etnografi

Suku Gorontalo, Suku Bangsa di Sulawesi

Suku Gorontalo merupakan penghuni asli bagian Utara Pulau Sulawesi, tepatnya di Provinsi Gorontalo, provinsi ke-32 Indonesia, yang pada tahun 2000 memekarkan diri dari Provinsi Sulawesi Utara.

PublishedFebruary 12, 2012

byDgraft Outline

Hari ini, jumlah suku Gorontalo diperkirakan lebih dari 1 juta orang atau merupakan penduduk mayoritas (90%) di tanah Gorontalo. Sementara, sejumlah etnis lainnya yang merupakan minoritas adalah Suku Suwawa, Suku Bone, Suku Atingola, dan Suku Mongondow

Beberapa anggapan berkembang mengenai etimologi kata Gorontalo. Ada yang menyebut Gorontalo berasal dari kata “ hulontalo ”, yang juga berasal dari kata “ hulontalangi ”, yang berarti “pengembara yang turun dari langit”

Angapan ini berdasarkan pada mitologi yang berkembang di tengah masyarakat, yang mengisahkan tentang Hulontalangi, yang dianggap sebagai orang pertama di Gorontalo, yang berdiam di kaki gunung Tilongkabila.

Sejumlah teori lain menduga, Gorontalo berasal dari kata “Hua Lolontalango”, yang artinya “gua yang digunakan untuk berjalan bolak-balik”, “Pongolatalo” atau “Pohulatalo”, yang berarti “tempat menunggu”, “Gunung Telu”, yang berarti “gunung tiga”, dan masih banyak lagi asumsi-asumsi yang lain.

J.G.F Reidel, seorang sarjana Antropologi Belanda, seperti dikutip dalam Tumenggung, dkk. (1983), berpendapat bahwa, suku Gorontalo termasuk ras Melayu Polinesia yang datang dari bagian Utara.

Pada waktu mereka masuk ke daerah Gorontalo, telah terdapat penduduk asli yang mendiaminya, dan terjadilah percampuran di antara mereka. Selain itu, datang juga penduduk dari sebelah Timur, yakni Bugis dan Makasar, dan terjadi pula percampuran di antara beragam etnis tersebut.

Sementara teori lain menyebutkan, suku Gorontalo kemungkinan besar berasal dari daratan Indochina, kemungkinan dari daerah Burma atau Filipina.

Masyarakat Gorontalo berbicara dalam bahasa Gorontalo. Selain bahasa Gorontalo, terdapat juga beberapa bahasa lain, yang sering dianggap sebagai dialek bahasa Gorontalo, yakni bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola

Bahasa Gorontalo sendiri sekarang banyak mengalami asimilasi dengan bahasa Manado (Melayu Manado) yang juga banyak diadopsi dalam keseharian masyarakat Gorontalo.

Masyarakat suku Gorontalo mayoritas adalah pemeluk agama Islam (98,81%). Agama Islam sangat kuat diyakini oleh masyarakat suku Gorontalo. Beberapa tradisi adat suku Gorontalo terlihat banyak mengandung unsur Islami.

Hanya sebagian kecil saja yang memeluk agama lain di luar Islam. Kendati telah lama memeluk islam, sisa-sisa corak keyakinan lokal masih bisa terasa dari kepercayaan sebagaian kalangan terhadap mahluk-mahluk halus dan ritus-ritus upacara yang berbau adat.

Dalam konsep Masyarakat suku Gorontalo, adat dipandang sebagai suatu kehormatan (adab), norma, bahkan pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini dinisbatkan dalam suatu ungkapan “Adat Bersendi Sara” dan “Sara Bersendi Kitabullah”

Arti dari ungkapan ini adalah bahwa adat dilaksanakan berdasarkan sara (aturan), sedangkan aturan ini harus berdasarkan Al-Quran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sendi-sendi kehidupan masyarakat Gorontalo adalah sangat religius dan penuh tatanan nilai-nilai yang luhur.

Suku Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki rasa sosial yang tinggi, sehingga jarang terjadi konflik di antara mereka sendiri. Sistem kekerabatan yang sangat erat tetap dipelihara, dan tradisi gotong royong tetap lestari dalam kehidupan masyarakat ini, terutama di daerah pedesaan.

Table of contents

Open Table of contents

Sistem Kekerabatan Dalam Masyarakat Gorontalo

Di dalam masyarakat Gorontalo, keluarga inti disebut ngala’a. Dalam keluarga, suami dianggap sebagai pemimpin ( khilafah ), karena ia berperan sebagai pencari nafkah, sedangkan istri umumnya tinggal di rumah untuk mengurus anak.

Dahulu, satu keluarga inti bisa beranggotakan hingga belasan orang, terutama jika sang Suami memiliki istri lebih dari satu.

Semakin ke sini, sudah jarang dijumpai keluarga dengan banyak anggota seperti itu. Bisa jadi karena semakin berkurangnya praktik poligami dan tradisi memiliki banyak anak, seiring dengan tren pekermbangan zaman.

Dahulu, anak laki-laki banyak dinikahkan muda, yakni dalam usia 16 hingga 17 tahun, sementara anak perempuan lebih muda lagi, bisa dalam usia 14-15 tahun—setelah dia mendapatkan menstruasi pertamanya

Banyak dari muda-mudi tersebut yang diniahkan lewat perjodohan. Mereka sendiri umumnya menerima, sebagai asas ketaatan pada orang tua.

Dalam etika masyarakat Gorontalo, penghormatan terhadap yang lebih tua adalah hal penting, sehingga, setiap pilihan orang tua, termasuk dalam hal jodoh jarang ditentang.

Namun demikian, dewasa ini, praktik jodoh-menjodohkan ini semakin jarang. Praktik perjodohan hanya sedikit saja dijumpai, terutama di daerah pedesaan.

Muda-muda dalam usia belia pun sudah lumrah dengan istilah ‘berpacaran’, dan mereka menikah dalam usia yang lebih matang (di atas 20 tahun).

Dalam bahasa Gorontalo, keluarga luas disebut ungala’a. Keluarga luas terbentuk dari jalinan hubungan antara keluarga-keluarga dalam satu keturunan (umumnya mencakup tiga hingga empat generasi), yang saling menyokong satu sama lain ( mohuyula ), seperti dalam pernikahan, kematian, dan sunatan.

Dalam lingkaran keluarga luas yang letak rumahnya berdekatan, tradisi tolong-menolong berlangsung, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbagi beras, lauk-pauk, dan kebutuhan hidup keseharian lainnya, atau dalam pengelolaan lahan pertanian secara bersama.

Dalam keluarga luas ini, para orang tua aktif memberikan informasi pada anak-anak mereka mengenai siapa-siapa saja anggota keluarga besar mereka, baik dari pihak ibu maupun ayah, agar mereka mengenal satu-sama lain hingga generasi ketiga atau keempat

Ajang-ajang pertemuan besar keluarga menjadi kesempatan terbaik untuk memperkenalkan para sanak famili pada generasi muda.

Prinsip keturunan yang berlaku dalam masyarakat Gorontalo adalah bilateral, atau mengenal struktur keluarga pihak perempuan, sama luasnya dengan pihak laki-laki.

Setiap individu dalam keluarga luas dianjurkan untuk membantu saudara-saudara yang memerlukan bantuan, bhaik dari pihak ibu maupun ayah, seperti dalam penyelenggaraan pesta perkawianan, kematian, sunatan, gunting rambut, dan lain sebagainya.

Tradisi Pernikahan Adat Gorontalo

Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilalui dalam penyelenggaraan pesta pernikahan adat Gorontalo:

A. Mopoloduwo Rahasia

Mopoloduwo rahasia, merupakan tahapan di mana orang tua dari calon pengantin pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka

Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan pinangan atau tolobalango.

B. Tolobalango

Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat dan sejumlah pihak penting lainnya. Prosesi ini mempertemukan juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio, dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato.

Dalam prosesi ini, disampaikanlah maksud pinangan lewat bait-bait pantun yang indah. Di sini, diungkapkan juga mahar dan rangkaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya. Sebagai catatatan, tidak disebutkan biaya pernikahan ( tonelo ) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria dalam prosesi ini.

C. Depito Dutu

Sesuai dengan kesepakatan yang diamini kedua belah pihak dalam tolobalango, dalam waktu yang telah ditetapkan, digelar prosesi selanjutnya, yakni mengantar mahar dan sejumlah harta lainnya, yang di daerah Gorontalo disebut depito dutu, yang terdiri dari satu paket mahar, satu paket lengkap kosmetik tradisional dan kosmetik modern, seperangkat busana pengantin wanita, serta bermacam buah-buahan dan bumbu dapur atau dilonggato.

Mahar dan pelengkapnya tersebut dibawa oleh sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu, yang disebut kolakola.

Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah calon pengantin pria menuju rumah pengantin wanita, dengan diringi oleh tabuhan rebana dan lantunan lagu-lagu tradisional Gorontalo, yang yang berisi sanjungan, himbauan, dan doa keselamatan dalam hidup berumah tangga, dunia dan akhirat.

D. Mopotilandahu

Pada malam, sehari menjelang akad nikah, digelar serangkaian acara malam pertunangan atau mopotilandahu.

Acara ini diawali dengan prosesi pembacaan Al-Qur’an, surah Ad-Dhuha dan Al-Lahab oleh calon mempelai wanita, yang bermakna bahwa dia telah menamatkan atau menyelesaikan proses mengajinya.

Selanjutnya, calon mempelai pria beserta ayah atau walinya menarikan Molapi Saronde. Sementara ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya, calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari kamar

Bagi calon mempelai pria, adegan menari ini merupakan kesempatan menengok atau mengintip calon istrinya, yang dalam istilah daerah Gorontalo di sebut molile huali.

Dengan tarian ini calon mempelai pria mecuri-curi pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan rebana diiringi dengan lagu Tulunani, yang disusun syair-syair dalam bahasa Arab, yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.

Tari Saronde dipengaruhi secara kuat oleh agama Islam. Tarian ini dimulai dengan pemukulan rebana, alat musik pukul berbentuk bundar. Lirik lagu adalah syair-syair pujian terhadap Tuhan dan doa memohon keselamatan dalam bahasa Arab.

E. Akad Nikah

Keesokan harinya, pemangku adat melaksanakan akad nikah, sebagai acara puncak, di mana kedua mempelai disatukan dalan ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam.

Dengan cara setengah berjongkok, mempelai pria dan penghulu mengikrarkan ijabkabul dan sang pengantin pria menyerahkan mas kawin yang telah disepakati kedua belah keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa, sebagai tanda syukur atas kelancaran acara penikahan tersebut.

Stratifikasi Sosial Masyarakat Gorontalo

Sebelum Islam masuk ke Gorontalo dan menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakatnya, di daerah tersebut berlaku stratifikasi sosial lokal yang membagi masyarakat ke dalam sejumlah golongan. Setelah Islam masuk, kendati stratifikasi sosial itu telah hilang, namun sisa-sisanya masih bisa dirasakan.

Dahulu, pada zaman kerajaan pra-Islam, masyarakat Gorontalo terbagi ke dalam sejumlah kasta, yakni Olongia (raja-raja dan keturunannya), Wali-wali (para pejabat dan pembesar istana yang diangkat oleh raja dan keturunannya), Tuangolipu (rakyat atau penduduk kerajaan), dan Wato (budak, pelayan-pelayan istana, beserta keturunan mereka).

Hari ini, pelapisan sosial tersebut semakin terkikis dalam keseharian hidup masyarakat Gorontalo, terutama setelah Islam masuk pada abad ke-16 dan menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Gorontalo.

Sejatinya, lapisan sosial yang pertama-tama memeluk Islam adalah para raja dan bangsawan. Selanjutnya, lapisan sosial di bawahnya mengikuti jalan mereka.

Walaupun hari ini stratifikasi sosial semakin tidak kentara, namun masih bisa diselidiki warna perbedaan di antara masyarakat Gorontalo. Masing-masing keturunan dari lapisan sosial tersebut dalam kondisi-kondisi tertentu masih merujukan dirinya pada silsilah leluhur mereka.

Misalnya, para keturunan golongan lapisan sosial rendah ( Wato, Tuangolipu ) merasa derajat social mereka lebih rendah daripada keturunan golongan lapisan sosial tinggi ( Olongia, Wali-wali ), lantas merasa perlu bersikap hormat pada mereka.

Sebaliknya, tak jarang keturunan golongan lapisan sosial tinggi terpantik jiwa superioritas-nya manakala menghadapi keturunan golongan sosial yang lebih rendah daripada mereka.

Menurut Tumenggung, dkk. (1983:53-54), salah satu kasus di mana lapisan keturunan sosial tinggi merasa terpantik jiwa superior-nya adalah dalam hal kesenian, di mana sejumlah nyanyian dan tari-tarian diidentifikasi sebagai milik mereka, karena dalam sejarahnya hanya dilakukan oleh leluhur-leluhur golongan mereka, dan terlalang menurut sejarah adat untuk dilakukan oleh golongan lain di luar golongan mereka.

Tarian-tarian tersebut misalnya adalah tarian tidida’a atau tidilo-tonggalo dan tidilo palo-palo.

Namun demikian, tak jarang juga dari keturunan-keturunan golongan sosial atas yang berpikir dan bersikap demokratis. Dalam hal kesenian, misalnya, mereka beranggapan bahwa nyanyian-nyanyian dan tari-tarian tersebut sudah menjadi warisan kebudayaan semua golongan sosial masyarakat Gorontalo.

Dalam bahasa yang religius, semakin banyak orang Gorontalo yang beranggapan bahwa semua adalah anugerah dari Tuhan, dan Tuhan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan apapun kecuali derajat ketakwaan umatnya.

Dalam perkembangannya, hari ini, tari-tarian dan kesenian lainnya yang dulu dianggap milik golongan social atas telah dimainkan bebas oleh siapapun yang menginginkannya.

Tradisi Bertani Masyarakat Gorontalo

Dalam sejarahnya hingga hari ini, pertanian merupakan mata pencaharian utama masyarakat Gorontalo, selain beberapa bidang pekerjaan lainnya, seperti peternakan, perikanan (darat dan laut), perdagangan.

Selain kepemilikan pribadi, ada pula mekanisme kepemilikan tanah pertanian (sawah/ladang) bersama yang disebut miliki atau budel, di mana pengelolanya (bisanya kerabat dalam keluarga luas) berhak mengelolanya secara bergantian. Tanah pertanian dengan pengelolaan sejenis ini umumnya merupakan tanah warisan.

Masyarakat Gorontalo mengenal dua bentuk pertanian berdasarkan jenis tempat dan tanamannya, yakni ladang dan sawah. Ladang adalah kawasan pertanian kering, yang umumnya ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, dan palawija, sementara sawah adalah kawasan pertanian basah yang ditanami padi.

Tentang pertanian ladang, Tumenggung, dkk. (1983:21-22) mengungkapkan bahwa setelah tanah-tanah pertanian diolah oleh kaum laki-laki dengan menggunakan bajak ( popadeo ), garu ( huheidu ) dan cangkul ( popate ), kaum perempuan kemudian menanaminya dengan benih-benih tanaman, seperti jagung, kacang, umbi-umbian di bagian utama ladang, dan sayur-sayuran, tomat, cabai, merica, dan lain-lain di sekeliling ladang.

Proses bertani di ladang dengan pola tradisional bisa memakan waktu empat hingga lima bulan. Setelah waktu panen tiba, laki-laki, perempuan, dan anak-anak beramai-ramai menuai hasilnya secara hyula (gotong royong).

Sistem hyula, terutama dilakukan oleh orang-orang yang terikat dalam kekerabatan yang disebut ungala’a (keluarga luas).

Dalam mengelola sawah, jika tidak sanggup mengerjakannya sendiri atau oleh anggota keluarga, pemilik biasanya menggunakan mekanisme bagi hasil ( mosawala ).

Dengan bagi mekanisme tersebut, pemilik akan berbagi hasil panen dengan penggarap sesuai dengan kesepakatan di awal kerja sama.

Di Gorontalo, daerah-daerah persawahan dapat dijumpai di kawasan bagian Selatan, seperti Kabila, Tamalate, Limnoto, Batuda’a, Bongomome, Isimu, Dulumo, Tambo’o, Kota Utara, Bone Pantai, dan sejumlah lokasi lainnya.

Sebagian besar dari area-area persawahan tersebut menggunakan mekanisme tadah hujan, dan hanya sebagian kecil yang memiliki sistem pengairan yang teratur.

Warga, biasanya mengolah sawahnya dua kali dalam setahun. Dalam tradisi adat setempat, dikenal sejumlah ritual upacara adat dalam rangkaian penanaman padi, di antaranya adalah upacara mopha huta (memberi makan tanah), baik sebelum maupun sesudah penanaman.

Upacara ini dipimpin oleh panggoba (dukun), dengan sajian nasi kuning, nasi merah, telur rebus, daging, dan pisang. Sewaktu padi mulai berisi ( lelo tuhelo ), dilangsungkan upacara lainnya, di mana panggoba membakar dupa atau kemenyan dan mebawanya mengelilingi sawah sembari membaca mantra.

Maksud dari ritual ini tak lain adalah agar buah padi tidak mendapat gangguan binatang, sehingga dapat berbuah dengan baik.

Selanjutnya, pascapanen, setelah padi diolah menjadi nasi, anak-anak adalah kalangan yang harus makan terlebih dahulu, dengan cara disuapi oleh panggoba. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak, sekaligus seluru penghuni rumah terhindar dari penyakit.

Lain-Lain

A. Mitos Dunia Hewan dan Dewa Di Gorontalo

Hampir di semua etnis di tanah air, dijumpai kepercayaan-kepercayaan berbau mitos tentang berbagai gejala alam, termasuk tentang hewan dan tingkah lakunya.

Di Gorontalo, kendati hampir seluruh masyarakatnya telah memeluk agama monoteisme, terutama Islam, masih dijumpai sisa-sisa keyakinan lokal, yang tercermin dari kepercayaan mereka tehadap nilai-nilai tertentu yang terkait dengan hewan dan tingkah lakunya.

Berikut adalah beberapa jenis hewan dan tingkah lakunya yang dipercaya oleh Masyarakat Gorontalo mengandung pertanda tertentu, sebagai mana disarikan dari buku Adat Istiadat Sulawesi Utara (1983), terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Masyarakat Gorontalo meyakini, ada jenis ikan tertentu yang merupakan keturunan manusia. Misalnya, ikan belut, yang diyakini sebagai jelman seorang manusia yang mengidap penyakit lepra.

Menurut mitologi yang beredar, dikisahkan ada seorang berpenyakit lepra, yang karena penyakitnya tersebut malu berjumpa dengan orang lain. Suatu hari, ketika bersandar pada sebatang pohon pisang, melintas seorang yang lantas menegur dirinya.

Karena merasa malu, ia lantas terjun ke danau dan akhirnya menjadi ikan belut. Kemudian, ada juga cerita tentang sejenis ikan payangka kecil di laut, yang dianggap berasal dari plasenta seorang ibu yang dibuang ke laut. Karena kepercayaan itu, hingga kini, sebagian masyarakat Gorontalo tidak suka memakan dua jenis ikan tersebut.

Selain ikan, masih ada mitos tentang hewan-hewan lainnya berserta tingkah laku mereka. Di Gorontalo, anjing menggonggong di tengah malam dianggap bahwa hewan itu tengah melihat rangka menusia berjalan, atau dengan kata lain ada orang yang meninggal dunia

Burung gagak yang bersuara di malam hari, dianggap sebagai pertanda ada kebakaran di suatu tempat di sekitar si Pendengar.

Kemudian, seekor laba-laba yang jatuh di hadapan seseorang, dianggap sebagai pertanda ada saudara atau kerabat dekat yang meninggal dunia.

Seekor cicak yang bersuara ketika si Pendengarnya hendak berpergian, dipercaya bawa si Pendengar akan mengalami kecelakaan, kecuali yang bersangkutan berhenti sejenak.

Kepercayaan-kepercayaan atas hewan-hewan dan tingkah lakunya tersebut hingga kini masih bertahan di tengah masyarakat Gorontalo, terutama di daerah pedesaan, di mana alam lingkungan yang ada di sana masih cukup relevan dengan mitos-mitos yang berkembang.