagai lembaga negara masa dulu dapat dilacak hingga kini. Di Sumedang, Jawa Barat, terdapat sebuah kecamatan bernama Wado. Dapat dipastikan bahwa dulu wilayah ini merupakan tempat tinggal para wado.

Aturan lainnya adalah bahwa manusia, sebagai hamba ( hulun ) negara, janganlah menjadi siwok cante, simur cante, simar cante, dan darma cante. Siwok cante adalah “tergoda oleh makan-minum”; simur cante adalah “ikut perbuatan orang yang mencuri, merebut, dan merangkum”; simar cante adalah “mengambil dagangan mas dan perak berlembar-lembar tanpa disuruh yang punya barang”; dan darma cante ialah “membantu pihak yang dibenci oleh raja kita”.

Ada pula larangan bagi kaum lelaki agar: “Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rara hulanjar (red.: janda tak beranak) agar tidak terkena godaan di perjalanan. Demikian pula memegang tangan(nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut godaan di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya.” Di halaman lain ditulis pula: “Ini untuk yang pergi mandi. Maksudnya laki-laki dan perempuan harus terpisah.”

Dan rupanya, naskah ini sangat menekankan kewajiban hamba kepada tuan, majikan, dan rajanya—tanpa syarat. Disebutkan, “Kalau kita kedatangan oleh pangurung dasa, calagara, upeti, panggeres reuma, tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara, adik, kakak, anak, sahabat, suan, atau keponakan.” Tak tertinggal aturan yang harus dipatuhi oleh seorang hamba atau rakyat kecil—sebagai wujud tapa di negara —bila masuk ke kraton, yaitu:

… jangan sampai melanggar, mendorong, mengganggu atau memutus jajaran (orang-orang yang duduk). Bila kita duduk jangan salah menghadap, baik-baiklah bersila. Dan sekiranya kita diajak bicara oleh raja, pikirkanlah betul-betul bicara kita. Harus layak supaya menyenangkan raja.

Dan perhatikanlah mereka yang dapat ditiru: mantri, gusti yang terkemuka, bayangkara yang menghadap, pangalasan, juru lukis, pandai besi, ahli kulit, dalang wayang, pembuat gamelan, pemain sandiwara, pelawak, peladang, penyadap, penyawah, penyapu, bela mati, juru moha, barat katiga, prajurit, pemanah, pemarang, petugas dasa dan penangkap ikan, juru selam dan segala macam pekerjaan. Semua setia kepada tugas untuk raja, itu semua patut ditiru sebab mereka melakukan tapa dalam negara.

Dan, untuk tapa di nagara manusia harus berpegang pada konsep trigeuing, sebagai patokan untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan sosial terpenuhi, seperti yang dipaparkan detail dalam naskah ini yang terdiri atas: geuing, upageuing, dan parigeuing.

Geuing ialah dapat makan dan dapat minum dalam kesenangan. Itulah arti geuing. Upageuing berarti dapat bersandang, dapat berpakai, dapat berganti pakaian (selama yang lain dicuci), dapat berbusana.

Itulah arti upageuing. Parigeuing berarti dapat memerintah, dapat menyuruh, karena tuturnya manis dan ramah. Sehingga tidak merasa segan orang yang disuruh karena terkena oleh hasil menyelami seloka.

Menurut naskah ini ada tiga jenis manusia atau janma (dalam Sunda modern bunyinya bergeser menjadi jalma ), yakni: janma wong, janma siwong, dan wastu siwong. Janma wong yaitu “hanya rupanya manusia namun tidak baik tabiatnya”.

Janma siwong yaitu “hanya baik tabiat, dan turunannya saja, tetapi belum mengetahui sanghyang darma”. Wastu siwong yaitu “yang teguh pada pengetahuannya, mengetahui sanghyang darma, tahu hakikat sanghyang ajnyana”.

Dibeberkan pula sejumlah bangunan suci: pancak saji (rumah sajen), pabutelan, pemujaan, rumah adat, candi, kuil, palinggan, sanggar hyang, batu perunggu, tempat arca.

Gambaran Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya Sunda Kuno dalam Teks

Tak dipungkiri lagi,  Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian merupakan khazanah budaya dalam bidang kepustakaan Sunda Kuno yang terkomplit dibandingkan dengan naskah-naskah kuno lainnya seperti Carita Parahiyangan, Jatiniskala, Sewaka Darma, Amanat Galungggung atau Amanat Prabuguru Darmasiksa, dan bahkan Bujangga Manik.

Disebut komplit karena, seperti dijelaskan sebelumnya, naskah ini banyak memuat secara terperinci aspek-aspek sosial, ekonomi, dan budaya (sastra, seni lukis, ukir, kawih, seni gamelan, hingga nama-nama masakan) yang telah dibangun masyarakat Sunda hingga abad ke-16 yang tidak diberitakan oleh naskah-naskah lain.

Kita akan temukan informasi tentang kenyataan sosial bahwa bila seorang rakyat jelata berada di jalan, besar atau kecil, maka ia hendaknya:

segeralah berpakaian sebab mungkin kita berpapasan dengan gusti atau mantri. Kita harus berada di sebelah kiri dan berjongkok. Bila (bersua) pujangga, brahmana, raja pendeta, mangkubumi, putra raja, kaya atau miskin, demikian pula bila bersua dengan guruloka, kita harus berada di sebelah kirinya karena dia itu guru sang prabu.

Seperti telah disebut di atas, bahwa naskah ini menyebutkan sejumlah pajak: dasa, calagara, upeti, dan panggeureus reuma. Keempat jenis pajak ini merupakan wewenang raja Sunda untuk menyuruh rakyatnya “gotong royong” guna kepentingan kerajaan.

Dasa merupakan pajak tenaga per seorangan, calagara merupakan pajak tenaga kolektif, di mana rakyat diwajibkan untuk bekerja di ladang, sawah, serang besar (ladang milik kerajaan yang hasilnya dipersembahkan untuk upacara-upacara resmi), mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran ( marigi ), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan ( ngikis ), menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring, serta kewajiban lainnya untuk kepentingan negara.

Dan selagi mengerjakan pajak negara ini, rakyat diharapkan “jangan marah-marah, jangan pura-pura mau, jangan resah, jangan uring-uringan”; sebaliknya harus dikerjakan dengan senang hati, tanpa pamrih.

Ada pun panggeres adalah hasil yang berlebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha, sementara reuma adalah bekas ladang. Dalam hal ini, padi yang tumbuh terlambat di bekas ladang setelah dipanen dan lantas ditinggalkan petaninya untuk membuka ladang baru di lahan lain, menjadi hak raja atau tohaan (penguasa setempat).

Dan ditegaskanpula bahwa wwang tani yang melaksanakan pajak tersebut wajib tunduk kepada wado, yakni prajurit negara yang memimpin pelaksanaan calagara. Di Majapahit, pajak dasa dan calagra ini dikenal sebagai walaghara, yang berarti “pasukan kerja bakti”.

Perihal pajak-pajak ini, Prasasti Tembaga Kebantenan yang juga dibuat pada awal abad ke-16 memberitahukan, bahwa Sri Baduga Maharaja membebaskan penduduk Jayagiri dan Sunda Sembawa dari empat macam pajak: dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dondang.

Kapas timbang berupa kapas 10 pikul, dan pare dondang berupa padi 1 gotongan. Dongdang adalah alat pikul berbentuk segi empat yang bertali atau bertangkai berlubang untuk memasukkan pikulan, yang digotong. Karena bertali, maka sewaktu digotong alat ini selalu berayun sehingga disebut dondang (berayun).

Dondang juga dipakai untuk membawa barang antaran pada acara selamatan atau arak-arakan. Karena itu, pare dongdang dan juga penggeres reuma merupakan barang antaran. Raja Sunda ini pun memerintahkan kepada para petugas muara/pelabuhan“agar jangan memungut bea.

Karena merekalah (red.: penduduk Jayagiri dan Sunda Sembawa) yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”

Bahkan, ia memerintahkan bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta atau wilayah kabuyutan yang memang dianggap suci oleh raja dan masyarakat Sunda masa tersebut.

Dan yang menjadi naskah ini begitu spesial adalah keterangan yang sangat detail mengenai berbagai profesi beserta keahliannya dalam bidangnya masing-masing; dan orang hendaknya bertanya mengenai profesi tertentu kepada mereka yang memang ahlinya, karena bila salah bertanya maka ia akan tersesat. Berikut pekerjaan atau profesi masyakarat Sunda zaman dulu yang tercatat dalam teks:

  1. Dalang, yakni orang yang tahu semua cerita: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa. Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri.

  2. Paraguna atau ahli karawitan, yakni mereka yang tahu segala macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan.

  3. Empul, yakni mereka yang tahu segala macam permainan, seperti: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini.

  4. Juru pantun, yakni mereka yang tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi.

  5. Pelukis, yang tahu pelbagai macam lukisan, seperti: pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate.

  6. Panday atau penempa/pandai besi, yakni mereka yang pandai membuat perkakas tajam, seperti pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris (dipakai raja); kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap (dipakai petani); kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi (dipakai pandita).

  7. Maranggi atau ahli ukir, yakni mereka yang tahu segala macam ukiran, seperti: naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera, ukiran singa; ia pula yang membuat perah (pegangan pada senjata tajam) dan sarangka (sarung senjata tajam), bukan oleh kaum panday (pandai besi).

  8. Hareup catra atau juru masak, yakni mereka yang bisa membuat macam masakan, seperti: nyupar-nyapir, rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruum diamis-amis.

  9. Pangeuyeuk atau ahli tekstil, yakni mereka yang kenal akan segala macam kain, seperti: kembang mu(n)cang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng re(ng)ganis jaya(n)ti, cecempaan, paparanakan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jaya(n)ti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten.

  10. Pratanda, yakni mereka yang tahu agama dan parigama.

  11. Panglima perang, yakni mereka yang tahu tentang hal-ikhwal (taktik) perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik, lemah mrewasa, adipati, prebut sakti, pake prajurit, tapak sawetrik.

  12. Brahmana, yakni kalangan yang tahu semua mantra ajian, seperti: jampa-jampa, geugeui(ng), susuratan, sasaranaan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, susudaan, hurip-huripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan.

  13. Janggan atau biarawan, yakni kalangan yang tahu tentang puja-puji dan sanggar, seperti: patah puja daun, gelar palayang, puja kembang, nya(m)pingan lingga, ngomean sanghyang.

  14. Bujangga, yakni mereka yang tahu tentang perhitungan waktu (falak) dan segala macam pengetahuan warisan leluhur, seperti: bulan gempa, tahun tanpa te(ng)gek, tanpa sirah, sakala lumaku, sakala ma(n)deg, bumi kape(n)dem, bumi grempa.

  15. Pendeta, yakni kalangan yang tahu tentang segala macam isi pustaka/naskah,seperti: darmasiksa siksakandang, pasuktapa, padenaan, maha pawitra, siksa guru, dasa sila, tato bwana, tato sarira, tato ajnyana.

  16. Mangkubumi, yakni kalangan yang tahu tentang cara-cara mengukur tanah dan segala macam pengaturan tempat, seperti: mengatur tempat, membagi-bagikan kepada seluruh rakyat, memberi tanda batas, meratakan, membersihkan lahan, mengukur, menyamakan, meluruskan, mengatur, bila tinggi didatarkan, bila rendah diratakan.

  17. Puhawang atau nakhoda, yakni mereka yang tahu tentang semua pelabuhan dan segala macam tempat di laut atau pelayaran, seperti : gosong, gorong, kabua, ryak mokprok, ryak maling, alun agung, tanjung, hujung, nusa, pulo, karang nunggung, tunggara, barat daya.

  18. Citrik Byapari, yakni mereka yang tahu segala macam harga, seperti: tiga juta, tiga ratus-ribu, tiga puluh ribu, tiga ribu, enam ratus, tiga ratus, tiga puluh, demikian pula kedua belas, ketiga belas, keempat belas, kelima belas, keenam belas, ketujuh belas, kedelapan belas.

  19. Wiku Paraloka, yakni mereka yang tahu segala macam mengenai penyebutan para dewata dan tentang sandi, tapa, lungguh, pratyaksa, putus tangkes, kaleupaseun, tata hyang, tata dewata, rasa carita, kalpa carita.

  20. Juru Basa Darmamurcaya, yakni mereka yang bisa segala macam bahasa negara-negara lain, seperti bahasa: Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makassar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasai, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan. Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa.

  21. Manguyu, ahli gamelan.

  22. Paliken, seni rupawan.

  23. Tetega, biarawan.

  24. Ameng, pelayan biara.

  25. Wasi, catrik, orang yang tinggal di biara/candi.

  26. Ebon, biarawati.

  27. Walka, petapa yang mengenakan pakaian dariu kulit kayu.

  28. Tarahan, tukang tambangan perahu.

  29. Disi, ahli siasat dan ramal.

Ada pula petunjuk mengenai penyapaan terhadap seseorang, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua umurnya. Kepada yang masih muda seseorang harus memanggilnya: utun (buyut), eten (upik), orok (bayi), anak ing (anakku), adi ing (adikku). Kepada yang lebih tua: lanceuk ing (kakakku), suan ing (uaku), euceu ing (kakak perempuanku), aki ing (kakekku).

Dan menyebut nama kepada orang yang bersangkutan hendaknya dijauhkan karena dianggap keterlaluan. Selain itu, manusia hendaklah berbuat dasa pasanta (sepuluh penenang hati): bijaksana, ramah, sayang, memikat hati, kasih, iba, membujuk, memuji, membesarkan hati, dan mengambil bati; dan itu yang disebut parigeuing.

Dalam hal kewajiban kaum pria terhadap hamba wanita, naskah ini pun membahasnya. Disebutkan:

Orang kaya yang sanggup menebus (hamba) perempuan, yang tidak diketahui ibu bapaknya, janganlah dia dipekerjakan agar kita tidak terbawa salah. Ada lagi kita mengetahui ibu bapaknya, dan (perempuan itu) mencari tempat mengabdi.

Bila sifat ibu bapaknya baik terhadap sesama orang, dan anaknya terbawa sifat orang tuanya, boleh dipekerjakan. Tetapi bila ia sifatnya buruk janganlah dicoba-coba dipekerjakan. Disebutnya manusia sesat di neraka.

Pun perihal perjodohan anak-anak di bawah umur,  Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian jelas memperingatkan bahwa: “Jangan terlalu cepat dijodohkan karena belum tentu tepat tindakan kita.

Pada umumnya, bila terlalu kecil ibunya akan menurun kepada anak perempuan. Bila terlalu kecil bapaknya, akan menurun kepada anak laki-laki. Bila menurun dari semuanya, dari suami dan istri, disebut keburukan merasuk kejelekan” dan “Jangan menjodohkan anak kecil, agar tidak berbuta kesalahan, agar tidak merepotkan yang menjodohkan.”

Terjemahan Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian

I

Ya inilah yang akan diajarkan oleh sang budiman bagi mereka yang mencari kebahagiaan. Ada (ajaran) yang bernama sanghiyang siksakandang karesian untuk kewaspadaan semua orang. Inilah ujar sang budiman memaparkan sanghiyang siksakandang karesian.

Inilah sanghiyang dasa kreta1 untuk pegangan orang banyak. Siapa pun yang hendak menegakkan sarana kesejahteraan agar dapat lama hidup, lama tinggal (di dunia), berhasil dalam peternakan, berhasil dalam pertanian,2 selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak.

Inilah kenyataan yang disebut sanghiyang dasa kreta. Bayang-bayang dasa sila, maya-maya3 sanghiyang dasa marga, perwujudan dasa indra untuk menyejahterakan dunia kehidupan di dunia yang luas.4

Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang,5 bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup, selalu6 sehat, sumbernya terletak pada manusia sedunia.

Seluruh penopang kehidupan; rumput, pohon-pohonan, rambat, semak, hijau subur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam kehidupan namanya.

Ini sanghiyang dasa kreta yang disebutkan sebagai bayang-bayang sanghiyang dasa sila,7 ya maya-maya sanghiyang dasa marga, perwujudan dasa indera. Inilah kenyataannya.

Telinga jangan mendengarkan yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam pendengaran.

Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak dipandang karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila mata terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam penglihatan.

Kulit jangan digelisahkan karena panas atau pun dingin sebab menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; tetapi kalau kulit terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kulit.

Lidah jangan salah kecap karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila lidah terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari lidah.

Hidung jangan salah cium karena menjadi pintu bencana penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila hidung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari hidung.

II

Mulut jangan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari mulut.

Tangan jangan sembarang ambil karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tangan terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tangan.

Kaki jangan sembarang melangkah karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila kaki terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kaki.

Tumbung jangan dipakai keter9 karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tumbung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tumbung.

Baga-purusa jangan dipakai berjinah, karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila baga-purusa terpelihara, kita akan memperoleh keutamaan dari baga dan purusa.

Ya itulah yang disebut dasakreta. Kalau sudah terpelihara pintu (nafsu) yang sepuluh, sempurnalah perbuatan orang banyak. Demikian pula perbuatan sang raja.

Ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; istri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan11; siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado12 tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hiyang. Ya itulah yang disebut dasa prebaketi.

III

Ini yang harus dilaksanakan, amanat sang budiman sejati. Puji dan sembahku kepada Siwa, hormatku kepada sanghiyang panca tatagata.13. Panca berarti lima, tata berarti ucap, gata berarti raga. Ya itulah yang memberikan kebaikan kepada semuanya.

Panca aksara14 adalah guru manusia. Panca aksara itu kenyataan yang terlihat, terasa dan tersaksikan oleh indera kita. Guru itu tempat bertanya orang banyak, karena itu dinamakan guru manusia. Kebodohan itu baru ada setelah adanya dunia.

Ini kenyataannya. Namanya ya panca byapara.15 Sanghiyang pretiwi (tanah), air, cahaya, angin, dan angkasa. Ujar sang budiman manusia besar: itu semua milik kita. Yang diibaratkan tanah yaitu kulit, yang diibaratkan air yaitu darah dan ludah, yang diibaratkan cahaya yaitu mata, yang diibaratkan angin yaitu tulang, yang diibaratkan angkasa yaitu kepala. Itulah yang disebut pretiwi dalam tubuh. Ya diibaratkan oleh penguasa bumi. Ya menjelma menjadi para rama, resi, ratu, disi, dan tarahan.

Ini panca putra:16 pretiwi adalah Sang Mangukuhan, air adalah Sang Katungmaralah, cahaya adalah Sang Karungkalah, angin adalah Sang Sandanggreba, angkasa adalah Sang Wretikandayun.17

Ini panca kusika:18 Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, Sang Patanjala di Panjulan.

Kalau terpahami semua sanghiyang wuku19 lima di bumi tentu (tampak) menyenangkan (keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Purba yaitu timur, tempat Hiyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempal Hiyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya.

IV

Utara yaitu utara, tempat Hiyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya sekian itulah wuku lima di bumi.

Ini wuku lima pada maha pendeta. Rahasia itu terasa dalam bertutur; tapa itu terasa dalam berkelana; duduk itu terasa dalam keteguhan; kepastian itu terasa dalam kemustahilan; kelepasan itu terasa dalam memberi tanpa diberi, mengingat (eling) tanpa batas. Sekian wuku lima pada maha pendeta.

Ini modal kesejahteraan yaitu mereka sang dewata lima.20 Semua mewakili namanya sendiri; semua melihat rupanya serdiri. Namun kalau tidak terasa ibarat bengkok bertemu dengan bengkoknya, lurus bertemu dengan lurusnya. Demikianlah karena perbuatan manusia maka sejahtera, karena perbuatan manusia maka sentosa.

Ini pekerjaan hulun21 untuk jalan kita mengabdi. Pekerjaan itu disebut bakal budi, tingkah laku itu namanya jalan. Hendaknya takut, berhati-hati, hormat dan sopan dalam tingkah. dalam perbuatan, dalam ulah dan perkataan.

Demikian pula bila berada di hadapan sang raja. Tetaplah setia dalam pengabdian, akan pulih dari noda yang sepuluh,22 pasti terhapus dosa dan hilang23penderitaan, bersua dengan kebahagiaan. Bila benar-benar melaksanakan tugas sebagai hulun, yang demikian itu lebih memadai dari hasrat24 setinggi bukit, bertapa di puncak gunung karena terlarang bertapa di atas gajah atau moncong singa; mudah mendapat bencana besar.

Ini perilaku manusia yang akan berguna bagi orang banyak. Turutlah sanghiyang siksakandang karesian.

V

Waspadalah agar kita terluput dari pancagati25 agar tidak sengsara. Jangan khianat jangan culas, jangan menghianati diri sendiri. Yang dikatakan mengkhianati diri sendiri yaitu: yang ada dikatakan bukan, yang bukan dikatakan benar.

Ya begitulah, tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut mengkhianati diri sendiri.

Yang disebut mengkhianati orang lain adalah: memetik (milik orang) tanpa izin, mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberi tahu. Demikian pula: merampas, mencuri, merampok, menodong; segala macam perbuatan khianat. Ya menghianati orang lain namanya.

Demikian pula: merangkum (mengambil barang orang dengan kedua telapak tangan), memasukkan tangan (untuk mengambil barang orang), mencomot, merebut, merogoh, menggerayangi rumah orang. Begitu juga terus menerus tinggal di rumah majikan, rumah penguasa, atau pada raja.

Hal demikian lebih-lebih jangan dilakukan, jangan diperbuat oleh seorang hulun. Jangan lupa menggunakan ucap yang hormat, sopan dan mantap, bakti dan susila kepada sesama manusia, kepada sanak keluarga.

Demikianlah kepada raja kita. Kaki itu untuk bersila dan tangan untuk menyembah. Hati-hatilah kita berbincang dengan menak, dengan majikan pemilik tanah, dengan kedua orang tua,26 dengan wanita larangan:27

Begitu pula dengan raja kita. Bila kepada kita dipercayakan suatu rahasia, jangan rnunafik pikiran kita, demikian pula salah jawab, kelihatan roman muka tidak senang oleh raja kita. Jangan, pemali! Nanti gugur hasil kita bertapa, hilang jasa nenek moyang, akan lenyap hasil jerih payah kita, akan tertimpa kesengsaraan, diusir oleh sang raja.

VI

Kalau tak akan setia kepada raja kita, bila kemudian kita menderita sakit, menjadi lemah karena tak bertenaga atau merasa bingung, lalu terang-terangan mengatakan bahwa hal itu keterlaluan. Karena itu belajarlah setia kepada raja; tetapi bila kita bertindak, jangan mengeluh, jangan kecewa, jangan enggan diperintah, jangan iri, jangan dengki kepada kawan semajikan.

Demikianlah bila melihat orang yang mendapat pujian, mendapat selir, melihat yang dikasihi oleh raja, kemudian hendak goyah kesetiaan kita. Jangan, pemali! Akibat buruknya ialah jadi murung sakit hati. Tak akan dapat diobati, jampi tak akan mempan, niat tak akan terlaksana karena tidak dibenarkan oleh sanghiyang siksakandang karesian.

Demikianlah bila kita menjadi anggota pasukan28 janganlah sampai mendapat marah. Kalau pun kita mendapat marah, jangan sampai tidak berbakti kepada nu nangganan karena ia tanda29 sang raja.

Bila kita mendapat perintah, jangan melupakan sanghiyang siksakandang karesian, agar kita tetap setia kepada tugas. Namun kalau ada yang (diperintah) ke utara, selatan, barat dan timur, janganlah siwok cante, jangan simur cante, jangan simar cante, jangan darma cante. Ya itulah yang disebut empat kewaspadaan.

Inilah keterangannya. Yang disebut siwok cante30 adalah tergoda oleh makan-minum. Yang disebut simur cante adalah ikut perbuatan orang yang mencuri, merebut, dan merangkum.

Itulah yang dinamakan salah langkah,31 yang disebut simar cante adalah mengambil dagangan mas dan perak berlembar-lembar tanpa disuruh yang empunya barang. Ya salah jualan namanya.

VII

Yang disebut darma cante ialah membantu (pihak) yang dibenci oleh raja kita. Disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara.

Hal itu jangan dilakukan oleh seorang hulun. Suka terhadap yang dibenci (oleh raja), benci terhadap yang disukai (oleh raja). Hal itu tidak layak kita perbuat selaku seorang hulun.

Ini untuk kita menurut kepada raja, supaya kita lama dijadikan hulun, agar kita lama diaku oleh raja kita. Ikuti sanghiyang siksakandang karesian! Lihatlah sang penguasa. Kalau raja marah, kita pun harus ikut marah bersama raja.

Kalau raja memuji, kita pun harus ikut memuji bersama raja. Kalau tidak ikut memuji atau mencela bersama raja, itulah tanda mungkir bahwa kita berbakti kepada raja.

Kalau kita (diperintah) pergi ke hutan, janganlah lupa baju dan selimut. Kalau tidak bersama raja, perhatikan (peraturan) dalam siksakandang karesian. Peraturannya yaitu: jangan memetik sayur di ladang kecil orang lain, juga di kebun orang lain. Akan sia-sia hasil kita beramal baik.

Batas kebun di hutan, kayu yang ditandai tali, pohon buah yang ditandai ranting, kayu bakar yang disandarkan, cendawan yang ditutupi, sarang tiwuan, odeng, lebah, engang, ulat kayu, parakan32 atau apa pun yang telah diberi simpul babayan33, jangan diambil.

VIII

Demikian pula menurunkan sadapan orang lain, jangan sekali-kali dilakukan karena merupakan sumber dosa dan pangkal kenistaan dan noda.

Kalau kita menemukan jalan, besar atau kecil, segeralah berpakaian34 sebab mungkin kita berpapasan (berpandangan) dengan gusti atau mantri. Kita harus berada di sebelah kiri dan berjongkok.

Bila (bersua) pujangga, brahmana, raja pendeta, mangkubumi, putra raja, kaya atau miskin, demikian pula bila bersua dengan guruloka, kita harus berada di sebelah kirinya karena dia itu guru sang prabu.

Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan.35 Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rara hulanjar36 agar tidak terkena godaan di perjalanan.

Demikian pula memegang tangan(nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut godaan di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya.

Menyahut orang batuk, mendeham, membuang dahak, demikian pula menyahut ibu-ibu yang menyanyi, disebut lembu memasuki gelanggang. Bersandar pada bekas orang suci duduk pada tiang, pada kayu, pada batu, padahal kita melihatnya dan setelah mereka pergi kita menggantikannya bersandar di situ, disebut lembu menantang. Itu semua perlu diingat kalau ingin terluput dari neraka.

Demikian pula sepenginapan, setempat-tinggal, seberanda, sebalai-balai dengan semua orang suci, semua wanita larangan, dinamakan kerbau sepemakanan.37 Ya semuanya perlu diingat, disebut. Perbuatan pemali namanya.

IX

Semua itu jangan sekali-kali ditiru oleh hulun semuanya. Kalau kita hendak membawa maka berbicaralah kepada penguasa. Kalau disetujui, rundingkanlah perihal sakitnya, matinya, hilangnya, kuburannya semua, bawalah!

Tidak akan menjadikan aturan. Kalau tidak disetujui, jangan! Kalau berkeras hendak membawa dia, bila ia sakit harus diurus, bila mati atau hilang harus mengganti sendiri menurut kemampuan, karena itu hati-hatilah!

Ini lagi. Kalau kita kedatangan oleh semua pangurang38 dasa,39 calagara, upeti, panggeres reuma,40 tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara, adik, kakak, anak, sahabat, suan, atau keponakan. Demikianlah ibaratnya. Namun bila ada rasa sayang pada kita, sediakanlah makanan, minuman, selimut, kain yang kita miliki.

Resapkanlah puja dan berlindung kepada hiyang dan dewata. Bila kita diperintah bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang41 besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran, mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya.

Resapkanlah tugas kita. Namun bila kita pulang ke kota, jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah diujung bagian yang tak berumput, agara tidak tercium oleh menak dan gusti. Timbuni tungku yang berlubang-lubang supaya tidak dikutuk dan disalahkan ibu-bapak dan perguruan, disesali oleh orang-orang tua karena perbuatan kita yang ceroboh.

Namun kalau menurut sanghiyang siksa, berak harus tujuh langkah dari jalan, kencing harus tiga langkah dari jalan. Pasti tidak akan dimarahi orang lain karena kita mengetahui perbuatan yang terlarang.

X

Kalau dikerjakan akan mendatangkan sedih, yang terlarang itu dapat mengakibatkan kematian; dan (dalam kota itu) perhatikanlah tempat hukuman (?), ujung kayu penjepit tangan hukuman, mungkin pemandian keraton, kandang larangan, rumah larangan. Demikian pula memintas jalan, menghampiri atau melewati rombongan raja yang sedang bercengkerama, karena semua itu merupakan perbuatan dosa.

Bila kita masuk ke keraton, maka baik-baiklah melihat, jangan sampai melanggar, mendorong, mengganggu atau memutus jajaran (orang-orang yang duduk). Bila kita duduk jangan salah menghadap, baik-baiklah bersila. Dan sekiranya kita diajak bicara oleh raja, pikirkanlah betul-betul bicara kita. Harus layak supaya menyenangkan raja.

Dan perhatikanlah mereka yang dapat ditiru: mantri, gusti yang terkemuka, bayangkara yang menghadap, pangalasan, juru lukis, pandai besi, ahli kulit, dalang wayang, pembuat gamelan, pemain sandiwara, pelawak, peladang, penyadap.

Penyawah, penyapu, bela mati, juru moha, barat katiga, prajurit, pemanah, pemarang, petugas dasa dan penangkap ikan, juru selam dan segala macam pekerjaan. Semua setia kepada tugas untuk raja, itu semua patut ditiru sebab mereka melakukan tapa dalam negara.

Jika ada di antara kita yang dimarahi oleh raja, itu semua jangan ditiru perbuatannya, nanti kita pun mendapat marah pula. Ini perbandingannya: kalau orang pergi ke hutan menginjak duri, lalu kita pun penginjaknya, terasa sama sakitnya.

XI

Bila ada di antara kita yang terpuji: cekatan, terampil, penuh keutamaan, cermat, teliti, rajin, tekun, setia kepada tugas dari raja. Yang demikian itu perlu ditiru perbuatan dan kemahirannya, pasti kita pun akan mendapat pujian pula.

Bila ada orang baik penampilannya, baik tingkahnya, baik perbuatannya, tirulah seluruhnya karena yang demikian itu disebut manusia utama. Bila ada orang yang buruk penampilannya, pandir tingkahnya, tetapi baik perbuatannya, yang demikian itu jangan ditiru tingkahnya, dan perhatikan penampilannya.

Tirulah perbuatannya. Kalau ada orang yang buruk penampilannya, pandir tingkahnya dan buruk pula perbuatannya, yang demikian itu noda dunia, menjadi pengganti (tumbal) kita seluruh dunia, namanya kebusukan (di antara) manusia. Itu semua patut diingat, sengsara dan bahagia, buruk dan baik, tergantung kepada guru.

Ini tandanya. Ada orang mati waktu mencuri, mati ketika menggerayangi rumah orang, mati waktu menodong, mati waktu merangkum, dan segala macam perbuatan khianat, semua itu harus diperhatikan karena jangan dijadikan contoh. Ya itulah yang disebut guru nista.

Ada lagi. Kalau kita menonton wayang, mendengarkan juru pantun, Ialu menemukan pelajaran dari kisahnya, itu disebut guru panggung.

Bila kita menemukan pelajaran yang baik dari membaca ya disebut guru tangtu. Kalau melihat hasil pekerjaan besar seperti: ukir-ukiran, hasil pahatan, papadungan (papasan kayu?), lukisan, enggan bertanya kepada pembuatnya, terpahami oleh rasa sendiri hasil mengamati karya orang lain, ya disebut guru wreti.

XII

Mendapat ilmu dari anak, disebut guru rare. Mendapat pelajaran dari kakek, disebut guru kaki. Mendapat pelajaran dari kakak, disebut guru kakang. Mendapat palajaran dari toa, disebut guru ua.

Mendapat pelajaran di tempai bepergian, di kampung di tempat bermalam, di tempat berhenti, di tempat menumpang, disebut guru hawan. Mendapat pelajaran dari ibu dan bapak, disebut guru kamulan. Demikian pula kalau berguru kepada maha pendeta, disebut guru utama, ya disebut guru mulya, guru premana, ya guru kaupadesaan. Itulah yang disebut empat keutamaan.

Karena itu bila telah selesai menunaikan semua kewajiban dan pekerjaan, periksalah kembali mana yang jelek mana yang bagus, mana yang buruk mana yang baik. Begitulah bila ada yang memuji kita, hendaknya segan dan sadarlah kita, ganti kembalikan kepada yang memuji supaya kita tidak mementingkan pujian orang lain. Kalau kita senang dipuji, ibarat galah panjang disambung ranting (belalai) karena merasa senang oleh pujian,

Lalu menjadi takabur karena merasa diri berkecukupan di rumah sendiri dengan makanan, minuman, kesenangan, kenikmatan dan perabotan, lalu dijadikan andalan. Itu disebut galah panjang. Itu ibarat padi hampa namanya.

XIII

Begitulah, kalau ada yang mencela (mengkritik) kepada kita, terimalah kritik orang lain itu. Yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita sedang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian; ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit, bagaikan datang orang yang meminyaki.

Ibarat kita sedang lapar, bagaikan datang yang memberi nasi; ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantarkan minuman; ibarat kita sedang kesal hati, bagaikan datang orang yang memberi sirih pinang. Itulah yang disebut panca parisuda (lima penawar); ibarat galah sodok diperpendek.

Bila kita merasa bahagia, ibarat padi berat isi. Pasti sejahteralah orang banyak, karena bertemu dengan sumber kesenangan dan kenikmatan, (yaitu) tahan celaan dan mengambil (memperhatikan) nasihat orang lain.

Bila sedang sibuk tundalah sementara, (lebih-lebih) bila sedang tidak ada pekerjaan, untuk menjenguk ibu-bapak. Itulah yang disebut manusia sejati; yang disebut keutamaan tertinggi: ibarat dewa berwujud manusia namanya; berpribadi sempurna, benih kebajikan dan pohon kebenaran.

Ini pelengkap perbuatan, agar tidak gagal dalam hidup, agar rumah tangga kita penuh berkah, (yaitu) cermat, teliti, rajin. Tekun, cukup sandang, bersemangat, berpribadi pahlawan, bijaksana, berani berkurban, dermawan, cekatan, terampil.

Bila kita membuat sawah untuk sekadar tidak sengsara; bila kita membuat kebun untuk sekadar tidak mengambil sayur-sayuran di ladang kecil milik orang lain atau ke ladang luas milik orang lain, sebab tak akan dapat memintanya: memelihara ternak tiduk sekadar tidak membeli atau menukar (barter).

(memiliki) perkakas untuk sekadar tidak meminjam; selimut dan pakaian jangan kekurangan; makan dan minum jangan kekurangan; anak dan istri nasihati supaya tidak dikatakan merusak kesusilaan. Perhatikanlah sanghiyang siksakandang karesian.

XIV

Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa.

Demikian pula (mengenai) kejujuran anak-istri, jangan bersikap pembeli hati supaya tidak hanya tampaknya saja berbuat. Bila kita berhasil mengajarinya dan menuruti nasihat, itulah anak kita, istri kita.

Bila tidak menuruti nasihat, mereka itu sama saja dengan orang lain. Namun bila tetap bandel, istri dan anak yang demikian, sudahlah jangan kita aku. Pasti kita mendapat beban, pasti tersesat masuk neraka, musnah hasil amal kita, hilang pahala leluhur.

Ini ajaran sang darma pitutur, agar hidup kita tidak tanpa tekad memelihara hasrat. Alat hias itu sisir, bejana berisi air itu jernih, tampak (dasar) tempatnya dan tampak tanpa busa. Dikatakan: seri itu namanya emas. Ada pun emas bila tidak digosok suram warnanya, kalau digosok cemerlang indah sebab terpelihara.

Demikianlah tamsil kita manusia ini. Kalau menaati sanghyang siksa, sejahteralah perasaan kita ibarat lurus bertemu dengan lurusnya. Bila tidak menaati sanghyang siksa kreta ibarat bengkok bertemu dengan bengkoknya.

XV

Alat hias itu cermin. Ada pun cermin, bila tidaK terlihat, samarlah bayangan kita. Bila terlihat akan jelaslah rupa kita di dalam cermin itu. Begitulah manusia ini, dapat meniru perilaku orang lain. Bila sempurna pasti terikuti oleh perasaan kita. Kalau tidak akan bisa menuruti nasihat, membelakangi aturan namanya.

Jemangan itu disebut tempat bercermin. Yang dapat dianggap air bening itu ialah budi kita yang baik. Oleh sebab itu lihatlah agar pikiran kita tetap hidup. Negeri itu disebut kota.

Ada pun kota, bila kosong tak ada yang patut ditiru. Demikian pula perkataan, bila tidak berisi, dusta namanya. Tetapi bila bersih dan pada tempatnya, itu semuanya patut ditiru, Demikianlah semua perkataan. Bila terisi, maka dikatakan benar-benar terbukti.

Demikianlah kita manusia ini. Bila ingin tahu sumber kesenangan dan kenikmatan. ingat-ingatlah kata sang darma pitutur. Inilah selokannya: telaga dikisahkan angsa, gajah mengisahkan hutan, ikan mengisahkan laut, bunga dikisahkan umbang.

Maksudnya, demikianlah bila kita akan bertindak, janganlah salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga berair sejuk tanyalah angsa. Umpamanya ada orang menekuni pedoman hidup, jernih pikiran, hidup hasratnya, bergelora, ibarat angsa berada di telaga bening.

Bila ingin tahu isi laut tanyalah ikan. Ibaratnya orang ingin tahu tentang budi raja dan budi mahapendeta.

Bila ingin tahu tentang isi hutan tanyalah gajah. Ini maksudnya. Yang diibaratkan isi ialah tahu keinginan orang banyak. Yang diibaratkan gajah ialah tahu tentang kekuatan sang raja.

XVI

Bila ingin tahu tentang harum dan manisnya bunga, tanyalah kumbang. Maksudnya yang diibaratkan kumbang itu ialah orang dapat pergi mengembara, tahu perilaku orang lain.

Yang diibaratkan harum bunga ialah manusia yang sempurna tingkah lakunya, manis tutur katarya, selalu tampak tersenyum penuh kebahagiaan. Maksudnya janganlah salah memilih tempat bertanya.

Bila ingin tahu semua cerita seperti: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa. Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri ; ya segala macam cerita, tanyalah dalang.

Bila ingin tahu segala macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-gelan: segala macam lagu, tanyalah paraguna (ahli karawitan).

Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini: segala macam permainan, tanyalah empul.

Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi ; tanyalah juru pantun.

Segala macam lukisan, seperti: pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate : segala macam lukisan, tanyalah pelukis.

XVII

Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang. Baliung, patik, kored, pisau sadap.

Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi.

Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu. Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.

Segala macam ukiran ialah: naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera, ukiran singa; segala macam ukiran, tanyalah maranggi (ahli ukir).

Segala macam masakan, seperti: nyupar-nyapir, rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruum diamis-amis ; segala macam masakan, tanyalah hareup catra (juru masak).

Segala macam kain, seperti: kembang mu(n)cang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng re(ng)ganis jaya(n)ti, cecempaan.

Paparanakan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jaya(n)ti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten ; segala macam kain, tanyalah pangeuyeuk (ahli tekstil).

XVIII

Bila ingin tahu agama dan parigama: acara tunduk kepada adigama, adigama tunduk kepada gurugama, gurugama tunduk kepada tuhagama, tuhagama tunduk kepada satmata, satmata tunduk kepada surakloka, surakloka tunduk kepada nirawerah. Manusia utama bebas dari dosa, bebas dari dosa ciri manusia utama; segala hal mengenai agama dan parigama tanyalah pratanda.

Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik, lemah mrewasa, adipati, prebut sakti, pake prajurit, tapak sawetrik ; tanyalah panglima perang.

Bila ingin tahu semua mantra, seperti: jampa-jampa, geugeui(ng), susuratan, sasaranaan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, susudaan, hurip-huripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan ; segala macam ajian tanyalah brahmana.

Bila ingin tahu tentang puja dan sanggar, seperti: patah puja daun, gelar palayang, puja kembang, nya(m)pingan lingga, ngomean sanghyang ; segala macam hal mengenai memuja, tanyalah janggan (biarawan).

Bila ingin tahu tentang perhitungan waktu, seperti: bulan gempa, tahun tanpa te(ng)gek, tanpa sirah, sakala lumaku, sakala ma(n)deg, bumi kape(n)dem, bumi grempa ; segala macam pengetahuan warisan leluhur, tanyalah bujangga.

XIX

Bila ingin tahu tentang darmasiksa siksakandang, pasuktapa, padenaan, maha pawitra, siksa guru, dasa sila, tato bwana, tato sarira, tato ajnyana ; segala macam isi pustaka, tanyalah pendeta.

Demikian pulah tentang kesempurnaan di seluruh kerajaan, kemuliaan, keutamaan, kewaspadaan, keagungan, tanyalah raja.

Bila ingin tahu tentang cara-cara mengukur tanah, seperti: mengatur tempat, membagi-bagikan kepada seluruh rakyat, memberi tanda batas, meratakan, membersihkan lahan, mengukur, menyamakan, meluruskan, mengatur, bila tinggi didatarkan, bila rendah diratakan; segala macam pengaturan tempat, tanyalah mangkubumi.

Bila ingin tahu tentang semua pelabuhan, demikian pula: gosong, gorong, kabua, ryak mokprok, ryak maling, alun agung, tanjung, hujung, nusa, pulo, karang nunggung, tunggara, barat daya; segala macam tempat di laut, pelayaran, tanyalah puhawang (nakhoda).

Bila ingin tahu segala macam harga, seperti: tiga juta, tiga ratus-ribu, tiga puluh ribu, tiga ribu, enam ratus, tiga ratus, tiga puluh, demikian pula kedua belas, ketiga belas, keempat belas, kelima belas, keenam belas, ketujuh belas, kedelapan belas; segala macam harga, tanyalah citrik byapari (orang terpelajar/pandai).

XX

Bila ingin tahu tentang sandi, tapa, lungguh, pratyaksa, putus tangkes, kaleupaseun, tata hyang, tata dewata, rasa carita, kalpa carita; segala macam mengenai penyebutan para dewata semuanya, tanyalah wiku paraloka.

Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, seperti: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makassar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasai, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa,

Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam (bahasa) negara-negara lain, tanyalah juru basa darmamurcaya.

Itu semua patut diketahui tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu; itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita. Pasti ditunggu oleh neraka bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi, untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan karena semua itu ketentuan dari hyang dan dewata,

Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwah, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra, Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara!

Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala42. Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.

XXI

Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi “permata di dalam sangkar”, untuk cahaya seluruh dunia. Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.

Kita harus memperteguh diri, menertibkan hasrat, ucap, dan budi. Bila hal itu tidak diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang dari golongan rendah, menengah, dan tinggi, semua akan dijerumuskan ke dalam neraka Si Tambra Go(h)muka. Karena keunggulan ilmu manusia terungguli oleh dewata.

Kata sang darma pitutur mengajarkan ucap para leluhur. Ada lagi perbandingannya. Demikianlah umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa dan adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau. Percuma hasil jerih payahnya sebab tidak bisa berbicara bahasanya.

Demikianlah kita manusia ini. Tetap turun dari alam gaib tidak menemukan jalan kedewataan, ingin cepat-cepat menjelma karena pandir kelakuannya, tidak dapat meniru perbuatan orang yang mengetahui.

Malahan yang ditiru itu orang yang tidak setia, yang tidak layak, cepat berbuat kejahatan: menyelinap ke rumah perempuan, lalu main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak. Lalu perempuan merasai pria yang bukan suaminya, tidak layak dianianya.

XXII

Laki-laki merasai wanita yang bukan istrinya, tidak layak namanya. Boleh dijerumuskan ke dalam neraka Si Mregawijaya (sebagai) manusia yang mengutamakan perbuatan yang salah.

Inilah ungkapan perbuatan manusia yang salah: burangkak, marende, mariris, wirang. Yang disebut catur buta (empat hal yang mengerikan). Maksudnya burangkak berarti mengerikan.

Yang dianggap mengerikan yaitu kelakuan manusia yang ketus, tak mau menyapa sesama orang, bicara sambil marah dan membentak, bicara sambil membelalak, bicara kasar dengan nada menghina, buruk lakuan, berhati panas, tidak layak namanya.

Ya itulah yang dianggap mengerikan perbuatan manusia semacam itu. Tak ubahnya seperti raksasa, Durgi, Durga, Kala, buta, layaknya menempati tanah-tanah yang kotor.

Yang disebut tanah-tanah yang kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan ; golongan tanah terbuang.

Demikianlah kejadiannya bagi yang berkeras berbuat buruk; karena perbuatan manusia yang bertingkah menakutkan orang lain kejadiannya tergolong kepada maha gila, karena tidak mengikuti sanghyang sasanakreta, karena melanggar Sanghyang Siksa. Maka menjadi maha gila itulah yang dimaksud dengan burangkak.

Marende berarti diduga dingin nyatanya panas. Dimanjakan, dikasihani, dibujuk, disayangi, diberi kesenangan dan kenikmatan, diberi hamba kawula; demikianlah direncanakannya. Nyatanya terkena oleh isi tegal si pantana (sumber kehancuran), yang mengalirkan kurban.

XXIII

Dari Timur bersenjatakan pedang. Seratus ribu orang terkena di sana. Dari selatan Gunung Batu. Berbarengan seribu orang nista di sana. Dari Barat raksasa bermuka api. Tidak terhitung jumlah orang nista di sana.

Dari Utara seperti belalang ditusuki. Berbareng seratus orang nista di sana. Dari tengah gagak si penghancur dengan sang senayaksa. Beribu-ribu orang nista di sana. Ye kenistaan karena marende namanya.

Mariris berarti jijik, lebih jijik dari tahi, lebih jijik dari bangkai busuk. Demikianlah perbuatan orang yang panjang tangan, suka mengambil barang orang. Memetik apa-apa tanpa meminta, mencuri, merampok, mengecoh, merampas; segala macam dusta terhadap kebenaran.

Bila mati roknya sengsara. Seribu seratus tahun terkena kutuk Batara, jauh pada kemungkinan menjadi manusia. Kalau menjelma menjadi binatang kotor, seperti: janggel, ulat tahun, piteuk, titinggi, jambelong, limus sakeureut, mear, pacet, lintah, lohong, gorong; segala macam yang dianggap jijik oleh orang banyak. Itulah yang disebut mariris.

Wirang berarti: tidak mau jujur, tidak mau benar, tidak mau layak, tidak mau terus terang, tidak mau berusaha. Bila memiliki sifat tercela seperti mengancam, membunuh, ketagihan, tak mau kapok.

Bila mati, rohnya mengalami sengsara di jembatan goyang (lapuk), titian tua, batu tertutup. Bila menjelma ke dunia menjadi golongan makhluk yang menakutkan, seperti: badak, harimau, buaya, ular besar; segala macam yang menakutkan manusia. Itulah yang disebut wirang. Sekianlah tentang catur buta.

Ini mengumpamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina, paham tentang perilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Cina, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah, sedang, tinggi.

XXIV

Lalu memahami sabda sang prabu, sang rama, sang resi, bila dapat mengendalikan hasrat, ucap, dan budi. Maka yang demikian itu mengetahui tentang geuing, upageuing, parigeuing, yaitu yang disebut trigeuing.

Geuing ialah dapat makan dan dapat minum dalam kesenangan. Itulah arti geuing. Upageuing berarti dapat bersandang, dapat berpakai, dapat berganti pakaian (selama yang lain dicuci), dapat berbusana. Itulah arti upageuing.

Parigeuing berarti dapat memerintah, dapat menyuruh, karena tuturnya manis dan ramah. Sehingga tidak merasa segan orang yang disuruh karena terkena oleh hasil menyelami seloka.

Kepada yang masih muda panggillah: utun (buyut), eten (upik), orok (bayi), anak ing (anakku), adi ing (adikku). Kepada yang tua menyebutlah: lanceuk ing (kakakku), suan ing (uaku), euceu ing (kakak perempuanku), aki ing (kakekku). Menyebut nama berkesan keterlaluan.

Demikianlah (yang disebut) dasa pasanta (sepuluh penenang hati), yaitu bijaksana, ramah, sayang, memikat hati, kasih, iba, membujuk, memuji, membesarkan hati, mengambil bati. Maka senang, gembira, dan cerahlah orang yang disuruh. Itulah yang disebut parigeuing.

Inilah selokannya: emas, perak, permata, intan, yang disebut catur yogya (empat hal yang terpuji. Ini maksudnya. Emas berarti ucapan yang jujur, tepat, nyata panca aksara. Perak berarti hati yang tenteram, baik, bahagia. Permata berarti hidup dalam keadaan cerah, puas, leluasa. Intan berarti mudah tertawa, murah senyum, baik hati. Itulah yang disebut catur yogya.

Ada orang muncul dari kesuciannya (seperti): pancak saji (rumah sajen), pabutelan, pemujaan, rumah adat, candi, kuil, palinggan, sanggar hyang (Bali: Sulinggih), batu perunggu, tempat arca, lalu membuat orang-orangan dan membersihkannya.

Demikianlah seluruh permukaan tanah terurus, air dapat disucikan, diberkati. Itulah manusia bahagia, manusia sempurna, ya manusia sejahtera.

XXV

Yang dianggap muncul dari kesucian tanah yaitu, ingat kepada sanghyang siksa, berpegang teguh kepada ajaran ibu, bapak, kakek, dan buyut, mengetahui peraturan bagi maha pendeta, menukuhkan kata-kata kesentosaan.

Menurut cerita zaman dahulu yang menegakkan sanghyang sasakreta itu ialah: Rahyangta Dewa Raja, Rahyangta Rawunglangit, Rahyangta di Medang, Rahyangta di Menis. Itulah yang disebut catur kreta.

Oleh karena itu, sekarang manusia ingat kepada sanghyang darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia. Itulah yang disebut manusia (yang paham) rahasia. Bila mati sukmanya akan menemukan sorga kebahagiaan.

Mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duKa, kemuliaan tanpa kenistaan, senang tanpa penderitaan, indah tanpa buruk, gaib tanpa wujud, menjadi hyang tanpa menjadi dewa kembali. Itulah yang disebut peramalenyep (kesadaran utama).

Demikianlah manusia sekarang. Bila kita mandi, air yang kita temukan mengandung dua pilihan yang keruh dan yang jernih. Demikianlah perbuatan manusia. Dua macam yang dilakukan: yang buruk dan yang baik. Begitulah manusia, mendapat susah karena perbuatan yang menyusahkan dirinya sendiri.

Begitulah manusia, mendapat kebahagiaan karena perbuatan yang membahagiakan dirinya sendiri. Ya manusia itu susah karena ulahnya senang karena ulahnya.

Begitulah air itu maka disebut ada dua macam pilihannya. Air sejuk dan bening adalah sanghyang darmawisesa. Itulah yang dilakukan oleh maha pendeta. Air suram dan keruh ialah pada rasa dan kelakuan yang dilakukan oleh sang wiku, masyarakat, orang yang berkedudukan, semuanya.

XXVI

Ya ibarat centana (kesadaran) dengan acentana (ketidaksadaran). Yang sadar itu tahu mengingat nasihat dan tak pernah melupakannya; itulah awal manusia bahagian, pokok dunia yang sejahtera. Yang tidak sadar ialah yang lupa kepada hyang, bingung, tidak ada tutur yang diingatnya, ya pokok kehancuran, benih zaman akhir, umbi keingkaran, benih kebohongan: penyebab manusia masuk neraka. Janganlah hal itu dikukuhi oleh mereka yang ingin benar.

Ini ujar sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia.

Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya.

Kukuhkan, kuatkan, batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa. Maka menjadi sentosa dunia, maka menjadi sejahtera kehidupan ini, karena perbuatan manusia yang serba baik.

Demikianlah, bila pendeta teguh dalam kependetaannya, akan sejahtera; bila wiku teguh dalam kewikuannya, akan sejahtera; bila manguyu (ahli gamelan) teguh dalam kemanguyuannya, akan sejahtera; bila paliken (senirupawan) teguh pada kepalikenannya, akan sejahtera;

Bila tetega (biarawan) teguh dalam ketetegaannya, akan sejahtera; bila ameng (pelayan biara) teguh dalam keamengannya, akan sejahtera; bila wasi (catrik, penduduk biara) teguh dalam kewasiannya, akan sejahtera; bila ebon (biarawati) teguh dalam keebonannya, akan sejahtera; demikian pula bila walka (pertapa yang mengenakan pakaian kulit kayu) teguh dalam kewalkaan-

XXVII

Nya, akan sejahtera; bila petani teguh dalam kepetaniannya, akan sejahtera; bila euwah( ?) teguh dalam keeuwahannya, akan sejahtera; bila gusti (tuan tanah) teguh dalam kegustiannya akan sejahtera; bila masang( ?) teguh dalam kemasangannya, akan sejahtera; bila bujangga (ahli falak) teguh dalam kebujangaannya, akan sejahtera:

Bila tarahan (tukang tambangan perahu) teguh dalam ketarahannya, akan sejahtera; bila disi (ahli siasat/ramal) teguh dalam kedisiannya, akan sejahtera; bila rama teguh dalam keramaannya, akan sejahtera; bila resi teguh dalam keresiannya, akan sejahtera; bila prebu teguh dalam keprebuannya, akan sejahtera.

Demikian, bila pendeta dan raja sungguh-sungguh menyejahterakan negara, maka sejahteralah di utara, selatan, barat dan timur, semua yang tersangga oleh bumi, semua yang ternaungi oleh langit; hidup sentosalah serba makhluk semuanya.

Serba makhluk semuanya yaitu: makhluk tumbuhan, makhluk hewan, janma wong, janma siwong, wastu siwong. Ya sekian itulah yang dikatakan serba makhluk seluruhnya.

Makhluk tumbuhan yaitu: rumput, pohon, rambat, perdu. Semua hidup hijau subur, hamparan rumput; itulah yang disebut makhluk tumbuhan.

Janma wong yaitu: hanya rupanya saja manusia karena tidak baik tabiaatnya. Janma siwong yaitu: hanya baik tabiat, dan turunannya saja tetapi belum mengetahui sanghyang darma. Wastu siwong yaitu: yang teguh pada pengetahuannya, mengetahui sanghyang darma, tahu hakikat sanghyang ajnyana; itulah yang disebut wastu siwong.

Yang ini, barangkali ingin tahu tentang jumlah isi dunia. Inilah namanya: kurija, mataja, bagaja, payuja.

Kurija ialah segala yang keluar dari mulut. Mataja ialah segala yang keluar dari mata (mata tunas). Bagaja ialah segala yang keluar dari kemaluan (perempuan). Payuja ialah segala yang keluar dari tumbung atau cungap. Itulah yang disebut sanghyang catur mula.

XXVIII

Ini kagunaan manusia di dunia: ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngaruang, ngarombong. Ngangka berarti cita-cita. Nyigi berani untaian. Ngiket berarti segala jenis pekerjaan mengikat. Nyigeung berarti meluruskan, membelah, membagi dua, meratakan, mengetok, mengikur, menyamakan.

Ngaruang berarti segala macam kerja menggali. Ngarombong berarti segala jenis pekerjaan memenggal-menggal (memberi batas). Itulah yang disebut sadguna (enam kegunaan). Sekian kegunaan manusia semuanya.

Ini keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Maksudnya: yun suda ialah ingin sempurna, tidak mau terkena oleh serba penyakit; yun suka ialah ingin kaya, tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah ialah ingin surga, tidak mau menemui dunia: yun luput bararti ingin moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni surga.

Ini untuk yang pergi mandi. Maksudnya laki-laki dan perempuan harus terpisah. Demikianlah untuk semuanya. Berapa macam bahan dagangan? Sebenarnya hanya mentah dan masak, bagus dan jelek, kecil dan besar.

Berapa macam rasanya? Sebenarnya (hanya) lawana, kaduka, tritka, amba, kasaya, madura. Lawana berarti asin; kaduka berarti pedas ; tritka berarti pahit; amba berarti masam, kasaya berarti gurih; madura berarti manis. Sekian terasanya oleh orang banyak.

Ini untuk kita memperoleh kekayaan, yang akan diwariskan kepada keturunan kita semuanya: kepada anak, kepada cucu, kepada umpi, kepada cicip, kepada muning, kepada anggasantana, kepada pratisantana, kepada putuh wekas semua; yang pantas dan yang tidak pantas diwariskan di antara hasil usaha kita.

XXIX

Yang tidak layak dijadikan pusaka disebut makanan raksasa. Hasil judi, hasil usaha perhiasan tidak layak dijadikan pusaka. Yang demikian disebut diberikan kepada langit. Tetapi pemberian ibu, pemberian bapak, pemberian perguruan, boleh dijadikan pusaka. Yang demikian disebut dewata pelindung diri.

Hasil pertanian boleh dijadikan pusaka. Disebutnya permata yang keluar dari bumi. Hasil peliharaan, hasil ternak, boleh dijadikan pusaka. Disebutnya mirah jatuh dari langit.

Orang kaya yang sanggup menebus (hamba) perempuan, yang tidak diketahui ibu bapaknya janganlah dia dipekerjakan agar kita tidak terbawa salah. Ada lagi kita mengetahui ibu bapaknya, dan (perempuan itu) mencari tempat mengabdi.

Bila sifat ibu bapaknya baik terhadap sesama orang, dan anaknya terbawa sifat orang tuanya, boleh dipekerjakan. Tetapi bila ia sifatnya buruk janganlah dicoba-coba dipekerjakan. Disebutnya manusia sesat di neraka.

Ada lagi orang yang baik kelakuannya, baik alur turunannya, baik orang tuanya, tebuslah. Tetapi jangan lantas diperistri mungkin ia hamba turunan. Jangan pula dikawinkan kepada kerabat kita. Lebih baik pintalah, dan bawakan sirih pinang agar mengabdi kepada kita.

Demikianlah resepnya agar keluarganya kembali kepada asal. Untuk pencegah diri dari penjara, agar pamor keluarga kita baik untuk pencegah diri mendapat aib.

XXX

Ini untuk menjodohkan anak. Jangan terlalu cepat dijodohkan karena belum tentu tepat tindakan kita. Pada umumnya, bila terlalu kecil ibunya akan menurun kepada anak perempuan. Bila terlalu kecil bapaknya, akan menurun kepada anak laki-laki. Bila menurun dari semuanya, dari suami dan istri, disebut keburukan merasuk kejelekan.

Jangan menjodohkan anak kecil, agar tidak berbuta kesalahan, agar tidak merepotkan yang menjodohkan.


Demikianlah pesan sang budiman, ujar sang darma pitutur menguraikan ajaran para leluhur, yaitu ajaran perilaku yang menjadi pelajaran: Sembah kepada Siwa! Sembah kepada Buddha! Sembah sepenuhnya kepada Jiwa Mahasempurna!

Semoga pembaca menjadi yang mengikuti ajaran kebajikan, memperhatikan cita-cita kesucian, mengikuti hukum-hukum pengabdian.

Demikianlah yang dikatakan siksakandang karesian, semoga menjadi sumber pengetahuan bagi yang mendengarkan.

Mulai menulis naskah waktu hari bersinar cerah. Selesai dalam bulan katiga.

Ini (tahun) selesainya pustaka: nora (0) catur (4) sagara (4) wulan (1)=1440S aka (1518 M).

Catatan-Catatan:

  1. dasakreta =10 kesejahteraan, yaitu kesejahteraan yang dicapai karena kemampuan menjaga 10 sumber nafsu.
  2. jadiyan =mudah jadi/tumbuh; tahun=pohon, tanaman.
  3. maya-maya :=bayang-bayang yang samar.
  4. tan parek =sebenarnya berarti tidak dekat, jauh.
  5. taka pridana dari paka =mempunyai, dan paridhana=pakaian.
  6. sowe sebenarnya berarti lama.
  7. dasasila =10 aturan.
  8. tumbung adalah terjemahan payu (Sansekerta)=dubur atau vagina. Secara umum searti dengan cungap.
  9. keter = hubungan seksual sejenis (homo seksual).
  10. baga-purusa; baga =kemaluan wanita; purusa=kemaluan laki-laki.
  11. pacandaan atau pasandaan =tempat bersandar, majikan.
  12. wado (wadwa) =prajurit vang memimpin para petani melakukan kerja bakti untuk raja.
  13. tatagata (Sks); tatha =kenyataan yang ada; gata=yang sedang berlangsung.
  14. panca aksara =5 huruf, yaitu: Na, Ma, Si, Wa, Ya, yang masing-masing dianggap identik dengan: Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Siwa.
  15. panca byapara =lima anasir pelindung/pembungkus.
  16. panca putra =lima orang putra Sang Kandiawan yang dianggap penjelmaan panca kusika.
  17. Wretikandayun =pendiri Kerajaan Galuh.
  18. panca kusika =lima orang resi murid Siwa dalam mitologi Hindu.
  19. wuku =buku, ruas, atau penggalan.
  20. Sang Dewata Lima =Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, dan Siwa.
  21. saka =asal, permulaan, tiang, semua
  22. dasakalesa =sepuluh noda/dosa yang bersumber kepada ketidakmampuan memelihara sepuluh indra.
  23. mali (kata dasar: bali) =sembuh, putih.
  24. usya (dari Sansekerta: usha) =hasrat, keinginan.
  25. pancagati =lima penyakit: serakah, bodoh, jahat, takabur, dan angkuh.
  26. buhaya di sini berarti ambu dan ayah.
  27. estri Larangan =istri atau wanlta/gadis yang telah bertunangan dan telah menerima panglarang (tanda pinangan)
  28. nangganan =membariskan; nu nangganan =pemimpin barisan yang kedudukannya setingkat di bawah mangkubumi.
  29. tanda nu nangganan =pejabat tinggi negara.
  30. cante, mungkin dari Sansekerta: santya =berkobar, terbakar.
  31. dongdonan, dari kata dasar dongdon =pergi melihat, bergabung.
  32. parakan =bagian sungai tempat menangkap ikan dengan cara mengeringkannya sebagian.
  33. babayan =tati bergantung sebagai ciri pemilikan.
  34. pangadwa =pakaian yang terdiri atas dua bagian.
  35. halo =berseru (Er); haloan =seruan, godaaan. Mungkin juga dari haIwan (Jawa kuno)=zinah.
  36. rara hulanjar =janda belum beranak, janda perawan.
  37. sapinaha (dari Sks.: pinaha) =makanan.
  38. pangurung =petugas pajak.
  39. dasa =salah satu pajak tenaga, berupa bekerja di ladang.
  40. serang =sawah atau ladang yang padinya digunakan untuk kepentingan upacara umum, atau sawah ladang pejabat.
  41. Batara Seda Niskata =istilah Hyang yang disansekertakan, berarti Tuhan Yang Mahagaib.