etnografi

Pantun Sunda, Salah Satu Tradisi Lisan Nusantara

Manusia memerlukan cerita, dan cerita membutuhkan estetika. Maka dari itu lahirlah pementasan drama, teater, sastra prosais, puisi, pantun, bahkan tarian. Dengan hasil-hasil budaya itulah manusia menjadikan diri mereka makin beradab dan lebih teratur.

PublishedDecember 22, 2010

byDgraft Outline

Pengertian pantun Sunda berbeda dengan pantun Indonesia. Pengertian yang kita serap hari ini tak lain merupakan pengertian pantun dalam khazanah budaya Melayu—bisa disejajarkan dengan paparikan dalam tradisi Sunda.

Manusia membutuhkan petunjuk yang berpetuah dan model untuk dijadikan ajuan berperikehidupannya, dan itu diperoleh, salah satunya, dari pantun.

Pantun, cenderung dicontohkan sebagai dialog antardua pelawak di televisi yang berlempar-lempar kata yang berima, di mana terdapat pengualang bunyi yang berselang (contoh sederhananya seperti “ikan kabus ikan kakap, makin bagus makin mantap”).

Pemahaman itu memang sepadan dengan definisi pantun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1016), yaitu “bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersanjak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi; peribahasa sindiran”.

Dengan pengertian yang ditetapkan KBBI dan oleh pengetahuan kita sekarang, fungsi pantun sebatas sebagai permainan kata antar pelaku komunikasi (dan juga dengan pendengar) yang menimbulkan sindiran dan lelucon segar.

Istilah pantun menurut Brensetter, sebagaimana dikuti oleh Winstedt, berasal dari kata tun, yang kemudian berubah menjadi tuntun, yang artinya teratur atau tersusun. Kata tuntun ini memiliki kesamaan bunyi denga tonton dalam bahsa Tagalog Filipina, yang berarti “berbicara menurut aturan tertentu”.

Bila kita melacak data-data tertulis kuno akan didapati kenyataan bahwa tak semua pantun merupakan sebatas susunan kata berima seperti yang kita terima hari ini. Dalam khazanah sastra Sunda Kuno.

Misalnya dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, disebutkan bahwa pantun pada zaman naskah itu (disusun 1518 M) merupakan sebuah cerita tutur. Setidaknya, empat “judul” yang beredar ketika itu di masyarakat Sunda, yaitu Langgalarang, Silihwangi, Haturwangi, dan Banyakcatra.

Table of contents

Open Table of contents

Pantun Sunda Sebagai Kisah

Seperti disebutkan di atas bahwa pantun menduduki tempat yang khas dalam khazanah kebudayaan Sunda. Dikatakan, setidaknya sejak abad ke-16 pantun sebagai kesatuan cerita telah dikonsumsi oleh masyarakat Sunda sebagai sarana hiburan sekaligus acuan moral.

Dari keterangan Sanghyang Siksakanda ng Karesian kita dapat mengira-ngira bahwa mungkin tradisi ini telah berkembang jauh sebelum abad ke-16. Naskah itu menyebutkan tukang pantun sebagai “ prepantun ”.

Tokoh-tokoh pantun Sunda dipercaya oleh sebagian masyarakat Sunda sebagai tokoh sejarah, biasanya dengan tokoh utama raja atau putra mahkota atau anak raja dari istri kesekian raja.

Jika pada abad ke-16 terkenal cerita pantun seperti Silihwangi, Banyakcatra, Haturwangi, Langgalarang, maka di abad selanjutnya muncul pula tokoh-tokoh lain seperti Mundinglaya Dikusuma, Guru Gantangan, Ciung Wanarah, Lutung Kasarung, Mundingkawati, Nyi Sumur Bandung, dan masih banyak lagi.

Teks Ratu Pakuan, yang ditulis pada abad ke-18 oleh Kai Raga, menyebutkan bahwa cerita yang dimuat merupakan upaya pengalihan ceita lisan ke dalam tulisan agar bisa dinikmati lebih luas.

Tercatat setidaknya lebih dari 70 judul atau lakon pantun dalam tradisi sastra Sunda). Berikut lakon-lakon yang masih dikenal:

Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Sulanjana (Trisadana), Jaka Susuruh, Mundinglaya Dikusumah, Ngadegna Pajajaran, Ratu Pakuan, Sangkuriang, Sumur Bandung, Kidang Pananjung, Badak Singa, Rangga Gading, Langgalarang, Sili(h)wangi, Haturwangi, Langgasari Kolot, Langgasari Ngora, Paksi Keling, Kembang Panyarikan, Raden Tegal, Kuda Wangi, Panambang Sari, Kidang Panandri, Gajah Lumantung, Bima Wayang, Rangga Sena, Banyak Catra, Demung Kalagan, Panggung Karaton, Perenggong Jaya, Gantangan Wangi, Budak Manjor.

Buyut Orenyeng, Munding Liman, Dalung Kusumah, Jagal Baya, Lasmaya, Rangga Lumintang, Sari Laya, Sutra Kalang Gading, Surulukan Macan, Mitra Wangi, Malang Sari, Rangga Malela, Nyi Pohaci Sang Hyang Sri, Badak Pamalang, Bima Manggala, Budug Basu (Banaspati), Burung Baok, Deugdeugpati, Jayaperang, Guru Gantangan, Kuda Gandar, Kuda Lalean, Layung Kumendung, Malang Sari, Ki Manjor jeung Nyi Gendruk, Manggung Kusuma, Matangjaya.

Munding Jalingan, Munding Mintra, Munding Sari, Langonsari, Manggung Kusumah, Matang Jaya, Munding Mentra, Jayamantri, Wentang Gading, Carita Lutung Leutik, Raden Tanjung, Rangga Sawunggaling, dan Rangga Sena. Langgasari Kolot, Langgasari Ngora, dan Lutung Kasarung sangat diakrabi oleh masyarakat Kanekes, Banten, yang hingga kini hidup dengan tradisi Sunda Kuno.

Sangat sering terjadi bahwa tokoh pantun yang satu ditemui pada lakon cerita yang lain. Misalnya, tokoh Kidang Pananjung dan Gelap Nyawang yang terdapat pada lakon Mundinglaya Dikusumah, terdapat pula dalam kisah Guru Gantangan, atau bisa pula ia menjadi kisah tersendiri. Atau pantun Siliwangi dan Langgalarang misalnya, di mana dua tokoh yang berbeda ini diceritakan pula dalam lakon Ratu Pakuan.

Jadi, ada semacam pararelisasi dalam kisah-kisah pantun Sunda, di mana tokoh-tokohnya saling berhubungan, dan inilah yang diharapkan para juru pantun atau pencipta pantun bahwa ada keterkaitan antara masa lalu dengan masa ketika mereka hidup. Ini sekaligus merupakan pembelajaran “sejarah” bagi para pemirsa, di mana “sejarah” bukanlah hal yang linear (ada awal dan akhir) melainkan sebuah siklus (di mana awal menjadi akhir dan seterusnya).

Pantun dipertunjukkan saat diselenggarakannya kenduri seperti ruwatan, selametan, atau pernikahan. Penyajian pantun diiringi dengan alunan musik petik kecapi indung dan pesinden, kadang disertakan pula rebab (sitar), seruling, dan kadang celempung.

Juru pantun menyanyikan cerita pantun sambil memetik kecapi menandai suasana hati dan perubahan adegan serta sesuatu yang menarik perhatian, seperti kecantikan putri atau keberanian pahlawan pantun pada masa Kerajaan Sunda/Pajajaran dan Galuh sebelum beralih pada masa Islam.

Dari kisah-kisah pantun yang memiliki latar belakang Kerajaan Galuh, sebagian ahli berpendapat bahwa pantun telah tercipta jauh sebelum Abad Pertengahan (menurut Naskah Wangsakerta, Kerajaan Galuh berdiri sejak akhir abad ke-7 M dan berada di Kota Ciamis, Jawa Barat, sekarang).

Kepercayaan ini diperkuat bahwa tokoh pantun Ciung Wanarah merupakan nama lain dari Sang Manarah, raja Galuh yang memerintah pada abad ke-8 M, walau dalam pantun kedudukan Ciung Wanarah dijungkirbalikkan dengan kedudukan Arya atau Hariang Banga di mana Ciung Wanarah dijadikan raja Pakuan sedangkan Banga sebagai raja Majapahit, yang jelas bertolak belakang dengan penemuan para sejarawan (versi ini pun terdapat pada teks Carita Waruga Guru yang disusun abad ke-19 di Sumedang,).

Kebanyakan cerita pantun mencampurkan percakapan dan nyanyian dengan syair cerita mengenai seorang pahlwan ( hero ) hingga pencapaiannya secara spiritual dan rohaniah. Layaknya Siddharta Gautama, seorang pangeran Sunda dalam pantun ke luar dari istana memperluas pengalamannya.

Sepanjang jalan, tokoh ksatria ini menemui kesulitan namun segera ditolong oleh orang lain, yang kemudian ksatria mengabdi papada penolong tersebut. Setelah berhasil melewati berbagai rintangan, sang ksatria akan didaulat menjadi raja menggantikan ayahnya—meski tak selamanya begitu (seperti Guru Gantangan yang dikabarkan meninggal untuk menuju kahyangan).

Dilihat dari strukturnya, pembacaan pantun terdiri atas rajah pamuka, mangkat carita, dan rajah pamunah. Rajah pamunah adalah doa/mantra yang ditujukan kepada dewa-dewa, roh leluhur, dan makhluk kosmologis seperti pohaci (kemudian ditambah nama Allah serta Nabi Muhammad juga para wali dan pahlwan Islam lainnya setelah ada pengaruh Islam) agar pertunjukan berjalan lancar dan diberkati.

Mangkat carita adalah seluruh kejadian yang berhubungan dengan si tokoh dari awal hingga akhir. Sedangkan rajah pamunah adalah doa/mantra penutup. Berdasarkan alur ceritanya, pantun terdiri atas: perpisahan (keberangkatan), ujian (inisiasi), dan kembali.

Sebelum pertunjukan dimulai, sejumlah sesajian/sesajen harus disediakan, yakni parupuyan, pangradinan, parawanten, dan panyinglar. Parupuyan adalah perapian sebagai wadah pembakaran kemenyan atau dupa. Pangradinan adalah tempat untuk menyimpan alat-alat kecantikan seperti minyak kelapa, minyak wangi, sirih, pinang, bunga-bungaan, sisir, dan cermin.

Parawanten adalah sesajen berupa makanan seperti tangtangangin (semacam ketupat), lontong, bubur merah, bubur putih, tumpeng, bekakak ayam, rujak buah pisang kulutuk, rujak roti, buah-buahan, ubi-ubian, kelapa muda, gula pasir atau gula batu, telur ayam kampung, dua ikat padi dan beras. Panyinglar adalah sesajen berupa daun beringin, daun hanjuang, anak batang pisang, dan batang tebu.

Pembakaran kemenyan dimaksudkan untuk menghasilkan asap berbau wangi, sebagai simbol medium indrawi antara dunia manusia dengan kosmologi Dunia Atas (pohaci seperti Sunan Ambu, dewata, sanghyang).

Dengan wangi kemenyan diharapkan penghuni Dunia Atas hadir dalam pertunjukan pantun. Berikut bunyi rajah yang berhubungan dengan Dunia Atas ( Buana Nyuncung ):

bulkukus mendung ka manggung, nyambuang ka awang-awang, ka manggung neda papayung, ka dewata neda suka, ka pohaci neda suci (“dupa mengawan ke manggung, semerbak ke angkasa luas, ke manggung minta pelindung, ke dewata minta izin, ke pohaci minta suci”).

Ada pun perangkat kecantikan mengacu pada dunia perempuan, dimaksudkan sebagai sejajen bagi roh-roh Dunia Atas yang berazaskan perempuan, seperti Sunan Ambu, Wiru Mananggay, dan Sri Pwahaci. Begitu pula dengan tangtanangin yang bentuknya menggambarkan empat arah mata angin sebagai dasar pembentukan mandala (tempat suci, pertapaan, candi).

Sesajen leupeut (lontong) melukiskan azas kelelakian. Bubur merah melambangkan azas feminim, bubur putih melambangkan azas maskulin. Sedangkan keberadaan tumpeng yang menyerupai gunung melambangkan suatu poros kosmos ( axis mundi ) yang dianggap tempat yang bisa menghubungkan dunia manusia ( Buana Panca Tengah ) dengan Dunia Atas ( Buana Nyungcung ).

Secara naratif, kisah dilantunkan dengan menggunakan bentuk pupuh, yakni puisi yang memiliki jumlah sukukata dan rima tertentu pada setiap barisnya. Setidaknya ada tujuh belas pupuh dalam tradisi Sunda (sebagian merupakan pengaruh budaya Mataram pada zaman Sultan Agung alias Mas Rangsang Panembahan Hanyokrokusumo, abad ke-17 M).

Berikut ke-17 pupuh tersebut:

  1. Asmarandana, melukiskan cinta kasih atau birahi.
  2. Balakbak, melukiskan lawakan/ banyolan.
  3. Dandanggula, melukiskan ketenteraman, keagungan, kegembiraan.
  4. Durma, menggambarkan kemarahan, kesombongan, semangat.
  5. Gambuh, menggambarkan kesedihan, kesusahan, kesakitan.
  6. Gurisa, melukiskan khayalan.
  7. Jurudemung, melukiskan kebingungan.
  8. Kinanti, melukiskan penantian.
  9. Lambang, melukiskan lelucon dengan aspek kontemplatif/renungan.
  10. Magatruh, melukiskan penyesalan.
  11. Maskumambang, melukiskan kesedihan mendalam.
  12. Mijil, melukiskan kesedihan yang menimbulkan harapan.
  13. Pangkur, melukiskan perasaan sebelum mengemban sebuah tugas berat.
  14. Pucung, melukiskan rasa marah pada diri sendiri.
  15. Sinom, melukiskan keriangan dan kegembiraan.
  16. Wirangrong, melukiskan rasa malu akan tingkah laku sendiri.
  17. Ladrang, melukiskan sindiran.

Dengan begitu, sebetulnya dalam pantun Sunda, dengan ada pupuhnya tersebut, terdapat sajak yang berima dengan suku-suku kata tertentu; dengan begitu tiada berbeda dengan pantun popular yang dipahami masyarakat sekarang.

Dulu, Juru pantun merupakan profesi yang dinanti-nanti oleh masyarakat. Melalui juru pantun, masyarakat dapat terhibur dari sela-sela kesibukan hidup. Pada abad ke-17 di Cianjur, misalnya, terdapat juru pantun terkenal, Raden Arya Cikondang.

Pada abad ke-19 terdapat nama-nama pemantun seperti Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja. Pada awal abad ke-20 di Kabupaten Bandung terkenal Uce, dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng.

Bila dulu kisah pantun dinikmati oleh semua kalangan, dari orangtua hingga anak-anak, karena kandungan nilai filosofisnya yang agung—selain petikan kecapi yang menghanyutkan, maka kini bergeser fungsi menjadi sebatas cerita anak-anak. Salah satunya Lutung Kasarung (“Monyet Kesasar”), yang panjangnya lebih dari 1.000 baris, kisahnya telah banyak dibukukan sebagai cerita anak, selain pernah difilmkan pada tahun 1926.

Selain pantun yang cenderung prosais dan selalu dibawakan dengan pementasan diiringi musik, dalam budaya Sunda terdapat pula paparikan. Paparikan adalah sejenis sajak di mana terdapat dua baris pendahuluan atau sampiran ( cangkang ) dan disusul dengan dua baris isi. Isinya biasanaya berupa sisindiran. Dengan begitu, dilihat dari struktur bahasa dan isinya paparikan Sunda sama dengan pantun Melayu.

Pantun dalam Budaya Melayu

Di kebudayaan Melayu, pantun merupakan bentuk lain dari sajak yang, menurut catatan yang tersedia, setidaknya telah berkembang sejak Kerajaan Pasai. Dalam Hikayat Raja Pasai terdapat pantun yang berbunyi “lada siapa dibangsalkan/Selama lada se-Kerti/Pada siapa disesalkan/Tuan juga empunya pekerti”.

Menurut Iskandar (1996: 167) pantun merupakan pantun tertua yang tertulis dalam persuratan Melayu. Harun Mat Piah (dalam Iskandar, 1996: 167) menenggarai bahwa penciptaan pantun telah dibuat pada zaman sebelum datanganya pengaruh Hindu. Sementara Winstedt berpendapat bahwa mungkin pantun berasal dari sloka atau seloka Hindu yang terdiri dari empat baris, dengan delapan sukukata pada setiap baris (disebut anustubh ).

Overbeck (Iskandar, 1996: 168) menganggap bahwa seloka dari karya-karya Ramayana dan Sakuntala mengingatkan kita pada sentimen dan senikata pantun Melayu. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut kita bisa menduga bahwa kehadiran pantun di tanah Melayu telah ada sejak abad kejayaan Sriwijaya atau kejayaan Kerajaan Jambi-Melayu yang berazaskan Buddha/Hindu.

Akan tetapi, sejumlah pakar berpendapat bahwa pantun dalam tradisi Melayu baru lahir pada abad ke-15. Winstedt berpendapat, berdasarkan istilah pantun dan contoh-contoh pantun dalam naskah Sejarah Melayu, pantun baru dikenal dalam kesusastraan Melayu mulai abad ke-15.

Pun dalam dalam karya-karya zaman Hindu dalam bahasa Melayu, seperti Hikayat Seri Rama dan saduran-saduran dari Mahabharata seperti Hikayat Pandawa dan Hikayat Sang Boma, tak terdapat rangkaian kata berbentuk pantun.

Dalam hikayat klasik Melayu yang menggunakan motif-motif karya Hindu memang terdapat pantun, tetapi bila diperhatikan lebih teliti maka pantun-pantun tersebut mengandung unsur-unsur Islam, bahkan ada pula unsur yang menggambarkan adanya kehadiran orang Barat di Kepulauan Nusantara.

Dengan perkataan lain, pantun-pantun tersebut dimasukkan pada zaman yang kemudian. Jumlah pantun dalam Sejarah Melayu versi yang lebih tua (edisi Winstedt) lebih sedikit jika dibandingkan jumlah pantun dalam versi Sejarah Melayu yang lebih muda (edisi Shellabar) (Iskandar, 1996: 168).

Selain pantun Melayu, ada pula pantun Banjar. Pantun Banjar dilisankan dalam bahasa Banjar oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan. Pantun Banjar merupakan pengembangan dari peribahasa Banjar.

Selain di Banjar, tradisi pantun pun beredar di hampir semua suku di Nusantara—sejauh makna pantun itu sesuai dengan definisi KBBI. Masyarakat Jawa menyebutnya parikan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni.

“Sepupu-sepupu” Pantun di Nusantara

Selain pantun, tradisi lisan serupa berkembang pula di wilayah-wilayah lain di Nusantara. Sebut saja di Nusa Tenggara, Gorontalo, Gayo, dan Pariaman, terdapat tradisi lisan yang memadukan unsur sastra lisan, tarian, dan musik.

Di Nusa Tenggara, meski tak disebut pantun, terdapat tradis penceritaan lisan mengenai asal-usul setempat yang dilakukan oleh penutur yang ahli dengan kalimat-kalimat yang berpararel dan bersajak.

Cerita lisan ini berkisah tentang asal-usul kelompok dan perpindahan leluhur dan tindakan tokoh pendiri tertentu. Cerita tersebut sering mengetengahkan pertandingan antarleluhur yang diselesaikan dengan kekerasan. Penceritaan dibarengi dengan sejumlah gendang dan gong.

Begitu pula di Gorontalo, Sulawesi, terdapat tradisi yang disebut tanggomo, yakni sastra lisan puitis yang merekam peristiwa sejarah, mitologi, dan legenda setempat. Penyampai tanggomo, yakni ta motanggomo, awalnya berfungsi mencari dan mengumpulkan laporan peristiwa di dalam atau di luar Gorontalo dan menyampaikan peristiwa itu ke masyarakat.

Namun tak hanya melaporkan peristiwa yang dikumpulkannya, ta motanggomo pun bisa menceritakan syair tentang dongeng, mitologi, legenda, yang sebagian didasarkan peristiwa sejarah, menceritakan cerita rekaan ta motanggomo sendiri, dan ajaran agama yang berkembang di masyarakat. Dalam bercerita, ia seringkali memetik kecapi.

Di Gayo, Aceh, berkembang seni didong yang memperagakan seni sastra, suara, dan tari sekaligus. Kata didong dipercaya berasal dari kata dendang, yang berarti sama dengan denang dan donang dalam bahasa Gayo, yang berarti “menghibur diri sendiri dengan menyanyi diiringi musik sambil bekerja”.

Kelompok didong umumnya terdiri atas 30-35 orang, duduk berkeliling selama pertunjukan. Empat atau enam orang di antara mereka disebut ceh, penyanyi didong. Seorang ceh harus bisa menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya atau syairnya.

Ia pun harus mampu menggubah syair di tempat karena suatu pertunjukan didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang harus berbalas sindiran atau cemoohan. Tugas menyindir ini terletak pada pundak sang ceh kul (ceh besar) atau ceh satu. Di samping itu, ada pula ceh kedua dan ketiga; masing-masing ditemani seorang ceh apit, pembantu atau teman.

Di Biak, Teluk Cendrawasih, Papua, terkenal tradisi wor, sebagai tanda kemenangan di pertempuran, perjalanan niaga, perkawinan, dan peralihan kehidupan seorang anak. Bagi wanita Biak, wor selalu dinyanyikan ketika tengah berkebun dan mengayam. Kaum lelaki menyanyikan wor ketika melaut, ketika menenteramkan roh-roh leluhur, dan saat mempersiapkan diri berperang.

Menurut legenda, cerita wor bermula ketika Mansar Mnuwon, leluhur Biak, berburu di hutan dan mendengar orang bernyanyi dan memukuli tifa di pohon yang tinggi. Ia istirahat di bawah pohon, dan musik semakin keras, menajngkau tumbuhan yang merambat di pohon itu.

Musik pun terpecah menjadi paduan suara. Kumpulan bunga bernyanyi. Karena khawatir suara dari tumbuhan itu hilang saat matahari terbit, ia memotong tumbuhan merambat itu dan membawanya ke rumah.

Mansar memakan daunnya, suara tumbuhan pun berpindah padanya, membuat ia pandai bernyanyi wor. Maka dari itu, para penyanyi wor memukuli gendang tifa selama bercerita wor.

Di Pariaman, pesisir barat Sumatra Barat, terkenal Rabab Pariaman yang terdiri atas dua unsur, dendang dan kaba. Dendang adalah sajak yang dinyanyikan dengan iringan rabab (sitar) khas Pariaman. Isi dendang adalah tentang perjalanan hidup: kemiskinan, nasib malang, rindu kampung halaman. Masalah-masalah yang menegangkan dalam dendang tersebut didamaikan oleh pantun jenaka.

Ada pun kaba adalah cerita, di mana sebagian besarnya bercerita tentang kerajaan dengan tokohnya yang berkekuatan supernatural. Namun, nada yang digunakan dalam penceritaan Kaba tak sebanyak nada dalam dendang.

Teks Rabab Pariaman berbentuk prosa-liris, di mana setiap baris mengandung delapan hingga duabelas suku kata, di luar kata-kata isi, dengan kalimat-kalimat yang sangat konotatif, kuno, dialektik, penuh perlambang, alias bukan kata-kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Di Riau ada pertunjukan lisan mak yong, yang meski berasal dari Pattani di Muangthai sejak abad ke-16 namun telah diserap menjadi kebudayaan masyarakat Riau/Melayu. Fungsi mak yong bukan sebagai hiburan, melainkan penghormatan pada Yang Mahakuasa. Awalnya seni ini dipertontonkan khusus bagi keluarga sultan khususnya di Riau-Lingga (dan juga Kelantan, Malaysia).

Mak yong menggabungkan unsur drama, tari, musik, dan seni peran, dan digelar selama seminggu di mana setiap malam pertunjukan bisa memakan waktu tiga-empat jam. Kisah yang sering dipertunjukan adalah Dewa Muda, kisa pertama dalam kumpulan kisah mak yong. Seorang pemain gamelan atau panjak atau bomoh membacakan doa dan setelah itu penari dan pemusik lainnya menggelar tikar di atas panggung.

Tradisi lisan lain yang harus disebut adalah pertunjukan wayang (kulit, golek, beber). Tradisi ini berkembang terutama di wilayah budaya Jawa, Sunda, dan Bali. Pencerita, atau dalang, fungsinya sama dengan juru pantun, sebagai narator sekaligus penutur dialog, diiringi pesinden dan perangkat gamelan.

Dalam wayang kulit dan golek, cerita yang diambil kebanyakan dicomot dari epos-epos Mahabharata dan Ramayana, sementara dalam wayang beber diambil dari kisah panji dan babad.

Mengenai tradisi-tradisi lisan di atas, kami akan membahasnya lebih mendetail pada lain kesempatan, agar pemahaman kita lebih luas dan komprehensif. Yang jelas, semua tradisi lisan tersebut— pantun, didong, tanggomo, wor, dan yang lainnya—memiliki sejumlah kesamaan dalam satu hal: semuanya melibatkan unsur sastra dan musik dan bersifat sacral dan tidak sembarangan—kecuali pantun yang sebatas sisindiran.