etnografi

Aksara Sunda (Ngalagena); Sejarah dan Penggunaan

Aksara Sunda Ngalagena menurut telaah bukti sejarah telah digunakan oleh orang Sunda sekitar abad ke-14 Masehi. Kini, Aksara Sunda kembali dipelajari.

PublishedOctober 23, 2011

byDgraft Outline

Image Placeholder

Jejak perkembangan dan penggunaan aksara ini dapat dilihat pada Prasasti Kawali (Prasasti Astana Gede). Prasasti yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah Kawali, Ciamis, (1371-1475). Prasasti Kebantenan yang berasal dari abad ke-15 Masehi, termaktub dalam lempengan tembaga, juga memakai aksara Ngalagena.

Namun belum ditemukan bukti dan kesimpulan yang pasti tentang kapan awal mula aksara Sunda diciptakan atau sejak kapan orang Sunda mulai menggunakan aksara itu.

Kita mendapat gambaran yang samar-samar bahwa sebelum abad ke-14, banyak prasasti dan naskah lontar ( kropak ) yang diketemukan di wilayah Jawa Barat, ditulis dengan menggunakan aksara lain.

Seperti aksara Pallawa yang digunakan pada Prasasti Tugu (abad ke-5 Masehi) dan aksara Jawa Kuno pada Prasasti Sanghyang Tapak (abad ke-11 Masehi). Bahasa yang digunakan sebelum abad ke-14 Masehi pun diduga menggunakan bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, dan Melayu Kuno.

“Sansekerta”; Adalah salah satu rumpun bahasa Indo-Eropa paling tua dan termasuk yang memiliki sejarah terpanjang, bahkan masih dikenal hingga saat ini.

Memasuki abad ke-14 Masehi dan seterusnya, aksara Sunda ini kerap digunakan dalam media batu (prasasti) dan kropak (naskah kuno).

Sama halnya seperti naskah-naskah kuno di wilayah Jawa lainnya, yang menjadi media untuk naskah kuno Sunda adalah daun ( ron ) palem tal ( Borassus flabellifer ) di sinilah lahir istilah rontal atau lontar atau juga daun palem nipah ( Nipa fruticans ).

Masing-masing daunnya yang sudah diproses dan dikeringkan, biasanya dihubungkan dengan seutas tali, di tengah-tengah daun dan atau di sisi kanan dan kiri daun.

Penulisan pada daun rontal ini dilakukan dengan menorehkan menggunakan sebuah pisau khusus ( peso pangot ), pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui media lain seperti menggunakan pena. Tintanya biasanya dibuat dari campuran jelaga dan kemiri.

Sementara untuk penanya dapat menggunakan lidi enau atau menggunakan bambu yang telah dipersiapkan. Biasanya peso pangot digunakan untuk menorehkan huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena memudahkan untuk menorehkan huruf-huruf bundar.

Naskah-naskah kuno di Jawa Barat yang menggunakan aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Naskah Carita Parahyangan yang juga dikenal dengan nama register “ Kropak 406″.

Kropak: adalah peti tempat penyimpanan naskah rontal; atau merujuk pada naskah yang tersusun dari beberapa lembar rontal.

Naskah ini kemungkinan dibuat pada abad ke-16 Masehi. Menurut beberapa Filolog, yang cukup menarik dalam Naskah Carita Parahyangan ini, adalah di dalamnya terdapat beberapa kata Arab, diantaranya yaitu kata “ dunya ” dan “ niat ”.

Hal ini dapat memberi gambaran bahwa sebaran kosa kata Arab, dengan agama Islamnya, telah jauh merasuk ke dalam alam bawah sadar penulisNaskah Carita Parahyangan tersebut.

Naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang diperkirakan ditulis pada masa yang tak jauh berbeda. Kedua naskah yang ditulis menggunakan bahasa dan aksara Sunda ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang tokoh di dalam sebuah bingkai sistem religi campuran antara Buddha, Hindu, dan kepercayaan Sunda asli.

Naskah yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian ( Kropak 603 ). Naskah yang ditulis pada 1518 Masehi, banyak mengulas sistem sosial masyarakat dan juga sistem keagamaan.

Ada pula naskah Amanat Galunggung ( Kropak 632 ) yang baru diketemukan dan diteliti hanya 6 lembar. Naskah yang kadang disebut Naskah Ciburuy ini membahas ajaran moral dan nilai-nilai dalam etika budaya Sunda lama.

Usia naskah Amanat Galunggung/Naskah Ciburuy ditenggarai lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan ; hal merujuk pada ejaan yang digunakan, seperti anwam,gwareng, hamwa, dan kwalwat. Dalam Naskah Carita Parahyangan kata-kata tersebut dieja: anom, goreng, hamo, dan kolot ).

Naskah-naskah keagamaan itu biasanya ditulis di sebuah mandala atau kabuyutan yang merupakan pusat dari keagamaan orang Sunda masa lalu. Wilayah Kabuyutan terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual.

Gunung Galunggung, Gunung Kumbang, Gunung Ciburuy, dan Gunung Jayagiri merupakan tempat yang memiliki kabuyutan. Kekinian, peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.

Sistem Aksara Sunda

Aksara Sunda berjumlah 32 buah. Terdiri atas 7 aksara vokal atau aksara swara (a – é – i – o – u – e – eu) dan 23 aksara konsonan atau aksara ngalagena (ka – ga – nga, ca – ja – nya, ta – da – na, pa – ba – ma, ya – ra – la, wa – sa – ha, fa – va – qa – xa – za).

Aksara-aksara “fa”, “va”, “qa”, “xa”, dan juga “za” merupakan aksara-aksara yang relatif baru. Aksara ini diciptakan untuk mengkonversi beberapa bunyi aksara Latin. Dari segi bentuknya, aksara Sunda ini memiliki bentuk persegi yang memperlihatkan ketajaman yang mencolok, dan hanya sebagian saja yang memiliki bentuk bundar.

Fonem: (Linguistik); satuan bunyi terkecil (a-z) yang mampu menunjukkan kontras makna (ct; /k/ adalah fonem krn membedakan makna kata kabel dan label).. Lihat juga; “Fon” dan “Fonetik”.

Aksara swara merupakan aksara Sunda untuk melambangkan bunyi fonem vokal yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata. Bisa menempati posisi di awal, di tengah, maupun di akhir sebuah kata. Berikut aksara swara Sunda:

Sedangkan aksara ngalagena adalah aksara sunda yang dapat berdiri sendiri mewakili sebagai sebuah kata dan suku kata atau silabis. Aksara ini dianggap dapat melambangkan beberapa bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun suku kata.

Bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir dari sebuah kata. Setiap konsonan biasanya diberi tanda pamaeh dengan tujuan untuk mematikan bunyi ngalagena -nya. Berikut aksara ngalagena Sunda:

Akasara Sunda Ngalagena

Ada pula para penanda vokal dalam sistem aksara Sunda, yakni: Panghulu (mengubah vokal /a/ menjadi /i/), Panyuku (mengubah vokal /a/ menjadi /u/), Pemepet (vokal /a/ menjadi /e/).

Panolong (vokal /a/ yang mendahuluinya menjadi /o/), Paneleng (vokal /a/ yang didahuluinya menjadi /é /), dan Paneuleung (vokal /a/ menjadi /eu/). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda:

Aksara Sunda Penanda Vokal

(Dari kiri ke kanan; Panghulu, Panyuku, Pemepet, Panolong, Paneleng, Paneuleung)

Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran; Panyakra (sisipan -r-), Panyiku (sisipan -l-), Pamingkal (sisipan -y-), Pengecek (akhiran -ng), Panglayar (akhiran -r), dan Pangwisad (akhiran -h).

Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tengah kata, yakni , dan . Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda P amaeh dalam sistem aksara Sunda.

Aksara Sunda Akhiran

(Dari kiri ke kanan; Panyakra, Panyiku, Pamingkal, Pangecek, Panglayar, Pangwisad, Pamaeh)

Aksara Sunda; Hilang dan Tergantikan

Setelah berkembangnya agama Islam, keberadaan aksara Sunda ini semakin tergeser. Perlahan namun pasti, aksara Arab yang dikenal dengan huruf pegon, kemudian mendominasi dunia tulis menulis hampir di seluruh Pulau Jawa. Penyebaran huruf Pegon ini juga digunakan oleh para pujangga dan penulis, Aksara Sunda pun kehilangan pamornya.

Tulisan Pegon; tulisan Arab yang tidak dengan tanda-tanda bunyi (diakritik); tulisan Arab gundul yang digunakan untuk menuliskan bahasa daerah.

Naskah Sajarah Banten pada tahun 1662-1663 Masehi, telah ditulis menggunakan huruf Arab ( Pegon ), tepat ketika Kesultanan Banten baru seabad berdiri.

Naskah lainnya yang memakai huruf Pegon ini adalah Kitab Waruga Jagat yang diketemukan di Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari wilayah Ciamis yang ditulis abad ke-18, dengan menggunakan bahasa Jawa dan huruf Pegon.

Penggunaan aksara Sunda pada perkembangannya selanjutnya semakin terkikis setelah aksara latin mulai diperkenalkan oleh orang-orang Eropa di Nusantara sembari berkolonialisasi, dari abad ke-18 Masehi hingga masa kemudian.

Tak hanya karena alasan itu, yang bertanggung jawab atas hilangnya aksara Sunda adalah penguasaan Mataram Baru yaitu Sultan Agung yang pada abad yang sama telah menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah Sunda.

Kekuasaan jawa di Tanah Sunda ini mengakibatkan sastra-sastra Sunda periode ini lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda ( carakan ), dan sudah jarang menggunakan aksara Sunda.

Naskah Sunda yang ditulis menggunakan bahasa dan aksara carakan salah satunya adalah Babad Pakuan atau juga dikenal dengan Babad Pajajaran yang kemungkinan baru ditulis pada awal abad ke-19 Masehi.

Isi babad Pakuan ini banyak menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda lama yang berkenaan dengan kosmologi yang memiliki hubungan dengan konsep mandala kekuasaan. Juga terdapat beberapa peristiwa yang menceritakan sejarah dari periode sebelumnya.

Kekinian, Aksara Sunda perlahan bangkit untuk kembali dikenalkan dan dipelajari. Beberapa kalangan yang peduli pada keberadaan aksara Sunda mulai menggunakan Aksara Sunda pada tataran praktis.