etnografi

Suku Batin, Suku Bangsa Di Jambi

Suku Batin berdiam di sekitar Pegunungan Bukit Barisan, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Bungo Tebo, Propinsi Jambi. Wilayah tempat tinggal orang Batin meliputi Kecamatan Jangkat, Muara Siau, Bangko, Tabir, dan Muara Bungo. Selain suku Batin, wilayah Jambi juga sudah lama didiami oleh suku-suku lain, yaitu suku Kubu, suku Melayu Jambi dan suku Kerinci.

PublishedNovember 17, 2011

byDgraft Outline

Masyarakat Batin mulai menempati tempat-tempat tersebut diperkirakan sekitar abad pertama Masehi. Ada dua pendapat mengenai asal usul dari suku Batin, yaitu ada yang mengatakan berasal dari suku Kerinici.

Pendapat pertama didasarkan pada cerita rakyat setempat, nenek moyang orang Batin adalah suku bangsa Kerinci yang pindah dari kaki Gunung Kerinci ke daerah tempat tinggal mereka saat ini

Ada juga yang berpendapat dari suku Minangkabau. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah dari segi aksen, logat dan kemiripan kata dalam bahasa ketiga suku tersebut.

Masyarakat Batin termasuk dalam ketegori proto-Melayu. Kebudayaan Minangkabau sangat mempengaruhi suku Kerinci ke daerah tempat tinggal mereka. Kebudayaan Minangkabau yang sangat mempengaruhi suku Kerinci tersebut, juga terlihat pada kehidupan orang Batin.

Kebudayaan orang Batin merupakan perpaduan unsur-unsur kebudayaan Minangkabau dan Melayu Jambi. Misalnya, dalam hal berbahasa dan sistem kekerabatan. Bahasa batin termasuk bagian dari bahasa Melayu Jambi, tetapi dialek bahasa Batin banyak dipengaruhi oleh bahasa Minangkabau.

Sistem kekerabatan orang Batin adalah matrilineal (garis keturunan ditarik dari pihak ibu). Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batin lebih dekat dengan kerabat pihak ibu daripada kerabat pihak ayah.

Tetapi laki-laki tetap berperan sebagai kepala keluarga dalam rumah tangganya. Di samping sistem pendidikan umum yang dijalankan di sekolah-sekolah, juga terdapat pendidikan dari madrasah-madrasah.

Sebuah dusun dihuni oleh sejumlah keluarga luas yang disebut piak. Setiap piak dikepalai oleh seorang ninik mamak. Pemimpin dusun yang bergelar rio diangkat berdasarkan hasil musyawarah dari seluruh ninik mamak.

Dalam menjalankan kepemimpinannya, rio didampingi oleh para ninik mamak. Dengan demikian, segala keputusan rio haruslah diambil dengan persetujuan para ninik mamak dari piak yang ada di dusun tersebut.

Suku Batin memiliki ciri khas dalam mendirikan bangunan tempat tinggal mereka. Persiapan pembangunan sebuah rumah baru dimulai pada saat lahirnya seorang puteri dalam keluarga tersebut.

Rumah tersebut biasanya berbentuk bangsal dengan ukuran 9 x12 m dan biasanya juga dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil panen dan barang-barang pusaka

Bangunan itu biasanya dipenuhi dengan ukiran-ukiran dari kayu yang bermotifkan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Bangunan tempat tinggal suku Batin disebut dengan istilah Kajang Lako.

Hampir seluruh suku Batin memeluk agama Islam. Tetapi sebagian dari mereka masih memegang kepercayaan animisme, sihir dan berhala. Contohnya, wilayah Serampas merupakan tempat tinggal dari orang-orang yang memiliki sihir.

Di sana ditemukan dua makam sakral dari dua wanita legenda yaitu Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah. Kedua wanita ini dipercaya mewariskan kemampuan sihir atau supranatural mereka pada suku Batin.

Orang Batin suka hidup berpindah-pindah dan berjiwa gotong royong. Sifat gotong royong yang sangat menonjol juga terlihat di antara dua kampung yang berbeda. Hubungan antara kepala kampung yang satu dengan lainnya sangat baik

Ada lima mata pencaharian utama suku Batin, yaitu bertani, berkebun, mengumpulkan hasil hutan, mendulang emas dan sebagai nelayan. Suku Batin bercocok tanam di ladang yang disebut dengan umo talang. Umo talang merupakan ladang yang dibuat di dalam hutan besar.

Lokasi hutan yang dijadikan ladang jauh dari pedesaan, serta tidak terletak di pinggiran sungai. Ladang tersebut kemudian ditanami padi, palawija, karet dan kopi, di samping juga ditanami tanaman selingan. Lalu ladang yang sudah ditanami ditinggalkan.

Setelah itu ladang mereka akan tumbuh dan hidup berbagai macam tanaman keras, sehingga umo talang akan menjelma menjadi kebun karet, kebun durian, dan lainnya. Pada intinya, predikat kebun ditentukan oleh jenis tanaman utama yang hidup di atas sebidang tanah.

Bertani Di Umo Talang Suku Batin, Sistem Pertanian Suku Batin

Bertani dalam bentuk berocok tanam di ladang dan sawah telah menjadi unsur kehidupan yang amat penting dalam corak kehidupan masyarakat. Suku Batin yang ada di Jambi cukup bergantung hidupnya dari hasil pertanian dalam mempertahankan kehidupan.

Mereka bercocok tanam di ladang yang disebut dengan umo talang. Hasil pertanian dari ladang tersebut berupa padi, palawija, karet, duren, dan kopi.

Suku Batin membuat umo talang di dalam hutan besar yang letaknya jauh dari pedesaan, serta tidak terletak di pinggiran sungai.

Lokasi yang dipilih merupakan hutan rimba yang belum pernah diolah manusia. Tanah yang mereka pilih juga tidak sembarangan, yaitu tanah yang cukup subur.

Karena belum pernah dipergunakan atau diolah, tanah yang dipilih pun cukup gembur. Kualitas dan keadaan tanah yang dikehendaki pun tentunya tanah yang subur dan datar.

Sebagai sarana perhubungan menuju ladang, suku Batin membuat jalan setapak, yakni jalan rintisan yang dibuat secara darurat. Suku Batin sering mendirikan pondok yang cukup kuat di umo talang sebagai tempat perlindungan keluarga batih petani.

Hal ini dilakukan untuk menunggu ladang sampai masa panen tiba. Predikat kebun ditentukan oleh jenis tanaman utama yang hidup di atas sebidang tanah.

Dalam menentukan tanah di hutan yang akan dijadikan umo talang, masyarakat Batin membuat batas-batas tanah. Pada dasarnya, masayarakat memilih tanah yang diinginkan untuk dipergunakan sebagai tempat berladang.

Kebebasan tersebut timbul bila areal yang dituju belum menjadi pilihan orang lain, atau belum ditandai oleh orang lain yang berminat pada tanah di hutan untuk dijadikan umo talang

Areal yang dipilih biasanya diberi tanda silang pada beberapa pohon kayu, atau menebang batang kayu, lalu dipancangkan secara berderet-deret.

Setelah tanah tersebut dipilih, mereka pun mulai menggarapnya. Terlebih dahulu mereka membersihkan semak belukar di bawah pohon-pohon besar.

Peralatan yang digunakan untuk membesihkannya biasanya berupa parang pembabat beserta sepotong kayu pengait. Sebulan kemudian mereka menebang pohon-pohon menggunakan kampak besar.

Untuk menebang pohon tersebut, petani suku Batin sering menggunakan sejenis tangga agar bisa mencapai bagian-bagian pohon yang tinggi.

Dalam jangka waktu dua bulan setelah semak belukar, dedaunan, ranting, batang, dan pohon telah mengering tergeletak di atas tanah, maka mereka membakarnya.

Membakar sebuah ladang bukanlah satu pekerjaan yang dapat dilakukan secara tumpang. Di satu sisi harus berusaha agar seluruh areal ladang dapat terbakar habis oleh api.

Tetapi di sisi lain harus dapat menguasai api agar tidak menjalar ke ladang tetangga atau ke hutan lainnya.

Pembakaran tersebut dilakukan pada tengah hari, dimana hari sedang panas terik dan hembusan angin yang sedang. Mereka membakar ladang dengan menggunakan suluh dari bambu mati, dimana pembakaran dilakukan searah dengan hembusan angin.

Hembusan angin akan membuat api yang berasal dari suluh tadi membesar dan menyala dengan dahsyat melalap semua dedaunan kering, ranting dan sebagainya. Walhasil, terhamparlah tanah bersih yang siap ditanami oleh petani dari suku Batin.

Suku Batin tidak menggunakan bajak atau cangkul dalam mengolah tanah ladang. Tetapi tanah yang sudah dibersihkan atau dibakar tadi ditanami bibit padi atau biji-bijian dengan memakai tugal, yaitu sepotong kayu yang runcing.

Usai menanam mereka pun menunggu masa panen tiba, hingga mereka memanen tanaman tadi. Saat memanen tersebut, mereka tinggal di ladang dengan mendirikan pondok. Setelah panen selesai, mereka kembali pulang ke desa menempati rumahnya.

Menanam padi biasanya dilakukan masyarakat Batin sampai dua atau tiga kali pada ladang yang sama. Setiap rangkaian kegiatan menuju sampai panen selalu dimulai dengan membesihkan ladang di hutan lagi.

Hal ini karena ladang yang dibiarkan dalam waktu beberapa bulan sudah menjadi semak kembali. Hanya saja tidak perlu menebang pohon kayu besar, cukup membabat rumput dan pohon kecil.

Hewan Ternak dalam Kehidupan Suku Batin, Jambi

Jenis-jenis ternak yang biasa dipelihara adalah kerbau, sapi, kambing, ayam, dan itik. Tapi kebanyakan masyarakat Batin beternak ayam dan itik. Sementara kerbau, sapi dan kambing jarang karena beternak hewan semacam itu membutuhkan padang rumput yang cukup luas.

Selain itu juga, bibitnya sangat terbatas. Meskipun ada sebagian yang memeliharanya, hanya beberapa ekor saja.

Orang yang memiliki ternak sapi, kerbau atau kambing biasanya menempatkan hewan ternaknya di pinggir dusun dengan membuat kandang. Penduduk yang berkebun atau berladang di sekitar daerah pengembalaan, terpaksa membuat pagar yang kuat guna memelihara tanamannya terhindar dari gangguan ternak

Ada kalanya suatu desa tidak memungkinkan untuk menyediakan tempat pengembalaan ternak karena luas tanah yang minim, atau juga karena lahan telah dipenuhi oleh sawah, kebun, dan ladang.

Oleh karenanya, ternak dipelihara dengan cara dikurung di dalam kandang. Sementara pemilik ternaknya mencari rumput untuk makanan ternak di kandangnya

Adapun ternak ayam dan itik dapat dikatakan merata karena hampir semua penduduk desa pada masyarakat Batin memeliharanya. Pada siang hari hewan ternaknya dilepas bebas bermain di sekitar desa

Bila penduduk memiliki rumah bertiang tinggi, maka kandang ayam atau itik dibuat di bawah rumahnya dengan cara membuat kandang seluruh atau sebagian dari ruang di bawah rumah tersebut.

Di sekitar kandang, biasanya disediakan beberapa sangkar yang diberi dedaunan kering sebagai tempat bertelur bagi ternaknya. Kadang juga menggunakan jerami kering yang diambil dari sawah yang sudah digarap

Biasanya penggunaan jerami hanya pada ternak itik saja. Di dalam kandang dilengkapi pula kayu-kayu kecil yang melintang di antara ruang kandang sebagai tempat bertenggernya tenak ayam atau itik tadi.

Tenaga yang diperlukan hanya tenaga untuk menggiring itik masuk ke dalam kandangnya jika hari sudah memasuki waktu sore, dan melepaskannya pada pagi hari. Peternakan itik ataupun ayam tidak memerlukan tenaga banyak, bahkan pekerjaan ini bisa dilakukan oleh anak-anak kecuali tenaga untuk membuat kandang.

Lain halnya dengan peternak kerbau, sapi dan kambing. Tenaga yang dibutuhkan adalah tenaga dari orang dewasa. Mereka harus membuat kandang, menggiring ternak masuk kandang, dan menghidupkan api unggun di dalam kandang serta melepaskannya di pagi hari.

Hal itu dilakukan karena membutuhkan tenaga yang cukup kuat, dan pengembalaan biasanya terletak pada suatu tempat yang cukup jauh dari desanya.

Secara kepimilikan, ternak yang didapat atas dasar usaha dari keluarga batih, sudah barang tentu dipelihara oleh keluarga tersebut. Hak milik atas ternak pun menjadi hak pemeliharanya

Bila tenak tersebut diserahkan kepada orang lain untuk dipelihara, maka ternak itu masih menjadi hak milik orang yang menyerahkannya. Tetapi setelah ternak tersebut berkembang biak, biasanya diatur menurut sistem bagi hasil. Ternak yang didapat dari hasil pembagian, sepenuhnya menjadi hak milik masing-masing.

Hasil ternak dipergunakan orang Batin untuk berbagai bidang keperluan hidup menurut urgensinya. Seperti untuk berkurban pada hari raya Idul Kurban.

Dalam bidang adat, hewan ternak dipergunakan sebagai alat membayar hutang atau denda bila seseorang melanggar adat yang berlaku di masyarakat tersebut.

Ternak juga dipergunakan untuk keperluan pesta-pesta, seperti untuk pesta perkawinan, sunatan dan lainnya. Suatu pesta yang besar sering kali menyembelih beberapa ekor sapi atau kerbau.

Sementara hasil dari ternak ayam dan itik kebanyakan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk kebutuhan sehari-hari. Mereka juga menjual ayam atau itik untuk mendapatkan uang sebagai alat penukar untuk mendapatkan barang-barang yang mereka butuhkan.

Selain untuk konsumsi, adakalanya kerbau atau sapi digunakan untuk keperluan membajak sawah. Hal itu jamak dilakukan oleh masyarakat di berbagai belahan nusantara.

Menangkap Ikan ala Suku Batin, Jambi

Di wilayah yang ditempati suku Batin, terdapat sungai dan danau yang dihuni beberapa jenis ikan. Dengan adanya sungai dan danau, maka suku batin juga bermata pencaharian sebagai penangkap ikan.

Adapun sungai yang menjadi lokasi penangkapan ikan yaitu di Sungai Bungo, Merangin, Tembesi, dan Mesumai. Sungai-sungai ini menjadikan wilayah suku Batin terbagi menjadi tiga wilayah pula suku Batin, yaitu Batang Bungo, Batang Mesumai, dan Batang Merangin. Di sungai tersebut, masyarakat Batin mengembangbiakan perikanan darat.

Pencarian dan penangkapan ikan di sungai dilakukan oleh kaum laki-laki. Alasannya karena banyak resiko yang akan terjadi bila tidak dilakukan oleh laki, atau resiko itu cukup berbahaya bila dilakukan oleh kaum wanita.

Waktu pelaksanaan mencari dan menangkap ikan tidak menentu, tergantung situasi sungai karena berubah-ubah. Kadang-kadang orang Batin menangkap ikan saat banjir karena keadaan sungai sangat deras

Alat yang digunakan kala banjir adalah ambat. Saat banjir datang, ikan dari sungai yang besar akan masuk ke dalam sungai kecil. Masyarakat Batin yang mengetahui bahwa di dalam sungai kecil itu banyak ikannya, segera memasang pagar yang terbuat dari bambu yang dijalin, rapat memakai rotan.

Pagar-pagar ditancapkan ke dasar sungai, pada bagian ujungnya melampaui permukaan air yang kira-kira 1,5 meter.

Pagar rapat itu membentang dan menghubungkan kedua tebing dan anak sungai membetuk garis lurus. Pada jarak antara 50 sampai 70 meter, pagar sama dibuat pula. Ikan-ikan pun yang berada di antara kedua pagar menjadi terkurung.

Pagar semacam inilah yang disebut ambat tadi. Bila banjir mulai surut dan anak sungai sudah dangkal, ikan-ikan yang telah terkurung tadi dengan mudah dapat ditangkap dengan memakai jala atau alat penangkap ikan lainnya

Apabila musim kemarau cukup panjang, orang Batin menggunakan timba untuk menangkap ikan di sungai. Sungai-sungai yang surut karena kemarau terdapat genangan air yang terputus-putus di beberapa titik wilayah sungai.

Sementara di titik lain banyak air yang menggenang, di titik yang banyak genangan air inilah ikan cukup banyak. Orang Batin pun menimba dengan alat timba tadi pada titik yang terdapat genangan air. Bila air sampai habis ditimba, ikan dapat diambil dengan mudah

Alat lain yang digunakan suku Batin adalah alat yang terbuat dari bambu yang berjalin dengan rotan. Alat tersebut dinamakan dengan takalak, yang dipasang pada sungai dalam posisi menghadap ke arah arus air yang deras dan sempit.

Sebelah kiri dan kanannya dibuat alat penghalang bagi lalulintas ikan. Bila ikan hanyut ke hilir sungai, ikan tersebut terpaksa menempuh jalan menuju ke dalam takalak. Pekerjaan menggunakan alat tersebut kebanyakan dilakukan secara perorangan.

Pada waktu tertentu juga bila ada tanda-tanda yang menunjukkan ikan mudah ditangkap dan menandapatkan hasil yang banyak, orang Batin akan pergi menangkap ikan di sungai.

Pekerjaan menangkap ikan orang Batin ada yang dilakukan secara perorangan, ada juga secara berkelompok. Bahkan kadang melibatkan seluruh warga masyarakat dari suatu pedesaan.

Sebagian desa pada suku Batin, mencari dan menangkap ikan merupakan sumber mata pencaharian utama. Oleh karena itu, semua hasil tangkapan ikan dengan menggunakan alat tadi pada umumnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Makanya ikan selalu diolah, terutama dibuat ikan kering agar bisa tahan lama untuk beberapa hari. Kadang pula mereka menukar hasil tangkapannya dengan kebutuhan lain yang diperlukan oleh orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.