etnografi

Suku Sumbawa, Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat

Secara Geografis wilayah Suku Sumbawa sekitar 8.493 km2 lebih dari setengah Pulau Sumbawa dengan luas keseluruhan mencapai 14.415,45 km2, sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima.

PublishedJune 23, 2011

byDgraft Outline

Sebagian besar wilayahnya terdiri atas perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi 1.730 meter berada di Gunung Batu Lanteh. Gunung ini berdiri tegak di antara lima pegunungan lainnya yang berada di bagian tengah dan selatan pulau.

Mengarah ke gunung ini terdapat sebuah sungai terbesar bernama Brang Beh yang juga mengalir menuju Teluk Lampui dan menuju daerah-daerah di sekitar pegunungan lainnya, kemudian bertemu dengan anak-anak sungai lainnya yang lebih kecil. Di sanalah suku Sumbawa bermukim. Suku Sumbawa juga dikenal dengan suku Samawa.

Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat merupakan wilayah suku Sumbawa terbesar, mulai dari Kecamatan Empang di ujung timur hingga Kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya

Batas teritorial kedua daerah kabupaten ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Jumlah populasi suku Sumbawa sekarang diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa.

Populasi Suku Sumbawa yang terus berkembang saat ini merupakan campuran antara keturunan etnik-etnik pendatang atau imigran dari pulau-pulau lain yang telah lama menetap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya serta sanggup berakulturasi dengan para pendatang lain yang masih membawa identitas budaya nenek moyang mereka, baik yang datang sebelum maupun pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815.

Para pendatang ini terdiri atas etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatra (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan Cina (Tolkin dan Tartar), serta Arab yang rata-rata mendiami dataran rendah dan pesisir pantai pulau ini.

Sebagian penduduk yang mengklaim diri sebagai pribumi atau tau Samawa asli menempati wilayah pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar akibat daerah-daerah pesisir dan dataran rendah yang dulunya menjadi daerah pemukiman mereka tidak dapat ditempati lagi pasca bencana alam Tambora yang menewaskan hampir dua pertiga penduduk Sumbawa kala itu.

Selain itu merupakan daerah beriklim tropis, pengaruh iklim dari Benua Australia pada bulan-bulan tertentu sangat terasa dengan temperatur berkisar antara 19,20C–34,20C, kelembaban maksimum 89% dan minimum 71% dengan tekanan udara rata-rata 1.008,2 mb sampai 1.013,4 mb

Arah mata angin terbanyak adalah 300 dengan kecepatan tertinggi 13 knot per detik yang terjadi pada bulan Agustus, Oktober, dan November. Curah hujan rata-rata 1.476 mm setahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 75 hari.

Hujan mulai turun di Sumbawa pada bulan November sampai dengan Maret, setelah itu berganti musim kemarau di bulan April yang biasanya diawali dengan udara dingin dalam beberapa minggu.

Sebagian besar wilayah Sumbawa kaya akan hasil-hasil tambang, selain juga potensi perikanan, perkebunan, dan pertanian tanaman pangan. Potensi lain berupa hasil-hasil hutan dan peternakan

Beberapa produk andalan yang telah menjadi maskot bagi Sumbawa adalah madu lebah, mutiara, dan kekayaan flora-fauna berupa kayu gaharu, kuda, dan rusa yang mulai terancam punah akibat perburuan.

Table of contents

Open Table of contents

Dialek Suku Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

Bahasa suku Sumbawa, atau Basa Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya sekitar 300 000 orang (1989).

Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, yang pada gilirannya termasuk dalam satu kelompok “Utara dan Timur” dalam kelompok Melayu-Sumbawa.

Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo.

Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasa pun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka.

Dialek Suku Sumbawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa Sumbawa.

Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka Basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi.

Akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatra (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.

Sistem Kekerabatan Dan Perkawinan Suku Sumbawa

Kekerabatan yang digunakan oleh masayarakat suku Sumbawa, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan secara serentak.

Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah maupun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama, misal eaq untuk saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu.

Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.

Pada kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari santek atau bambu yang dipotong-potong (kini banyak diganti dengan genting).

Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur rumah orang Melayu.

Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan, dan harapan limpahan rezeki. Mereka memiliki nilai kekerabatan yang begitu kuat seperti tercermin dalam lawas: Ngungku ayam ling Samawa (denyut kehidupan di Sumbawa) Samung ling sanak do tokal (mengetuk hati kerabat di rantau) Mole tu sakompal ate (pulang untuk menyatukan hati) Ate ku belo ko sempu (hatiku dekat dengan sepupu) Kusalontak mega pitu (melampaui apa saja) Ngantung no ku beang bosan (tak bosan bergantung dan berharap) Mara punti gama ina (seperti pohon pisang duhai ibunda) Den kuning no tenri tana (meski daunnya menguning tak mau jatuh ke tanah) Mate bakolar ke lolo (mau hancur bersama sanak kerabat) Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mengadopsi prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan.

Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa.

Sebagian masyarakat Sumbawa percaya apabila upacara barodak ini tidak dilaksanakan akan muncul musibah bagi pengantin maupun keluarganya dalam bentuk munculnya penyakit rabuyak, seperti benjol-benjol di kepala disertai gatal-gatal, kesurupan, keluar darah dari mata bila menangis, tiba-tiba tulang rusuk keluar bebepa centimeter, dan berbagai jenis penyakit aneh lainnya yang disebabkan melanggar upacara daur kehidupan.

Selanjutnya pada sebagian masyarakat Sumbawa yang mempercayai pandangan ini, sandro berperan dalam menentukan hari baik, menemukan jenis benda yang digunakan untuk proses penyembuhan penyakit rabuya, serta melakukan pengobatan dan membangun komunikasi secara gaib dengan leluhur si sakit

Akan tetapi, kepercayaan ini mulai nampak memudar seiring pemahaman mereka pada bidang kesehatan dan bergesernya pola berpikir yang menganggap tidak masuk akal menghubungkan antara munculnya berbagai jenis penyakit tertentu ini dengan bentuk upacara adat daur kehidupan, selain juga dianggap oleh sebagian masyarakat bentuk kepercayaan demikian ini sangat tidak Islami.

Satu hal manarik dalam sistem perkawinan tau Samawa yang dianggap ideal adalah perkawinan antarsaudara sepupu, seperti tampak dalam lawas: Balong tau no mu gegan (secantik apapun seseorang jangan terlalu berharap) Lenge sempu no gantuna (sejelek-jeleknya sepupu masih ada rasa sayangnya) Denganmu barema ngining (bersamamu mengarungi suka dan duka) Lawas ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asal-usulnya dan bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka.

Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri.

Dalam perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan.

Delik perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis pujaanya.

Merarik bisa berakibat ngirang bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak korban

Bagi anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.

Perkembangan Sistem Pemerintahan Suku Sumbawa

Karakteristik yang menonjol dari suku Sumbawa umunya adalah gemar berbicara dan mengurus soal-soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada sandro atau dukun, kurang senang berpikir hal-hal yang kecil dan detail.

Sejarah masa lalunya yang selalu menempatkan dalam pergolakan, baik masa pra-Hindu, Hindu-Budha, dan terakhir masa Islam telah mengkondisikan suku Sumbawa rata-rata bertemperamen keras dan mudah naik darah, terutama mereka yang tinggal di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, khususnya Taliwang yang dahulu pernah menjadi pusat pengaruh Kerajaan Majapahit di Pulau Sumbawa.

Suku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran.

Sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawabesar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali.

Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawa Besar.

Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict digabung menjadi satu district setingkat kabupaten saat ini.

Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa.

Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa suku loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung

Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa.

Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun.

Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan.

Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.

Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga.

Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).

Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukum pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura.

Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi.

Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.

Kepercayaan Dan Tradisi Suku Sumbawa

Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa suku Sumbawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka.

Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.

Mayoritas suku Sumbawa saat ini memeluk agama Islam, pasca ‘penaklukkan’ Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas:

Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam) Pang akhirat pang tu matak (di akhirat tempat menuai) Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya) Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh) Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah) Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)

Semenjak munculnya pengaruh kebudayaan Islam, boleh dibilang suku Sumbawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang telah turun-temurun menjadi suku Sumbawa ini.

Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? No soka ungkap bilik ke? Tempu tama dengan nya ke? menunjukkan betapa penting arti Islam bagi suku Sumbawa.

Suku Sumbawa percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari, dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan.

Untuk menangkal gangguan makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk sihir seperti burak, sekancing, lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian suku Sumbawa sering memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro.

Selain kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki kemampuan meramal nasib, suku Sumbawa juga mempercayai suara cecak dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bahkan sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya.

B ercocok Tanam Orang Sumbawa, Tumpan Aeng-Aeng

Kultur suku Sumbawa merupakan suku sudah memasuki tahap modern, hal ini dilihat dari perlatan yang mereka gunakan untuk bercocok tanam yang menjadi menjadikan sumber penghidupan yang utama bagi suku Sumbawa walaupun perlata yang mereka gunakan masih tradisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau.

Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa.

Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.

Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan

Akan tetapi, tidak setiap hari para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan pemeliharaan.

Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian ini pun bagitu mudah, suku Sumbawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain.

Konsep ini bagi suku Sumbawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki.

Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar)

Bagi suku Sumbawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa.

Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya.

Sedang, bagi suku Sumbawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.