etnografi

Suku Asmat, Papua; Asal Usul dan Budaya

Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik.

PublishedJanuary 20, 2013

byDgraft Outline

Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan tinggal di perkampungan-perkampungan. Ada juga perkmpungan suku Asmat yang didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai.

Pada tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih.

Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Papua.

Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan pertukaran barang.

Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.

Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik.

Dewasa ini, sekolah-sekolah, Pusat Kesehatan Masyarakat dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan pemerintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah.

Table of contents

Open Table of contents

Asal Usul Suku Asmat

Menurut Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih.

Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari.

Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.

Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini.

Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat.

Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.

Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9 persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar kelompok atau antar desa.

Seiring berkembangnya zaman, saat ini penyebab kematian anak-anak dan bayi, terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.

Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh.

Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.

Suku Asmat mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang khas diantaranya membuat ukiran tanpa ada sketsa dulu. Ukiran-ukiran yang dibuat oleh orang Asmat memiliki makna sebagai persembahan atau ucapan rasa syukur kepada nenek moyang.

Mengukir adalah jalan untuk berinteraksi dengan leluhur. Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu dan pesta Topeng sebagai bentuk upaya menghindarkan diri dari musibah dan mara bahaya. Selain itu, Suku Asmat juga suka berhias.

Fumeripits dan Sistem Kepercayaan Asmat

Ada tiga konsep dunia yang menjadi tolak ukur Kepercayaan Asmat yaitu: amat ow capinmi (alam sekarang), Dampu Ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), Safar (surga).

Orang-orang Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih.

Kemudian ia hidup sendirian di sebuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri.

Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari. Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan.

Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.

Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini.

Sejarah masyarakat Asmat diatas menegaskan kepercayaan Asmat bahwa mereka adalah anak dewa yang berasal dari dunia gaib. Dunia yang berada saat mentari tenggelam setiap sore. Masyarakat Asmat meyakini bahwa pada tempat tinggal mereka terdapat 3 macam roh yaitu:

A. Yi-ow

Yi-ow adalah roh nenek moyang yang memiliki sifat baik untuk keturunannya. Ruh-ruh yi-ow adalah penjaga hutan-hutan sagu, danau-danau dan sungai-sungai yang penuh ikan dan hutan-hutan yang penuh binatang buruan.

Orang Asmat berkomunikasi secara simbolis dengan para yi-ow dengan berbagai upacara sajian berulang yang biasanya dipimpin oleh ndembero, atau pemuka upacara.

B. Ozbopan

Ruh-ruh ozbopan dianggap menghuni beberapa jenis pohon tertentu, gua-gua yang dalam, batu-batu besar yang mempunyai bentuk khusus, tetapi juga hidup dalam tubuh jenis-jenis binatang tertentu.

Sakit dan bencana biasanya disebabkan oleh ruh jahat, yang juga harus dipuaskan oleh manusia dengan berbagai macam upacara sajian kepada para osbopan tak dilakukan secara berulang, tetapi hanya kalau ada orang yang sakit dan bila terjadi bencana.

C. Dambin-ow

Dambin-ow adalah Roh jahat yang mati karena hal-hal yang tidak wajar.

Ruh-ruh itu diupayakan agar tidak terlampau sering mendekati tempat tinggal manusia, dengan melakukan serangkaian pantangan, dan kadang-kadang dengan ilmu gaib protektif.

Dalam aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Beberapa upacara itu untuk menghormati nenek moyang adalah:

Mbismbu (pembuat) Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew) Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung) Yamasy pokumbu (Upacara perisai)

Masyarakat Asmat percaya tentang alam yang banyak didiami oleh roh-roh. Dalam masyarakat Asmat disebut setan diantaranya yaitu:

1). Setan yang membahayakan Hidup Keyakinan masyarakat Asmat adalah setan ini dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang dan pembawa bencana.

2). Setan yang tidak membahayakan Hidup Setan ini tidak membahayakan jiwa akan tetapi menakuti atau menganggu saja.

Kesenian dalam masyarakat Asmat merupakan bagian dari menghormati nenek moyang. Mereka percaya ukiran yang dibuat adalah penyambung antara kehidupan masa kini dengan leluhur.

Sistem Bahasa Suku Asmat

Pada masyarakat Asmat terdapat bahasa-bahasa yang oleh para ahli lingustik disebut kelompok bahasa Language Of The Southern Division yaitu bahasa-bahasa bagian selatan Papua.

Penggolongan bahasa tersebut telah dipelajari oleh C. L. Voorhoeve (1965) dan masuk pada golongan filum bahasa-bahasa Papua Non-Melanesia.

Bahasa-bahasa tersebut digolongkan lagi berdasarkan wilayah orang Asmat yaitu orang Asmat wilayah pantai atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai.

Secara khusus, para ahli linguistik membagi bahasa-bahasa tersebut yaitu pembagian bahasa Suku Asmat hilir sungai menjadi bagian kelompok pantai barat laut atau pantai Flamingo seperti bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan bagian kelompok Pantai Barat daya atau Kasuarina seperti misal bahasa Batia dan Sapan.

Pembagian bahasa Asmat hulu sungai menjadi bagian kelompok Keenok dan Kaimok.

Untuk mengetahui bahasa Suku Asmat dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi bahasa-bahasa di dunia pada rumpun, sub rumpun, keluarga, dan subkeluarga. Selain itu, upaya untuk mengidentifikasi bahasa masyarakat Asmat dapat dilakukan dengan cara melihat aspek fonetik, fonologi, sintaksis, morfologi dan semantik bahasa Asmat

Ada banyak istilah-istilah bahasa dan kosakata yang sering digunakan oleh masyarakat Asmat yaitu:

  1. Aipmu ep : rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke udik
  2. Aipmu sene: rumah bujang yang terbagi atas dua bagian utama yang menghadap ke hilir
  3. Aipmu: bagian utama yang ada di tiap rumah bujang dan memiliki seorang kepala
  4. Asmat-ow=manusia sejati
  5. Bis : patung leluhur
  6. Bivak : rumah di hutan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara
  7. Cemen : bagian terpenting pada patung bis
  8. Cicemen: ukiran pada ujung perahu lesung panjang melambangkan anggota keluarga yang telah meninggal
  9. Fumiripits=Sang pencipta
  10. Iguana=sejenis kapal
  11. Je=rumah panjang yang berfungsi sebagai rumah bujang
  12. Je-ti=rumah bujang utama
  13. Mbeter=membawa lari
  14. Papis=saling tukar menukar istri
  15. Persem=perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang pemuda dan pemudi yang kemudian diakui sah oleh kedua orang tua masing-masing
  16. Pomerem=emas kawin
  17. Ti=kayu kuning
  18. Tinis=perkawinan yang direncanakan
  19. Wow-ipits=pemahat Asmat
  20. Yerak=sejenis kayu

Kosa-kata Lainnya dalam Kosa Kata Bahasa Asmat

  1. Gurita=mutir
  2. Kaki=kamter
  3. Jangkrik=oset
  4. Tang=jokmen
  5. burung=Warat
  6. Katak=eco
  7. Tombak=ocen
  8. Pisang=usawic
  9. Laut=jicemup
  10. Suami=mo
  11. Besar=awut nucur
  12. lebar=par
  13. Panjang=Juruw
  14. Basah=moco
  15. Tua=akmat
  16. Lembut=jico
  17. Lama (waktu)=tari
  18. Keras=fek
  19. Kurus=foco cakamkaj
  20. Sangat baik=akat cowak
  21. Memanjat (pohon)=ap temet
  22. Berpikir=minaf
  23. Menangis=moc
  24. Meninggal=namir
  25. Mencari=nimir
  26. Tersesat (hutan)=nimus
  27. Menari=niomitum
  28. Berkelahi=owen
  29. Menikah=ower
  30. menyelam=niompuw

Sosial dan Sistem Kekerabatan Suku Asmat

Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan.

Dasar kekerabatan Suku Asmat adalah keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3m x 5m x 4m yang sering disebut dengan tsyem.

Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu).

Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.

Sistem kekerabatan Suku Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan).

Garis keturunan ditarik secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang virilokal.

Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat.

Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan.

Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur ( perse tsyem ).

Pola Kepemimpinan Dan Organisasi Sosial Suku Asmat

Saat ini masyarakat Asmat memiliki sistem pemerintahan dua sistem yaitu sistem pemerintahan adat maupun sistem pemerintahan yang baru (nasional). Sistem pemerintahan adat masyarakat Asmat adalah struktur paroh masyarakat.

Pada setiap kampung yang berdiri di wilayah masyarakat Asmat terdapat satu rumah panjang yang merupakan balai desa. Pada tempat tersebut, warga kampung berkumpul untuk membicarakan persoalan yang menyangkut kepentingan seluruh warga.

Rumah panjang ini merupakan cerminan kehidupan mereka di masa lampau. Dahulu, rumah panjang berfungsi sebagai rumah bujang (Je) dalam bahasa Asmat.

Rumah bujang terdiri atas 2 bagian utama. Tiap bagian bernama aipmu. Masing-masing aipmu dipimpin oleh kepala aipmu. Kepala Aipmu merupakan kepala perang.

Pemilihan Kepala Aipmu berdasarkan kepribadian dan keberhasilan calon aipmu, umur juga merupakan faktor penting dalam menentukan aipmu.

Pada umumnya, orang-orang muda belum mempunyai bobot bila mereka belum berkeluarga dan membuktikan keberaniannya dalam berperang.

Sistem kepemimpinan yang dipegang oleh kepala aipmu lebih menekankan pada kemampuan dan kewibawaan seorang lelaki yang mempunyai tubuh perkasa dan memiliki banyak pengalaman.

Dalam kehidupan sosial politik, setiap kampung mempunyai seorang pemimpin adat yang disebut yeu iwir, dan masing-masing federasi yeu mempunyai seorang pemimpin yang disebut tase wu.

Para pemimpin adat dibantu oleh sejumlah penasehat yang disebut arakamse wir, yaitu orang-orang bijak yang kaya akan pengalaman. Selain itu, orang Asmat terbagi dalam beberapa subkelompok suku bangsa yang timbul karena adanya federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu.

Federasi adat ini ditandai oleh adanya kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial mitologis. Sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau, Bismam, Simai, Emai-Ducur, Betch-Mbuo, Kaimo, Safan, Brazza, dan Joerat.

Kepemimpinan Je secara menyeluruh dipimpin oleh kepala Je. Kemampuan yang menonjol dimiliki oleh Kepala Je mendapat pengakuan dari masyarakat Asmat.

Kedudukan kepala Je tidak harus diberikan kepada orang yang paling tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan sebelum kepala baru terpilih.

Sistem pemerintahan yang terbaru pada masyarakat Asmat memiliki pola kepemimpinan dan kekuasaan yang dipimpin oleh kepala desa dan asisten kepala desa.

Kepala desa dan asisten bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga agar masyarakat Asmat memelihara rumah dengan baik.

Posisi kepala desa di Masyarakat Asmat dipegang oleh orang muda yang mendapat pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan. Dalam menjalankan tugas kepala desa, dia dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang merupakan seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.

Selain itu, ada kepala distrik yang membawahi ”polisi” desa yang mengatur hansip setempat. Kewenangan Kepala distrik adalah memutuskan hukuman apabila terjadi pelanggaran.

Teknologi Dan Peralatan Suku Asmat

Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu.

Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama.

Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.

Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir.

Kapak batu merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput

Gaya seni Asmat hilir maupun hulu sungai-sungai yang mengalir ke dalam Teluk Flamingo dan arah pantai Casuarina (Central Asmat). Benda seni yang termasuk dalam golongan ini, telah terkenal sejak jaman ekspedisi militer Belanda pada tahun 1912.

Ciri-ciri perisai dalam golongan ini adalah berbentuk persegi panjang dan agak menyempit ujungnya. Di ujung atas ada hiasan ukiran phallus atau gambar burung tanduk atau topeng.

Motif-motif ukiran dalam golongan ini juga terdiri dari motif burung kakatua, burung kasuari, kepala ular, kaki kepiting, dll. Hiasan ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian belakang perahu, datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah, dll.

Perisai pada golongan ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian kepala terpisah dengan jelas dari bagian lainnya dan berbenruk kepala kura-kura atau ikan.

Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal, sedangkan hiasan bagian badan berbentuk musang terbang, katak, kepala burung tanduk, ualr, dll.

Kekhususan pada bentuk hiasan perisai yang biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai melebihi tinggi orang Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian atasnya tidak terpisah secara jelas dari bagian badan perisai dan sering terisi dengan garis-garis hitam atau merah yang diberi titik-titik putih.

Perisai pada golongan ini hampir sama besar dan tinggi dengan perisai pada golongan Asmat Timur. Bagian kepala juga biasanya terpisah dari bagian badannya. Walaupun motif sikulengan sering dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa digunakan adalah motif geometri, lingkaran, spiral, siku-siku, dll.

Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang lunak dan ringan.

Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu besi atau kulit pohon sagu. Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari.

Perahu Lesung, Alat Transportasi Suku Asmat

Masyarakat Asmat bermukin di daerah sepanjang pantai. Tertutup hutan rimba tropis yang didominasi pohon mangrove dan hutan sagu.

Kondisi daerah masyarakat Asmat yang berawa menuntut masyarakat Asmat mempunyai perahu sebagai alat transportasi. Salah satu alat tersebut, masyarakat Asmat menyebutnya “perahu Lesung”.

Kegunaan lain perahu Lesung bagi masyarakat Asmat adalah sebagai sarana perang. Perahu Lesung masyarakat Asmat memiliki panjang antara 4 hinggga 20 meter. Perahu ini dapat memuat penumpang 5 sampai 20 orang. Perahu Lesung dibuat 5 tahun sekali dan saat peresmian perahu baru harus dilakukan sebuah ritual.

Dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Asmat, perahu Lesung berfungsi sebagai pengangkut dan pencarian bahan makanan. Yakni untuk mencari ikan, mengambil sagu, berburu buaya, berdagang, bahkan berperang.

Dengan perahu ini, mereka dapat melintasi sungai hingga puluhan kilometer. Selain itu, masyarakat Amsat menggunakan perahu Lesung pada upacara menyambut Bupati Kabupaten Asmat yang merupakan panglima besar suku Asmat.

Bahan yang digunakan untuk membuat perahu Lesung adalah kayu yang jarang digunakan. Di antaranya adalah kayu kuning, ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu.

Pembuatan perahu Lesung memerlukan waktu sekitar 5 minggu. Tahapan proses pembuatanya dimulai dari batang kayu yang kasar dan bengkok diluruskan terlebih dahulu. Setelah bagian dalamnya diambil kemudian dihaluskan dengan kulit siput.

Sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya laju perahu menjadi ringan. Setelah semua ukiran dibuat pada dinding perahu, lalu perahu pun dicat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan daun sagu.

Dalam proses pengerjaan perahu Lesung ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan. Pertama tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempat membuat perahu Lesung.

Pantangan lainnya adalah masyarakat Asmat meyakini jika batang kayu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak bisa dipindahkan.

Ukiran pada perahu Lesung tidak semata-mata berfungsi sebagai hiasan. Bagian perahu Lesung yang pasti akan dukir oleh masyarakat Asmat yaitu bagian muka perahu.

Ukirannya dinamakan cicemen. Menyerupai burung atau binatang lainnya dengan makna sebagai perlambang pengayauan kepala. Lalu ukiran manusia melambangkan saudara yang telah meninggal. Kemudian perahu dinamai sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu.

Suku Asmat meyakini bahwa di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka. Sehingga sarat dengan kebesaran suku Asmat.

Ukiran pada perahu bagi suku Asmat adalah penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. Sehingga sebelum digunakan, semua perahu harus diresmikan melalui sebuah upacara.

Dari segi daya tampungnya, perahu Lesung dibagi ke dalam 2 jenis. Pertama adalah perahu milik keluarga, bentuknya tidak terlalu besar dan hanya memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter.

Kedua adalah perahu kelompok, bentuknya yang besar mampu memuat antara 10-20 orang dengan panjang 10-20 meter.

Dayungnya terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi atau kayu pala hutan. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat. Karena daerah tempat tinggal mereka dikelilingi rawa-rawa.

Fungsi Perahu Lesung dalam Upacara Adat Suku Asmat

Fungsi lain dari keberadaan perahu Lesung adalah dalam ritual masyarakat Asmat pembuatan perahu lesung adalah salah satu cara untuk menyenangkan leluhur nenek moyang.

Ritual itu adalah Upacara perahu Lesung yang ada pada masyarakat Asmat. Hal lainnya upacara perahu Lesung adalah bagian dari menyambut pemimpin masyarakat Asmat yang pulang perang.

Dalam upacara perahu Lesung yaitu penyambutan panglima besar suku Asmat yaitu Bupati Kabupaten Asmat. Upacara penyambutan biasa dilakukan di tengah sungai.

Saat itu mereka mendapat kabar sang panglima sudah sampai di Kampung Ewer, tetangga kampung terdekat dengan Kampung Syuru. Mereka pun segera menaiki sampan untuk menyambutnya di tengah Sungai Aswet yang melintasi Kampung Ewer.

Suku Asmat memang terpisah menjadi tujuh distrik dengan jumlah populasi sekitar 80 ribu jiwa. Setiap distrik dipisahkan oleh rawa dan sungai.

Para masyarakat Asmat yang berada di Perahu Lesung yang menyusuri Sungai Aswet sambil berteriak ke semua penjuru desa dan membentuk formasi perahu Lesung yang masing-masing berbobot empat kuintal dengan panjang hingga dua meter.

Formasi perahu Lesung tersebut adalah bentuk tarian perang yang kini menjadi ritual penting dalam menyambut tamu. Masyarakat Asmat berdandan seperti prajurit yang siap melindungi keselamatan suku mereka.

Pada perahu Lesung tersebut terdapat ukiran-ukiran yang memiliki simbol manusia dan burung. Ukiran yang memiliki bentuk manusia melambangkan keluarga yang sudah meninggal.

Mereka percaya bahwa seseorang yang telah meninggal akan senang karena diperhatikan, dan kemanapun perahu dan penumpangnya pergi akan selalu dilindunginya.

Ukiran burung dan binatang terbang lainnya dianggap melambangkan orang yang gagah berani dalam pertempuran dan lambang burung juga digunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau binatang terbang yang berwarna gelap atau hitam.

Selain itu, ukiran kayu di perahu merupakan lambang kematian yang datang pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda yang disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal.